Empat Belas

Pagar Abimana terbuka lebar ketika kami tiba di sana. Tadi aku mengirim pesan saat akan berangkat dari kantor. Rupayanya dia sudah mengantisipasi kedatangan kami.

Aku dan Salwa tidak langsung masuk karena menunggu truk pengangkut barang tiba.

"Kalau aku jadi Abimana, aku akan mengusulkan perjanjian pranikah pada calon istriku, jadi harta yang aku miliki sebelum pernikahan nggak akan masuk dalam daftar harta gono-gini," kata Salwa yang bersandar di mobil sambil mengamati rumah Abimana yang tampak megah dari luar.

Aku mengedikkan bahu, mencibir mendengar pendapat Salwa. "Menurutku, laki-laki yang mengusulkan perjanjian pranikah itu, kalau nggak pelit banget, dia pasti nggak yakin bisa menjaga komitmen, sehingga dia harus berjaga-jaga supaya nggak kehilangan aset. Aku sih ogah menikah dengan orang seperti itu."

"Dilihat dari sudut pandang orang seperti kita memang seperti itu, Mbar, karena kita nggak membawa harta yang banyak dalam pernikahan. Misalnya kamu, kalau menikah, selain membawa diri dan koper pakaian, kamu hanya akan menambahkan rongsokan kamu itu dalam garasi. Bedalah kasusnya dengan orang seperti Abimana yang kelihatannya sudah mapan banget. Lihat saja rumahnya yang besar di lokasi premium seperti ini. Mobilnya juga pasti bikin rongsokan kamu jadi pengin bunuh diri karena minder. Wajar dong kalau dia berniat melindungi asetnya. Jangan sampai dia kehilangan banyak harta kalau beneran sampai bercerai. Lebih miskin setelah bercerai daripada sebelum menikah kan nggak banget."

"Orang yang menikah seharusnya nggak berpikir tentang perceraian!"

"Jangan naif, Mbar. Idealnya memang begitu, tapi masa depan itu penuh dengan misteri dan ketidakpastian. Semua orang memang berharap mendapat yang terbaik, tetapi juga harus bersiap-siap untuk menghadapi yang terburuk."

Aku baru hendak membantah saat melihat Abimana muncul dari rumahnya.

"Kok nggak langsung masuk?" tanyanya setelah berdiri di depan kami.

Aku dan Salwa spontan memperbaiki posisi tubuh. Dari yang tadinya bersandar santai di badan mobil menjadi tegap seperti anak paskibraka yang menyambut pelatih tentaranya saat ketahuan bersantai di waktu latihan. Namanya juga menghadapi pelanggan, jadi sikap hormat dan santun tetap harus diutamakan.

"Lagi menunggu truknya datang, Mas," jawabku.

"Kan bisa menunggu di dalam. Masuk yuk," ajaknya.

"Itu truknya sudah datang kok," kata Salwa. Truk pengangkut barang itu memang sudah mendekat. Salwa beranjak untuk memberi isyarat kepada sopir supaya langsung masuk ke pekarangan rumah Abimana.

"Kok nggak bawa mobil kamu yang biasa?" Abimana menunjuk mobil Pandu yang semalam kusandera saat dia ke rumah untuk mengantarkan barang pesanan Mama. Mama lebih suka memesan barang pada Pandu yang responsnya cepat daripada aku, anak semata wayangnya yang keseringan lupa.

John Wick akhir-akhir ini semakin sering ngambek, jadi aku tidak mau mengambil risiko dia ngadat di tengah jalan saat harus menemani tukang dan pengantar barang ke sini. Itu juga alasan mengapa aku mempercepat operasi transplantasi jantungnya. Padahal targetku untuk ganti jantung itu sebenarnya masih dua tahun lagi, atau paling cepat tahun depan. Apa boleh buat, kekasih hati harus mendapat yang terbaik. Haram hukumnya membuatnya sekarat karena harus menunggu. "John Wick sedang istirahat."

"Kamu koleksi mobil klasik ya?" Abimana menepuk mobil Pandu. "Ini juga bagus banget."

Mobil Pandu memang bagus, tapi jelas kalah ganteng dibandingkan John Wick. "Ini bukan mobil saya, Mas. Pinjam karena John Wick lagi malas-malasan. Selain John Wick, saya nggak tertarik pada mobil klasik lain. Nggak ada modal. Juga nggak bisa berbagi hati." Aku mengawasi truk yang sudah mematikan mesin. Beberapa orang tukang melompat dari bak truk. "Furniturnya sudah siap turun, Mas. Sebaiknya ditunjukin tempatnya supaya bisa ditata sesuai keinginan Mas."

Abimana mengajakku masuk. Salwa yang sudah lebih dulu berada di pekarangan memberi isyarat supaya aku mengikuti Abimana ke dalam rumah. Dia pasti ingin meyakinkan jika tukang melakukan tugasnya menurunkan barang dengan baik untuk mencegah terjadinya lecet pada permukaan barang. Salwa lebih luwes dalam soal mengomeli tukang daripada aku.

Pengaturan furnitur tidak makan waktu, tetapi pemasangan built in wardrobes-nya jauh lebih lama daripada perkiraanku. Setelah melihatnya terpasang, aku melongo sendiri. Buset, sebanyak apa pakaian, sepatu, dan aksesori yang akan diletakkan Abimana di ruangan superbesar itu? Saat melihatnya dalam desain Salwa, aku sudah mengaguminya, tetapi tidak menyangka bentuk nyata setelah terpasang akan tampak seperti sekarang. Aku memang tidak aktif memantau bengkel karena tahu Salwa lebih kompeten soal itu daripada aku.

Ah, aku lupa kalau Abimana itu visioner. Dia pasti menyiapkan wardrobes ini untuk calon istrinya juga. Perempuan biasanya kan punya banyak koleksi fesyen. Kalau melihat penampilan Abimana, aku yakin tipe perempuan yang disukainya pasti tidak beda dengan dirinya sendiri yang dendi.

"Mbar, aku balik duluan ya," Salwa menghampiriku dan berbisik saat aku masih mengawasi tukang memasang mur dan baut untuk menyatukan bagian-bagian wardrobes. "Ponakan Delon ulang tahun. Aku pikir pemasangan wardrobes nggak selama ini, jadi aku bisa berangkat dari kantor aja, ternyata aku salah perhitungan. Tukang sudah mau selesai kok. Kamu tinggal mengawasi dikit lagi. Delon kebetulan ada di sekitar sini, jadi dia bisa sekalian jemput ke sini."

Aku kembali mengawasi tukang. Salwa benar, bagian yang belum terpasang memang tinggal sedikit. Aku tidak akan tertahan lama di rumah Abimana setelah dia pergi. "Oke, aku akan tinggal sampai tukang selesai."

Setelah Salwa pergi, aku menggantikan tugasnya memelototi tukang dengan lebih cermat.

"Sudah mau selesai ya?" Abimana sudah berdiri di sampingku. Tadi dia sibuk ngobrol dengan temannya yang datang untuk mengambil katalog yang kubawa. Aku sempat nimbrung untuk menjelaskan spesfikasi barang dalam katalog, tetapi kemudian minta izin mengawasi tukang ketika percakapan sudah beralih dari urusan furnitur. Aku tidak ingin ikut campur dalam pembicaraan yang tidak ada hubungannya denganku. Tampaknya temannya itu sudah pulang.

"Iya, tinggal sedikit lagi. Maaf karena ternyata lebih lama daripada yang saya perkirakan." Aku memang memberi kisaran waktu saat Abimana menanyakan kira-kira berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk pemasangan wardrobes. Kalau dia punya kegiatan lain malam ini, jadwalnya pasti berantakan karena perhitungan waktu yang aku buat tidak akurat.

"Nggak apa-apa. Ini kan rumahku. Saya malah nggak enak sama kamu karena sudah malam, tapi masih tertahan di sini."

Untuk aku sih ini sudah risiko pekerjaan, tetapi aku hanya menanggapi dengan senyum. Abimana pasti sudah bosan mendengarku berceloteh jualan sejak tadi. Semoga suara yang kuhambur tadi bisa membuat teman Abimana tertarik membeli produk kami, supaya senyum sales yang kuumbar tidak sia-sia.

"Asal barang di kamar dan ruang tengah sudah jadi, yang lain nggak usah dikebut. Saya nggak buru-buru mau pindahan kok," Abimana mengulang informasi yang sudah pernah dia sampaikan sebelumnya sekali lagi.

"Sebagaian besar tinggal finishing kok, Mas." Menunda penyelesaian barang berarti menunda pembayaran juga. Kami tidak mungkin meminta Abimana membayar penuh sebelum barangnya siap. Semakin baik kondisi keuangan kantor, akan semakin baik pula keadaan rekeningku yang sekarang sedang koma. "Saya kabarin kalau sudah siap antar."

"Wah, cepat juga ya?"

"Diusahakan supaya cepat, Mas. Nggak enak membuat investor menunggu," jawabku basa-basi. Padahal maksudku tidak mau uang sisa DP pencairannya tertunda lama.

Aku lega saat melihat tukang mulai mengumpulkan peralatan, dan sebagian yang lain membersihkan ruangan. Kami selalu menekankan pada para tukang untuk tidak meninggalkan bekas apa pun setelah melakukan pekerjaan. Kalau tidak bisa membuatnya lebih bersih, mereka harus membuat semuanya mengilap seperti semula sebelum pulang.

Aku tinggal menunggu mereka selesai dan pamit pada Abimana. Aku sudah membayangkan betapa enaknya mandi air hangat sebelum bergelung di dalam selimut. Tentu saja setelah makan malam. Aku bukan Pandu yang bisa makan sore dan tidak terbangun karena kelaparan tengah malam.

"Saya sudah pesan makanan untuk kita," kata Abimana ketika aku pamit setelah para tukang pulang lebih dulu. "Nggak apa-apa nunggu sebentar, kan?"

"Harusnya nggak usah repot-repot, Mas," kataku tidak enak. Rasanya juga tidak nyaman berada hanya berdua di rumah ini, walaupun aku percaya Abimana tidak akan melakukan hal yang aneh-aneh padaku. Pembawaannya selama aku mengenalnya jauh dari gambaran seorang penjahat seksual. Dia terlalu sopan untuk masuk kategori itu. "Saya bisa makan di rumah."

"Sudah telanjur dipesan. Beberapa menit lagi pasti sudah tiba. Setelah makan kamu boleh pulang. Kamu nggak takut karena hanya tinggal berdua denganku, kan?" Abimana seperti bisa membaca pikiranku.

Aku buru-buru menggeleng. "Tentu saja tidak, Mas." Menolak lebih lanjut hanya akan membuat Abimana meragukan jawabanku.

Baiklah, makan malam tidak akan lama. Aku toh tidak harus mengunyah 32 kali untuk satu kali suapan. Makan dengan pelanggan juga bukan hal baru. Yang berbeda hanya tempatnya saja. Aku belum pernah makan di rumah mereka.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top