Empat
Cara paling jitu untuk mengenalkan produk furnitur kami adalah dengan mengikuti pameran. Dan karena pangsa pasar kami sudah dipetakan sejak awal, kami cukup selektif dalam memilih pameran. Kami menggunakan bahan-bahan premium sebagai bahan baku, jadi menyasar konsumen menengah ke atas.
Pameran adalah ajang untuk menemukan pelanggan dan investor. Kami bertemu Bu Joyo juga pada acara pameran. Beliau tertarik dengan desain kami yang tidak pasaran.
Investasi yang ditanamkan Bu Joyo kami harapkan bisa menggenjot produksi karena kami akan bisa membeli bahan baku lebih banyak, dan menambah tukang. Kalau kami bisa memenuhi semua permintaan yang masuk, prospek usaha kami jelas sangat menjanjikan.
Hari ini adalah hari ke-2 dari pameran yang kami ikuti. Pamerannya diselenggarakan oleh kementrian perindustrian dan berskala internasional. Kami sudah membagi cukup banyak brosur pada para calon pembeli potensial. Kami tidak punya cukup ruang untuk membawa banyak contoh furnitur jadi, jadi memang mengandalkan brosur. Kami akan mengarahkan calon pembeli ke kantor kalau mereka ingin melihat contoh barang dalam brosur yang tidak kami pamerkan.
"Baru datang dari percetakan nih!" Salwa meletakkan tumpukan brosur di atas meja di depanku. "Untung saja sudah selesai dicetak sebelum kita kehabisan brosur."
Aku meraih salah satu brosur. "Kalau brosur yang sudah kita bagikan bisa dijadikan patokan untuk menghitung jumlah calon pelanggan baru, kita bakalan sibuk banget."
Salwa mengangguk. "Semoga saja renovasi bengkel kerja dan showroom bisa selesai dalam waktu dekat, jadi kita bisa punya ruang pamer yang luas."
Kami memang sedang merenovasi kantor. Tidak afdal saja menentukan target pasar kalangan tertentu sementara penampilan kantor kami ala kadarnya.
Sebenarnya kami sudah lama merencanakan renovasi karena masih ada sisa tanah kosong yang lumayan luas. Rencana itu terus tertunda karena renovasi butuh biaya banyak, sedangkan kami harus memutar modal untuk meningkatkan produksi. Investasi yang ditanamkan Bu Joyo membuat rencana-rencana kami mulai terealisasi satu per satu.
Kami adalah generasi milenial merencanakan semua hal dengan detail. Terkonsep. Iya, hasil akhir jualan kami adalah furnitur, tetapi jualan di era digital tidak bisa lagi bergantung pada produk semata. Tempat jualan adalah bagian terpenting untuk menarik minat pelanggan.
Showroom yang tertata apik dan instagrammable penting untuk branding. Jadi ketika pelanggan datang dan ber-selfie, mereka tidak akan ragu-ragu menulis #cozyhome di media sosial mereka. Peran media sosial dalam memajukan usaha tak terbantahkan lagi. Jadi ya, penataan showroom yang maksimal penting untuk kelanggengan usaha.
"Kali ini kamu harus bersikap normal, layaknya orang waras lain di muka bumi. Nggak boleh ada adegan pamer jari dan kuku lagi."
"Apa?" Aku mengalihkan perhatian dari brosur yang sedang aku periksa. Foto-foto dalam brosur yang dibawa Salwa adalah foto baru, berbeda dengan brosur kami yang lama. Tampilannya juga lebih eksklusif. Cocok untuk pameran yang levelnya internasional seperti ini.
"Bu Joyo dan Abimana datang tuh!"
Aku segera berdiri begitu menangkap sosok elegan Bu Joyo yang diiringi Abimana memasuki booth kami. "Jangan khawatir," gumamku. "Hari ini aku waras banget. Kutikulaku mulai tumbuh lagi, jadi nggak layak untuk dipamer.
"Terima kasih, Tuhan!" Salwa ikut bergumam.
Aku menghampiri Bu Joyo dan memberikan senyum paling manis. Investor terbaik harus disambut dengan penuh cinta. "Selamat datang, Bu," sapaku.
"Halo, Ambar, Salwa." Bu Joyo balas tersenyum. Sorotnya tampak puas saat mengawasi booth kami. "Coffee table yang itu cantik banget." Beliau menunjuk meja tempat brosur-brosur yang baru dibawa Salwa tadi. "Desainnya unik."
Meja itu didesain Widi. "Kami sudah menerima banyak pesanan untuk coffee table ini, Bu." Aku melebarkan tangan ke arah kursi. "Oh ya, silakan duduk, Bu."
Salwa mengulurkan salah satu brosur yang baru dicetak kepada Bu Joyo yang lantas membolak-baliknya.
"Kelihatannya usaha kalian ada kemajuan nih," kata Bu Joyo. "Brosurnya aja beda dengan yang kemarin. Saya beneran nggak salah pilih tempat investasi nih. Senang banget lihat anak muda yang semangat berwirausaha, dan nggak tergantung pada orang lain untuk kerja."
"Terima kasih juga untuk kepercayaan Ibu." Aku bersungguh-sungguh. Mendapatkan investor bukan perkara mudah.
"Saya senang bisa membantu. Dan uangnya juga nggak cuma-cuma kok. Pembagian hasilnya juga menguntungkan yayasan kami."
Salwa menyikutku. Melalui lirikan, dia memberi isyarat supaya aku menghampiri Abimana yang sedang melihat-lihat barang yang kami pamerkan. Yap, saat untuk rekonsiliasi. Aku tidak mungkin menghindar. Aku lantas membiarkan Salwa bercakap-cakap dengan Bu Joyo.
"Kursi itu lumayan banyak yang suka," kataku pada Abimana yang mengamati kursi teras.
"Ini harganya nggak terlalu murah?" Abimana membaca label harga pada kursi itu.
"Diskon 20% untuk penjualan selama pameran, Pak. Harga normalnya ada di brosur."
"Menurut saya masih terlalu murah sih. Orang-orang nggak akan keberatan membayar lebih untuk barang yang berkualitas. Apalagi pangsa pasar kalian jelas banget."
"Terima kasih masukannya, Pak." Kami memang tidak mengambil margin keuntungan yang besar. Kami pikir yang penting adalah keluar-masuk barang lancar. Mungkin kami memang harus memperlebar margin itu dengan imej kami yang baru setelah renovasi kantor selesai.
"Website kalian gimana? Situs yang bagus akan menarik pelanggan, terutama dari luar negeri."
"Sedang diperbarui, Pak." Tentu saja kami sudah memikirkan website. Kami sudah merekrut web desainer yang akan bertanggung jawab pada tampilan situs kami.
Sekarang aku bisa mengerti mengapa Bu Joyo kelihatan sangat memercayai Abimana. Meskipun senyumnya mahal, dia terlihat sangat kompeten dan cerdas.
"Stool ini juga terlalu murah." Abimana beralih ke barang lain. "Di tempat lain jauh lebih mahal, padahal desain dan kualitas barangnya nggak sebagus produk kalian. Memang sih brand mereka sudah lebih terkenal. Tapi saya yakin, dengan promosi yang tepat, kalian bisa mengejar ketinggalan soal branding itu dengan cepat. Kualitas kalau nggak dibarengi dengan promosi, nggak akan mencapai hasil yang diinginkan dengan cepat. Sudah punya rekanan yang meng-handle promosi?"
Aku menggeleng. Promosi yang kami pikirkan baru sebatas brosur, website dan media sosial. "Belum, Pak."
"Nanti bisa kami fasilitasi dengan biro iklan. Jangan kaget dengan budget-nya ya. Biaya promosi memang akan menghabiskan lumayan banyak uang, tapi nggak bisa dihindari untuk membangun brand. Karena itulah kalian harus membuat penyesuaian harga. Perhitungkan biaya promosinya."
"Baik, Pak." Sekarang aku sedikit malu sudah bersikap lebay di pertemuan sebelumnya. Aku pasti terkesan seperti tong kosong yang bunyinya sangat nyaring. Punya bakat untuk menjalankan usaha, tetapi belum menguasai seluk-beluk dunia pemasaran modern.
"Sudah selesai diskusinya, Bi?" Bu Joyo yang diiringi Salwa menghampiri kami. "Kita harus melihat booth lain yang kita support juga."
"Sudah, Bu," jawab Abimana.
Keduanya kemudian meninggalkan booth kami.
"Aku senang karena kamu akhirnya beneran waras." Salwa menepuk punggungku. "Tadi Abimana kelihatannya lebih banyak bicara daripada sebelumnya."
Aku meringis. "Setelah obrolan tadi, aku akan melupakan pernah sakit hati padanya karena masalah kuku."
"Dia bilang apa?" Salwa memang tidak akan menangkap obrolan kami karena fokus dengan Bu Joyo.
"Banyak. Intinya soal promo untuk membangun brand kita biar lebih cepat dikenal. Otaknya ternyata lebih besar daripada yang aku pikir."
"Ukuran otak orang ganteng itu nggak harus minimalis, Mbar." Salwa mengedip. "Dia belum pakai cincin."
Aku berdecak. "Aku hanya bilang dia pintar. Itu pujian tulus, bukan karena aku tertarik. Aku nggak mungkin tertarik pada laki-laki yang baru beberapa kali aku temui."
"Kalian akan sering bertemu. Bu Joyo memercayakan Abimana untuk mengurus inventasi di usaha kita, kan?"
Ada-ada saja. Aku mengedik, malas membahasnya lebih lanjut.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top