Dua Puluh Tiga

Masuk rimba komitmen setelah sekian lama nyaman dengan status jomlo ternyata butuh penyesuaian. Ada tambahan jumlah panggilan telepon dan notifikasi pesan di ponsel yang harus dijawab. Ada waktu khusus yang harus disiapkan untuk we time yang dihabiskan sekadar makan bersama ataupun nonton.

Bukannya aku keberatan, karena aku juga senang bersama Abimana. Ada saja hal baru tentang cara mengelola usaha yang kudapatkan saat obrolan kami menyempet bisnis. Hal yang paling menguntungkan dari memiliki pacar pintar itu adalah membuatku ikut kecipratan ilmunya, sehingga aku tidak perlu membayar dan menyediakan waktu khusus untuk mengikuti kelas-kelas entrepeneur. Menghemat uang, tenaga, dan waktu, tetapi bisa belajar dari ahlinya. Seperti menembak jatuh 2 ekor burung sekaligus hanya dengan menggunakan satu butir peluru, atau melakukan lemparan strike saat bermain boling. Kemampuan yang akan membuatmu takjub dan bangga sesaat pada diri sendiri, lalu spontan berseru, "yessss!"

Perumpamaannya terlalu berlebihan? Mungkin juga sih. Tapi aku memang puas dengan keputusanku memilih Abimana untuk mengakhiri masa jomlo. So far so good. Sama sekali tidak ada keluhan tentang Abimana. Dia bukan tipe yang memborbardir dengan telepon untuk hal-hal sepele seperti menanyakan di mana aku berada, tetapi pasti menyempatkan memberi kabar. Intensitasnya tidak membuatku merasa menjadi wajib lapor. Saat ngobrol tentang usaha, dia tidak terkesan menggurui. Dia selalu mendengarkan, dan tidak memotong saat aku bicara. Abimana membuatku merasa bahwa hubungan kami memang "kita" dan tidak berfokus pada dirinya saja. Setelah punya hubungan buruk dengan vokalis band yang sangat "aku", Abimana membuatku merasa memiliki hubungan dewasa yang tidak mengekang, tetapi tetap terhubung.

Kalaupun ada yang sedikit mengganjal, itu hanya tentang John Wick, karena biasanya dia hanya kuparkir di kantor ketika Abimana datang menjemputku saat kami akan keluar bersama. Kadang-kadang aku merasa sedikit bersalah karena mengabaikannya. Biasanya John Wick yang selalu menemaniku ke mana pun. Seperti selingkuh tipis-tipis, tetapi dia hanya pasrah karena tidak berdaya untuk melarangku melakukannya.

Aku baru keluar dari kamar mandi saat ponselku berdering. Bunyinya berhenti tepat saat hendak aku angkat. Abimana ternyata sudah menghubungiku sampai 6 kali. Tidak biasanya dia menelepon beruntun seperti itu. Biasanya dia memberi jeda cukup lama saat 2 panggilan pertamanya tidak aku angkat karena ponselku ketinggalan di ruang kantor, sementara aku berada di showroom atau mengecek tukang yang sedang bekerja. Mungkin karena dia tahu aku sedang sibuk, dan dia tidak ingin mengganggu. Itu hal lain yang aku sukai dari Abimana. Dia tidak terkesan memaksakan diri berada di daftar paling atas dari prioritasku.

Aku segera menghubunginya kembali. Hari ini kami memang janjian bertemu. Pasangan pekerja yang seperti kami memang hanya punya banyak waktu di akhir pekan, saat kami tidak dikejar waktu untuk segera mengakhiri pertemuan.

"Sori, tadi aku di kamar mandi," kataku setelah menjawab salam Abimana. "Ada apa?" Telepon tanpa jeda bukan gayanya, jadi pasti ada yang sangat penting. Janji temu kami masih sekitar 2 jam lagi, jadi kemungkinannya Abimana membatalkan pertemuan karena ada kegiatan penting yang tidak bisa ditinggalkan.

"Aku ada di depan rumah kamu," jawaban Abimana di luar dugaanku.

Aku membeku sejenak. Abimana tahu rumahku, tetapi dia belum pernah mampir. Biasanya dia menjemputku di kantor, dan setelah selesai jalan bersama dia mengantarku kembali ke sana, lalu aku akan pulang dengan John Wick. Beberapa minggu lalu, kami nonton film dan pulang cukup larut. Waktu itu hujan lebat sehingga jarak pandang sangat pendek. Meskipun aku sudah melarang, Abimana berkeras mengiringiku dan John Wick dari belakang sampai ke rumah, jadi dia tahu alamatku.

Kami sudah jadian resmi lebih dari sebulan, tetapi waktu itu masih terlalu singkat untuk membawanya ke rumah dan memperkenalkannya dengan Mama. Di umur seperti sekarang, aku merasa butuh hubungan yang stabil dulu sebelum membawa seorang laki-laki menemui Mama. Aku harus benar-benar yakin. Aku tidak mau membuat kebahagiaan Mama berumur singkat karena hubungan yang aku jalin ternyata hanya sesaat.

Jadi biasanya, saat Abimana mengatakan akan menjemputku di rumah saat akhir pekan, aku akan mencari alasan supaya kami bertemu di luar saja. Tampaknya kali ini aku kecolongan karena dia sudah berada di depan rumahku. Aku tidak punya pilihan selain mengajaknya masuk. Masa iya aku menyuruhnya menunggu di mobil sementara aku bersiap-siap?

"Tunggu, aku turun sekarang." Aku buru-buru menyisir rambut yang berantakan.

Gerakanku rupanya tidak cukup cepat, karena Mama sudah membuka pintu depan saat aku baru menginjak anak tangga yang pertama. Samar-samar, aku bisa menangkap percakapan perkenalan Mama dan Abimana.

"Silakan masuk, Ambar masih di atas."

"Aku sudah di sini kok." Aku buru-buru menginterupsi percakapan Mama dan Abimana.

Abimana mengulurkan parsel buah yang dibawanya kepadaku.

"Terima kasih, seharusnya nggak usah repot-repot." Aku meraih parsel itu, sengaja mengabaikan pandangan Mama yang bertanya-tanya. Aku tahu kami akan melakukan percakapan berbau interogasi setelah Abimana pergi. Rencanaku memberi jarak lebih lama sebelum memperkenalkan mereka sudah gagal. "Masuk yuk!"

Mama ikut duduk dan berbasa-basi sebentar sebelum pamit ke dalam. Aku bisa membaca tatapan sebalnya padaku. Dia pasti sudah menduga hubunganku dengan Abimana. Seorang laki-laki yang datang berkunjung dengan membawa buah tangan di akhir pekan tidak mungkin hanya teman biasa. Mama pasti jengkel karena aku tidak pernah mengatakan dekat dengan siapa pun, dan tiba-tiba saja seseorang datang menyambangi rumah kami.

**

"Ibu kamu suka apa?" tanya Abimana saat kami sudah meninggalkan rumahku. Seperti biasa, kami memakai mobilnya. Aku tidak mungkin memintanya meninggalkan mobilnya di rumahku dan mengajak John Wick yang menemani kami. Menyodorkan John Wick supaya dikemudikan Abimana juga berlebihan. Lagi pula, selama ini, selain aku, hanya Pandu yang yang mengemudikan John Wick. "Seharusnya aku menanyakannya dulu sama kamu supaya bisa membawakan sesuatu yang istimewa untuk beliau."

"Kamu nggak perlu membawa apa-apa saat datang ke rumahku."

"Kesannya kan nggak sopan, Ambar. Sebagai pasangan kamu, aku ingin menampilkan kesan yang baik. Aku pengin ibumu merasa nyaman saat melepasmu keluar bersama aku, karena dia tahu aku bisa dipercaya."

"Kamu tadi datang membawa buah." Aku tertawa kecil mendengar pemikiran Abimana yang terlalu jauh.

"Buah kan bukan sesuatu yang istimewa. Hobi ibu kamu apa?"

"Ngumpulin berlian. Kebetulan Mama lagi nyari-nyari berlian pink dari Afrika. Dia pasti senang banget kalau kamu bawain itu." Tawaku makin menjadi melihat ekspresi Abimana. "Bercanda. Mama nggak suka perhiasan kok. Apalagi yang mahal-mahal. Mama suka tanaman. Kalau kamu perhatikan, pasti tadi lihat banyak banget tanaman hias di rumah. Mama punya kebun kecil di belakang rumah. Untuk cari kelakuan baik sama Mama, kamu cukup bawa anakan anggrek atau aglonema saja, pasti nilai kamu langsung A++."

"Tanaman hias ya?" Abimana mengangguk-angguk. "Kebetulan, ibuku juga suka tanaman. Tanaman hias, maupun tanaman buah. Halaman belakang rumah kami sudah mirip hutan karena sejak dulu dijejali dengan berbagai jenis tanaman." Abimana ikut tertawa kecil. "Mereka pasti cocok."

Halaman belakang yang mirip hutan. Entah mengapa aku merasa halaman belakang rumahnya pasti luas.

"Kita mau makan di mana?" aku mengalihkan percakapan dari tanaman. Tentu saja aku suka melihat rimbun tanaman yang ditata asri, tapi bukan tipe yang betah bermain tanah berlama-lama seperti Mama. Aku tidak sesabar itu. Hobi berkebun atau menanam bunga memerlukan komitmen yang melibatkan hati, dan hasilnya tidak instan. Butuh waktu untuk menyemai benih, atau menumbuhkan sehelai daun dari tanaman yang baru ditanam. Aku lebih suka melakukan sesuatu yang langsung kelihatan hasilnya saat dikerjakan.

"Terserah kamu saja," jawab Abimana.

"Jangan terserah aku dong. Mungkin saja tempat yang aku pilih nggak sesuai dengan selera kamu."

"Aku nggak rewel soal makanan kok. Apalagi kalau makannya sama kamu."

Aku langsung tertawa mendengar ucapan Abimana.

Abimana menoleh. "Kenapa, kok ketawa?"

"Kalau ingat ekspresi kamu saat pertama kali kita ketemu, aku beneran nggak menyangka kamu bisa mengeluarkan rayuan garing seperti itu." Aku masih ingat bagaimana dia membolak-balik tangannya setelah kami bersalaman.

"Nggak usah diingatkan lagi!" Meskipun nadanya menggerutu, tapi Abimana tersenyum. Manis. Bikin berdebar-debar. Untung berdebar-debarnya setelah jadian sehingga aku tidak dibayangi kemungkinan terjebak dalam kisah kasih tak sampai lagi. Bikin capek hati.

Sudah menjelang sore saat Abimana mengantarku kembali ke rumah. Dia langsung pulang setelah pamit pada Mama.

Mama langsung menyeretku ke ruang tengah begitu mobil Abimana hilang dari pandangan.

"Sudah berapa lama kalian dekat?" tampang Mama tampak masam. Senyumnya saat melepas Abimana tadi sudah raib. "Kok kamu nggak bilang-bilang sama Mama kalau sudah punya teman dekat?"

"Belum lama. Makanya aku belum sempat bilang sama Mama."

"Seberapa serius?" nada Mama terdengar mendesak. Sindrom keponya jelas terlihat.

Aneh juga. Padahal biasanya Mama tidak pernah terlalu ambil pusing dengan urusan asmaraku yang kering kerontang. Ini mungkin karena Mama takjub karena aku akhirnya menemukan pasangan yang berkualitas. Sopan, mapan, dan ... ehm... tampan.

"Ya, seriuslah, Ma. Masa di umur segini aku mau cari pasangan sekadar main-main saja sih?"

Bukannya semringah, dahi Mama malah makin berkerut. "Terus Pandu gimana?"

Mataku sontak membelalak. Mulutku pasti bisa menampung bola tenis karena menganga lebar. "Apa hubungannya dengan Pandu?" Ada-ada saja.

Bahu Mama melorot. "Mama tidak meragukan kemampuanmu menilai orang yang akan menjadi pasanganmu, Mbar. Tapi Mama lebih suka Pandu yang menjadi menantu Mama. Kamu lihat sendiri kan baagaimana dia mau terlibat merawat Ayah dulu? Dia menolak masuk kamar dan rela tidur di sofa supaya bisa mendengar kalau-kalau Ayah terbangun tengah malam dan harus ke kamar mandi." Mama mengusap air mata yang turun membasahi pipinya. "Ketika Ayah benar-benar sudah tidak berdaya, Pandu yang lebih sering mengganti popoknya daripada Mama. Padahal kita sama sekali nggak punya hubungan darah, tapi dia begitu menyayangi kita. Kalau sama ayahmu saja dia bersikap seperti itu, apalagi sama pasangannya. Mama akan tenang kalau melepasmu pada Pandu, karena yakin dia tidak akan pernah menyakitimu."

**

Untukku, apresiasi pembaca penting banget. Itu kayak take and give. Aku ngasih bacaan, pembaca ngasih bintang, supaya aku bisa tahu berapa pembaca aktif novel ini (ehem... jadi bisa ngitung berapa yang akan beli setelah cetak nanti. hehehe...)

Jadi biasanya, setelah babnya masuk belasan, dan aku sedang nggak sibuk, aku akan update berdasarkan jumlah bintang yang masuk. Makin bagus respons pembaca, makin sering di-update. Sekarang aku sedang lowong, jadi aku pikir bisalah update tiap hari atau paling nggak, 2 hari sekali. Tapi ternyata bintangnya seret banget. Jadi ya, balik ke regulary update per minggu aja.

Oh ya, buat grammar nazi yang baru main di lapakku, aku ingetin ini masih naskah mentah banget ya. Belum melewati proses swasunting yang memadai, jadi kalau ada typo atau pengulangan kata yang nggak seharusnya, dan bikin mata dan jempol kalian gatal, harap dimaklumi. Dikomplain pun nggak akan dibenerin. Proses swasunting dan penyuntingan oleh editor akan dilakukan setelah naskahnya selesai ditulis dan siap untuk diterbitkan.

Trus satu lagi, buat yang ngikutin The Runaway Princess di Storial, maaf karena slow update. Aku udah uninstall aplikasi Storial karena lebih sering error daripada lancarnya. Dan karena udah nggak punya aplikasinya di ponsel, jadi rada males bukanya di browser. Aku akan omongin dulu dengan petinggi Storial soal nasib naskah itu, karena udah telanjur kontrak. Cuman jujur, sebel sih dengan aplikasi yang lelet, walaupun royaltinya sangat menjanjikan.

Tengkiiiiuuuu soberimac. lope-lope yuol....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top