Tiga Puluh Lima
Apakah aku senang saat mengetahui jika Bu Joyo, investor yang sering kami sanjung setinggi langit ternyata benar-benar adalah ibu Abi? Entahlah. Terlalu banyak hal yang berbenturan di dalam benakku pada saat yang bersamaan sehingga sulit memprosesnya.
Mengapa Abi harus menyembunyikan hal itu? Dia memang tidak pernah tegas mengatakan kalau Bu Joyo bukan ibunya ketika aku menanyakan hal itu, tapi dia jelas membiarkan aku berasumsi kalau anggapanku salah.
"Halo, Ambar...," sapa Bu Joyo. Seperti biasa, senyumnya tampak ramah dan hangat. Ekspresi kagetku pasti sangat jelas sehingga dia menepuk-nepuk punggung tanganku yang masih berada dalam genggamannya setelah kami bersalaman. "Abi pasti belum bilang kalau saya ibunya ya? Anak-anak saya sepertinya punya kecenderungan untuk durhaka, karena nggak mau dikenali sebagai anak saya. Saya baru diakui sebagai ibu saat hubungan mereka dengan pacarnya sudah serius."
Aku tidak tahu cara menanggapi candaan seperti itu. Senyumku pasti kecut. Semoga saja aku tidak terlihat bodoh.
"Jangan marah," bisik Abi. "Nanti aku jelaskan."
Bagaimanapun jengkelnya aku pada Abi, aku tidak mungkin mengomel di rumahnya, apalagi di depan ibunya dan Rizky. Tapi dia memang berutang penjelasan padaku.
Aku dan Bu Joyo belum sempat berbasa-basi ketika seseorang memanggilnya.
"Nanti kita ngobrol kalau acara arisannya sudah selesai ya, Ambar." Bu Joyo lantas menoleh pada Rizky. "Ky, minta staf kamu nyiapin meja di atas juga ya, Nak. Sebagian makanan di sini dibawa ke atas. Tante-tante Abi udah pada males turun tuh. Lutut yang uzur memang nggak bersahabat dengan tangga yang lumayan tinggi. Sudah nggak sanggup dibawa naik-turun."
Setelah Bu Joyo kembali ke dalam rumah, Abi menarik tanganku, mengajakku ke salah satu meja kosong. Dia pasti ingin menjelaskan mengapa tidak lantas mengakui secara gamblang jika Bu Joyo adalah ibunya ketika kutanyakan.
Tapi kami belum sempat bicara saat seseorang tiba-tiba ikut duduk di salah satu kursi kosong yang ada di meja kami. Kali ini aku tidak perlu berpikir lagi karena langsung mengenalinya sebagai kakak Abi. Dia laki-laki yang ada di meja makan Bu Joyo waktu itu.
"Halo, aku Virzha." Dia mengulurkan tangan padaku. Seperti Adel dan Bu Joyo, senyumnya ramah. Sorot matanya hangat dan bersahabat. Aku segera mengenali perbedaan karakter yang dimaksud Abi saat menceritakan kakaknya. Penampilan fisik mereka juga berbeda. Tidak seperti Abi dan Adel yang berkulit putih, tone kulit Virzha lebih gelap. "Aku memperkenalkan diri sendiri karena Abi pasti nggak pernah bercerita tentang aku. Dia takut bersaing, karena tahu diri nggak akan pernah bisa mengalahkan kakaknya kalau urusan menarik perhatian perempuan. Iya kan, Bi?" tawa Virzha yang menggoda Abi terdengar empuk.
Virzha itu adalah gambaran dari seorang laki-laki percaya diri yang tahu persis jika dirinya menarik. Dia menguarkan aura hangat dan terbuka sehingga orang yang baru mengenalnya pun tidak merasa sungkan ketika berinteraksi. Setidaknya, begitulah kesan yang kutangkap saat ini.
"Sebenarnya kita sudah pernah ketemu," kata Virzha lagi setelah aku menyambut uluran tangannya. "Beberapa bulan lalu di restoran, saat kita kebetulan makan di tempat yang sama." Tawanya kembali terdengar. "Adel sudah pengin nyamperin, tapi pesan Abi yang minta nggak diganggu keburu masuk. Abi itu terlalu penuh perhitungan. Dia nggak suka kejutan, dan nggak suka ngasih kejutan kalau belum yakin sama reaksi orang yang pengin dia kejutin. Jadi walaupun kesannya konyol, kami terpaksa pura-pura cuek aja waktu lewat di dekat meja kalian. Karena aku orangnya ramah banget, permintaan absurd Abi itu adalah salah satu cobaan terberat dalam hidupku."
Mau tidak mau aku tersenyum mendengar kata-kata konyol Virzha. Dia tampak total mengerjai adiknya.
Abi menggenggam tanganku. "Aku mau kamu kenalan dengan keluargaku saat aku mengajakmu ke rumah, jadi kesannya lebih resmi. Bukan kenalan karena kebetulan berada di tempat yang sama seperti tempo hari."
Jawaban Abi menyapu habis semua rasa penasaran juga kedongkolan yang sempat kurasakan saat mengenali Adel dan Virzha. Itu jawaban masuk akal dan memang sesuai dengan karakter Abi yang penuh perhitungan dan cenderung formal. Kenyataan bahwa dia adalah anak Bu Joyo memang masih sedikit mengganggu. Mengapa dia harus menyembunyikan hal itu? Apakah dia ingin membuktikan jika aku bukan tipe perempuan materialis sebelum mengajakku pacaran? Untuk memastikan jika aku tidak akan membuat lubang yang sangat dalam di rekeningnya? Kalau itu alasannya, jujur, egoku lumayan tersentil.
Aku perempuan mandiri yang bangga dengan pencapaian dan uang yang kuhasilkan dari kerja kerasku sendiri. Ada kepuasan yang berbeda mendapatkan uang dari usaha yang aku rintis dari nol dengan menerima tranferan bagi hasil bengkel. Karena itu aku memisahkan rekening penghasilan dari bengkel dan uang gaji dari usaha furnitur. Bukan untuk membuat perbandingan, tetapi untuk mengetahui progres pencapaianku. Tidak bisa kupungkiri jika bengkel adalah passive income yang sangat menjanjikan karena Pandu bukan hanya mekanik unggul, tetapi juga punya jiwa pengusaha sehingga inovasi yang dilakukannya telah membuat bengkel kami jauh lebih maju daripada ketika masih dipegang Ayah yang waktu itu hanya fokus pada bengkel dan penjualan sparepart kendaraan saja. Pandu sudah melebarkan usaha dengan membuka salon mobil dan auto detailing. Tanah kosong yang dulunya digunakan sebagai tempat memarkir mobil pelanggan yang belum dikerjakan sudah dia sulap menjadi bangunan baru.
"Abi bilang kalau hampir semua furnitur yang ada di rumah ini dipesan dari tempatmu." Virzha tampaknya sudah puas menggoda Abi sehingga mengalihkan percakapan ke topik lain. "Aku suka banget sama coffee table-nya. Itu bisa pesan warna, kan? Warna itu nggak cocok dengan konsep interior rumahku."
"Tentu saja bisa." Aku suka topik yang ini. Bicara tentang pekerjaan yang kita sukai memang lebih nyaman untuk dilakukan saat bertemu dengan orang yang baru dikenal. Aku mengeluarkan kartu nama dari dompet. "Silakan datang ke toko kami. Ada beberapa coffee table lain yang mungkin cocok dengan konsep rumah Mas Virzha."
Widy memang jago mendesain coffee table. Ide-idenya yang unik selalu berhasil membuat pelanggan yang datang ke showroom kami menyempatkan diri mengagumi coffee table apa pun yang sedang dipamerkan di sana.
Virzha meraih kartu nama yang kuulurkan. "Aku pasti datang. Kebetulan memang butuh beberapa perabot untuk rumah."
Sepertinya anak-anak Bu Joyo adalah tipe laki-laki yang sudah menyiapkan rumah idaman mereka sebelum mereka menikah. Bukan hal aneh untuk ukuran laki-laki yang memang sudah mapan, yang jelas tidak akan memakai jargon SPBU ketika memulai rumah tangga. Tidak ada istilah: Kita mulai dari nol bersama ya, Sayang.
"Kalau mau ke tempat Ambar, telepon aku dulu, biar kita pergi sama-sama," Abi ikut dalam percakapan kami.
Virzha tertawa. "Aku beneran mau cari furnitur, Bro, bukan mau godain Ambar. Tenang aja."
Aku hanya tersenyum mendengar candaan itu. Kalaupun Virzha adalah tipe buaya yang main seruduk saja tanpa peduli rambu-rambu ikatan persaudaraan, toh aku tidak berminat meladeninya. Aku tidak tertarik terbelit cinta rumit yang melibatkan lebih dari dua orang. Drama cinta bersegi banyak itu lebih bagus dinikmati dalam bentuk tontonan, bukan terjadi dalam kehidupan pribadi.
Ya, itu pemikiran ge-er sih karena candaan Virzha tidak lantas berarti kalau dia tertarik padaku. Aku tidak kelihatan semenakjubkan Rizky yang bisa membuat perempuan sekalipun akan terpesona saat memandangnya. Aku tidak akan merasa cemburu tanpa alasan yang jelas. Cemburu karena alasan kecantikan mungkin akan terdengar dangkal, tapi perempuan terkadang memang dangkal ketika merasa cemburu. Sulit memaksakan logika ketika bicara tentang perasaan.
Ngomong-ngomong tentang Rizky, beberapa kali aku melihatnya mengawasi meja kami. Posisi tempatku duduk memang berhadapan langsung dengan tempatnya berdiri sehingga gerakannya otomatis masuk dalam jangkauan pandanganku. Karena aku duduk bersama Abi dan Virzha, aku tidak tahu siapa yang menarik perhatiannya, tetapi aku berharap semoga saja orang itu bukan Abi.
Aku benci menjadi orang plinplan, yang terus berubah pendapat tentang Rizky, tetapi aku tidak lantas bisa bisa menghilangkan prasangka meskipun ingin. Seandainya saja otak bisa dikendalikan, semua hal pasti akan terasa lebih mudah dan sederhana.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top