Bab 2: Catur
Status Susanti di media sosial, mengejutkan para fansnya. Kubu terpecah menjadi dua. Kubu Susanti dan kubu Androl. Dua kubu ini saling bersahut-sahutan di media sosial. Keduanya juga saling berjaprian di fitur privat.
Susanti:Mas jangan kurang ajar mencuri materi saya! Mengambil reffnya lalu menulis ulang.
Androl: Jangan begitu! saya juga sudah membantu pembuatan lagu kamu!
Susanti:Tapi yang menulis lirik lagu itu semua saya. Aransemen pun saya. Mas hanya memproduseri dan melatih saya.
Androl: Kamu kok tidak berterima kasih! Malah bentak-bentak saya! Dasar murid kurang ajar!
Susanti: Mas tuh yang kurang ajar dan tidak tahu diri!
Androl: Kok kamu berisik sekali ya jadi orang!
Susanti: Berisik apanya sih Mas? Mas yang salah kok! Saya juga nggak ngebentak! Dasar masnya aja yang pencuri!
Androl: Kamu nuduh saya pencuri lagi! dasar babi emang kamu!
Susanti: Saya bisa tuntut Mas loh!
Androl: Kamu kok makin lama makin kurang ajar ya! Dasar nggak tahu diri!
Susanti: Saya salah apa sih Mas sampai segitunya sama saya? Ngaku-ngaku karya saya!
Androl: Kamu tuh ya bisa saja bikin fitnah!
Susanti: Fitnah apa? Kenyataan kok Mas mengaku-ngaku karya saya!
Androl: Mau kamu apa?!
Susanti tidak menjawab lagi chat dari Androl, ia mematikan ponsel lalu tertidur. Albert merasa iba dengan istrinya. Rasanya ia ingin menghampiri Androl dan memakinya, namun ia langsung mengingat Tuhannya. Tidak ada manfaatnya memukul pria itu.
Keesokan harinya ia dan Susanti menghampiri Androl untuk berbicara baik-baik, namun sang pelatih tidak ada. Yang ada para wartawan sudah berkumpul mewawancarinya. Susanti dikerebuti mereka, ia tidak bisa menjawab pertanyaan mereka. Susanti langsung pergi dengan Albert menuju ke mobil.
"Susah yang menghadapi wartawan. Pasti aku dikerubuti wartawan kalau ada masalah, padahal bukan aku yang cari sensasi."
"Sabar ya, inilah resiko kalau jadi istri orang kaya dan juga penyanyi."
"Kamu bikin aku makin sayang sama kamu." Susanti berkata di tengah mulutnya yang cemberut.
"Udah nggak kesal lagi kan?"
"Yaah, sedikit kesal sih. Mau gimana lagi tapi." Susanti berkata dengan cara bicara datar.
"Yang namanya pekerjaan pasti ada resikonya."
"Iya. Kita ke mana ya enaknya, apa kita minta tolong ke orang lain? Kamu ada kenalan gitu, pengacara."
"Sebentar ya." Albert membuka ponselnya lalu mencari sebuah nama yang bisa membantunya.
"Kayaknya aku ada deh. Kita minta bantuan Pak Spont, dia pengacara terkenal. Kita bisa memenangkan kasus ini. Pasti!" Albert berseru yakin.
"Kita kasih kesempatan satu hari buat Mas Androl mengklarifikasi maksudnya dia apa."
"Benar mau begitu?"
"Aku akan tunggu itikad baiknya dia, kalau misal tidak ada maka dia harus mendekam di penjara." Susanti berkata dengan tegas.
Ketegasan Susanti membuat Albert bergidik ngeri. Mereka memutuskan pulang. Ditunggu-tunggu itikad baik Androl tetapi tidak ada. Hari sudah berganti, Susanti lalu menelepon seseorang, Albert memberikan nomor telepon Pak Spont. Pak Spont mengangkat.
"Pak, saya mau menuntut seseorang."
"Androl ya?"
"Betul Pak."
"Dia sudah kurang ajar, mengambil karya saya."
"Kamu mau tuntut dia?"
"Iya, Bapak bisa ke rumah saya sekarang? Saya punya bukti-buktinya."
"Baik saya ke sana, segera."
Susanti menutup telepon menunggu pengacaranya datang, ia memakan cokelat yang ada di dalam lemari es. Ia duduk di meja makan lalu menikmatinya sambil memikirkan bagaimana caranya agar dia bisa berhadapan dengan Androl karena bagaimanapun ia harus mengantisipasi bila Androl menggunakan cara-cara licik yang mengerikan.
Ia teringat Androl yang menyuruhnya untuk menerobos ke lahan orang lain. Ia seperti tidak ada nyali untuk menghadapi Androl, namun kini ia hanya pasrah kepada Tuhan, bagaimanapun ia harus yakin kalau ada pertolongan Tuhan yang sedang menunggunya.
Tak lama ada bunyi klakson yang terderngar. Suara mobil Pak Spont masuk ke dalam. Pak Spont memakai jas hitam, wajahnya berkerut, rambutnya sudah memutih, tampak berumur enam puluh tahun ke atas.
"Kenalkan, saya Pak Spont."
"Salam kenal Pak Spont."
"Oh ya maaf sebelumnya, saya baru menemui kalian, pada pernikahan kalian tahun kemarin, saya sedang menangani sebuah kasus yang sangat pelik sekali," ujar pria yang memakai celana hitam itu.
"Tidak apa-apa. Silahkan duduk Pak. Saya ambilkan dokumen yang ada." Susanti lalu masuk ke dalam kamar melihat beberapa dokumen. Ia ambil lalu ia serahkan kepada pengacaranya. Pak Spont membaca dokumen-dokumen yang diberikan Susanti.
"Bagaimana Pak?"
"Saya ingin bertemu dengan pemilik labelnya, kuat dugaan saya kalau pemilik label tidak tahu hal ini. Apakah Anda sudah menberitahukan ini kepada pemilik label?"
"Belum Pak."
"Lebih baik diberitahukan, saya yakin pengadilan memenangkan Anda dalam kasus ini, karena bukti-bukti di sini sangat kuat. Ada klausul di surat kontrak yan menyatakan bila Anda adalah pemilik lagu dan pencipta lagu. Apakah ada kontribusi Pak Androl di dalam lagu Anda?"
"Tidak Pak, dia hanya pelatih saya, produser juga."
"Apakah dia menekan Anda?"
"Tidak. Sebenarnya ada keresahan lagi Pak. Saya resah kalau banner dan materi-materi lain saya dicuri Pak. Soalnya di video yang dibuat oleh Mas Androl, dia sepertinya tahu luar dalam terkait materi yang ada di dalam lagu saya, tapi bedanya, dia mengaku di publik itu milik dia. "
"Keterlaluan sekali Mbak, ini sudah pencurian namanya."
"Ya, memang, saya panggil Baoak, karena saya yakin dengan reputasi Bapak di pengadilan."
"Saya suka masuk televisi Mbak, tapi resikonya juga tinggi. Saya selalu saja diganggu oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab."
"Seperti apa Pak?"
"Penelepon gelap lah, apa saja gitu. Banyak orang yang mau cari gara-gara sama saya. Kuncinya satu Mbak, jangan ngeladenin mereka, bikin capek badan saja."
"Oh ya maaf Pak, keasyikan ngobrol jadi lupa bikin minum. Bapak mau minum apa?"
"Minum apa saja, asal tidak teh pasak bumi."
"Teh pasak bumi?"
"Itu ada orang di media sosial dia katanya minum teh pasak bumi, kabarnya enak. Saya nggak ngerti juga."
"Banyak yang aneh-aneh memang sekarang di media sosial. Kita harus hati-hati dengan hal-hal yang aneh."
Susanti lalu membuatkan teh, memberikan gula, lalu menghidangkannya kepada Pak Spont. Pak Spont lalu mencicipi teh, ia menyeruputnya dengan penuh nikmat, ada rasa kehangatan yang membuat ia merasa tenang dan bisa berpikir lebih jernih. Menjadi pengacara seorang penyanyi dangdut membuat jiwa dan hatinya berdebar-debar, takut ia melakukan kesalahan. Pak Spont memang takut bila kliennya kabur. Bila kliennya kabur, ia merasa dirinya seperti orang yang kehilangan arah. Seperti tidak ada dunia yang menanunginya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top