Dua Puluh
Apa yang dilakukan pasangan yang sedang penjajakan untuk mengetahui tingkat kecocokan? Iya, pilihannya memang tidak banyak. Apalagi kalau salah seorang dari dua pihak yang sepakat melakukan penjajakan itu supersibuk dan hanya punya waktu setelah jam kerja. Paling-paling juga nongkrong di kafe, restoran, atau kalau perginya lebih awal, bisalah mampir ke bioskop.
Karena hari ini Abimana masuk dalam kategori lowong, kami sekarang sedang mengamati poster-poster film yang akan kami pilih untuk tonton. Saatnya untuk mengecek bagaimana cara Abimana meng-handle situasi saat bersama pasangan. Apakah dia sama dominannya dengan saat bekerja? Laki-laki dominan yang cenderung tidak mau mengalah pada pasangan adalah a big NO NO untukku.
"Mas Abi mau nonton film apa?" tanyaku manis. Laki-laki itu sangat gampang dibaca kalau menyangkut tontonan. Tentu saja mereka menyukai film yang memacu adrenalin. Film yang melibatkan suara tembakan nyaring, darah dan potongan tubuh yang berhamburan, dan tentu saja mobil yang kebut-kebutan sebelum akhirnya ringsek dan meledak dramatis.
Aku pernah memaksa Pandu menemaniku nonton film komedi romantis karena Salwa dan Widi yang sudah menonton film itu lebih dulu memaksaku supaya ikut menonton. Mereka mengingatkan supaya aku membawa tisu. Karena tidak mau pergi sendiri ke bioskop, aku membajak Pandu.
Hasilnya? Pandu antusias selama 15 menit pertama. Lima belas menit berikutnya dia mulai bosan dan lebih senang memakan popcorn. Setelah camilan dan minumanku habis diembatnya, dia lalu tertidur nyenyak. Untung saja dia tidak ngorok sehingga tidak mengganggu penonton lain.
"Kita nonton film yang mau kamu tonton," jawab Abimana. "Kamu saja yang pilih filmnya."
Manis. Baiklah, dia lolos dalam percobaan pertama.
"Mungkin saja seleraku nggak sesuai dengan selera Mas Abi," aku lebih mendesak. Mungkin saja jawabannya yang pertama adalah basa-basi dan dia hendak menggantinya ketika diberi kesempatan. "Aku nggak apa-apa kok nonton film yang Mas Abi pilih. Aku suka semua genre film kok." Aku memang bisa menonton semua genre film, meskipun kalau boleh memilih, aku akan melewatkan komedi slaptick yang sekaligus menjual tubuh seksi dengan busana minim pemeran utama wanita dan nyaris semua figuran wanitanya. Selera humorku tidak sereceh itu. Aku benci melihat kaumku dijadikan jualan, walaupun si pemeran sama sekali tidak keberatan memamerkan asetnya.
"Aku juga harus menyesuaikan diri dengan selera kamu, Ambar. Ini bukan tentang aku dan apa yang aku suka saja. Aku sangat bisa berkompromi kok. Kamu pilih filmnya, supaya aku antre tiketnya."
Niceeee. Abimana sama sekali tidak termakan umpanku. Aku kemudian menjatuhkan pilihan pada salah film Disney. Akan kita lihat apakah kerelaannya membiarkan aku memilih film tidak membuatnya berakhir di alam mimpi satu jam ke depan.
Mungkin aku terdengar keterlaluan, tapi menguji di awal penjajakan penting untuk mengetahui apakah kami bisa menapaki level selanjutnya. Bukan hanya untukku saja, tetapi hal yang sama berlaku untuk Abimana juga. Kalau sudah illfeel di awal, tidak mungkin diteruskan, kan?
Ketertarikan pada penampilan fisik, atau kemampuan khusus yang kita lihat pada seseorang sangat sering terjadi. Biasanya, sama seperti rasa tertarik yang datangnya bisa tiba-tiba itu, rasa itu dapat lenyap pula dalam waktu sekejap saat menyadari bahwa kita sebenarnya tertarik pada bungkusan yang ditampilkan, atau pada ide yang ada di kepala kita tentang orang itu. Jadi ketika kita mulai mengenal kepribadian sebenarnya dan kita tidak merasa cocok, wussss... rasa yang kita pikir cinta itu lantas menguap. Habis tak bersisa.
Film yang kami tonton berdurasi cukup panjang, dan Abimana kembali lolos dalam ujian. Dia sama sekali tidak menguap bosan, apalagi sampai tertidur. Sesekali, dia malah ikut tertawa. Tawa itu sangat penting, karena hanya orang yang mengikuti dengan saksama yang bisa menangkap apa yang sedang tayang di layar. Dia juga membiarkanku memonopoli camilan.
"Sudah lama banget aku nggak nonton film animasi," kata Abimana ketika kami akhirnya keluar dari bioskop. "Aku jadi ingat alasan mengapa waktu kecil dulu aku betah duduk di depan televisi sepanjang akhir pekan."
"Film tadi berbeda dengan Naruto, Dragon ball, atau bahkan Captain Tsubasa," aku mengingatkan. Anime anak lelaki tidak jauh-jauh dari sana, kan? Semua hal yang berbau persaingan dan upaya untuk menjadi yang terbaik.
"Aku juga nonton kartun Nickelodeon yang temanya bukan laga dan olahraga kok," Abimana spontan merespons. "Aku suka Rugrats, Hey Arnorld!, Chalkzone, dan tentu saja Spongebob."
"Beneran?" Aku takjub. Semua kartun yang disebutkan Abimana adalah kartun yang juga selalu aku tonton dulu. Plus, The Magic School Bus. Aku sangat suka tayangan itu.
"Kenapa? Selera kamu lebih ke Princess Disney?" tanya Abimana. "Adikku juga jatuh cinta pada putri-putri Disney. Untung saja dia sekarang sudah lebih dewasa, jadi kamarnya sudah tidak tampak seperti museum tempat penyimpanan koleksi putri Disney dan segala macam perintilannya lagi."
Aku tertawa. "Aku bertanya bukan karena selera kartun kita berbeda, tapi karena semua kartun yang Mas Abi sebut tadi adalah tontonan favoritku juga. Aku suka Tommy, dan punya love and hate relationship dengan Angelica. Persis seperti apa yang aku rasakan pada Squidward. Aku benci mereka, tetapi selalu menunggu adegan yang melibatkan mereka."
"Kartun atau film tidak pernah lengkap kalau nggak ada pemeran antagonisnya, kan?" Abimana menyentuh sikuku dan mengarahkan langkahku menuju lift. "Ternyata tidak terlalu sulit menemukan kesamaan di antara kita."
Apa yang dikatakannya benar. Kesamaan itu malah mengemuka tanpa kami harus cari dan gali dalam-dalam.
**
Pandu sedang duduk santai di sofa sambil nonton televisi ketika aku sampai di rumah. Aku mengempaskan tubuh di sebelahnya.
"Mama sudah tidur?" Tidak biasanya Mama membiarkan anak kesayangannya ini nganggur sendiri. Biasanya pasti ditemani.
"Ya iyalah, sudah jam segini. Ibu kan selalu tidur cepat. Kok kamu baru pulang?"
"Kok kamu masih nongkrong di sini juga di jam segini?" aku menyeringai dan balas bertanya.
Pandu menyikutku. "Aku nggak akan ada di sini kalau telepon kamu aktif."
"Kamu menelepon?" Aku merogoh tas untuk mengeluarkan ponsel. Aku memang sengaja mematikan ponsel saat masuk bioskop, dan ternyata bablas sampai sekarang. "Ada apa?" Pasti penting karena Pandu harus menungguiku pulang.
"Mesin mobil kamu sudah datang tadi. Aku ke sini untuk mengambil mobil kamu, jadi bisa mengerjakannya pagi-pagi besok. Kalau menunggu kamu yang mengantarnya, pasti sampai di bengkel sudah siang. Penyakit malas kamu kan biasanya kumat saat weekend."
"Beneran sudah datang?" Aku mengguncang lengan Pandu antusias.
"Kalau ponsel kamu aktif, kamu pasti tahu dari tadi. Kalau pergi, biasakan bawa power bank dong."
"Aku akan membawa John Wick ke bengkel pagi-pagi," kataku penuh semangat, mengabaikan omelan Pandu. "Aku akan membantumu mengerjakannya. Aku tidak mungkin menonton saja saat John Wick ditransplantasi. Khusus besok, aku tidak akan bermalas-malasan. Aku akan menabung kemalasan untuk minggu depan saja, saat John Wick sudah bugar banget."
"Beneran harus pagi ya?" Pandu tampak meragukan kemampuanku menghilangkan kemalasan di akhir pekan. Dia memang benar soal kemalasan itu, tapi kami sedang bicara tentang John Wick. Belahan jiwaku. Kalau aku bisa mengosongkan tabungan untuknya, masa aku tidak bisa ke bengkel pagi-pagi?
"Jadi mobilmu nggak jadi aku bawa sekarang?" Pandu bangkit dari duduknya.
"Aku yang bawa sendiri besok," kataku mantap. Kalau aku membiarkan Pandu membawanya, bisa saja dia tergoda untuk mulai membongkar John Wick sebelum aku tiba. Mesin mobil adalah kelemahan Pandu. Apalagi mesin John Wick benar-benar istimewa.
"Kalau begitu, aku pulang ya," pamit Pandu. Aku mengikutinya sampai ke depan. "Jangan biasakan ponsel kamu nggak aktif sampai lama seperti tadi. Aku kan jadi khawatir dan mikir yang tidak-tidak. Kamu kan bisa mengisi baterai di mobil, tidak perlu menunggu sampai di rumah."
"Iya... iya," aku malas menjelaskan penyebab aku mematikan ponsel. Tidak ada gunanya juga Pandu tahu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top