Dua Puluh Dua

Apa yang lebih dibutuhkan oleh seorang perempuan dalam sebuah hubungan selain kenyamanan? Cinta mungkin akan menjadi jawaban yang penting, tapi bukankah cinta bisa tumbuh dari rasa nyaman itu?

Aku tidak ingin serakah, jadi ketika menyadari bahwa aku merasa nyaman berada di dekat Abimana, aku tahu kalau aku tidak keberatan meningkatkan status hubungan kami dari PDKT ke arah komitmen yang lebih serius. Kalau kata anak alay, 'Aku dan kamu yang menjadi kita.' Iya, cieeee...

Setelah menjomlo lumayan lama, prospek perubahan status membuatku antusias. Aku sudah menyiapkan jawaban "iya" yang terdengar tegas dan yakin ketika ditembak Abimana. Seorang laki-laki tidak mungkin menyukai jawaban yang terkesan ragu-ragu dan setengah hati, kan?

Tetapi Abimana tampaknya santai saja. Sikap yang membuatku dilema. Apakah menurutnya kami masih butuh waktu untuk saling mengenal sebelum meminta kesediaanku menjadi pacarnya? ataukah menurutnya kedekatan kami sudah otomatis menaikkan level hubungan, tanpa perlu pernyataan dan main tembak-tembakan lagi?

Sekali lagi, karena sudah terlalu lama tidak punya hubungan asmara, aku seperti butuh peta supaya tidak tersesat saat masuk area itu lagi. Mungkin saja hubungan orang dewasa sudah lebih mengutamakan sikap daripada sekadar kata-kata. Tapi sebagai perempuan, aku tetap saja merasa butuh penegasan. Hubungan terakhirku dengan si vokalis berengsek itu terjadi saat aku masih dalam fase young adult.

"Hubungan kamu dan Abimana sudah nggak masuk dalam level PDKT lagi," kata Salwa yang kujadikan tempat curhat. "Pertemuan kalian lebih dari sekali seminggu."

"Memangnya ada landasan teori yang mematok waktu pertemuan lebih dari sekali seminggu untuk masuk dalam kategori pacaran?" tanyaku ragu. Jangan-jangan itu teori ngawur Salwa saja. Dia adalah tipe sahabat yang bisa mendadak punya definisi operasional tentang pacaran hanya untuk membuatku merasa mantap dengan Abimana.

"Selain frekuensi pertemuan, skinship juga bisa jadi indikator." Rautnya mendadak jail. "Tentu saja hal itu tidak berlaku untuk orang yang sudah menyetujui hubungan teman tapi mesra. Mereka akan melakukan interaksi fisik, tanpa perlu komitmen. Dan aku yakin hubungan kalian tidak mengarah ke sana."

"Hubungan TTM itu hanya untuk orang yang tidak menghargai dirinya sendiri," omelku. Bisa-bisanya Salwa sampai membuat perbandingan seperti itu.

Daripada punya hubungan teman tapi mesra, aku lebih baik menjomlo saja. Bodoh sekali menyetujui hubungan seperti itu. Aku tidak mengerti pertimbangan perempuan yang mau main fisik, tapi tidak melibatkan hati untuk berkomitmen dalam hubungan serius.

"Tidak juga," bantah Salwa. "Jangan menghakimi pilihan orang dalam menjalani hubungan yang dia inginkan dong. Setiap orang punya alasan sendiri untuk keputusan yang diambilnya. Bisa jadi komitmen terlalu memberatkan, tetapi mereka tetap merasa butuh interaksi fisik. Kebutuhan orang kan beda-beda, Mbar."

Aku hanya mengedikkan bahu tidak setuju. Kalau menyangkut hubungan asmara, aku tipe konservatif. Komitmen dulu sebelum aku mulai menginvestasikan waktu dan perhatian. Mungkin karena itulah aku menunggu Abimana membuka percakapan tentang hubungan kami setelah kesepakatan untuk penjajakan. Aku perlu tahu apakah menurutnya kami masih berada di tahap itu, ataukah sudah menapak level yang lebih tinggi, sehingga aku bisa mengambil keputusan bagaimana harus bersikap menghadapinya. Sikap sebagai gebetan dan pacar resmi tentu saja berbeda, kan?

"Menurutku, Abimana itu tipe orang serius yang nggak akan membuang-buang waktu untuk hal yang tidak penting," sambung Salwa sambil menunjuk dinding kaca showroom. Aku bisa melihat mobil Abimana memasuki pelataran parkir. "Dia nggak akan datang ke sini untuk mengajak kamu makan siang kalau kamu nggak sepenting itu untuknya. Kamu saja tuh yang kebanyakan mikir dan berprasangka."

"Aku kan tipe orang yang lebih suka warna terang kalau menyangkut hubungan. Hitam atau putih, Aku tidak mau terjebak di area abu-abu, dan bikin aku bertanya-tanya sendiri seperti sekarang."

"Area abu-abu itu hanya ada dalam pikiran kamu," sambut Salwa enteng. "Kalau nggak percaya, tanya langsung sama Abimana deh."

Aku spontan memelotot. "Masa aku yang tanya sih? Kedengarannya pasti agresif banget."

"Daripada kamu penasaran sendiri, kan? Aku sih yakin dengan intensitas pertemuan seperti sekarang, Abimana tidak lagi menganggap kalian masih dalam tahap PDKT." Salwa mendorong bahuku. "Sambut tuh pujaan hati kamu!" Dia berbalik menuju bagian dalam gedung, tempat ruangan kantor kami berada.

Aku mencibir menatap punggung Salwa. Penasaran sih memang tidak enak, tetapi mendahului membuka percakapan soal status hubungan kan gengsi juga. Menjadi perempuan memang susah, apalagi yang gengsian seperti aku.

Kalau tidak gengsian, cinta monyetku mungkin tidak akan layu sebelum berkembang. Aku akan menembak Pandu saat sadar aku naksir dia. Dulu. Belum tentu ditolak, kan? Bisa saja Pandu memang belum punya rasa untukku, tapi dia mau memberi kesempatan untuk hubungan kami, dan dia akhirnya benar-benar mencintaiku. Namun, karena aku tipe gengsian yang lebih suka menyimpan rasa dalam diam, akhirnya Pandu malah pacaran dengan orang lain.

Kenapa aku harus terus membandingkan Pandu dengan Abimana sih? Aku menggeleng kuat-kuat, mencoba menepis pikiran itu.

"Tadi menelepon ya?" Aku menyongsong Abimana yang mendorong pintu showroom. Ponselku ada di ruang kerja, dan aku tadi sudah cukup lama berada di showroom untuk menemani salah seorang pelanggan tetap yang royal. Setelah dia pergi, Salwa datang, dan aku belum sempat kembali ke ruanganku.

"Belum sempat menelepon. Kebetulan ada meeting di dekat sini, jadi sekalian mampir ngajak kamu makan siang." Abimana melihat pergelangan tangan. "Kebetulan waktunya cocok. Kamu belum pesan makanan, kan?" Dia mulai menghafal kebiasaanku lebih memilih makan di kantor daripada di luar.

"Belum. Tadi ada pelanggan yang harus aku temani di sini. Aku ambil tas dulu ya."

"Kita hanya makan di dekat sini, nggak bawa tas juga nggak apa-apa sih." Abimana mengekoriku meninggalkan showroom menuju ruanganku. "Eh, tapi perempuan kayaknya memang harus menenteng sesuatu kalau bepergian ya?"

Aku tertawa mendengar kalimatnya yang terakhir. "Karena tas itu adalah kantong Doraemon untuk perempuan. Ada banyak benda kecil yang mungkin remeh, tapi superpenting untuk perempuan. Nggak usah tanya benda apa, karena laki-laki can't relate."

"Aku memang nggak berniat tanya." Nada Abimana mengandung senyum. Setelah dekat dengannya, aku menyadari kalau Abimana tidak sependiam dan seserius yang semula aku pikir saat melihat pembawaannya di awal-awal pertemuan kami. "Khawatir malah makin bingung setelah dijelaskan."

Salwa bersedekap dan bersandar di kusen pintu ruangannya. Aku memelototinya, memberi peringatan lewat tatapan supaya tidak mengeluarkan kalimat apa pun yang berhubungan dengan percakapan kami tadi.

"Aura pasangan baru memang beda ya?" Salwa memilih mengabaikan isyaratku. Dia menatap dan tersenyum pada Abimana. "Sebagai sahabat, Ambar kadang-kadang nyebelin karena dia punya masalah dengan temperamen kalau dikejar deadline pesanan pelanggan. Saya jadi penasaran bagaimana sikap dia sebagai pacar. Soalnya, ini untuk pertama kalinya setelah sekian abad, dia akhirnya punya hubungan dengan seseorang yang punya darah, daging, dan otak. Bukan rongsokan yang harus dikasih minum bensin dulu sebelum mau bergerak."

Aku memutar bola mata mendengar kalimat lebay Salwa. Aneh bagaimana ungkapan segaring itu bisa disambut senyum Abimana.

"Wah, saya malah belum pernah melihat Ambar mengomel atau marah-marah."

"Kan umur pacarannya belum lama, Mas. Sabar saja, seiring waktu, semua borok si Ambar pasti akan kelihatan juga. Saran saya, siapin mental saja." Salwa mendesah, memberi kesan kalau dia prihatin akan apa yang dihadapi Abimana saat aku berada dalam mode menyebalkan. "Ya, tapi apa sih yang nggak bisa diterima oleh cinta?"

Aku buru-buru masuk ke ruanganku, menyambar tas dan ponsel, sebelum Salwa semakin menggila. Seperti aku tidak tahu ke mana dia menggiring percakapan arah percakapan dengan Abimana. Dia pasti berniat membuat Abimana mengakui kalau hubungan kami memang sudah naik level. Dasar sinting!

"Yuk, Mas. Kita pergi sekarang, takutnya restorannya penuh." Aku memutus percakapan Abimana dengan Salwa.

"Melihat cara kamu dan Salwa berinteraksi, aku yakin kalian pasti sudah lama banget bersahabat," ujar Abimana yang berjalan di sebelahku, menuju ke tempat parkir.

"Cukup lama, sehingga aku sudah bisa menolerir semua keabsurdannya."

Abimana tertawa melihat tampang cemberutku. "Tenang saja, kamu nggak sendiri. Aku juga punya sahabat yang lebih absurd. Kadang-kadang aku sendiri heran kenapa persahabatan kami bisa langgeng padahal sifat kami sangat bertolak belakang."

Aku tidak menolak saat Abimana mengarahkan langkahku ke mobilnya dan menjauhi John Wick. Laki-laki pasti lebih suka jadi sopir daripada duduk di kursi penumpang. Aku dan John Wick toh selalu bersama-sama di waktu lain.

"Oh ya, kursi taman yang Mas Abi pesan 2 minggu lalu sudah jadi, dan siap diantarkan," aku mengalihkan percakapan ketika sudah berada di dalam mobil yang meluncur meninggalkan kantorku.

"Cepat banget ya?" Abimana menoleh sekilas. "Itu pasti pakai jalur nepotisme karena aku pacaran sama owner-nya."

Sambar, tidak... sambar, tidak? Ah, masa bodoh, mumpung ada kesempatan dikasih umpan seperti ini, aku lahap saja. Kapan lagi aku bisa mengetahui level hubungan kami tanpa harus bersikap agresif?

"Memangnya kita sudah pacaran ya?" Aku berusaha membuat suaraku terdengar ringan, seolah pertanyaan itu belum menggangguku akhir-akhir ini. "Bukannya kita masih penjajakan?"

"Usul penjajakan itu kan hanya supaya kamu nggak langsung kabur saja kalau langsung diajak berkomitmen. Aku nggak tahu kamu sadar atau tidak, tapi sikap kamu formal banget, jadi kesannya seperti jaga jarak saat didekati."

Ehm... itu artinya aku sudah resmi punya komitmen dengan seseorang. Apakah ini berarti... yihaaa?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top