Tiga Belas
Aku mengangkat mangkuk rawon yang baru kupanaskan mendekati Pandu yang sudah fokus dengan laptop.
"Beneran nggak mau makan?" aku mengulangi tawaranku kepada Pandu.
"Tadi sudah brunch," Pandu menjawab tanpa mengangkat kepala. "Belum lapar. Nanti sore saja sekalian dengan makan malam."
"Nggak usah sok diet gitu. Orang yang suka olahraga kayak kamu nggak mungkin gendut. Makanannya nggak sempat jadi daging udah dibakar."
"Beda dengan kamu yang olahraganya naik-turun tangga di rumah saja ya?" sindir Pandu.
"Hei, jangan salah, Om, naik turun-tangga 20 kali sehari itu hitungannya termasuk olahraga sedang lho," aku membela diri. Pandu paling benci kalau aku memanggilnya Om seperti yang dilakukan anak-anak tetanggaku, atau tetangganya.
Pandu mendengus. Pandangannya masih terarah pada layar laptop. "Halah, kamu naik-turun tangga sehari itu kan paling banter 5 kali aja. Kamu kalau sudah telanjur masuk kamar pasti malas turun lagi. Begitu juga kalau sudah mager di sofa, bisa menempel sampai subuh. Kalau disuruh naik ke kamar alasannya takut ngantuknya hilang."
"Ambar kan olahraganya sekadar wacana, biar dianggap keren sama yang dengerin," Widi yang menyusul membawa piring rawonnya bersama Salwa ikut dalam percakapan. "Tiap tahun jadi resolusi, tapi nggak pernah dikerjain."
"Berniat saja kan memang lebih gampang daripada beneran olahraga," timpal Salwa. "Resolusi Ambar mana pernah ada yang jadi kenyataan selain yang berhubungan dengan rongsokan?"
Aku berdecak. Tiga lawan satu. Aku tidak akan memenangi perdebatan tentang olahraga. Lebih baik menikmati rawonku selagi panas.
Pandu menyingkirkan piring kecil berisi plastik sambal yang baru diletakkan Salwa. "Jangan cari penyakit. Kuah rawon kamu sudah kayak mata iblis gitu masih mau ditambah sambal lagi. Lambung kamu mau dibikin jadi gunung berapi?"
Aku langsung cemberut. Aku pikir Pandu terlalu fokus browsing mesin sesuai spesifikasi John Wick. Bisa-bisanya dia sempat mengintip isi mangkukku.
Widi terkikik. "Kirain aku aja yang berpikir kalau isi perut Ambar itu kayak neraka. Setiap kali dia habis makan, aku selalu nunggu dia sendawa, karena yakin yang keluar bukan udara, tapi api."
Aku mendelik. "Kamu ngomong gitu karena nggak kuat makan pedas aja. Level iri memang beda-beda. Ada yang dipendam aja, dan ada yang baru bisa puas kalau mencela orang lain."
"Untung aja aku orangnya nggak suka iri," sambut Widi mantap. "Iri kan tanda tak mampu. Aku selalu kasihan sama orang kayak gitu."
Salwa nyaris menyemburkan makanan yang sedang dikunyahnya. Pandu hanya menggeleng-geleng. Aku memutuskan fokus pada makananku sebelum dingin. Aku tidak akan membiarkan Widy merusak selera makanku.
Saat melirik Pandu dan melihatnya serius mengamati layar laptop, pelan-pelan aku mengulurkan tangan untuk menjangkau piring sambal yang tadi dia pindahkan supaya jauh dari depanku.
Punggung tanganku ditepuk sebelum aku berhasil menarik piring itu mendekat. Mata Pandu tidak bergeser bergeser dari layar. Apakah dia punya mata cadangan yang tersembunyi?
"Biarin aja," ujar Salwa. "Kalau sakit perut, Ambar pasti tobat sendiri. Orang lebih percaya pada pengalaman buruk sendiri daripada nasihat orang lain. Dia kan tipe yang suka menyiksa diri sendiri. Lihat saja, dia rela makan nasi dan kerupuk hanya untuk mendandani rongsokan."
"Masalahnya, Ambar kan nggak pernah tobat. Rekor tobatnya untuk urusan sambal paling banter juga sebulan. Itupun setelah dibawa ke IGD. Kalau sudah begitu, semua orang dibikin sibuk sama dia."
Aku melepaskan sendok dengan kasar. "Terakhir masuk IGD itu aku nggak menghubungi kamu lho!" karena aku tahu yang pertama kali Pandu lakukan setelah kondisiku membaik adalah mengomel.
"Iya, kamu nggak menghubungi aku, tapi Tante yang panik langsung menyuruh aku datang ke IGD. Tante hanya punya satu anak, harusnya kamu jangan sering-sering bikin dia khawatir."
Aku memutar bola mata. Mulai deh ceramahnya. Mama juga sih terlalu tergantung sama Pandu. Sedikit-sedikit harus tanya Pandu dulu. Pendapatku selalu jadi second opinion yang akan diperhitungkan setelah mendengar apa kata Pandu.
"Nanti kalau aku sudah punya pasangan, Mama pasti berhenti bikin kamu ikutan repot," kataku sewot.
"Makanya, Abimana diprospek, Mbar," sambar Salwa. "Kode-kodenya udah jelas banget tuh. Kamu cukup kedipin sekali, pasti langsung ditembak. Aku yakin 1000 persen!"
"Pak Abimana yang sering ke sini?" Widi melongo. "Yang kerja sama Bu Joyo investor kita itu? Dia naksir Ambar? Kok aku nggak tahu sih?" pertanyaannya beruntun.
"Apa sih yang kamu tahu?" gerutu Salwa. "Ngapain dia bolak-balik dan sampai pesan semua furnitur rumahnya ke kita kalau dia nggak naksir Ambar?"
"Beneran naksir Ambar?" ulang Widi sekali lagi. Kali ini dia tampak lega. "Akhir-akhir ini aku malah mikir kalau dia naksir aku lho. Soalnya dia biasanya kan sok cuek sama aku. Kalau aku tanyain kadang nggak jawab. Sok cuek sama aja naksir, kan? Malu-malu tapi mau gitu? Aku kan selalu gitu saat naksir sama orang. Syukurlah kalau dia naksir Ambar, karena meskipun dia kayaknya tajir, tapi dia bukan tipeku. Dia serius banget, kayak kanebo lupa direndam air sebulan gitu. Kalau digoreng bisa jadi kerupuk."
Aku menatap Widi dan Salwa bergantian. Keduanya benar-benar menyebalkan. Menggosip di depanku seolah aku tidak ada di situ. Percuma mendebat karena hanya akan membuat Salwa makin bersemangat. Aku kembali meraih sendok dan menghabiskan rawonku.
Persis ketika aku mendorong mangkuk yang sudah kosong ke tengah meja. Ponselku berdering.
"Panjang umur, enteng jodoh," kata Salwa yang iseng melihat layar ponselku dan melihat nama Abimana. "Baru juga diomongin sudah menelepon. Cepetan diangkat!"
Aku pura-pura tidak mendengar antusiasmenya. Setelah berdeham untuk mengubah nada suara ke setelan formal, aku mengangkat telepon dan mengucap salam.
"Barangnya bisa diantar besok siang?" tanya Abimana setelah menjawab salamku. "Saya sudah menjadwal ulang kegiatan untuk besok supaya bisa ada di rumah siang hari."
"Bisa, Mas." Tadi pagi aku memang mengirimkan pesan untuk mengabarkan kalau sebagian barang yang dipesannya sudah bisa kami antarkan. Abimana bilang akan menghubungiku lagi untuk menetapkan waktunya. Aku pikir dia butuh waktu untuk menjadwal ulang kegiatannya. Ternyata responsnya lebih cepat daripada dugaanku. "Setelah makan siang, kami akan mengantarkan barangnya."
"Oh ya, beberapa hari lalu saya sempat masuk dalam website kalian, dan melihat ada beberapa barang baru yang ditawarkan. Sudah ada dalam katalog cetak?"
"Sudah, Mas." Apakah dia hendak memesan barang lagi? Itu bagus sih, hanya saja aku pikir dia sudah punya semua yang dia butuhkan untuk mengisi rumah barunya.
"Kalau begitu, tolong besok kamu bawa katalognya sekalian ya. Kebetulan ada teman yang tertarik pada produk kalian."
Padahal besok aku tidak berniat ikut mengantar barang. Salwa saja sudah cukup untuk menemani tukang. Masalahnya, Salwa selalu melemparkan negoisasi klien kepadaku.
"Baik, Mas. Besok katalognya akan saya bawa." Tidak mungkin menolak calon klien yang mungkin saja membawa uang banyak, kan?
Setelah berbasa-basi sedikit lagi, percakapan pun aku akhiri.
"Abimana minta barangnya diantar besok siang," aku mengulang informasi itu kepada Salwa dan Widi, walaupun aku tahu mereka ikut mendengarkan percakapanku di telepon. "Dia juga minta dibawain katalog baru karena ada temannya yang tertarik dengan produk kita."
Salwa menjentikkan jari. "Dia beneran jatuh cinta sama kamu, Mbar. Sampai rela jadi humas dan staf marketing tanpa dibayar gitu."
Aku menggeleng-geleng mendengar analisis absurdnya.
"Sebelum diprospek, kenalin sama aku dulu, Mbar," kata Pandu. Dia mendorong laptop ke arahku. Sepertinya dia sudah menemukan jantung baru untuk John Wick. "Kamu kan biasanya nggak pintar menilai laki-laki. Ingat anak band, pacar kamu yang terakhir itu?"
Aku mendengus sebal. Anak band yang dimaksudnya adalah pacarku saat masih kuliah. Ganteng, easy going, jago memainkan beberapa alat musik, pintar menulis lagu, dan memiliki suara merdu membius. Sayangnya dia ternyata tidak hanya membiusku. Aku memang jadi pacar resminya, tetapi dia juga punya groupies yang akan jadi teman, tapi kelewat mesra di belakangku.
Kami putus setelah Pandu menangkap basah pacarku itu make out dengan perempuan lain di kafe milik pacar playboy-ku. Untung saja waktu itu ada banyak orang di sana, sehingga dia tidak perlu merasakan kepalan tangan Pandu. Wajah tampannya yang lebam pasti akan buruk untuk publikasi band yang saat itu baru debut di label mayor setelah sekian lama bermain di indie.
"Ini pilihannya masih ada dua," aku malas membahas masa lalu, dan menunjuk layar laptop. "John Wick mau ditansplantasi dengan yang mana?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top