Sebelas
Restoran tempat aku dan Abimana makan siang memang tidak jauh dari kantorku. Tempat yang belum pernah sekali pun aku dan teman-temanku kunjungi. Entah mengapa. Mungkin karena tampak luarnya tidak terlihat menarik. Alih-alih instagramable, restoran itu malah terlihat seperti rumah joglo tua. Atau mungkin juga karena kaum milenial seperti kami akan memilih makan di mal kalau sedang tidak mengandalkan aplikasi untuk memesan makanan. Mal berarti sekalian belanja atau sekadar cuci mata.
Ternyata restoran rumah joglo berparkiran luas itu jauh dari bayanganku saat menilainya dari penampilan luar. Bagian luar yang aku anggap kuno hanya sebagai gerbang saja. Di dalam sangat luas. Selain ruangan seperti halnya restoran lainnya yang terdiri dari meja-meja yang dikelilingi kursi-kursi, ada juga beberapa saung jati yang tampak kokoh dengan berbagai ukuran untuk pelanggan yang menginginkan privasi. Taman di antara saung-saung dan ruangan utama restoran ditata apik. Ada kolam ikan dan air mancur mini juga. Aku mendadak merasa kuper. Bisa-bisanya aku tidak tahu ada tempat seperti ini di dekat kantorku.
"Kita duduk di sana saja." Abimana menunjuk salah satu saung berukuran kecil. Melihat dari cara pelayan menyambutnya, dia pasti salah seorang pelanggan tetap.
Aku mengikuti langkah Abimana. Irama gending mengalun memenuhi udara. Seperti usaha kami yang memetakan pelanggan, restoran ini jelas punya pangsa pasar sendiri yang disasar. Dari kursi dan saung yang banyak terisi, terlihat jelas kalau restoran ini punya pelanggan setia.
"Makanan rumahan," kata Abimana lagi saat aku mengamati buku menu yang disodorkan pelayan.
Makanan rumahan dengan harga restoran hotel bintang lima, gerutuku dalam hati ketika aku melihat harga makanan. Bahan-bahan yang dipakai di sini pasti bahan organik kualitas premium. Pelanggan tidak perlu khawatir dengan pestisida ataupun konsumsi lemak jenuh karena harga tahu dan tempe goreng semahal ini tidak mungkin digoreng menggunakan minyak sawit. Makanannya jelas sehat, tetapi kondisi dompet saat keluar dari sini yang sekarat.
Kalau mau menabung, ini jelas bukan restoran yang bisa dikunjungi setiap hari untuk makan siang. Setidaknya untukku. Bisa-bisa John Wick gagal mendapat jantung baru dalam dua tahun ke depan, seperti targetku. Aku tidak mungkin setega itu pada cinta dalam hidupku. Perempuan romantis habis sepertiku lebih memilih makan nasi, garam, kecap, dan kerupuk demi menyelamatkan belahan jiwaku. Ya mau bagaimana lagi, aku tidak pernah setengah-setengah dalam urusan cinta. John Wick benar-benar beruntung mendapatkan pasangan seperti aku, yang rela kere demi dirinya.
Karena Abimana lebih dulu memesan, dan pesanannya tampaknya cukup untuk memberi makan satu keluarga kecil yang bahagia, aku tidak menambah menu lain. Mubazir dan kasihan sama uang yang dipakai untuk membayar. Aku tidak mungkin minta makanannya dibungkus kalau tidak habis. Memutuskan kere demi kelangsungan hidup John Wick tidak berarti aku tidak punya gengsi juga sih.
"Beneran nggak mau pesan yang lain?" tawar Abimana saat aku menyerahkan buku menu pada pelayan yang mencatat pesanannya. "Empalnya enak, tapi nggak saya pesan karena lagi nggak pengin makan daging."
"Sudah cukup, Pak." Aku mengulas senyum sopan. Abimana tadi memesan 5 macam lauk. Itu saja mustahil dihabiskan, apalagi kalau aku menambah menu lain.
"Panggil Abi saja," katanya ketika pelayan sudah pergi. "Bapak kesannya terlalu formal. Kita juga nggak sedang di kantor dan membahas pekerjaan."
Senyumku perlahan memudar. Sebenarnya apa yang dikatakannya tidak terlalu aneh sih. Abimana mungkin risi dipanggil "Bapak" di tempat umum seperti ini karena kesannya dia sedang makan bersama stafnya. Tetapi melihat dari pembawaannya yang tampak serius dan formal, aku pikir dia tidak peduli hal seperti itu. Panggilan "Bapak" memberi jarak. Menurutku Abimana memang tipe orang yang menciptakan batasan. Terlihat jelas dari tanggapannya saat dia menghindar dan memilih tidak menanggapi interaksi dengan Widi yang ceplas-ceplos membuka obrolan yang sifatnya pribadi.
"Nggak apa-apa saya panggil dengan sebutan nama saja, kan?" Abimana melanjutkan sebelum aku merespons.
Aku kembali menarik sudut bibir. "Nggak apa-apa, Mas." Aku tidak mungkin memanggilnya dengan nama saja kalau dia tidak mau dipanggil "Bapak". Kesannya tidak sopan dan sok akrab. Akrab dengan penghubung uang Bu Joyo tidak masalah sih, perlu malah untuk kelangsungan investasi, tapi tidak perlu berlebihan. Apalagi aku belum kenal Abimana secara pribadi.
"Tren neraca keuangan kalian bagus peningkatannya."
Seperti yang sudah aku duga, topik percakapan makan siang ini tidak akan melenceng dari urusan pekerjaan.
"Investasi Bu Joyo membuat kami leluasa melakukan inovasi dan menambah jumlah tukang untuk meningkatkan produksi, Pak, eh... Mas." Mengubah kebiasaan memang tidak semudah memutar bola mata seperti ketika omongan Salwa dan Widi mulai ngelantur.
"Itu karena rencana kalian dipetakan dengan baik dan realistis. Tidak semua usaha yang kami bantu berhasil. Ada yang malah gulung tikar nggak lama setelah kami suntik dana. Kebanyakan karena rencana wah yang tidak realistis. Mereka hanya fokus pada output, tetapi sumber daya untuk mencapai itu nggak direncanakan dengan baik. Ide, secemerlang apa pun, nggak akan berhasil diwujudkan kalau perencanaannya nggak matang."
Kami. Aku menangkap kata itu dengan jelas di antara kata-kata lain dalam kalimat panjang Abimana. Dia benar-benar orang kepercayaan Bu Joyo. Untung saja dia tidak mual dan muak dengan kelakuan konyolku untuk membalaskan kekesalan karena pertemuan pertama kami yang membuatku dongkol.
"Kami berusaha supaya tidak mengecewakan investor," sambutku normatif, lalu melanjutkan dengan kalimat ringan, "Sekalian mewujudkan mimpi jadi pengusaha sukses."
"Kalau kalian bisa terus mempertahankan tren seperti sekarang, kalian pasti sukses kok. Hanya masalah waktu."
Abimana terlihat rileks, jadi aku merasa tidak masalah bercanda supaya percakapan kami tidak kering seperti kanebo yang sudah setahun dipanggang matahari. "Syukurlah. Soalnya saya bekerja tidak hanya untuk membiayai diri sendiri, tapi juga pasangan. Semua orang bilang saya terlibat dalam hubungan yang nggak sehat, tapi saya nggak bisa keluar begitu saja. Cinta memang perlu pengorbanan."
"Pasangan?" Dahi Abimana berkerut. Pandangannya turun dari wajah ke jari-jari di tangan kananku. "Saya pikir kamu belum menikah."
"John Wick," sambungku cepat. Gurauanku terrnyata tidak lucu untuknya. Selera humor orang memang beda-beda.
"Ooh... mobil kamu?" Abimana menyugar, sudut bibirnya sedikit tertarik, membentuk senyum samar. "Masih sering mogok?"
"Kadang-kadang. Dan itu menyusahkan. Jadi saya harus kerja keras supaya dia bisa punya mesin original yang bandel. Saya sudah bilang kalau hubungan kami sepihak dan nggak sehat. Tapi mau gimana lagi, cinta ini."
Tarikan sudut bibir Abimana makin lebar. Seharusnya dia melihat bayangannya sendiri di cermin saat tersenyum, karena dia terlihat lebih ramah dan tidak seserius biasa dengan ekspresi seperti itu.
"Biasanya perempuan tidak terobsesi pada mobil klasik."
"Seharusnya seperti itu." Aku mendesah pasrah. "Menjadi perempuan yang tidak biasa itu bisa merusak dompet karena mendapat pasangan yang matre. Saya nggak menyarankan perempuan lain untuk terlibat cinta rumit seperti saya."
"Setidaknya hubungan kamu nggak diwarnai pertengkaran dan perbedaan pendapat." Untuk pertama kalinya sejak bertemu tadi, Abimana tertawa kecil.
"Siapa bilang? Saat sedang kesal, saya bisa melakukan kekerasan pada John Wick. Syukurlah dia mati rasa jadi nggak bisa balik ngamuk kalau saya tendang." Aku mendadak tersadar kalau sudah menggiring percakapan terlalu jauh dari zona nyaman Abimana, jadi aku berdeham dan mengalihkan topik. "Gimana kabar Bu Joyo?"
"Bu Joyo baik kok. Beliau sedang liburan."
Aku juga akan liburan setiap saat kalau punya gudang uang dan orang kepercayaan untuk menjaga usaha tetap berjalan seperti Bu Joyo.
Aku ingin tahu sudah berapa lama Abimana bekerja untuk Bu Joyo sehingga mendapatkan kepercayaan begitu besar, tetapi pertanyaan itu terlalu pribadi untuk diajukan, jadi aku menelan keingintahuanku. Lebih baik menjaga lidah supaya obrolan kami tidak berubah menjadi investigasi personal.
Hening beberapa saat. Aku berusaha memikirkan topik aman, tetapi tidak bisa langsung menemukannya. Syukurlah pelayan akhirnya datang membawa bakul nasi dan mulai mengatur lauk di atas meja.
Kami makan dalam diam. Makanannya enak, walaupun aku tetap saja menganggap harganya terlalu mahal. Aku belum menerapkan konsep clean eating, jadi toleransiku untuk harga makanan mahal masih sangat rendah. Enak dan murah lebih aku terima daripada sehat tapi mahal.
Setelah makan, Abimana mengantarku kembali ke kantor. Dia menolak dengan sopan saat aku berbasa-basi menawarinya mampir.
"Lain kali saja. Makasih ya sudah mau menemani saya makan."
"Saya yang harus bilang terima kasih karena sudah ditraktir, Mas." Tadi aku menawarkan untuk membayar makan siang kami (tentu saja dengan setengah hati setelah mengalkulasi tagihan di kepala), tetapi seperti yang sudah kuduga, Abimana menolak dibayari. "Saya akan mengabari kalau barang-barang pesanan Mas siap diantar."
"Oke, saya tunggu."
Aku mengawasi sampai mobil Abimana menjauh sebelum masuk ke dalam gedung kantor. Makan siangnya tidak seburuk dan sekaku yang kupikir.
"Jadi, sudah netapin jadwal untuk kencan berikutnya?" tanya Salwa yang bersedekap dan bersandar di depan pintu ruangannya.
"Ha...ha...ha...!" aku mengeja kata itu sambil memelotot. "Nggak lucu!"
"Iya sih, dia mungkin nggak lucu, tapi ganteng, pintar, dan kaya. Humor itu nggak bisa dipakai untuk membiayai hidup kalau kamu bukan komedian, Mbar." Salwa mengikutiku masuk ruang kerjaku.
"Bisa nggak sih kamu nggak selalu mikir soal hubungan asmara saat melihat aku berinteraksi dengan laki-laki? Hubungan dengan Abimana itu profesional."
"Untuk kamu memang profesional, tapi aku yakin deh dia sedang PDKT." Salwa duduk di sofa. "Peka sedikit kenapa sih?"
Aku berdecak. "Merasa Abimana sedang PDKT itu jatuhnya bukan peka, tapi GR, Buk!"
Salwa langsung cemberut. "Gini nih kalau yang terlalu lama pelukan sama rongsokan!"
Aku otomatis mendelik. Dasar cenayang gagal!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top