Tiga Puluh Tujuh
Aku menemukan Pandu sedang duduk di tangga saat masuk di ruang tengah. Ini pertemuan kami yang pertama setelah percakapan di restoran Jepang tempo hari. Keberhasilan menghindari Pandu tentu saja bukan semata-mata karena usahaku, tetapi juga andilnya memberiku ruang dan waktu untuk aku merenung sendiri. Sepertinya dia berniat untuk mengakhiri perang dingin yang aku kobarkan, karena dia tidak akan duduk di situ kalau tidak bermaksud menungguku.
"Kita bisa bicara kan, Mbar?" Tatapan Pandu tampak serius. Tidak ada gestur menggoda yang berbau candaan seperti kebiasaannya.
Aku menghela napas panjang. Kami sudah sama-sama dewasa. Tidak mungkin membiarkan masalah di antara kami terus berlarut-larut. Memutuskan hubungan secara permanen dengan Pandu setelah menolak pernyataan cintanya rasanya terlalu berlebihan. Hubungan kami tidak hanya melibatkan kami berdua, tetapi juga orang tua kami. Mama sudah menganggap Pandu sebagai anak sendiri, dan aku tidak ingin menjadi penyebab renggangnya hubungan mereka. Mama dan ibu Pandu juga sangat dekat. Cara paling bijak adalah menyelesaikan masalah kami berdua saja sebelum diketahui orang tua. Aku yakin Pandu juga sudah berpikir dan sadar bahwa perasaan tidak mungkin bisa dipaksakan.
Aku ikut duduk di tangga, di sebelah Pandu. "Mama ada di kamarnya?" Aku tidak ingin percakapan kami punya pendengar lain. Kalau sampai itu terjadi, bukannya selesai, masalah akan semakin melebar.
"Tadi Ibu dijemput sama tetangga. Katanya mau sama-sama menjenguk Pak RT yang lagi sakit. Aku nggak mungkin ngajak kamu bicara di sini kalau ada Ibu."
Kedengarannya memang khas Pandu yang bertanggung jawab. Aku memainkan tali panjang tas yang kuletakkan di tangga bagian bawah, tempat kakiku bertumpu.
"Ini tentang percakapan kita tempo hari, kan?" tanyaku berbasa-basi. Meskipun mencoba bersikap biasa, suasananya tetap saja canggung.
"Seharusnya waktu itu aku nggak usah mengatakan apa-apa karena sebenarnya sudah bisa menduga reaksimu akan seperti apa," jawaban Pandu langsung ke inti masalah. "Tapi karena sudah telanjur, jadi kita harus membicarakannya lagi karena kita nggak bisa terus seperti ini. Lama-lama Ibu akan curiga kalau kita terus-terusan saling menghindar." Pandu menghela napas panjang. "Aku juga nggak bisa keluar begitu saja dari hidup kamu dan Ibu karena sudah berjanji pada Bapak untuk selalu berada di sisi kalian. Kalaupun kamu sudah nggak butuh aku, Ibu mungkin masih perlu bantuanku. Aku bukan orang pintar mencari pembenaran untuk mengingkari janji, Mbar. Jadi aku nggak punya pilihan selain harus menyelesaikan masalah ini dengan kamu."
"Iya, seharusnya kamu memang tidak mengakui perasaanmu!" Aku tahu ini bukan saatnya lagi untuk menyalahkan Pandu karena kami sedang berusaha mengatasi masalah komunikasi kami. Kalimat itu terlepas di luar kendaliku. Kurasa aku memang tidak sedewasa Pandu.
"Iya, aku memang egois." Pandu menerima omelanku mentah-mentah. "Aku bukan malaikat yang selalu benar, Mbar. Aku nggak bermaksud membela diri karena tahu keputusanku untuk mengakui perasaanku padamu itu keliru. Kurasa itu karena aku takut kehilangan kamu saat menyadari jika hubunganmu dengan Abimana ternyata jauh lebih serius daripada yang aku sangka." Pandu tersenyum saat pandangan kami bertemu. Bukan senyum lepas seperti biasa, tetapi setidaknya dia berusaha mencairkan suasana. "Tapi setelah kupikir-pikir lagi dengan kepala yang lebih dingin, aku tidak akan pernah kehilangan kamu. Sampai kapan pun, kamu tetap akan menjadi sahabatku. Adikku. Perasaan cinta antara perempuan dan laki-laki bisa, atau malah gampang banget hilang dalam perjalanan waktu, tapi ikatan persaudaraan itu kekal."
Entah mengapa mataku terasa menghangat mendengar kata-kata Pandu. Aku juga sudah terbiasa dengannya, sehingga meskipun jengkel setengah mati karena pernyataan cintanya yang semberono, aku tidak bisa membayangkan dia mendadak menghilang dari hidupku. Aku membutuhkannya untuk menyelesaikan berbagai masalah yang tidak bisa kubereskan sendiri, seperti Mama yang juga tergantung padanya.
"Aku yakin perasaan takut kehilangan itu yang membuatmu salah mengartikan perasaanmu padaku. Kalau kamu benar-benar mencintaiku, kamu nggak akan menunggu begitu lama untuk mengakuinya."
Pandu membuka mulut seperti hendak membantah, tetapi kemudian hanya mengangguk-angguk. "Iya, sepertinya memang begitu."
"Bukan sepertinya, tapi memang begitu!" tegasku. "Setiap kali kita membahas soal asmara dengan Salwa, kamu selalu bilang kalau laki-laki akan memanfaatkan kesempatan sekecil apa pun untuk mendapatkan perempuan yang dicintainya. Jadi penundaan untuk mengakuinya adalah bukti tentang keraguanmu. Kamu tidak benar-benar mencintaiku."
Pandu kembali mengangguk-angguk. "Maaf sudah membuatmu jengkel dan kepikiran ya?"
Aku ikut mengangguk, tidak ingin memperpanjang pembahasan saat mendengar suara Mama yang mengucap salam. Sepertinya dia sudah pulang dari menjenguk Pak RT.
"Janji kita tidak akan membicarakan hal ini lagi?" aku mengulurkan tangan mengajak Pandu bersalaman untuk mengesahkan janji itu. "Tidak ada pengakuan cinta aneh-aneh lagi yang akan membuatku bingung dan sebal, kan?
Pandu menatap tanganku sejenak sebelum menjabatnya. "Janji."
"Kok salam-salaman gitu?" Mama sudah berdiri di tengah ruangan sebelum genggaman tanganku dan Pandu terlepas. "Ada apa?" Alis Mama bertemu di tengah.
Aku buru-buru menarik tanganku.
Pandu bangkit dari duduknya dan menghampiri Mama. "Tanda persetujuan Ambar untuk pembukaan cabang bengkel yang baru, Bu. Aku baru sempat membicarakannya dengan Ambar."
Kami belum pernah bicara soal cabang bengkel, tetapi aku tidak bisa menanyakan soal itu di depan Mama. Kebohongan Pandu tentang percakapan kami yang sebenarnya bisa terbongkar.
"Aneh sih kalau Ambar nggak setuju," sambut Mama. "Tanah untuk bengkel baru itu murah banget. Sayang sih kalau nggak dibeli. Orangnya kayaknya beneran kepepet butuh uang. Apalagi kamu juga sudah dapat investor."
Sepertinya Mama dan Pandu sudah membicarakan hal itu sebelumnya. Aku terpaksa ikut mengangguk setuju supaya terlihat seperti orang yang sudah paham isi percakapan mereka.
Pandu menoleh padaku. Dia menggerakkan telunjuk, memberi isyarat supaya aku tetap diam. "Nanti kita bicarakan detailnya ya, Mbar. Aku pulang dulu."
"Nggak makan dulu?" tawar Mama. Dia tampaknya tidak rela melepas Pandu begitu saja.
"Tadi sore sempat ngemil berat, Bu. Belum lapar. Nanti aku makan di rumah saja. Setelah mandi, pasti lapar lagi."
"Mandi terlalu malam jangan dijadikan kebiasaan," omel Mama.
Pandu hanya tertawa. Omelan Mama pasti sudah terdengar seperti lagu wajib untuknya.
Aku mengawasi punggung Pandu sampai akhirnya menghilang di balik tembok. Seharusnya aku merasa lega karena sudah menyelesaikan masalah dengan Pandu. Tapi kenapa masih ada yang terasa mengganjal ya?
**
Aku mengawasi Salwa yang tampak cantik dalam balutan kebaya akad nikahnya. Siang ini dia membajakku untuk menemaninya fitting. Delon sedang ke Selangor untuk mengikuti konferensi, sedangkan ibunya tidak enak badan. Widy sedang on fire menggambar sehingga kami membiarkannya duduk nyaman di kantor. Lagi pula, Widy tidak tertarik dengan fesyen. Dia sebisa mungkin menghindari acara yang mengharuskannya memakai gaun atau kebaya. Kejadian langka melihat Widy lepas dari kaus dan celana jin bisa dihitung dengan jari. Pakaian yang paling ekstrem (untuk ukurannya) adalah kebaya ketika wisuda dan acara pertunangan Salwa.
"Kamu pasti cantik banget setelah dandan." Kebaya dengan sejuta payet ini benar-benar akan menguarkan sisi feminin Salwa yang jarang terlihat di kesehariannya. Aku bisa membayangkan bagaimana anggun dan menakjubkannya Salwa dengan makeup natural di hari H akad nikahnya. Lehernya yang jenjang akan terekspos maksimal saat rambutnya disanggul.
"Pasti dong!" Salwa mengangkat kepala pongah, tidak berusaha merendah. "Aku akan menghujat makeup artist-ku sampai 7 turunan kalau aku sampai kelihatan lebih cantik dandan sendiri saat ke kawinan orang daripada didandanin dia di hari bersejarahku. Awas saja kalau hasilnya jelek padahal aku sudah bayar mahal!"
Aku mencibir mendengar omelannya. Kedengarannya memang seperti bercanda, tetapi karena Salwa adalah tipe blak-blakan, jadi tidak mustahil dia benar-benar akan menghujat si MUA kalau hasil dandanannya tidak sesuai ekspektasinya.
Aku menyelipkan sejumput rambut Salwa yang lepas di balik telinganya. "Aku memang sudah menduga jika di antara kita bertiga, kamulah yang akan menikah lebih dulu."
Salwa mengarahkan bola mata ke atas sebelum menatapku skeptis. "Tentu saja. Karena hanya aku yang benar-benar punya hubungan serius dengan laki-laki. Kamu kesulitan move on dari si Pandu sebelum akhirnya ketemu Abimana. Sedangkan Widy...," Salwa berdecak sambil menggeleng-geleng. "Aku malas ngomongin dia. Seleranya aneh. Semua laki-laki normal yang PDKT sama dia ditolak mentah-mentah. Sekalinya tertarik sama laki-laki, pilihannya jatuh pada anak punk yang terobsesi pada body piercing dan tato dengan rambut merah-kuning-ijo kayak pelangi. Kayaknya dia harus dirukiah dan dimandiin air kembang 11 warna biar otaknya yang geser bisa kembali ke tempat semula."
Aku meringis membayangkan cowok punk yang menurut Widy imut banget itu. Imut dari mana? Yang ada juga mengintimidasi. Tapi selera setiap orang memang berbeda. Aku tidak mau menghakimi Widy hanya karena selera kami dalam menilai laki-laki berbeda. Aku tidak sefrontal Salwa yang langsung protes ketika Widy memperkenalkan gebetannya. Untung saja protes itu dilayangkan setelah cowok punk yang ditaksir Widy sudah pergi.
"Urusan kue pengantin dan menu pesta sudah beres?" Lebih baik membahas persiapan acara besar Salwa daripada membicarakan kisah cinta Widy yang kering kerontang seperti gurun.
"Beres dong. Pilihan yang disodorkan WO bagus semua, jadi tinggal menyesuaikan jenis menunya saja supaya nggak tabrakan di leher. Itu tanggung jawab ibuku dan ibu Delon sih. Mereka lebih kompeten ngurusin menu."
"Syukurlah." Kelihatannya Salwa berbeda dengan para sepupuku yang tampak stres saat menyiapkan pernikahan. Salwa kelihatan lebih santai. "Aku beneran ikut senang kamu dan Delon akhirnya sampai di titik ini," kataku tulus. "Nanti, kita mungkin nggak akan terlalu sering lagi nongkrong di luar jam kerja, tapi itu memang konsekuensi kalau sahabat kita sudah menikah."
"Kamu juga buruan nikah gih!"
Aku membelalak mendengar tembakan Salwa yang asal saja itu. "Masa baru pacaran beberapa bulan sudah mau nikah saja sih?" Dasar sinting.
"Waktu pacaran nggak ada hubungannya dengan keputusan untuk nikah, Mbar. Kalau kamu sudah merasa siap, bisa langsung daftar di KUA. Pacaran lama pun kalau nggak pernah merasa siap, ya nggak akan menikah juga."
"Aku dan Abi belum pernah bicara tentang hubungan yang lebih daripada sekadar pacaran." Terlepas dari penyataan Salwa tentang korelasi antara waktu pacaran dan kesiapan menikah, aku pribadi merasa terlalu dini untuk membicarakan pernikahan dengan Abi. Aku baru sekali bertemu dengan keluarganya. Perkenalan yang boleh dibilang sambil lalu. Belum ada kedekatan apalagi ikatan emosional. Bicara tentang pernikahan dengan kondisi seperti itu rasanya sangat tidak ideal. Menurutku, untuk naik level dari pacaran itu bisa dilakukan setelah proses adaptasi untuk menghilangkan kecanggungan saat berhubungan dengan keluarga pasangan sudah berhasil dilakukan. Dalam kasusku, kondisi ideal itu masih sangat jauh.
"Ya, kalau begitu, dibicarakan dong," sambut Salwa enteng.
"Aku mengajak Abi bicara tentang pernikahan?" Kalau tadi aku hanya membelalak, sekarang mulutku ikut membentuk huruf O yang besar. Salwa ada-ada saja.
"Kenapa, kamu gengsi? Hubungan asmara itu sifatnya setara dan timbal balik, kan? Seharusnya tidak masalah siapa yang lebih dulu bicara tentang pernikahan. Nggak harus menunggu laki-laki yang memulai. Hari gini kok masih menganut sistem patriarki sih? Kasihan Kartini yang sudah capek-capek menulis surat dan curhat tentang ketidakadilan yang dia terima karena terlahir sebagai perempuan. Hargai perjuangannya untuk emansipasi perempuan se-Indonesia Raya dong."
Tidak ada hubungannya dengan kesetaraan gender. Aku hanya tidak bisa membayangkan diriku menodong Abi untuk membahas pernikahan di umur hubungan yang masih prematur ini. "Bukan gengsi, tapi kesannya agresif. Kayak yang sudah kebelet nikah. Aku sih masih santai saja."
"Abi tuh tangkapan bagus, Mbar. Cakep, mapan, dan kelihatan banget bukan tipe playboy. Buruan dikandangin sebelum kamu ketemu saingan yang berpeluang bikin dia berpindah hati."
Aku mencibir mendengar kata-kata Salwa yang tidak konsisten. "Kalau dia beneran bukan tipe playboy seperti kata kamu, dia nggak akan gampang ke lain hati, kan?"
"Kalau ketemu perempuan agresif yang konsisten nguber, laki-laki yang nggak playboy sekalipun bisa tergoda. Lihat realita deh. Yang punya riwayat selingkuh bukan hanya tipe playboy saja, tetapi juga orang yang pembawaannya tenang banget. Penampilan luar itu tidak bisa jadi patokan untuk menilai isi hati dan karakter seseorang."
"Kamu sebenarnya memuji Abi atau malah menakut-nakuti aku dengan kemungkinan dia tergoda perempuan lain kalau tidak buru-buru diajak nikah sih?" Kata-kata Salwa benar-benar kontradiktif.
Mata Salwa menyipit saat tertawa. "Aku kedengaran plinplan banget ya? Tapi sebenarnya pernikahan pun bukan jaminan bagi laki-laki untuk tidak berpindah ke lain hati sih, Mbar. Bisa jadi orang yang bucin banget saat masih pacaran malah tergoda perempuan lain setelah menikah."
"Sekarang kamu mau bilang kalau Delon pun punya kemungkinan tergoda perempuan lain setelah kalian menikah?" Aku menjadi saksi bagaimana bucinnya Delon pada Salwa. Delon adalah tipe, "Ya, Sayang.", "Tentu saja boleh, Cinta." Yang belum mengenal kosa kata 'tidak' untuk menjawab semua permintaan Salwa. Kadang-kadang aku merasa hubungan mereka lebih mirip majikan dan budaknya. Salwa jelas lebih superior dibandingkan Delon yang supersabar.
"Meskipun amit-amit kalau itu sampai kejadian, tapi kita nggak pernah tahu apa yang akan terjadi dengan kehidupan kita di masa depan kan, Mbar? Tapi kalau kepikiran dan takut sesuatu yang belum pasti, itu bodoh sih. Lebih baik jalanin saja apa yang sudah kita rencanakan. Seperti aku yang sekarang udah mantap menikah dengan Delon, kamu juga seharusnya mulai berpikir soal itu."
Aku hanya mengangkat bahu, malas mendebat Salwa lagi. Hubungan asmara tidak untuk diperbandingkan. Setiap kisah punya jalan takdirnya sendiri-sendiri. Toh aku tidak akan bisa memenangkan perdebatan dengan Salwa yang mengklaim dirinya adalah eksper dalam urusan cinta dibandingkan aku dan Widy.
Aku akan memikirkan pernikahan dalam waktu dekat kalau Abi memang mengajakku bicara tentang hal itu, bukan karena aku yang mulai. Tapi menilik karakter Abi yang melakukan semua hal secara terencana, aku yakin pernikahan belum ada dalam rencana jangka pendeknya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top