PLAGUE 5 : DIAM DAN JALAN
Derap langkah tak berirama
Menyeret raga dipenuhi asa
Kunci lisan tanpa suara
Sembunyikan jiwa penuh lara
***
Sudah satu jam berlalu saat Marwah memutuskan untuk mengakhiri panggilan telepon dari ibunya. Sekarang mereka hanya bisa duduk terdiam menunggu bantuan datang. Matahari sebentar lagi akan kembali menjalankan tugas hariannya. Bahkan, bisa saja ikut menyaksikan kegaduhan yang sedang terjadi di seluruh penjuru kota.
Freya melihat jarum jam di tangan kirinya. Jam menunjukkan pukul 04.10 WIB. Itu artinya di tempat ini pukul 05.10 WITA. Namun, mengapa azan masih belum terdengar? Seharusnya sekarang sudah dikumandangkan, batin Freya. Gadis itu melirik Marwah yang kembali memejamkan mata di sebelahnya. Rupanya Marwah masih tidak kuat untuk menahan kantuk.
"Mar! Bangun," ucap Freya menepuk pundak Marwah.
"Ada apa, Frey?" tanya Marwah sembari menguap lebar.
"Subuh dulu, yuk!" ajak Freya pada Marwah.
"Loh? Udah Subuh? Kok gue gak denger?" tanya Marwah sembari menyingkap rambut yang menutupi telinganya.
"Iya. Aneh. Gak kayak biasanya. Gue tahu di sini emang mayoritas Hindu, tapi bukan berarti ga ada yang Islam dong. Dulu juga gue pernah ke sini dan ada tuh azan." Freya berkata sembari membuka kopernya untuk mengambil mukenah dan sajadah.
"Mending kita wudhu bareng-bareng deh, Frey. Kita gak tahu apa yang akan terjadi kalau mereka denger suara percikan air," ucap Marwah yang langsung diikuti anggukan oleh Freya.
Setelah menyiapkan tempat untuk melakukan ibadah, mereka berjalan perlahan menuju kamar mandi. Freya memikirkan bagaimana cara agar suara gemercik air dari kamar mandi tidak terdengar riuh hingga keluar ruangan. Seketika muncullah ide untuk menggunakan shower agar air bisa keluar sedikit demi sedikit.
Setelah mengambil air wudhu, mereka bernapas lega karena zombie yang ada di balkon tidak bereaksi sama sekali. Freya dan Marwah memulai ibadah sholat Subuh berjamaah dengan Marwah sebagai imam. Suara yang mereka keluarkan sangat lirih. Jika terlalu kencang, mereka takut akan diserang tiba-tiba.
Hening. Mereka mencoba beribadah dengan khusyuk di tengah teror kota ini.
"Assalamu'alaikum warahmatullaah." Marwah mengakhiri sholatnya dengan salam dan diikuti oleh Freya di belakangnya.
"Frey," tegur Marwah. Gadis itu menoleh ke belakang tepat di mana Freya berada. Freya yang baru saja mengakhiri doa seketika mengangkat sebelah alisnya sebagai tanda tanya. Marwah tidak langsung menjawab isyarat itu. Masih ada keraguan yang tersirat pada raut wajahnya.
"Kenapa? Laper?" tanya Freya.
Mendengar itu, Marwah langsung mengangguk mengiyakan. Sesungguhnya tidak hanya Marwah, cacing di perut Freya pun sudah mulai melompat-lompat, menunggu nutrisi masuk melalui mulut gadis cantik itu.
Setelah melakukan musyawarah yang cukup sulit, akhirnya mereka memutuskan untuk mencoba keluar kamar dan mencari makanan tepat pada jam tujuh pagi nanti. Sekaligus ingin menunggu, apakah dalam rentang waktu itu ada tim evakuasi yang datang untuk menolong mereka.
"Mar," panggil Freya.
"Apa? Kalau lo mau ngelawak, mending batalin aja. Bukan saatnya," sahut Marwah yang seolah-olah tahu isi hati Freya.
"Enggak. Gue ga ngelawak. Cuman ada satu hal yang gue bingung," ucap Freya sembari menggaruk rambutnya meskipun tidak terasa gatal.
"Apaan? Kalau lo bingung sama hal-hal absurd, lo bakal gue umpanin ke zombie," ucap Marwah.
"Jangan terburu-buru dong, Zheyeng," ucap Freya.
"Zheyeng pala lu," sahut Marwah tidak terima.
"Jadi gini, setahu gue, nyokap lo itu namanya Anna, kan? Gue denger samar-samar waktu lo telepon, kok beliau dipanggil Bu Maryam?" tanya Freya.
"Oh, jadi gini, nama panggilan itu dikasih sama Grandma gue. Jadi, selain keluarga dan kerabat dekat dilarang memanggil Umma dengan nama Anna. Malah sangat diwajibkan memanggil beliau dengan nama Maryam," jelas Marwah.
"Lah? Kenapa? Aneh deh," ucap Freya. Gadis itu tidak habis pikir ada aturan aneh seperti itu, sedangkan Marwah hanya mengangkat bahunya.
Satu jam mereka lewati dengan menunggu dalam diam. Namun, bantuan yang mereka harapkan tidak kunjung datang. Freya mencoba mengingat-ingat jalan yang sudah mereka lalui sejauh ini. Gadis itu mencoba mencari celah kecil dalam ingatannya untuk bersembunyi apabila terjadi sesuatu yang membahayakan mereka.
"Yuk! Jalan sekarang, Mar. Kemarin lo bawa ransel kan?" tanya Freya yang dijawab dengan anggukan oleh Marwah.
"Ok, koper kita tinggal di sini aja. Bawa barang-barang penting, handphone, dompet, terserah tapi yang penting aja. Yang sekiranya bisa dibawa lari," titah Freya.
Marwah segera memasukkan barang-barang penting ke dalam ransel merah mudanya. Dipakainya lagi jaket yang tadi dia lepas sebelum ibadah. Gadis itu mengikat rambut panjangnya agar lebih ringkas. Sedangkan, Freya sudah siap dengan ransel hitam dan sedang mengikat rapat tali sepatunya. Dia hanya ingin berjaga-jaga apabila nanti mereka diharuskan untuk berlari.
Setelah merasa semua sudah siap, Freya mengambil payung sebagai senjata nantinya. Kedua gadis itu saling berpandangan sejenak sebelum akhirnya mengangguk mantap. Dibukanya perlahan pintu yang tertutup sejak tadi malam. Diintipnya sedikit situasi di luar kamar. Sepi. Tidak ada orang satu pun.
Freya melangkah keluar dengan hati-hati. Gadis itu menengok ke kanan dan ke kiri untuk memastikan tidak ada gerakan mencurigakan apapun. Setelah dirasa aman, dia menoleh ke belakang dan dianggukkan kepalanya agar Marwah ikut keluar mengikutinya. Mereka berdua berjalan menyusuri lorong hotel yang sunyi senyap.
Hening. Tidak ada seorang pun yang berpapasan dengan mereka. Semua lampu di langit-langit gedung mayoritas padam. Hanya tersisa beberapa buah di ujung lorong. Ada banyak hal ganjil yang menumpuk di kepala Freya. Di mana semua orang yang berteriakan semalam?
Freya dan Marwah berjalan perlahan menuruni anak tangga. Lobby di lantai satu tidak kalah sepinya dengan lantai-lantai di atas. Namun, baru sampai di pertengahan tangga, Freya dikagetkan oleh sesosok mayat hidup dengan mulut yang bersimbah darah. Sosok itu berjalan perlahan di lantai satu. Freya melangkah mundur ke belakang sembari berjalan jongkok.
Marwah yang melihat Freya tiba-tiba berjongkok, sontak mengikutinya. Gadis itu menutup mulutnya agar tidak bersuara. Pasti ada sesuatu yang berbahaya. Freya menoleh ke arahnya. Diletakkan telunjuk di bibir merah mudanya. Dia mengintruksikan agar mundur ke belakang perlahan.
Belum sampai kembali ke lantai dua, mayat hidup itu berjalan menuju ke arah mereka berdua. Sontak napas mereka tertahan. Marwah menunduk takut. Sedangkan, Freya memejamkan mata. Mereka berdua memikirkan hal yang sama. Mungkin saja nyawa mereka berakhir di tempat ini.
Setelah cukup lama, Freya mengernyitkan dahi. Mengapa tidak ada reaksi sama sekali? Makhluk itu tidak menyerang kami, kah? Batin Freya. Dibukanya iris kelabunya perlahan. Sepi. Dilihatnya ke belakang dan ke depan berulang-ulang kali. Mayat hidup yang tadi berjalan ke arahnya menghilang. Freya segera menepuk pundak Marwah.
Marwah terkejut ketika merasakan seseorang menyentuh pundaknya. Dia ingin berteriak, namun mulutnya ditutup rapat oleh telapak tangan kecil seseorang. Betapa leganya hati Marwah ketika melihat siapa pemilik tangan tersebut. Gadis itu kembali mengatur napas saat Freya menarik kembali telapak tangannya.
"Sepertinya jika tetap tenang dan terus jalan, kita akan selamat, Mar," bisik Freya. Marwah hanya mengangguk.
"Ayo!" ajak Freya untuk berjalan kembali menuruni anak tangga.
Mereka terus berjalan perlahan sembari melihat kondisi di setiap sudut ruangan. Mungkin saja masih ada satu atau beberapa zombie yang berkeliaran mencari mangsa. Mereka ingin pulang. Mereka tidak mau terjebak di tempat mengerikan itu.
****
Woah. Long time no see.
Setelah sekian lama berkutat dengan batu sandungan hidup, akhirnya Freya dan Marwah kembali datang menemani perjalanan kalian.
Part ini gimana? Masih kurang nge feel kah? Ah pasti iya. Tapi gapapa, penulis akan selalu upgrade diri demi kalian semwaaaaa.
Don't forget to comment, like and share.
Bubyee di part selanjutnyaaa ^o^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top