Tiga Puluh Delapan

Abi menjemputku di kantor. Dia mengajakku makan malam di restoran Rizky. Sejak berkenalan dengan sahabat Abi itu, nama dan sosoknya semakin akrab dengan telinga dan mataku. Setiap kali bertemu dengannya, aku merasa dia semakin cantik.

Gaya busana dan makeup-nya sempurna. Tidak ada setitik noda pun di blusnya, padahal, meskipun tidak terjun langsung, dia berurusan dengan makanan yang gampang mengontaminasi pakaian karena sifat bahan serta teksturnya yang cair dan lengket. Tidak ada rok kusut bekas diduduki. Tidak ada pulasan wajah yang retak karena fundation atau cushion yang tidak sesuai dengan jenis kulitnya, atau terlalu lama menempel di pipi. Dan yang paling penting, tidak ada ekspresi lelah atau muram karena suasana hati yang jelek. Untuk yang terakhir, mungkin karena aku menilainya sebagai orang luar yang tidak punya ikatan emosi. Kami tidak cukup dekat untuk membuatnya nyaman berbagi perasaan. Hubunganku dengan Rizky hanya sebatas kenalan karena dia adalah teman dekat dari Abi.

Malam ini, Rizky terlihat seprima biasanya saat menyambangi meja kami. Bertemu dengannya di pagi atau malam hari ternyata sama saja. Aku yakin jika embel-embel waterproof yang tertera di kemasan lipstiknya bukan hanya tipuan untuk menarik minat perempuan yang ingin bibir merona sepanjang hari tanpa harus dipulas berulang kali.

Seperti biasa juga, makanannya enak. Tidak butuh waktu lama untuk menandaskan isi piring. Apalagi perutku memang sedang lapar-laparnya. Tadi aku hanya sempat brunch dan melewatkan makan siang karena ada urusan di kantor Dinas Perindustrian. Sepulangnya dari sana aku harus menemani klien yang berkonsultasi dengan Widy.

Salwa bisa ditinggal sendiri dengan klien, berbeda dengan Widy yang sering salah fokus sehingga keluar dari jalur formal saat berbicara dengan klien. Tugasku saat mendampinginya adalah meyakinkan Widy untuk tetap di jalur, dan tidak membahas hal di luar desain furnitur yang diinginkan pelanggan. Terutama pelanggan eksklusif yang lebih peduli pada perabot impian tanpa khawatir dengan jumlah uang yang harus dikeluarkan untuk mendapatkannya.

"Aku ke kantor Rizky dulu ya," pamit Abi saat aku sudah mendorong piringku ke tengah meja dan menyesap minuman. Dia sudah mengosongkan piringnya lebih dulu. Kelihatannya kami berdua sama-sama kelaparan.

Aku mengangguk. Aku juga perlu ke toilet. Lipstik glossy yang aku pakai hari ini tidak tahan air, jadi memang harus dipulas ulang setelah makan kalau tidak ingin terlihat pucat. Aku membeli lipstik ini karena benar-benar suka warnanya yang cocok dengan tone kulitku dan formulanya yang ringan, jadi tetap memakainya meskipun tidak waterproof.

Bukan Abi yang aku khawatirkan protes kalau bibirku kehilangan warna, tetapi pandangan menilai Rizky. Iya, aku tahu kalau dia belum tentu membandingkan penampilannya yang sempurna dengan bibirku yang mungkin terlihat seperti pasien anemia kalau tidak dipulas ulang. Tapi saat pasanganmu memiliki sahabat yang wujudnya seperti bidadari, sulit untuk tidak terintimidasi. Terutama karena aku dan Rizky belum akrab. Kedekatan emosional membuat perempuan lebih secure karena tidak lagi berpikir tentang penilaian dan penghakiman dari seseorang.

Abi belum ada di meja kami saat aku kembali dari toilet untuk touch up. Sambil menunggunya, aku berbalas pesan dengan Salwa dan Widy di grup. Isi percakapan kami masih seputar persiapan pernikahan Salwa. Aku tidak bisa menahan senyum saat Widy menampilkan GIF menangis ketika melihat foto kebaya untuk pengiring pengantin yang akan kami kenakan.

Dering telepon mengalihkan perhatianku pada ponsel Abi yang tergeletak di atas meja. Kata 'Ayah' muncul di layar. Aku tidak mungkin mengangkatnya, jadi hanya mengamati saja sampai nada dering itu hilang. Masalahnya, panggilan itu berulang sampai 3 kali. Sepertinya penting.

Rasanya tidak enak saja membiarkan ayah Abi menunggu teleponnya dijawab. Saat panggilan yang berulang tidak mendapat respons dari keluarga dekat, kita biasanya langsung bertanya-tanya apa yang membuat telepon itu tidak diangkat. Terkadang, kita malah berpikiran buruk bahwa anggota keluarga yang kita hubungi itu sedang tertimpa masalah.

Jadi, aku segera menenteng ponsel Abi yang sudah berhenti berdering menuju ruang kantor Rizky. Aku sudah pernah ke ruangan itu sebelumnya, jadi tahu tempatnya.

Walaupun pintu ruangannya tidak tertutup rapat, demi sopan-santun, aku memutuskan mengetuk sebelum masuk. Tanganku yang sudah terangkat berhenti di udara ketika menangkap suara Abi. Nadanya mengesankan kekesalan yang kental. Ini pertama kalinya aku mendengar Abi gusar dan nadanya tinggi. Sama sekali bukan Abi yang terkontrol, yang aku kenal.

"... Tadi aku sudah bilang, Ky. Ini sudah terlambat untuk kita bicarakan sekarang!"

Aku menurunkan tangan. Menguping memang tidak sopan, tapi kakiku seperti terpaku di lantai. Rasa penasaran mengalahkanku. Masa bodoh, aku akan mengatasi salah bersalah itu nanti.

"Orang melakukan kesalahan, Bi. Aku juga seperti itu. Tapi akhirnya aku menyadari kesalahanku dan berniat memperbaikinya. Kasih aku kesempatan," permohonan Rizky terdengar tulus.

Aku tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan, tapi kedengarannya sangat pribadi. Itu sebenarnya adalah alasan tambahan mengapa aku harus segera menyingkir dari dekat pintu, tapi salahkan kakiku yang menolak terangkat. Kurasa perempuan memang dikutuk dengan diberikan tambahan dosis rasa penasaran lebih daripada yang dibutuhkan.

"Aku sudah memberikan kesempatan itu saat kamu bilang benar-benar jatuh cinta dan mau bertunangan dengan Richard. Aku memberimu pilihan, Ky. Dan kamu memilih Richard yang belum lama kamu kenal."

Aku buru-buru menutup mulut supaya tidak memekik atau mengeluarkan suara apa pun. Sekarang aku bisa memahami perasaan tidak nyamanku setiap kali bertemu Rizky. Meskipun dia selalu tampak ramah, aku tahu dia seperti menyembunyikan sesuatu. Seperti rasa penasaran, perempuan juga dilengkapi dengan firasat untuk mengenali sesuatu yang janggal saat berhubungan dengan pasangan dan orang-orang di sekitarnya. Perempuan familier dengan perasaan off yang terasa mengganggu walaupun tidak bisa dijelaskan secara gamblang ketika berinteraksi dengan perempuan seperti Rizky. Aku yakin dia juga memiliki perasaan yang sama mengenai diriku. Kami hanya memilih bersembunyi di balik tampilan sikap yang manis.

"Itu pilihan yang salah, Bi. Aku akui itu. Kamu benar, aku belum lama mengenal Richard untuk mengambil keputusan ekstrem bertunangan itu. Ada banyak sifatnya yang tidak sesuai dengan ekspektasiku tentang pasangan. Yang aku rasakan padanya waktu itu hanya exitement berlebihan karena dia berbeda. Euforia. Dia humoris, easy going, dan tahu bagaimana membuat perempuan merasa dipuja. Perempuan menyukai hal-hal yang sifatnya verbal, Bi. Dan Richard mengakomodir itu. Tapi ternyata itu tidak cukup. Akhirnya aku menyadari kalau aku membutuhkan orang yang sudah mengenalku. Orang yang memberikan ketenangan. Orang yang aku tahu akan bertahan di sisiku karena aku tidak perlu khawatir dia akan menggoda perempuan lain di belakangku."

Itu pembelaan diri yang sangat bagus. Kalau aku jadi Abi yang berdiri di depan Rizky yang secantik Aphrodite, yang menatap dengan sorot memohon, kecil kemungkinan untuk tidak tergugah.

"Dan kamu menyadari itu setelah aku sudah bersama orang lain?" Butuh beberapa detik sebelum jawaban Abi terdengar. Nadanya kering dan pahit di telingaku.

Ambar, aku menambahkan dalam hati. Aku lebih suka dia menyebut namaku ketimbang menggunakan kata orang lain, seolah aku tidak sepenting itu.

"Mungkin karena kita sudah terlalu lama bersahabat, Bi. Kita sudah telanjur terbiasa dan nyaman. Kamu tahu pasti kalau aku selalu sayang sama kamu. Aku hanya berpikir kalau itu bukan cinta. Dan aku salah. Aku minta maaf."

Dejavu. Itu yang aku rasakan sekarang. Ini mirip dengan percakapan yang aku lakukan dengan Pandu.

"Jujur, Ky, aku nggak tahu bagaimana harus merespons semua ini. Lagi pula, ini bukan saat yang tepat untuk membicarakannya. Ada Ambar di luar, dan aku sudah meninggalkannya cukup lama. Ak—"

"Aku beneran nggak mau merusak hubunganmu dengan Ambar. Kelihatannya dia baik. Tapi aku nggak mau kehilangan kamu, Bi. Aku harus memperjuangkan kebahagiaanku. Kita sahabat yang kompak, jadi kita pasti bisa menjadi pasangan yang luar biasa."

Rizky adalah Pandu versi perempuan. Aku benar-benar tercengang dengan kemiripan situasi Abi-Rizky dengan aku dan Pandu. Kisah cintaku yang beberapa jam lalu terkesan sederhana mendadak rumit.

"Itu kata-kata yang aku ucapkan saat mencoba mencegahmu bertunangan dengan Richard, Ky. Kamu masih ingat jawabanmu? Kamu bilang kalau kita sudah ditakdirkan hanya bersahabat saja. Kamu bilang hubungan kita akan rusak kalau mengubah bentuknya. Itulah mengapa kamu selalu menolak setiap kali aku menyatakan cinta dan memintamu jadi pacarku."

"Aku minta maaf," Rizky kembali mengulang kata-kata penyesalan itu. "Tapi apa yang kamu bilang itu benar, Bi. Kita ditakdirkan untuk bersama. Kamu belum lama mengenal Ambar. Dia mungkin hanyalah orang yang hadir di antara kita untuk menyadarkan kalau kita saling mencintai."

"Itu hanya pendapatmu, Ky."

"Kamu mencintaiku, Bi. Kamu tidak bisa memungkiri itu. Kalau kamu tidak mencintaiku, kamu akan menjauh, sejauh mungkin saat aku menolakmu dan memilih bertunangan dengan Richard. Tapi kamu tidak melakukan itu. Kamu masih selalu ada untuk aku, meskipun itu atas nama persahabatan."

"Aku mungkin akan menjauh kalau kita nggak kenal sejak kecil, Ky. Aku tidak pintar mencari teman. Aku sakit hati karena kamu lebih memilih Richard, tapi aku juga mencoba realistis. Aku tahu, pada satu titik, aku akan kehilangan perasaan cinta itu. Hidup seperti itu, kan? Aku akan bertemu dengan orang lain yang membuatku tertarik dan jatuh cinta lagi. Ketika saat itu terjadi, aku tidak akan kehilangan kamu sebagai teman baik. Karena itulah yang akan terjadi ketika aku memutus ikatan dengan kamu saat kamu menolakku. Apalagi keluarga kita sangat dekat. Suasananya pasti canggung kalau kita bertemu ketika hubungan kita sudah renggang."

Rizky tidak lantas merespons kalimat-kalimat Abi, sehingga keheningan terpeta cukup lama. Aku merasa ini saat yang tepat untuk kembali ke meja. Aku sudah bisa menangkap apa yang terjadi di masa lalu antara Abi dan Rizky.

"Lihat aku, Bi. Lihat aku dan bilang kalau aku memintamu memilih antara aku dan Ambar, kamu nggak akan ragu-ragu menyebut namanya. Bahwa kamu nggak keberatan kehilangan aku dalam hidupmu untuk bersama dia. Karena aku yakin Ambar akan memintamu untuk menjaga jarak denganku saat tahu aku mencintaimu dan menginginkanmu."

Aku menahan langkahku yang sudah terayun. Aku butuh mendengar jawaban itu. Aku butuh menangkap suara lantang Abi menjawab sesegera mungkin, "Ya, tentu saja aku memilih Ambar."

Aku menunggu dan menghitung... 3, 4, 5. Cukup. Waktu yang lebih lama daripada 5 detik untuk menjawab pertanyaan semudah itu jelas melambangkan keraguan. Aku mengayun langkah untuk kembali ke meja. Ada minuman yang harus kuhabiskan. Sial, esnya pasti sudah mencair. Aku benci minuman dingin yang sudah tidak dingin lagi.

**

Untuk yang ngikutin di Karyakarsa dan merasa endingnya gantung, aku membaca semua protes kalian kok. Jadi beberapa hari ke depan, akan ada bagian terakhir ya. Sesuai judul, nggak semua kubu akan terpuaskan. Tapi itulah hidup. Ekspektasi sering kali terpatahkan oleh realita. Hasseeeekkkk... hehehe...

Tim Ambar, sampai ketemu di Karyakarsa ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top