Sembilan Belas

Kurir yang membawa gorengan yang dipesan Salwa mengalami masalah dengan motornya. Akibatnya, dia baru sampai di kantor ketika kami sudah bersiap pulang.

"Kalian berdua jangan pulang sebelum gorengannya habis!" Salwa meletakkan kotak berisi berisi gorengan dan sambal itu di atas mejaku.

Aku memelotot melihat kotak sebesar itu. Gila saja kami disuruh makan gorengan sebanyak itu sore hari begini.

"Ini sih makan malam, bukan ngemil," Widi ikut berdecak. "Harusnya kamu pesannya lebih awal, biar anak-anak di showroom dan tukang yang di bengkel juga kebagian."

Pegawai di showroom dan bengkel memang sudah lebih dulu pulang setelah jam kerja berakhir. Kami bertiga tinggal lebih lama karena masih harus mendiskusikan barang yang akan kami bawa ke pameran yang akan kami ikuti. Booth kami tidak terlalu besar, jadi kami benar-benar harus memilih barang yang akan dipamerkan.

Salwa menatap Widi seolah ingin mengunyah anak itu hidup-hidup. "Ini memang dipesan dari tadi. Kan aku sudah bilang kalau motor kurirnya mogok! Memori kamu tuh pendek banget." Dia langsung mengomel.

"Ooh...." Widi cekikikan tanpa salah bersalah. Dia mencomot sepotong pisang cokelat sebelum menggerutu, "Sudah dingin."

"Ya, iyalah dingin. Kan sudah lama di jalan!"

"Ooh...."

Aku menggeleng-geleng lalu mengangkat kotak itu menuju ke pantri. Lebih baik memanaskan beberapa potong gorengan di air fyer daripada ikut dalam perang Salwa-Widi.

"Aku mau bakwan dan singkong goreng, Mbar," kata Salwa yang ternyata mengekoriku.

"Aku mau pisang cokelat," sambung Widi. Dia malah lebih dulu duduk di depan meja bar.

Ini sih hanya memindahkan tempat perangnya kalau keduanya ikut ke pantri.

Aku memasukkan beberapa potong gorengan pesanan teman-temanku, dan 2 buah risoles untuk diriku sendiri ke dalam air fyer, lalu menyetel timer selama 7 menit.

Salwa mengeluarkan 3 botol air mineral dari kulkas sebelum duduk di dekat Widi. Perdebatan soal gorengan dingin beberapa detik lalu sudah terlupa. Syukurlah. Keduanya mulai sibuk mengomentari video dari saluran You Tube yang diputar Widi di tabletnya.

"Tampang kayak gitu kok folower-nya bisa jutaan sih?" kata Salwa sinis.

"Yang menarik kan kontennya, Wa." Widi terus mengamati layar lalu tertawa.

"Konten prank itu basi. Nggak ada menariknya sama sekali. Ngakunya content creator, tapi isi vlog-nya nggak kreatif sama sekali!"

"Tapi nge-prank kan lucu, Wa." Widi lagi-lagi tertawa melihat ulah si content creator. "Bisa bikin video yang lucu itu kan artinya kreatif."

Aku ikut duduk di dekat mereka. "Selera humor orang kan beda-beda," kataku menghibur Salwa. "Kalau kamu nggak suka, jangan ikut nonton."

"Aku nggak nonton, aku hanya terpaksa lihat, karena anak ini naruh tabletnya di depan hidungku!" Salwa membela diri.

Dering ponsel mengalihkan perhatianku. Aku mengabaikan kedipan Salwa yang sempat mengintip layar. Dasar Miss Kepo!

"Masih di kantor?" tanya Abimana setelah membalas salamku.

"Iya nih. Agak telat karena harus membahas pameran besok." Aku mencolek Salwa dan memberi isyarat pada air fyer yang berdenting. Gorengan kami sudah siap.

Salwa mencebik, menggodaku. Entah apa yang akan dikatakannya kalau sampai tahu aku sudah menyetujui ajakan penjajakan dari Abimana. Aku belum memberitahunya. Heboh soal penjajakan yang belum tentu sampai pada tahap komitmen rasanya terlalu lebay.

"Aku jemput di kantor ya? Sekarang aku sudah di jalan nih."

Aku mengawasi Salwa dan Widi bergantian. Mereka akan tahu apa yang kusembunyikan kalau sampai Abimana muncul di kantor di waktu seperti ini. Tidak ada investor atau pelanggan yang dengan menjemput produsen barang untuk melakukan pertemuan bisnis menjelang malam.

"Atau meeting-nya masih lama?" tanya Abimana lagi saat aku tidak segera menjawab. "Aku bisa menunggu kok."

Aku mendesah pasrah. Ternyata menyembunyikan hubungan tidak semudah yang kukira. "Rapatnya sudah selesai kok. Sekarang lagi ngobrol saja. Siap-siap mau pulang."

"Kalau begitu, tunggu ya. Palingan juga 10 menit lagi aku sampai."

Kalau tinggal 10 menit lagi Abimana sampai, dia memang mengambil arah ke kantorku. Dia hanya menelepon untuk mengonfirmasi apakah aku masih ada atau sudah pulang.

"Oke." Memangnya aku bisa bilang tidak? Baru juga setuju memulai penjajakan, masa sudah bermain petak umpet karena ketahuan teman-temanku. Seperti orang selingkuh saja.

"Apanya yang oke?" tanya Salwa begitu aku menutup telepon.

Aku pura-pura tidak mendengar. Tanganku bergerak cepat mengambil tisu dan mencomot sebuah risoles. "Panas banget!"

"Kamu okein ajakan kencan dari Abimana?" kejar Salwa.

Widi melepaskan pandangan dari layar tablet. "Kalau dia ngajak kencan, itu artinya dia benar-benar tertarik sama kamu, Mbar."

Ini dilema. Aku mengunyah risolesku sambil memikirkan jawaban untuk teman-temanku. Mungkin aku sebaiknya jujur saja.

"I smell a rat!" seru Salwa yang sebal aku abaikan.

"Hidung kamu yang aneh tuh." Widi mencibir. "Gorengan wangi begini masa yang kamu cium malah bangkai tikus sih?"

"Spill the tea, Mbar! Sekarang!" Salwa tidak menghiraukan Widi.

Aku menatap kedua temanku. "Aku dan Abi sepakat untuk penjajakan," kataku pasrah. Mau bagaimana lagi?

"Wow!" Salwa menendang kakiku. "Bisa-bisanya kamu menyimpan berita sebesar itu sendiri!"

"Baru penjajakan," aku buru-buru membela diri.

"Apa bedanya penjajakan dan jadian?" tanya Widi sambil berpikir.

"Tidak ada bedanya!" bentak Salwa. "Penjajakan itu di bibir saja, tapi di hati sudah resmi."

"Berarti Ambar dan Abimana sudah pacaran dong?"

"Belum resmi," aku segera meralat. "Penjajakan itu baru tahap pengenalan. Belum tentu ujungnya nanti pacaran."

Widi mematikan tabletnya dan fokus kepadaku. "Kamu beneran suka sama Abimana? Dia kan kelihatan agak pendiam dan sombong gitu, Mbar. Kenapa nggak sama Pandu saja sih? Kamu memang nggak pernah bilang terus terang, tapi aku tahu kalau kamu naksir dia sejak dulu. Pandu baik banget lho. Dia rajin banget bawain makanan untuk kita, kan? Kalau Abimana, boro-boro makanan, ditanya saja kadang nggak dijawab."

"Jangan bawa-bawa Pandu!" hardik Salwa lagi. "Dia sudah jadi masa lalu. Ambar memang pernah suka sama dia, tapi sekarang nggak lagi. Masa depan Ambar itu Abimana. Titik. Jangan bikin Ambar malah bingung lagi."

Widi langsung cemberut. "Aku kan hanya menyatakan pendapat. Kalau Pandu sampai tahu Ambar jadian sama Abimana, dan patah hati, kita nggak akan dapat makanan gratis lagi."

Aku memutar bola mata mendengar perdebatan Salwa dan Widi.

"Pandu nggak akan patah hati karena dia nggak pernah suka sama aku, Widi! Dia hanya menganggap aku sebagai adiknya. Kamu jangan khawatir soal makanan gratis karena aku yakin Pandu akan tetap memberi kita makan meskipun aku sudah pacaran atau menikah dengan orang lain."

"Aku jadi nggak selera makan." Widi mendorong piring gorengan yang diletakkan Salwa di depannya. "Aku beneran kasihan sama Pandu kalau dia patah hati."

"Kalau kasihan, kamu saja yang pacaran sama Pandu," sambar Salwa bengis.

"Enak saja!" omel Widi. "Memangnya aku tong sampah si Ambar? Aku juga punya harga diri dan kriteria laki-laki idaman, dan tipeku beda dari Pandu!"

Astaga! Kenapa jadi Salwa dan Widi yang ribut?

Aku buru-buru menghabiskan risolesku. Lebih baik mengambil tas dan menunggu Abimana di depan.

**

Kayaknya kemarin aku terlalu menganggap remeh kekuatan jempol pembaca Ambar deh. Vote 3,2K dilibas kurang dari 24 jam. Baiklah, mari kita lihat, butuh berapa hari untuk bisa mencapai 4K vote.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top