Tiga Puluh
Sampai di kantor aku mencoba fokus melanjutkan memeriksa laporan yang tadi kutinggalkan untuk pergi makan dengan Pandu, tetapi sulit melakukannya dengan berbagai pikiran yang bertabrakan di dalam benak. Si kampret Pandu sudah membuat konsentrasiku berantakan. Benar-benar menjengkelkan! Entah sudah berapa puluh kali siang ini Pandu kumaki-maki dan kuhujat dalam hati. Untung saja dia bukan anakku. Kalau iya, dia pasti sudah jadi batu karena kutukanku yang sadis. Biar jadi atraksi turis sekalian! Lumayan untuk menambah retribusi kota Surabaya.
"Ada apa?" Salwa tiba-tiba sudah berdiri di dekat mejaku. Aku sama sekali tidak mendengar langkahnya. "Pulang makan siang bukannya senang karena kenyang, tapi malah urut-urut dahi. Menu makanannya daging-dagingan semua, terus keasinan, jadi kamu sekarang terkena gejala hipertensi di usia muda?"
Aku hanya meringis. Rasanya masih enggan membicarakan kejadian di restoran tadi
"Kok mobil Pandu masih ada di depan sih?" lanjut Salwa tanpa menunggu jawabanku untuk tebakan ngawurnya. "Kalian nggak pulang bareng?"
Aku menggeleng. "Aku pulang duluan. Mobilnya aku bawa. Nanti dia datang ambil."
"Kamu nggak mau cerita?" Salwa duduk di depanku.
"Cerita apa?" Aku pura-pura bodoh, tapi mulai menimbang-nimbang. Apakah aku harus menumpahkan unek-unek pada Salwa? Tapi berbagi masalah saat emosiku belum surut bukan cara bijak juga. Ketika menginginkan sudut pandang Salwa, aku seharusnya sudah lebih tenang sehingga bisa menelaah semuanya dengan objektif. Hah! Aku jadi makin pusing.
"Kamu kelihatan suntuk banget. Muka-muka emosi gitu. Kamu kalau ada masalah kan ketahuan banget. Ceritain aja biar lebih lega. Masalah itu kalau dipendam bisa bikin kamu insomsia, Mbar. Kalau kamu insomnia, kinerja kamu bakalan jelek karena kurang tidur bikin orang cenderung lebih emosional dan tidak fokus. Sudah gitu, mata kamu bakal ada lingkaran hitamnya. Ntar kamu repot lagi karena harus nutupinnya pakai foundation dan concealer tebal, padahal kamu nggak suka dandan berat. Apa nggak malu jalan sama Abimana yang kinclong dengan muka kusam gitu?" cara Salwa menakut-nakutiku benar-benar keterlaluan.
"Kenapa muka Ambar kusam?" Widy yang baru masuk ruanganku ikut nimbrung. Dia duduk di sofa.
"Intinya bukan di muka kusam," jawab Salwa. "Ambar kayaknya lagi ada masalah. Lihat saja ekspresinya yang bete gitu."
"Kok bisa?" Widy mengernyit bingung. "Bukannya kamu baru selesai makan siang ya, Mbar?"
"Memangnya kalau orang baru selesai makan nggak bisa punya masalah?" nada Salwa langsung meninggi, mengisyaratkan peperangan. Dia memang orang paling tidak sabaran di antara kami bertiga.
Widy terkikik. "Soalnya aku moody-annya saat lapar. Begitu kenyang, suasana hatiku pasti langsung bagus lagi. Inspirasi bermunculan dan gambar otomatis lancar jaya. Aku bisa lupa waktu dan baru blank begitu lapar lagi."
"Kadang-kadang aku iri banget dengan kerja otak kamu yang simpel itu." Salwa ikut tersenyum. Dia sudah melupakan kesebalannya pada Widy beberapa detik lalu.
Masa bodoh. Lebih baik memang bercerita kepada teman-temanku daripada dongkol sendiri. Aku toh tidak mungkin curhat soal ini kepada Mama yang jelas-jelas berada di pihak Pandu. Yang ada Mama malah diam-diam akan menyemangati Pandu setelah tahu dia punya perasaan padaku. Iya, aku memang rada jahat karena terus saja mencurigai Mama. Tetapi melihat bagaimana sayangnya Mama kepada Pandu, perasaan curiga itu akan terasa wajar.
"Pandu bilang dia mencintaiku," kataku tanpa basa-basi sebelum berubah pikiran.
Salwa dan Widy kompak melongo. Mulut mereka menganga lebar. Mata mereka memelotot, aku sampai khawatir bola mata mereka akan melompat keluar dari rongganya. Keduanya tampak bodoh dengan ekspresi itu.
"Itu pengakuan yang sudah sangat... sangaaaat terlambat, kan?" Salwa menemukan suara lebih dulu. Dari mode terkejut, dia lantas mendengus sebal.
"Tidak ada istilah terlambat selama janur kuning belum melengkung dan Pak Penghulu belum datang," protes Widy. Berbeda dengan Salwa, rasa kaget Widy berganti senyuman. Dia tampak bersemangat. "Progres hubungan Ambar dan Abimana masih jauh dari situ, kan?"
"Apa yang bisa diharapkan dari laki-laki yang langkahnya mirip siput dan baru mau bergerak setelah gebetannya sudah berkomitmen dengan orang lain?" Dengusan Salwa konsisten, mengingatkan aku pada lokomotif kereta uap zaman dulu yang biasanya aku lihat di film-film tua.
"Aku yakin Pandu pasti punya alasan untuk keputusannya yang nggak gercep itu." Widy lagi-lagi membantah Salwa. "Jangan menghakimi dulu sebelum mendengar alasannya."
Aku jadi seperti wasit tenis yang mengawasi bola dipukul ke sana kemari oleh atlet amatiran yang sekarang diperankan oleh Salwa dan Widy.
"Guys...." Aku berusaha menengahi perdebatan itu.
"Kenapa sih kamu antipati sama Pandu?" Widy menatap Salwa cemberut. "Dia selalu ada untuk Ambar. Apa kamu pernah lihat dia mengecewakan Ambar?"
"Dia mengecewakan Ambar dengan nggak bilang cinta sejak dulu. Jadi laki-laki kok cemen banget!"
"Guys...!" ulangku lebih keras. Mungkin kali ini aku bisa mendapatkan perhatian keduanya. Seharusnya mereka memberikan masukan dengan cara beradab, bukan berdebat di depanku seperti ini. Yang ada, aku malah jadi semakin stres.
"Pandu bukan tipe cemen. Dia pasti punya alasan." Widy tampaknya tidak tertarik untuk mengakhiri pertikaian dengan Salwa. Dia menoleh padaku untuk mencari dukungan. "Iya kan, Mbar?"
"Entahlah." Aku tidak tahu apakah pendapat pribadi Pandu terhadap isi percakapannya dengan Ayah bisa dijadikan alasan valid untuk menunda pernyataan perasaannya sekian lama. "Ka—"
"Jangan terpengaruh sama apa pun yang dikatakan Pandu, Mbar," potong Salwa, tidak memberi kesempatan untuk aku menyelesaikan kalimat. "Abimana sudah membuktikan dirinya pantas untuk kamu."
"Pandu sudah ada dalam hidup Ambar sejak lama," sentak Widy, tidak kalah berapi-api. "Dia juga sudah membuktikan kalau dirinya pantas. Keluarga mereka sudah sangat dekat. Tidak perlu ada penyesuaian lagi. Memangnya Ambar sudah kenal dengan keluarga Abimana?"
Ucapan Widy kali ini mengingatkanku pada perkataan Pandu tadi. Ada perbedaan diksi, tetapi maknanya sama. Widy mengingatkan jika aku memang belum mengenal keluarga Abimana. Dua minggu lalu Abimana sempat mengajakku ke rumah orang tuanya untuk makan malam. Tapi acara itu batal karena kakek Abimana yang tinggal di Semarang masuk IGD sehingga orang tuanya mendadak harus terbang ke sana.
Abimana tidak banyak bercerita tentang keluarganya. Dia selalu bilang, "Lebih baik kenalan langsung daripada harus aku ceritakan, Ambar. Takutnya bias. Anak-anak biasanya suka membanggakan orang tua mereka. Aku khawatir kesan kamu terhadap mereka berbeda dengan apa yang aku ceritakan. Lebih baik kamu menilai sendiri saat bertemu."
Nada notifikasi mengalihkan perhatianku dari perang debat antara Salwa dan Widy. Dari Pandu.
Mobil sudah aku ambil.
Pesan yang tidak perlu dibalas.
**
Bulan lalu ibuku berpulang jadi beneran nggak nulis dan membuka aplikasi menulis sama sekali. Beberapa hari ini baru mencoba aktif lagi, walaupun agak tertatih-tatih. Biasanya kalau libur nulis agak lama memang butuh pemanasan lagi biar lancar.
Respons pembaca Ambar di WP ini nggak sebagus harapanku sih, jadi emang update-nya seret, padahal goal vote yang aku tetapin beneran nggak muluk-muluk. Mungkin memang temanya nggak menarik seperti cerita-cerita sebelum ini.
Tapi buat pembaca yang pinisirin dan pengin baca lebih cepat, bisa ke Karyakarsa ya. Di sana sudah bab 37, dan semoga akan segera tamat sebelum tahun baru. Tapi di sana berbayar ya, Gengs. Kalau mau gratis, bisa tungguin di sini. Cuman kalau respons pembaca tetep nggak bagus, kayaknya bakal keduluan terbit deh. :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top