Bab 8
"Apa kamu puas sekarang? Melihat ayah terbaring di ICU karena perbuatanmu?" Harland sangat marah pada adiknya. Entah apa yang ada dipikiran Sebastian sampai membuat ayahnya terkena serangan jantung.
"Aku tidak melakukan kesalahan. Aku membeli saham perusahaan dengan cara yang benar, dengan jalurnya. Aku tahu kamu pasti iri sebab sahamku sekarang lebih besar dari pada milikmu."
"Apa kamu bahagia setelah melakukan itu? Kamu memanipulasi pemegang saham agar mereka mau menjual sahamnya. Perusahaan itu dibangun ayah dengan segala komitmennya. Ayah tidak mau kalau jumlah saham para pemegang saham tidak seimbang."
"Oh ... makanya jumlah saham yang ayah beri untukku hanya separuh milik Marcel. Itu yang disebut bijak. Aku juga anak ayah, sama seperti dirimu."
"Ternyata kamu memang tidak tahu diri. Apa kamu kira, kamu sebanding denganku? Harusnya kamu bersyukur, ayah masih mau mengurusmu!"
"Mengurusku itu kewajiban ayah tapi kamu jauh lebih terurus dari pada diriku." Sebastian mengeraskan rahang. Ingatan masa kecilnya yang pahit merambat naik. Ia pernah pergi dari rumah setelah ibunya meninggal. Wijaya memang mencarinya tapi pria itu hanya mempertegas posisinya. Wijaya membiayai pendidikannya tapi tidak membiarkannya jadi bagian keluarga.
"Jaga ucapanmu!" Harland menarik kerah kemeja adiknya. "Kamu harus ingat asal usulmu. Kamu tidak pernah sebanding denganku!"
"Ayah ...." lerai Marcel yang tidak tahan melihat ayah dan pamannya bertengkar. Ia juga tidak enak hati karena Nitara yang baru sampai harus melihat semuanya.
Nitara sendiri malah kasihan pada Sebastian. Ia kira lelaki itu diperlakukan bak keluarga nyatanya Sebastian memang terpinggirkan.
"Hai semuanya ... aku membawa makanan," sapa Nitara dengan ramah.
"Terima kasih Tara. Aku memang belum makan dari pagi. Keadaan ayah membuatku khawatir. Dia mengeluh sakit semenjak semalam tapi baru dibawa ke rumah sakit dini hari tadi. Aku belum tidur karena khawatir," ucap Hesti terdengar sedih.
"Apakah kakek belum sadar?"
"Belum. Dia masih di Icu." Nitara khawatir melihat wajah Hesti yang pucat sekali.
"Apa sebaiknya tante tidak dirawat sekalian. Tante terlihat pucat."
"Aku hanya kurang istirahat."
"Lebih baik aku pesan kamar VVIP untukmu," ucap Harland yang khawatir dengan keadaan istrinya. Ia juga sedang tidak ingin satu ruangan dengan Sebastian. Hanya melihat Sebastian, tekanan darah Harland bisa naik. "Aku yang akan mengantarmu untuk beristirahat."
Harland pergi bersama istrinya. Sekarang hanya tinggal Marcel, Sebastian dan Nitara.
"Apa kalian mau makan?"
"Aku akan makan di kantin saja." Marcel yang menjawab. Ia mau pergi karena ingin mencari tempat untuk mengabari Alena. "Tolong jaga kakekku. Kabari aku kalau terjadi sesuatu padanya."
"Baiklah." Nitara menghela nafas karena sekarang yang berada di depan ruangan ICU hanya tersisa dirinya dan Sebastian.
"Mau kopi? Aku membawa kopi kaleng?" Nitara menawari pria itu karena hanya kopi kaleng yang tersisa di tasnya.
"Duduklah." Tangan Nitara ditarik Sebastian untuk duduk di sebelahnya. "Terima kasih kopinya tapi aku lebih butuh bahumu untuk bersandar sebentar."
Nitara tidak tahu menahu masalah masa lalu Sebastian, Ia bahkan tidak mengenal pria ini walau mereka sudah dua kali tidur bersama.
"Pasti berat kan dituduh sebagai penyebab ayahmu masuk rumah sakit." Sebastian tidak menjawab, ia malah menggenggam tangan Nitara. "Ayahmu sudah tua. Dia bisa kena serangan jantung hanya karena suara petasan jadi jangan merasa bersalah."
"Diamlah Nitara. Aku hanya butuh istirahat sebentar."
Dan Nitara tidak paham apa yang dirasakan Sebastian. Kalau ia pikir Sebastian kuat, tebakannya salah. Sebastian bisa juga merasa sedih. Pria ini juga seperti manusia lain kan yang memiliki jiwa dan perasaan.
Setelah satu hari penuh berada di ruangan ICU, kakek Marcel siuman. Semua anggota merasa lega dan senang kecuali Sebastian. Pria itu hanya diam saja, tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Sebastian memilih menyingkir pergi. Entah kenapa Nitara yang melihatnya menjadi sangat sedih. Apa yang dirasakan Sebastian sekarang ya. Apakah pria itu lega juga karena ayahnya telah melewati fase kritis. Nitara yang mengikutinya karena penasaran. Sebastian memilih menyingkir di atap tertinggi rumah sakit. Pria itu merokok di sana.
"Kenapa mengikutiku? Apa kamu kira aku akan pulang."
"Iya. Kenapa kamu tidak tetap berada di sana untuk melihat ayahmu siuman."
"Dia tidak berharap melihatku. Toh di sana sudah ada keluarganya yang lain. Ayahku akan lebih senang melihat mereka."
"Jangan mendengar apa yang kakakmu ucapkan. Ayahmu pasti juga menyayangimu."
"Mau mengasihaniku Nitara? Aku tidak membutuhkannya. Aku memang membeli saham perusahaan dan menyebabkan ayahku kena serangan jantung. Aku bukan anak berbakti. Semua yang dibilang Harland adalah sebuah kebenaran."
"Kalau kamu sengaja melakukannya. Kamu tidak akan sesedih ini. Kamu peduli dan sayang padanya. Kamu hanya malu menunjukkannya."
"Jangan sok tahu tentang diriku Nitara!" Nitara meneguk ludah karena melihat raut wajah Sebastian yang berubah marah. "Kita memang tidur bersama tapi bukan berarti kamu bisa membedah perasaanku. Aku tidak butuh rasa simpatimu atau penghiburanmu. Aku hanya membutuhkan tubuhmu jadi jangan merasa paling dekat denganku dan tahu perasaanku!"
"Kamu memang bajingan egois yang tidak patut menerima rasa peduli!"
Nitara berbalik pergi karena tak kuat menahan tangis. Ia sakit hati dengan kalimat yang Sebastian lontarkan. Ia juga tahu kalau selama ini hubungan mereka hanya sekedar fisik. Toh Nitara mencintai Marcel dan akan menikah dengannya tapi kalau ia tidak memiliki perasaan apapun pada Sebastian, kenapa hatinya sangat sakit dan tangisnya tidak dapat ia hentikan.
**
"Tidakkah ini keputusan gegabah. Bahkan kamu belum ke luar dari rumah sakit."
Wijaya menyuruh seluruh anggota keluarganya pergi. Ia mau berbicara berdua saja dengan ayah Nitara, Adiyaksa ketika pria itu datang untuk mengunjunginya.
"Aku mau melindungi keluargaku. Aku mau menggunakan uang simpananku itu untuk membuat perusahaan baru atas nama Nitara dan Marcel."
"Apakah perlu kamu bertindak sejauh itu?"
"Sebastian sangat serakah. Harland itu ceroboh menggunakan uang. Harapanku hanya Marcel, Marcel cerdas tapi anak itu bermental lemah. Aku butuh bantuanmu, Marcel butuh bimbinganmu kalau tidak perusahaanku bisa berganti nama."
Wijaya takut nama baiknya akan dihabisi Sebastian. Sebastian berniat mengubah salah satu anak cabang menjadi nama ibunya, nama perempuan murahan yang bahkan tak pantas Wijaya tulis.
"Masih ada Alan kan yang bisa diandalkan?"
"Dia lebih suka mengurusi perusahaannya sendiri. Alan tidak suka diatur."
"Harusnya dulu kamu tidak membesarkan Sebastian kalau jadinya seperti ini. Kamu buang saja anak itu setelah ibunya meninggal."
"Mauku juga begitu tapi almarhum istriku tidak tega melihatnya terlunta-lunta." Wijaya terbatuk-batuk. Usianya kini sudah memasuki angka delapan puluh. Wijaya masih lancar berbicara, ingatannya masih tajam hanya kaki dan tangannya sering mengalami tremor.
"Sebastian tidak mudah untuk disingkirkan. Kemarin aku mencoba menembaknya tapi pelurunya hanya menyerempetnya."
"Memangnya apa salahnya sampai kamu berbuat sejauh itu?"
"Kami berebut sebuah wilayah strategis yang padat penduduk."
"Anak itu benar-benar keterlaluan. Senang sekali mengganggu bisnis-bisnis kita." Wijaya memegangi dadanya yang mulai sesak. Badannya jadi sakit kalau ingat dengan Sebastian.
"Tapi harus ku akui kalau Sebastian sangat mirip denganmu waktu muda. Gila saja kalau ada yang bilang dia anak Harland."
"Aku yang sengaja menciptakan rumor itu," ucapan Wijaya tidak membuat Adiyaksa kaget. Wijaya langsung bermuka masam. Adiyaksa sadar betul bahwa Wijaya masih tidak mau mengakui Sebastian sebagai darah dagingnya.
"Sebastian sangat berbahaya makanya aku memintamu untuk membimbing Marcel. Lagi pula Marcel akan jadi suami Nitara. Tidak mungkin kan Nitara malah menikahi Sebastian."
Adiyaksa langsung bergidik. Ia melotot tidak terima kalau saja Wijaya masih sehat maka pria ini akan ia tantang berkelahi.
"Itu tidak akan terjadi selama aku masih hidup. Kalau Sebastian mau putriku maka ia harus membunuhku terlebih dulu."
Wijaya merinding mendengar perkataan itu tapi ketakutannya ia tutupi dengan senyuman tipis. Akan jadi aneh kalau mengait-ngaitkan Nitara dengan Sebastian. Keduanya jarang bertemu dan bicara tapi kalau mereka ternyata berjodoh. Apa akan ada pertumpahan darah.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top