居場所
Kurang lebih satu tahun telah berlalu sejak waktu itu.
Ah, bukan! Kalau musim panas sudah datang, berarti satu tahun pun sudah lebih.
Saat itu sakura masih bermekaran ketika aku keluar dari arena. Mengetatkan parka tipis yang semula kupikir cukup hangat untuk kupakai di tengah musim semi.
Setiap peristiwa, hanya akan terjadi sekali saja. Tidak akan bisa terulang kecuali dalam sebuah kenangan. Apapun yang terjadi, aku pun telah berjanji bahwa tidak akan ada yang akan aku sesali setelah ini. Sama seperti mereka yang tetap teguh meskipun mereka akan kehilangan salah satu tempat untuk kembali.
“Kau tahu, tidak ada yang abadi di dunia ini. Sama seperti bunga-bunga itu. Yang menunggu beberapa hari lagi akan segera berjatuhan.”
Tidak ada yang salah dengan apa yang diucapkan oleh seseorang dari masa laluku itu. Tapi setidaknya, walaupun tidak abadi, aku ingin apa yang aku lakukan selama ini dan selanjutnya terlihat indah. Sama seperti gugurnya kelopak sakura di akhir seminya.
*****
“Pergilah, keponakan-keponakanmu juga ingin pergi!” Ibu meletakan botol teh hijau ke dalam lemari pendingin sambil terus membujukku untuk bersedia pergi ke perayaan musim panas tahun ini.
Tahun lalu aku masih berada di Tokyo, menyelesaikan sisa-sisa urusanku di sana. Dengan kembalinya aku ke kota ini, mungkin menjadi suatu keberuntungan bagi paman-pamanku yang cukup malas untuk megantar anak mereka ke perayaan macam itu.
“Ah, teman SMA-mu waktu itu, dia bilang dia juga akan datang ke sana. Kau bisa memintanya membantumu mengurus anak-anak.”
“Kaa-san, kau ingat berapa umurku? Kau tidak ingin aku selamanya membujang setelah semua gadis mengira aku telah beranak-pinak kan?” cetusku beranjak untuk kembali ke kamar.
Belum sempat aku membuka pintu kamar, aku mendengar keributan yang kemudian disertai serbuan ke arahku. Anak-anak itu datang dari pintu depan dan segera memeluk kedua kakiku hingga aku kesulitan untuk bergerak.
“Ojii-chan, ikou!” ucap salah satu dari mereka tanpa melonggarkan lengan pada kakiku.
Dan sudah berapa kali aku harus mengingatkan bahwa aku tidak suka dipanggil dengan ojii-chan?!
Ibu hanya tertawa melihat keadaanku yang tidak bisa melarikan diri lagi.
“Ayolah Aki, festival musim panas hanya datang sekali dalam tiga ratus enam puluh lima hari.”
Aku menghela napas, mulai mengibarkan bendera putih di hadapan anak-anak yang masih bersikukuh untuk membawaku ke keramaian yang entah kenapa akhir-akhir ini tidak aku suka.
“Yey, aku akan memanggilmu Nii-san! Bukan Ojii-chan lagi.” Ucap Yuuta, si bungsu dari semuanya.
Meskipun tak sedikitpun membuat suasana hatiku berubah, tapi aku mengelus puncak kepalanya. “Katakan itu juga pada kakak-kakakmu!”
*****
Kata paman penjual yaki-soba tadi, kembang api akan mulai diluncurkan di tepi sungai sekitar jam tujuh nanti. Aku sengaja mampir ke tempat nenek sebelum festival dimulai agar anak-anak ini tidak banyak merengek meminta dibelikan banyak sesuatu di berbagai stand yang ada di tempat itu. Masih cukup terang sekarang, tapi mereka sama sekali tidak mengijikanku meneruskan tidur siang tadi dengan alasan aku akan mengingkari janji kalau mereka membiarkanku masuk ke kamar.
“Taku, jangan melempar batu ke arah kakakmu! Berbahaya.” Nenek memperingatkan bocah kecil ber-yukata hitam itu sambil meletakkan beberapa kaleng jus di atas lantai kayu teras belakang.
Terlalu banyak, dan terlalu berisik anak-anak di rumah ini. Aku mungkin masih sulit menghafal nama mereka karena selain lima tahun terakhir aku jarang sekali berkumpul bersama, juga karena aku selalu kesulitan untuk menghafalkan banyak nama dalam waktu sekaligus. Tapi Nenek hafal semua nama cucu dan cicitnya bahkan hanya dengan mendengar suaranya saja.
Orang tua itu benar-benar luar biasa.
Tapi aku akan segera tertawa saat kembali mengingat kejadian beberapa tahun lalu ketika Ikuto _kakak sepupuku_ berulang tahun. Aku mengiriminya celana damage yang sengaja aku beli di Tokyo sebagai hadiah ulang tahun. Dan seminggu kemudian dia mengirimiku foto celana damage-nya yang sudah ditambal dengan emblem kecil berbentuk kapal terbang. Dia bilang nenek menambal celana itu dan mengira kalau Ikuto tidak sengaja merobek celananya.
Nenek begitu memperhatikan cucu-cucunya seolah dia dan mereka, termasuk juga aku adalah hal abadi yang akan selalu bersama..
Tali sebuah hubungan itu memang bukan hal kekal. Tapi nenek pernah berkata, asal kau pintar merangkainya maka butuh waktu lama untuk mengurai hingga ia bercerai-berai.
Mungkin itulah salah satu sebab kenapa kotak surat nenek selalu dipenuhi kartu ucapan di setiap tahun baru, atau bahkan di banyak perayaan-perayaan tertentu.
Berbeda denganku. Meskipun ada sedikit darahnya mengalir pada pembuluh-pembuluhku, aku masih merasa kalau aku sangat berbeda dengannya.
Aku sama sekali belum pernah menghubungi mereka kembali sejak pesta terakhir setelah band kami bubar. Dan setiap mereka mencoba menghubungiku aku selalu menyibukkan diri dengan banyak hal yang bahkan bisa aku selesaikan dalam waktu singkat.
Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan pada mereka sejak saat itu. Seolah kehabisan banyak topik pembicaraan yang sebelumnya biasa mengalir dari tema satu ke tema yang lain.
Aku biasa berbicara banyak tentang musik bersama Ipu.
Mendapat guyonan tidak jelas dari Ko-ki.
Lalu mendapat ancaman agar aku tidak mendekati kakaknya, dari Ryoga.
Terakhir, kadang aku mendapat telepon acak dari Reno yang tengah mabuk seorang diri di apartemennya.
Aku sama sekali tidak pernah memiliki inisiatif untuk lebih dulu menghubungi mereka. Berbeda sekali dengan nenek yang akan selalu bertanya kabar apabila salah seorang koleganya lama tak bertukar salam.
Saat aku bertanya kenapa nenek sebegitu baiknya meluangkan waktu hanya untuk menghubungi kenalan yang bahkan sudah bertahun-tahun tidak memberi kabar, dia tersenyum sambil menjawab, “Memberi salam itu penting. Apalagi menjawabnya.”
Apalagi menjawabnya.
Hingga saat ini, tak jarang aku tidak mengindahkan panggilan-panggilan dari mereka. Walaupun sesekali aku akan mengirim pesan sibuk agar aku tidak lagi merasa terusik.
Aku selalu bertanya kenapa.
Lalu berkali-kali menyimpulkan beberapa jawaban yang bahkan aku tak ingin mengakuinya.
Aku berlari dari kenyataan. Lalu mulai bersembunyi di balik egoku yang masih tidak bisa menerima bahwa salah satu tempatku kembali telah hilang.
Harusnya aku meyadari hal itu lebih awal. Menyadari bahwa mereka begitu berharga. Walaupun pada akhirnya keputusan kami tetap sama, paling tidak aku bisa memberitahu mereka kalau, mereka itu berharga.
………………..
“Oji-chan, ikou yo!!”
Aku mengangkat wajahku setelah menunduk dalam jangka waktu cukup lama. Kulihat Yuuta sudah melingkarkan kedua lengannya pada tangan seseorang yang kemudian kukenali sebagai teman SMPku dulu. Koji.
Dia menganngkat sebelah tangannya yang bebas dengan seringai tipis muncul di kedua sudut bibirnya, “Yo! Oji-chan!”
Aku mendecak kecil sebelum mengarahkan pandanganku pada Yuuta. “Seseorang berjanji untuk tidak memanggilku dengan kata itu.”
Yuta mendadak bersembunyi di balik tubuh Koji sambil berteriak minta maaf.
*****
Hampir sama seperti beberapa tahun ketika aku masih sering mendatangi festival kembang api. Lahan parkir yang sengaja dialihkan ke beberapa lapangan tampak penuh oleh mobil-mobil yang sampai saat ini pun masih terus berdatangan.
Jalan menuju sungai tempat kembang api akan diluncurkan penuh dengan lampion yang tergantung rapi menyambut pengunjung yang mulai memasuki area festival.
Panorama berselimut nostalgia ini cukup membuat dadaku lapang. Setidaknya tidak seperti waktu hingga satu tahun yang lalu, aku merasa bisa menghirup kembali udara kebebasan setelah terpenjara selama bertahun-tahun.
“Hora, Taku! Aku sudah bilang sudah memesan takoyaki di stand ujung sana. Jadi jangan seenaknya membeli sesuatu, mengerti?” Koji kembali mengingatkan saat salah satu dari anak-anak itu mulai mengacungkan jarinya ke arah stand ringo-ame.
Aku membiarkan Yuuta memeluk lenganku sementara anak-anak yang lain mulai berlarian ke arah kedai yang sempat Koji tunjuk tadi. Hanya dengan melihat saja, mereka membuatku kembali mengingat masa-masa dimana aku masih menggandeng tangan ibuku di setiap festival. Juga tahun-tahun berikutnya dimana aku sudah mulai terbiasa berlarian bersama teman-teman yang lain.
Waktu lewat begitu cepat.
“Aki, di sini!” Koji melambai. Dia tiba di depan stand terlebih dulu. Dan anak-anak itu mulai berebut kotak styrofoam berisi takoyaki yang baru saja mereka terima dari penjaga stand.
“Aki!”
Kemudian, penjaga stand itu melambai ke arahku.
Otakku mulai bekerja sebelum membalas sapaan orang itu. Sepertinya dia mengenaliku, dan sebaliknya, wajahnya tampak familiar.
Aku tidak begitu ingat kalau di antara kerabatku ada yang membuka stand dalam suatu festival. Mungkin salah satu dari teman SMA-ku dulu?
“Lihat Koji, orang Tokyo selalu lupa siapa saja orang yang di kenalnya di Matsumoto.”
Aku mendekat sambil tersenyum kecut, lalu meminta maaf.
“Ingatannya memang buruk, Naito-san.” Koji menimpali.
Naito?
Aku tidak punya banyak berkenalan dengan orang bermarga Naito. Hanya saja, salah satu dari teman SMA-ku dulu bermarga itu. Tapi yang aku ingat, dia perempuan.
Naito...eh...
“Naito-san?” Aku memiringkan kepalaku, masih bertanya-tanya.
Naito-san menyodorkan sekotak takoyaki, yang kemudian berakhir di tangan Yuuta. Aku hanya terdiam menunggu Koji mengobrol dengan orang itu, samapai kemudian seorang gadis dengan yukata bermotif panca warna datang membawa kotak styrofoam besar yang tampak berat.
“Koji-kun!” suaranya terdengar sangat ceria menyapa Koji. “Kau tidak mengirimiku pesan. Padahal kau bilang punya kejutan untukku.”
Koji tertawa kecil, “Jangan khawatir, aku sudah membawa kejutannya.”
Kejutan?
Mulutku menganga setelah tatapannya jatuh ke arahku. Lalu aku menyadari dengan segera kalau dia juga mengalami keterkejutan yang sama hingga tidak sempat berkata-kata.
Dia Naito yang selalu aku ingat.
Hanya nama dan wajahnya, selain itu aku tidak ingat apa lagi hal-hal yang berubungan dengannya. Selama beberapa tahun ini aku terlalu sibuk dengan dunia baru, yang akhirnya ingin aku tinggalkan, sehingga aku melupakan hal-hal kecil yang mungkin tidak akan mudah dilupakan oleh orang-orang normal.
“Aki-kun?”
*****
Aku duduk di bangku panjang setelah sedikit naik ke atas bukit untuk mendapat view lebih baik saat kembang api diluncurkan nanti.
Koji berjanji untuk membawa semua keponakanku menjauh, dengan syarat aku harus membawanya pergi.
Bertahun-tahun terlewati, hanya dalam hal ini saja Koji tidak pernah berubah. Semenjak dia tahu aku menaruh perasaan pada Naito di tahun pertama SMA, dia tidak henti-hentinya mengatur banyak waktu untuk kami. Mungkin dulu aku akan merasa sangat berterima-kasih. Tapi saat ini, mungkin kami terlalu dewasa untuk bermain-main seperti dulu lagi. Ditambah, aku lebih khawatir bahwa hal ini akan membuat Naito terganggu.
“Hisashiburi...da ne.” Aku bahkan tidak tahu kalimat apa yang pantas aku gunakan untuk memulai obrolan di antara kami sekarang.
“Kaku sekali.” Dia menoleh, lalu tersenyum. “Aku tidak tahu kalau orang yang berlama-lama di Tokyo bisa sekaku ini.”
Aku membalasnya dengan senyum kecut.
“Bagaimana dengan salonmu?”
Seingatku, dulu dia mengikuti pendidikan sebagai stylist salon di sebuah akademi tertentu. Lalu Koji pernah sekali menyebutkan bahwa Naito telah membuka salonnya sendiri setahun setelah band-ku debut mayor, yang berarti sekitar tiga atau empat tahun yang lalu.
Naito menghela napas panjang sebelum kembali menatapku, “Kau tahu kan kalau tidak semua yang kita inginkan akan sepenuhnya tercapai.”
Yang itu, aku setuju sekali.
“Ayahku bilang, aku harus pindah ke tempat lain kalau aku benar-benar ingin sukses dengan salonku. Di sini sudah cukup banyak salon kencantikan yang mendapat kepercayaan dari pelanggannya. Pemula sepertiku tidak akan bertahan lama kalau aku tidak bisa menarik mereka ke dalam salon. Lalu kau tahu sendiri kan, aku tidak pandai bersosialisasi dengan banyak orang.”
“Lalu, kau tidak mencoba saran ayahmu?” Tanyaku kemudian.
“Keadaan ibuku tidak begitu baik akhir-akhir ini. Jadi aku memutuskan untuk membantu di izakaya ayahku.”
Bibirku merapat merasa tidak punya banyak kalimat yang bisa aku katakan untuknya.
“Bagaimana denganmu?”
“Eh...?”
Aku terhenyak selama beberapa detik sebelum dia menambahkan beberapa lagi pertanyaan. “Apa yang akan kau lakukan setelah ini?”
Aku mengalihkan pandanganku ke arah lain untuk menghindari kontak mata dengannya. Selama setahun ini, aku selalu menghindari pertanyaan itu. Dan aku tidak pernah sebersitpun terbayang kalau pertanyaan ini akan datang darinya.
“Koji mengajakku datang ke one man terakhir kalian.”
Benarkah? Koji tidak pernah mengatakannya padaku. “Terima kasih.”
“Juga saat kalian berada di Budoukan.”
Ah, Budoukan.
Mendengar nama tempat itu, membuat dadaku sedikit sesak. Aku tidak perlu lagi bertanya-tanya lagi apa penyebabnya. Karena dengan jelas aku telah mengetahuinya.
“Waktu itu sangat dingin. Aku heran kenapa kalian melakukan live besar seperti itu di musim dingin, karena kupikir musim panas atau setidaknya musim semi akan lebih terasa happening.” Ya, kalau aku bisa, aku ingin sekali menutup mulutnya, agar dia tidak lagi membicarakan semua hal yang tidak ingin aku bicarakan sekarang. “Tapi, melihatmu saat itu membuatku hangat. Kau begitu bersinar. Waktu itu aku hampir lupa kalau sebelumnya buku-buku jariku nyaris membeku.”
Aku menggigit bibirku pelan, mengingat-ingat kembali seberapa panas penampilan kami waktu itu. Mengingat berapa kali aku merangkul Ipu. Beradu pandang dengan Reno dan Ryoga. Lalu di akhir live, Ko-ki berlari memelukku.
“Aku merasakan kebalikannya di musim semi lalu.”
Tentu saja.
Empat tahun yang lalu adalah bagian dari lini start bagi kami. Tidak hanya aku, mereka juga pasti merasakan seberapa tegangnya berdiri di tengah Budoukan. Aku mengerahkan seluruh tenagaku dan keinginanku untuk tetap bernyanyi. Menggemakan suara bahwa kami hebat. Dan tidak ada hal yang tidak mungkin selama kita berusaha sebisa mungkin.
Lalu pada akhirnya, janji baru itu terucap.
Bahwa kami akan membawa mereka ke Tokyo Dome. Kembali melompat bergandeng tangan di sana.
Pada akhirnya janji itu tidak pernah terpenuhi.
Semua orang pasti pernah berjanji, dan bagaimana kalau hal itu tidak bisa ditepati?
Sesak?
Ya. Setidaknya itu yang aku rasakan selama berdiri di Pasific Hall. Menyanyikan lagu yang harusnya bisa aku nyanyikan sepenuh hati. Tapi saat itu aku ingin sekali berlari ke belakang panggung, berteriak kalau aku tidak ingin bernyanyi.
“Sudahlah. Semua itu sudah berlalu.” Ucapku pelan, berusaha untuk tidak menyinggungnya.
“Lalu, apa yang ingin kau lakukan selanjutnya? Menikah? Teman-teman SMA kita sudah banyak yang menikah. Apa kau juga ingin menyusul mereka? Mungkin kau punya pacar di Tokyo yang bisa kau ajak tinggal di Matsumoto.” Terdengar nada canda di balik kalimat-kalimatnya. Tapi, itu tidak sedikitpun membuatku terhibur.
Aku hanya menarik sudut bibirku dengan pahit, “Kau sedang menggodaku?”
Berhubungan dengan seorang gadis memang bukanlah hal baru. Aku mungkin tidak begitu ingat dengan siapa saja aku pernah berciuman. Yang aku ingat hanyalah, aku tidak pernah tahu bagaimana rasanya saat aku berciuman dengan mereka. Mungkin rasanya hampir sama seperti saat aku membenamkan wajahku di bantal?
Entahlah.
Padahal aku merasakan degup yang sangat kencang saat pertama kali aku menciumnya. Dan aku selalu mencari perasaan itu setiap aku berusaha mencium orang lain.
Apakah itu berarti aku masih menginginkannya?
Dia dan aku mungkin hanyalah bagian dari cerita masa lalu. Aku tidak tahu apakah saat ini ada orang lain yang ada dalam hidup Naito. Tapi...
“Kekkon shiyo ka....”
Eh? Apa aku mengatakan itu saat ini?
Benar-benar tidak bisa kupercaya! Bagaimana bisa aku mengatakan itu tanpa aku sadari!?
Dia menatapku dengan raut tidak percaya. Walaupun beberapa detik kemudian mulai terkekeh. “Apa itu? Kau melamarku?”
Apa boleh buat. Toh belum tentu dia akan menganggap perkataanku barusan adalah hal yang benar-benar serius. Walaupun kenyataannya, aku menginginkan jawaban yang setidaknya membuatku sedikit lega.
“Kalau kau belum memiliki orang lain...”
Dia menghentikan tawanya, kemudian menatapku kembali. “Lalu setelah kau menikahiku, apa yang ingin kau lakukan? Aku tidak bisa kau bawa pergi kemanapun karena aku ingin merawat ibuku.”
“Kau berkata seperti itu seolah tidak ada pekerjaan lain di kota ini...”
“....masalahnya. Apakah kau bisa?”
Apakah aku bisa, tanyanya.
“Apakah kau bisa melakukannya hanya demi seorang gadis yang dulu kau tinggalkan karena kau ingin bernyanyi?”
Benar sekali.
Aku pernah meninggalkannya. Seadainya dia menerimaku lagi, bukankan itu terasa lebih aneh?
“Dan aku rasa, aku menyukai orang lain.”
Itu...
“Harusnya kau katakan itu sejak awal.” Aku mengelus tengkukku sambil memalingkan wajahku darinya. “Kau membuatku terlihat bodoh.”
“Kau memang bodoh.”
“Terimakasih. Aku anggap itu sebagai pujian.”
“Karena itu aku lebih suka Shin daripada kau.”
Seketika fokus pandangku kembali kepadanya.
Kali ini wajahnya tampak lembut dengan lekuk senyum tipis pada bibirnya. Aku tidak tahu terdiam karena rautnya saat ini atau karena kalimat yang dia ucapkan sebelumnya.
“Shin seribu kali lebih keren dan bahkan seribu kali lebih jujur daripada kau. Walaupun saat itu dia tetap bernyanyi, tapi dia tidak pernah mencoba untuk menyebunyikan apa yang dia rasakan di wajhnya. Dibanding kau, dia jauh lebih baik...”
Aku mohon, hentikan....
Aku tidak tahu apa yang dia maksud dengan lebih baik dalam presepsinya, disaat aku merasa bisa menjadi lebih kuat adalah hal terbaik yang bisa aku lakukan.
“Hentikan...”
Saat aku sadar, dia sudah menggeser posisi duduknya ke hadapanku. Dan aku telah menjatuhkan dahiku di atas bahunya. Samar aku merasakan belaian tangannya pada rambutku.
“Utaitai nara, utaeba ii ja nai no?”
Aku meraba pipiku saat aku merasa sesuatu yang aneh telah terjadi.
Aku menangis?
Kenapa? Padahal setelah live terakhir aku seperti tak bisa merasakan emosi seperti apa yang aku rasakan.
Andai saja waktu itu aku menangis, apakah semuanya akan berbeda?
Mungkin kenyataan bahwa aku tidak bisa lagi bernyanyi bersama mereka akan tetap sama. Tapi adakah sesuatu yang stidaknya tidak akan membuatku menyesal saat ini?
Aku menarik napas panjang selum pelan-pelan menghembuskannya. Selama beberapa menit terdiam, membuatku merasa aneh dan terlihat sangat memalukan menangis di bahu orang yang telah lama berpisah tanpa sekalipun bertukan kabar.
“Lebih tenang?” Dia bertanya pelan.
Alih-alih menjawab pertanyaannya aku malah sibuk menata wajahku kembali, mengusap sisa air mata di kedua belah pipiku sambil berdoa mataku tidak bengkak.
“Aki, dengar aku! Aku menyukai Shin, bukan berarti aku membencimu. Karena kalau dia bukan kau, maka aku tidak tidak akan sebegitu mencintainya.”
Haruskah kutambahkan, kalau Aki dan Shin sama-sama bodoh?
“Yang paling aku tahu, Shin juga Aki sama-sama bernyanyi. Dulu aku melihat Aki bernyanyi di sampingku, tidak bersinar seperti Shin saat berdiri di tengah panggung besar. Tapi mereka sama-sama membuatku tersenyum.”
“..........”
“Saat Aki tidak menyanyi untuk banyak orang, maka Shin bernyanyi untuk semua yang ingin mendengarkannya. Empat tahun lalu, aku melihat banyak orang tersenyum mendengar lagu kalian. Karena itu, jangan pernah berhenti benyanyi!”
“....kalau Shin berhenti bernyanyi karena telah kehilangan tempat kembali, maka dengan berhenti dia tidak akan kembali mendapatkannya. Ambil kembali tempat itu, atau bangunlah lagi! Teruslah bernyanyi sampai kau tidak punya lagi tenaga untuk melakukannya. Karena kau terlahir untuk itu.”
Entah perasaanku saja, atau bahu ini memang bergetar. Saat aku menangkat wajahku kembali, aku melihat matanya tidak lagi menatap dengan tegas.
Aku segera memeluknya. Mendekapnya erat dalam lenganku. Berharap dia mengurungkan niatnya untuk meneteskan air matanya di hadapanku. Tapi isaknya terus terdengar jelas, tertangkap oleh telingaku.
Kenapa dia menangis?
Sebegitu menyedihkannya aku hingga harus mendapat belas kasihan darinya?
Dia berkata disela-sela isakannya, “Kembalilah ke tempat seharusnya kau berada. Aku tidak keberatan walaupun kau tidak akan kembali padaku untuk selamanya.”
Kembali padanya?
Jadi, selama ini...
Dulu, saat aku berkata bahwa aku ingin bernyanyi, dia mengiyakannya. Dan dia tidak mengatakan hal lain selain “Jagalah kesehatanmu.” saat aku memutuskan untuk pergi ke Tokyo. Dan pada akhirnya jarak yang jauh terpisah semakin mengikis hubungan di antara kami, hingga aku tidak tahu lagi lagi apakah kami memang perlu lagi untuk berbungungan.
Tidak hanya satu-dua orang yang menyukainya dulu. Hanya dengan kehilangan aku, maka dia bisa mencari gantinya dengan satu yang lebih baik. Pasti mudah untuknya, karena dulu aku yang lebih dulu menyukainya. Melakukan banyak hal untuk tetap berada di jangkauannya.
Mendengar dia berkata bahwa aku tak kembali padanya pun tidak apa membuat rongga dadaku terpukul keras.
Kenapa aku tidak menyadarinya?
Kenapa dengan mudah aku melepaskan sesuatu yang dulu susah payah aku raih?
Dia.
ViViD.
Dan juga keninginanku untuk terus bernyanyi?
“Arigatou.”
Aku tahu, hanya kata itu yang paling tepat dan saat ini bisa aku katakan padanya.
Dulu, dan sekarang. Mungkin hanya satu yang sama.
Dia ingin aku bernyanyi.
Mungkin dari sekian banyak orang, dia mungkin yang paling aku terus bernyanyi.
Dia tahu apa yang aku miliki, karena itu, walaupun sebenarnya dia tidak begitu berbakat dalam dunia tarik suara. Aku tahu alasan kenapa dia terus membujukku untuk masuk ke dalam klub paduan suara bersamanya saat SMA dulu.
Hingga waktu terus berlalu, dan tanpa sadar aku ingin tetap selalu bernyanyi.
“Ima made arigatou.”
Benar sekali.
Aku tetap ingin bernyanyi.
Dan masih ada orang yang mendukungku untuk tetap berada di sana.
Mungkin memang kesanalah aku harus kembali.
*****
Ponselku kembali bergetar beberapa menit setelah aku mengatifkan mode “diam”. Aku menggeser layarnya, melihat satu pesan singkat yang baru saja masuk.
_Kishi-san menghubungiku kemari. Dia meminta kontakmu yang baru. Katanya, dia telah selesai mengarensemen ulang lagu yang pernah kau tulis waktu itu._
Dari Reno.
Kalau tidak salah, sebelum band bubar tahun lalu, aku sempat menulis beberapa lagu untuk dimasukan ke dalam single terakhir kami. Walaupun pada akhirnya hanya From the Beginning yang dimasukan ke dalamnya, aku menyerahkan semuanya pada produser kami waktu itu.
Aku segera men-dial nomor Reno untuk.....ya, paling tidak menanyakan kabarnya juga yang lain.
“Tidak biasanya kau menelponku.” Ucapnya tanpa basa-basi.
“Ya. Aku memang sengaja untuk memperkecil kesempatanku untuk menelponmu. Jadi, bagaimana kabarmu?”
“Dibanding kau yang entah bertapa di bagian bumi yang mana, semua orang tahu bahwa aku baik-baik saja. Ryoga sudah menemukan partner-nya. Ipu beberapa kali mengadakan live bersama banyak member band lain. Ko-ki, kau tahu dia kan?”
Menjadi bos hostclub maksudnya?
“Jadi, kapan kau kembali ke Tokyo? Kishi-san sangat antusias untuk proyek musikmu. Sebisa mungkin, dia ingin segera bertemu denganmu.”
“Aku akan memberimu kabar setelah aku putuskan. Berikan aku waktu beberapa saat.”
Ada sedikit jeda yang reno berikan sebelum menjawab kalimatku tadi dengan “Baiklah”. Lalu beberapa menit kemudian kami mengakhiri obrolan kami dengan janji bahwa aku akan benar-benar menghubunginya, tidak seperti beberapa waktu yang telah berlalu.
*****
_Lusa aku akan kembali ke Tokyo._
_Benarkah? Jaga kesehatanmu baik-baik ^^_
_Hanya itu yang akan kau katakan padaku?_
_Ganbareee!!_
_Itu saja?_
_Kau pikir ada yang lain?_
_Tidak ada.....Aku akan kembali. Kau ingat saja kata-kataku ini._
_Un._
Fin.
Facts:
- Shin punya sepupu yang dia kirimi celana damage, lalu sama neneknya ditempel emblem pesawat karena ngira itu celana sobek beneran *emang beneran padahal* (ViViD Ivu-Ivu shite yan yo)
- Shin pernah suka sama kakak Ryoga, yang udah nikah pas mereka ngomongin lagi di tahun 2012. Dan Ryoga bilang “Nee-chan wa sawarasenai.” (ViViD Budoukan Live 2012)
- Reno sering mabok sendiri di apartemennya lalu dia bakalan telpon member yang lain, biasanya Ryoga, tapi saya harap Shin juga dapet juga XDD (The ViViD Style)
- Katanya Shin pernah masuk klub paduan suara karena ada cewek yang dia taksir.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top