Dua Puluh Tujuh
"Apakah laki-laki dan perempuan bisa bersahabat?" Salwa mengulang pertanyaanku. "Jawabannya bisa berbeda untuk setiap orang, Mbar. Memang ada sih hubungan antara perempuan dan laki-laki yang konteksnya murni hanya bersahabat, tetapi banyak juga yang akhirnya malah saling jatuh cinta, atau salah seorang dari keduanya yang jatuh cinta. Kamu pernah berada di fase itu, kan?"
Karena aku pernah berada di fase itu, makanya aku bertanya. Dulu aku jatuh cinta kepada Pandu. Berarti ada kemungkinan kalau Abi atau Rizky juga bisa jatuh cinta, kan? Tidak peduli siapa yang jatuh cinta kepada siapa, dan walaupun perasaan itu tak berbalas, tetapi kemungkinannya tetap terbuka, dan aku berada dalam lingkaran itu.
Atau, mereka pernah bersama sebelum Rizky bertunangan, dan ketika hubungan mereka tidak berhasil, mereka memutuskan untuk kembali bersahabat saja. Bisa begitu, kan? Kemungkinan itu juga tetap tidak menyenangkan untuk dipikirkan.
Kompetisi memacu adrenalin. Sering kali kita malah membutuhkannya untuk mengeluarkan sisi terbaik dari diri kita. Tetapi aku tidak pernah memikirkan akan berkompetisi dengan perempuan lain untuk merebut perhatian laki-laki. Tidak dulu, tidak sekarang. Ketika bicara tentang cinta, aku akan sangat konservatif. Memang bukan sikap yang membanggakan di tengah dengungan kesetaraan gender di masa kini, tetapi entahlah... bagiku cinta adalah sesuatu yang sangat pribadi, yang enggan kubicarakan dengan sembarang orang.
"Kenapa kamu harus ribet memikirkan hal-hal yang belum pasti, tetapi jelas bikin galau sih?" tanya Salwa lagi. "Kalau kamu meragukan Abimana, coba bayangkan bagaimana perasaannya saat tahu kamu juga pernah jatuh cinta pada Pandu, dan hubungan kalian masih sangat dekat sekarang."
"Itu berbeda!" protesku. Bisa-bisanya Salwa membandingkan Rizky dan Abimana!
"Sama saja, kalau Abimana juga pernah jatuh cinta pada Rizky." Salwa mengangkat telunjuknya padaku. "Ingat, ini kalau lho ya, karena belum tentu seperti itu. Bisa jadi mereka memang hanya bersahabat. Please deh, Mbar. Kamu terlalu pintar untuk membiarkan masa lalu merintangi hubunganmu yang sekarang."
Aku tahu jika masa lalu pasangan adalah hal yang tidak seharusnya dipermasalahkan, karena hal itu sudah menjadi sejarah. Dan sejarah pasangan adalah urusannya sendiri, bukan urusan kita, karena kita tidak ada di sana ketika peristiwa itu terjadi.
Teorinya seperti itu. Tapi kita semua tahu kalau teori dan praktik tentang perasaan sering kali tidak seiring sejalan. Tidak ada rumus atau hipotesis yang benar-benar valid ketika berurusan dengan emosi. Dan cinta adalah emosi yang paling dasar. Di sana ada kebahagiaan, kekecewaan, kesedihan, dan tentu saja kecemburuan.
Aku menarik napas panjang berulang-ulang, berharap bisa menjernihkan kepala dari sergapan emosi yang menyesatkan. Ini pasti gara-gara PMS. Hormon membuatku membesar-besarkan hal yang sebenarnya remeh. Galau untuk sesuatu yang bahkan belum pasti.
Salwa benar. Masa lalu adalah masa lalu. Sekadar tempat bercermin, karena orang tidak akan pernah bisa kembali ke sana. Kenapa harus menyiksa diri dengan memikirkan sesuatu yang belum tentu benar? Toh apa pun yang terjadi di masa lalu Abi, di masa sekarang, akulah pasangannya. Lebih baik tidak membuang waktu untuk meragukan Abimana.
Kegagalan sebuah hubungan biasanya berawal dari keraguan, karena ragu akan membuat kita mempertanyakan banyak hal yang sebenarnya tidak perlu. Menguras energi, dan pada akhirnya kita akan kehilangan kegembiraan dalam menjalani hubungan.
Pikiran itu membuatku lega. Aku telah bereaksi berlebihan setelah menyadari kalau perasaanku pada Abimana lebih dalam daripada apa yang selama ini aku sangka. Tidak ada yang salah dengan jatuh cinta pada pasangan, kan? Seharusnya malah lebih bagus karena perasaan timbal-balik membuat hubungan tidak timpang, karena antuasiasme menjalaninya akan datang dari kedua belah pihak.
Aku mencoba mengalihkan perhatian dari urusan asmara dengan memeriksa laporan yang seharusnya kukerjakan beberapa jam lalu, sebelum akhirnya malah curhat pada Salwa dan bercerita tentang sahabat Abimana yang cantiknya di luar nalar. Kedua orang tua Rizky mungkin pernah memenangkan kontes raja dan ratu-ratuan.
"Serius banget!" Suara itu terdengar saat aku sudah fokus dengan angka-angka yang ada di laporan. Pandu masuk ke ruanganku. Daun pintuku memang hanya formalitas karena nyaris tidak pernah tertutup. Dia duduk di depan mejaku. "Makan siang yuk," ajaknya.
Aku spontan melirik pergelangan tangan, meskipun hal itu sebenarnya tidak perlu. Kemewahan sebagai salah seorang pemilik usaha adalah aku bisa keluar kapan saja tanpa harus meminta izin kepada siapa pun. "Makan siang jam sebelas? Yang benar saja!"
Pandu memang jarang sarapan dengan menu yang berat, tetapi biasanya tidak cepat lapar karena di dekat bengkel ada toko kue dan roti. Pastrinya juara. Hampir setiap hari dia membeli kue di sana untuk dinikmati bersama pegawai di bengkel, sehingga jam makan siangnya bisa mundur sampai jam dua.
"Sekalian ngobrol, Mbar. Ada yang mau aku omongin." Tidak seperti biasa, Pandu tampak serius.
"Ada masalah dengan bengkel?" Itu yang pertama tercetus di benakku. Bengkel warisan ayah adalah segalanya untuk Pandu. Pasti masalahnya serius kalau Pandu sudah memutuskan untuk membicarakannya denganku, karena dia adalah tipe orang yang lebih suka menyelesaikan masalah sendiri daripada harus melibatkan aku. "Sertifikat tanah bengkel ada di rumah kok. Pasti diterima sama bank. Aku yakin nilainya pasti tinggi. Lokasinya kan bagus banget."
Seperti halnya kepemilikan bengkel, tanah tempat bengkel itu didirikan seharusnya kami bagi dua juga. Tetapi Pandu menolak, dan membiarkan aku yang memegang sertifikatnya. Aku dan Mama tidak memaksa. Toh kalau Pandu berubah pikiran, dia bisa meminta haknya kapan saja, dan kami akan memberikannya.
"Bukan... bukan masalah bengkel kok. Bengkel baik-baik saja. Keuntungan meningkat. Akhir tahun kamu pasti dapat bonus lumayan banyak."
"Tante?" aku menebak lagi. Kemarin Mama memasak soto Banjar andalannya untuk dibawa ke rumah Pandu karena katanya ibu Pandu sakit. Hubungan Mama dan ibu Pandu sangat dekat. Seperti Pandu, ibunya juga sudah termasuk keluarga.
"Mama hanya flu saja. Sudah sembuh kok. Tadi sudah masuk kantor."
"Jadi mau ngomongin apa dong?" tanyaku lagi.
Pandu menyeringai lebar. Dia bangkit dari duduknya. "Ngobrolnya nanti saja di restoran. Yuk, pergi sekarang."
Aku menyambar tas cemberut. "Aku paling benci dibikin penasaran seperti ini."
Pandu hanya tertawa. Dasar laki-laki! Serabut urat penasaran mereka pasti pendek dan tipis.
Telepon Abimana masuk saat aku dan Pandu sudah menuju restoran. Aku langsung mengangkatnya.
"Makan siang?" Aku mengulang pertanyaan Abimana dan menoleh pada Pandu yang juga spontan melihatku. Dia menggeleng. "Aku sudah telanjur keluar dengan Pandu nih," jawabku jujur. "Makan malam saja ya?" tawarku.
Gelengan Pandu pasti menandakan jika dia tidak ingin percakapan kami diikuti orang lain. Itu sebenarnya juga aneh sih. Biasanya Pandu tidak punya rahasia. Dia juga sudah tiga kali bertemu Abimana di rumahku, dan kelihatannya mereka cocok. Mereka terlihat akrab dan santai saat mengobrol.
"Oke, sebentar aku tunggu di kantor ya." Aku menutup telepon setelah menyepakati makan malam bersama Abimana. Aku kembali menatap Pandu. "Sebaiknya apa yang akan kita omongin ini penting, karena aku baru saja menolak sayur organik yang ditumis dengan minyak zaitun untuk makan kulit atau ceker ayam yang digoreng pakai minyak jelantah."
Pandu tertawa. "Tubuh kita sudah didesain untuk menaklukkan makanan, Mbar. Asal rajin olahraga, lemak nggak akan numpuk kok."
"Kamu kuliah teknik, jadi nggak usah ngomongin anatomi tubuh manusia dan caranya mencerna makanan," sergahku jengkel.
"Di zaman digital seperti sekarang, nggak perlu jadi dokter untuk tahu hal-hal dasar tentang anatomi saluran cerna, Mbar. Ilmunya berhamburan di internet asal mau baca. Gampang banget dipahami orang awam. Kalau sudah mendalam, itu baru berhubungan dengan profesi. Kasihan banget para dokter kalau sesi konsultasinya untuk satu pasien bisa berjam-jam karena pasiennya terlalu malas untuk cari informasi sendiri megenai penyakitnya."
"Kok jadi ngomongin dokter sih?" Aku tertawa menyadari kami sudah melenceng dari topik semula.
Pandu berdecak. "Kan kamu yang mulai menyebut anatomi dan saluran cerna."
"Kayak kamu nggak lompat-lompat aja bahasannya kalau ngobrol." Dahiku berkerut saat Pandu memasuki pelataran parkir sebuah restoran Jepang. "Serius kita nggak makan sebakul nasi dan ceker setan atau rawon yang isinya lebih banyak tetelan daripada daging? Yang bisa bikin pembuluh darah kita tersumbat dan harus masuk IGD 10 tahun depan?"
"Aku menyesuaikan dengan pola makan kamu yang mulai aneh beberapa bulan ini." Pandu memarkir mobil dengan ahli di sela dua mobil. "Jadi pembuluh darah kamu akan baik-baik saja 10 tahun mendatang. Apalagi kalau kamu makin rajin olahraga."
Aku mencibir. "Aku berolahraga sesuai kebutuhan."
"Olahraga itu rutinitas, Mbar. Nggak hanya dilakukan saat celana atau rok kamu sulit dikancingkan saja, dan balik malas lagi setelahnya."
Aku turun dari mobil, menyusul Pandu yang berjalan lebih dulu. "Iya, Pak Guru. Terima kasih untuk ceramahnya."
Pandu menggeleng-geleng, tidak lagi menjawabku. Aku menyikut lengannya ketika mendengarnya memesan ruangan. Anak ini kenapa sih? Aku tahu persis kalau Pandu adalah tipe warteg yang bisa makan dengan santai tanpa peduli terjangan debu dan asap knalpot. Dia lebih mementingkan cita rasa dan sensasi kenyang daripada kenyamanan yang dijual oleh suatu tempat.
"Kita hanya makan berdua, jadi nggak perlu ruangan khusus." Aku berjinjit supaya bisa berbisik di telinga Pandu. Tidak enak meributkan tempat di depan pegawai restoran. Bisa-bisa aku dianggap pelit karena melarang Pandu memesan ruangan khusus untuk kami. "Mau makan di luar atau di dalam ruangan toh rasa makanannya sama saja."
"Ini bukan soal rasa makanannya, Mbar." Pandu baru menjawab setelah kami mengikuti pegawai restoran yang mengantar kami ke ruangan. "Kita butuh tempat yang leluasa untuk bicara."
Saat melihat ekspresi Pandu yang kembali serius, nyaliku tiba-tiba ciut. Jantungku berdebar lebih cepat. Ya Tuhan, jangan bilang Mama sudah bicara dengan dia! Mama memang selalu tampak ramah saat bertemu Abimana, tetapi aku tahu dia masih berharap pada Pandu, karena dia sangat yakin jika aku akan bahagia bersama Pandu yang menurutnya sudah sangat mengenal dan pasti bisa menerima semua kelebihan dan kekuranganku.
Tidak, aku tidak mau membicarakan hal itu sekarang! Aku belum siap.
**
Semoga bintangnya cepet sampai ya. Jangan seperti part kemaren yang sudah sebulan tapi belum nyampe-nyampe. Atau... kalau minggu depan nggak nyampe, part lanjutan aku post di Karyakarsa dulu, sambil menunggu di Watty cukup jumlah bintangnya? (tetap akan di-update di sini kok).
Kok kesannya aku terobsesi bintang sih? Sebenarnya nggak juga. Ini hanya masalah hubungan timbal balik dengan pembaca. Aku ngasih bacaan gratis, dan berharap pembaca ngasih bintang. Beda kalau aku upload di aplikasi berbayar. Aku nggak menuntut apa pun dari pembaca karena tahu kalian sudah keluar duit untuk membaca, jadi wajar untuk nagih dan protes kalau aku telat update dari jadwal. Keterlaluan banget kalau aku masih minta macam-macam.
Dan... Tengkiuuu soberimac untuk yang udah ikutan PO Menanti Hari Berganti ya. Jujur, Risyad alias Bang Icad adalah karakter favoritku dari semua yang sudah aku tulis. Dia manusiawi banget. Tengil dan nyebelinnya ada, narsisnya pol habis, tahu apa yang dia inginkan, konsisten dengan pilihannya, dan tentu saja, humornya suka garing. Hehehe...
Lopyu, Gengs....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top