Tujuh
Renovasi kantor kami akhirnya selesai. Hasilnya sangat memuaskan. Terutama bagian showroom yang sangat memanjakan mata. Jiwa desain Salwa tersalurkan untuk mendadaninya. Perpaduan warna, letak ornamen, dan barang-barang yang kami pamerkan benar-benar pas.
Ada sudut khusus yang kami sediakan untuk konsultasi dengan pelanggan, terutama kalau mereka memesan furnitur yang didesain khusus. Sekarang ini banyak pelanggan yang seperti itu. Mereka tidak mau memiliki benda yang sama dengan orang lain. Tidak masalah, selama dompet mereka terisi kartu-kartu yang menandakan bahwa mereka memang mampu membiayai keinginan itu, kami akan memfasilitasi hasrat memiliki furnitur impian itu.
Sekarang kami juga punya ruang kerja sendiri-sendiri. Lebih kecil daripada ruangan yang dulu kami pakai bertiga, tetapi intinya kami tidak bergabung lagi saat bekerja. Pertimbangan awal untuk memisahkan ruang kerja tentu saja bukan karena privasi. Kami tidak pernah merasa perlu punya privasi, saking sudah terbiasa dengan kehadiran masing-masing.
Ruang kerja yang terpisah akan memudahkan kami fokus dalam bekerja. Tidak ada lagi rumpian dadakan yang akan mendistraksi dan kemudian akan membuang banyak waktu. Pelanggan-pelanggan premium yang menginginkan privasi saat berkonsultasi karena tidak nyaman melakukannya di showroom, bisa kami arahkan ke ruang kerja kami. Pemisahan ruang kerja benar-benar bertujuan untuk meningkatkan kinerja, yang akhirnya akan berpengaruh positif pada pundi-pundi keuangan kami.
Pintuku yang mendadak terbuka membuat aku mengalihkan perhatian dari laptop. Widi berdiri kebingungan di sana.
"Ada apa?" tanyaku setelah Widi hanya melongo beberapa detik.
"Inspeksi mendadak tuh, Mbar. Kamu sudah ngirim laporan ke kantor Bu Joyo, kan?"
"Sudah kok." Beberapa hari lalu aku mengirim berkas fisik untuk menyusul surel yang sudah kukirim lebih dulu. Tentu saja aku tidak main-main soal laporan kepada investor. Kami ingin kerja sama yang langgeng dengan pemilik modal. Dan investasi jangka panjang hanya akan terjadi kalau uang mereka kami jaga serta kembangkan dengan baik. "Bu Joyo sendiri yang datang inspeksi?" Aku bangkit dari kursi.
"Bukan. Abimana yang datang. Dia lagi lihat-lihat showroom tuh."
"Kok ditinggal sih?" Kami memang sudah punya beberapa pegawai untuk menangani pelanggan di showroom, tetapi orang-orang Bu joyo tentu saja tidak datang untuk bertemu pegawai kami. "Harusnya kamu temenin dia. Suruh anak-anak aja yang panggil aku."
Widi terkikik. "Aku malas berhadapan dengan investor, Mbar. Aku kan nggak nguasain data. Kerjaan aku kebanyakan desain aja. Ntar malah kita kelihatan nggak kompeten kalau dia nanyain data, dan aku bengong aja."
Aku bergegas menuju tempat Abimana sedang mengamati barang-barang yang dipamerkan. Widi mengikutiku.
"Selamat siang, Pak," sapaku dengan level keramahan yang kusetel maksimal. Bagaimanapun, Abimana adalah perwakilan tumpukan uang Bu Joyo.
"Selamat siang." Abimana menoleh padaku. "Showroom ini jauh lebih bagus daripada yang saya bayangkan setelah kalian menyebutkan soal renovasi," pujinya. "Akan lebih bagus lagi kalau kalian menempelkan logo dan nama brand di beberapa tempat, jadi kalau ada pelanggan yang mengambil foto, logo kalian akan terlihat juga. Jangan hanya memasang loga dan nama brand di depan saja."
"Kami sudah memesan logo-logo itu kok, Pak." Tentu saja Salwa sudah memikirkan hal itu. Dia lumayan detail soal interior kantor. "Semoga bisa selesai dan dipasang dalam minggu ini." Aku melebarkan tangan, mengarahkan Abimana ke ruang kerjaku. "Kalau Bapak sudah selesai melihat-lihat, kita bisa bicara di dalam." Semua data yang mungkin ingin Abimana lihat, setelah terlihat puas mengamati fisik kantor ada di sana.
Abimana mengikuti isyaratku. Bersama Widi, kami menuju ruang kerjaku. Berbeda dengan ruangan Salwa dan Widi, kantorku memiliki satu set sofa karena kami sepakat untuk menerima tamu penting di sini. Sebagai penanggung jawab semua data kantor, akulah yang akan berhadapan dengan tamu sepenting investor.
"Ada yang kurang jelas dalam dokumen laporan yang kami kirim, Pak?" tanyaku was-was setelah mempersilakan Abimana duduk di sofa. Biasanya inspeksi diadakan untuk mengonfirmasi data yang diterima.
"Oh... kedatangan saya nggak ada hubungannya dengan laporan kalian kok," Abimana merespons cepat. "Kunjungan saya sifatnya pribadi. Saya mencari beberapa barang untuk mengisi rumah. Kebetulan saya tertarik dengan furnitur yang ada di katalog kalian. Barusan saya lihat-lihat di barang yang di showroom. Stool-nya cocok dengan konsep meja bar saya. Saya juga suka partisinya, hanya mungkin saya harus memesan yang baru untuk menyesuaikan dengan ruangan di rumah."
"Kami pasti bisa mengerjakannya," sambutku yakin.
"Saya juga mau memesan sofa untuk ruang tamu, ruang tengah, dan ruang kerja di rumah."
"Siap, Pak." Mengisi rumah Abimana dengan produk kami adalah bukti kepercayaan investor. Memang bukan uangnya yang membantu mengggerakkan usaha kami, tetapi dia adalah tim Bu Joyo, jadi dia termasuk bagian dari investor.
"Rumah baru ya, Pak?" celutuk Widi.
Abimana mengangguk. "Iya, masih kosong."
"Kok nggak sekalian dikerjain desainer atau dekorator interior? Bapak hanya perlu ngasih konsep, biar dia yang eksekusi aja, biar nggak repot."
Kalau Widi sedang melihatku, aku pasti akan memelototinya. Ucapannya barusan sama saja dengan membujuk Abimana untuk mempertimbangkan menggunakan produk kami. Belum tentu desainer interior yang bekerja sama dengan Abimana mau memakai produk kami sebanyak yang baru saja disebutkan laki-laki itu.
"Sebenarnya ada sih desainer interior yang sudah kerja sama dengan arsitek dan kontraktor bangunannya. Tapi dia mengundurkan diri karena sedang sakit. Karena tinggal memilih furnitur untuk rumah saja, saya pikir bisa melakukannya sendiri, nggak perlu desainer interior atau dekorator baru lagi." Abimana menoleh padaku. "Karena partisi dan sofa-sofanya custom made, kalian bisa datang ke rumah saya untuk mengukur, jadi hasilnya akan cocok dengan ruangan yang ada, sehingga kesannya nggak dipaksakan masuk karena kekecilan atau malah kebesaran, kan?"
"Tentu saja bisa, Pak," jawabku bersemangat. Aku selalu antusias saat berhadapan dengan pelanggan yang bersiap menghamburkan banyak uang. Kelihatannya Bu Joyo royal dalam menggaji karyawan, karena dari cara Abimana bicara, aku bisa menangkap kalau rumah yang sedang dia bicarakan ini cukup besar. Apalagi harga produk kami tidak murah. Kualitas dan harga itu kembar siam. Tak terpisahkan.
"Oke, nanti bisa hubungi saya untuk bikin janji ke rumah saya ya. Detail konsepnya akan kita bicarakan di sana, sekalian menyesuaikan dengan model ruangan."
"Rumahnya untuk persiapan nikah ya, Pak?" Widi kembali menyela.
"Widi!" aku mengingatkan. Abimana tidak terlihat seperti orang yang suka membahas masalah pribadi dengan orang asing. Senyumnya saja jarang. Aku baru mendapatkan senyum tulus setelah berhasil membuat mesin mobilnya menyala lagi.
"Kan cuman nanya doang, Mbar," Widi membela diri. "Pak Abimana kan belum memakai cincin. Lagian, kalau untuk persiapan nikah, biasanya calon istri pasti lebih suka dilibatkan untuk mendesain rumah dan memilih perabot."
Aku mendelik. Widi memang harus dijauhkan dari pelanggan, terutama yang potensial menghamburkan banyak uang. Salwa lebih cocok untuk tugas itu. Sayangnya dia sedang ada urusan di luar kantor.
"Saya pamit ya," Abimana tidak menanggapi Widi. "Hubungi saya untuk mencocokkan jadwal kunjungan ke rumah. Kalau bisa sore, karena saya biasanya sibuk pagi-pagi."
Aku langsung mengomeli Widi setelah Abimana pergi. "Jangan membahas masalah pribadi dengan pelanggan, kecuali kalau mereka yang mulai!"
"Nanya kan nggak salah, Mbar. Lagian, dia juga nggak jawab kok. Kalau beneran untuk persiapan nikah, aku beneran kasihan sama calon istrinya. Masa nggak dimintain pendapat soal isi rumah? Kan rumahnya bakal ditempatin sama-sama, jadi harus sesuai selera berdua dong. Jadi laki-laki kok otoriter gitu sih? Kalau aku yang jadi calon istrinya, aku pasti udah minta putus."
Aku berdecak. "Kalau beneran untuk nikah, istrinya harusnya senang dapat calon suami yang mapan, jadi nggak harus berjuang bersama dari nol, Widi. Asal ada uang, perabot mah gampang. Tinggal ganti aja lagi. Kalau Abimana beneran cinta sama istrinya, dia pasti nggak masalah semua perabotnya diganti setelah mereka menikah."
Widi tercenung, lalu mengangguk-angguk. "Iya juga ya. Mungkin rumahnya malah untuk kejutan gitu." Dia tersenyum. "Oooh... so sweet. Romantis banget. Calon istrinya beruntung tuh dapat Abimana."
Aku menggeleng-geleng. Khas Widi yang plinplan. Dia bisa berubah pikiran dalam hitungan detik.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top