Delapan Belas
Seperti apa definisi makan malam yang sempurna bersama seorang laki-laki? Jujur, aku belum pernah memikirkan hal itu sebelum malam ini. Makan malam dengan pacarku sebelumnya paling banter nongkrong di kafenya sambil mendengarkan dia membanggakan pencapaiannya masuk dalam label mayor industri musik, seolah band-nya sudah sekelas Noah, Dewa, atau Padi Reborn. Belum lagi acara makan kami disela oleh sekumpulan cewek menor yang berkedip-kedip manja seperti baru kelilipan, yang meminta berfoto bersama si kunyuk itu.
Makan malam dengan Pandu lebih random lagi. Memang tidak ada sesi foto bersama, walaupun meja kami sering jadi sasaran lirikan cewek-cewek dari meja lain. Tetapi kami hampir tidak pernah makan di tempat yang benar-benar tenang. Pandu bukan orang yang rewel soal makanan, jadi dia akan makan di tempat terdekat yang dia temukan saat merasa lapar.
Dia pernah menepikan mobil di pinggir jalan saat hujan deras. Catat: hujan deras yang lengkap dengan guntur dan petirnya, hanya karena warung tenda yang kami lewati tampak mengundang. Dia tiba-tiba ingin makan bakso yang panas karena cuaca dan dingin AC mobil membuatnya mendadak lapar. Alhasil kami harus basah-basahan karena tidak punya pilihan selain berlari dari mobil ke warung itu. Demikian pula setelah makan. Iya, baksonya enak, tapi aku harus kedinginan sampai di rumah. Dan Pandu kurang ajar itu hanya tertawa saat aku mengomel dan memakinya. Dia punya perkakas bengkel yang lengkap di mobilnya, tetapi tidak berpikir untuk menyimpan sebuah payung di situ. Dasar!
Makan malam kali ini berbeda dengan semua pengalaman itu. Restoran ini tempatnya tenang. Cahaya lampunya tidak bikin silau. Nyaris tidak ada denting sendok dan garpu yang beradu dengan piring. Percakapan pun dilakukan dengan suara rendah. Karena jarak meja yang satu dan yang lainnya cukup jauh, privasi pengunjung sangat terjaga. Makanan yang disajikan juga sangat lezat.
Dan yang paling penting, teman makanku kali ini adalah seorang gentleman yang jelas tahu bagaimana caranya membawa diri. Sopan, tenang, karismatik, tidak ada cengiran dan kalimat konyol, serta penampilan dan wajah yang enak dilihat.
Kombinasi dari tempat dan teman makan itulah yang mungkin membuatku tiba-tiba memikirkan tentang makan malam yang sempurna bersama seorang laki-laki.
"Kamu nggak keberatan kalau saya lebih sering mengajak kamu keluar, kan?" Abimana melontarkan pertanyaan itu sesaat setelah kopi kami dihidangkan pelayan yang tampak hikmat melayani. "Tentu saja bukan untuk urusan pekerjaan," dia mengulang kalimat yang sudah diucapkannya di awal kedatangan kami di tempat ini.
Salwa pasti akan bertepuk tangan dan salto bolak-balik seandainya tahu hasil penerawangannya kian mendekati kebenaran.
"Mas Abi kelihatannya sibuk banget." Aku menjawab formal dan pura-pura tidak tahu arah pembicaraannya. Kisah cintaku mungkin tidak panjang, tapi tentu saja aku mengerti muara kalimat yang diucapkan Abimana. Aku pasti tidak sekadar ge-er lagi. Ini jelas modus PDKT. "Memangnya masih ada waktu untuk mengajak saya keluar?" Aku yakin hampir semua perempuan terlahir dengan kemampuan untuk menampilkan ekspresi "Aku tidak tahu maksud kamu apa", padahal kami tahu persis tujuan kalimat seorang laki-laki. Permainan tarik-ulur adalah spesialisasi perempuan. Kami bukan laki-laki yang tidak sabaran. Mengeker lalu dor! Selesai.
"Semua hal yang kalau diniatkan untuk dilakukan, pasti sempat. Pertanyaannya kembali ke kamu lagi. Keberatan atau tidak lebih sering bertemu saya?"
Aku menatap wajah di depanku dengan saksama. Abimana terlihat serius dengan apa yang dia ucapkan. Pertanyaannya memang kembali kepadaku. Apakah aku sudah siap memulai penjajakan dengan seseorang? Abimana menarik. Meskipun dia bukan orang yang superkasual, dia bisa jadi teman diskusi yang menyenangkan. Itu sudah terbukti.
Aku memang belum mempunyai perasaan apa-apa kepadanya, selain kagum dan respek atas pengetahuannya tentang bisnis yang mumpuni, tetapi menumbuhkan perasaan itu pasti tidak terlalu sulit kalau kami sering menghabiskan waktu bersama. Bukankah perempuan cenderung gampang jatuh cinta pada orang-orang yang berada di dekatnya?
Abimana balas menatapku. Sorot matanya menanti jawaban.
"Kesannya mungkin terburu-buru karena saya menanyakan hal ini pada makan malam pertama kita," Abimana melanjutkan ketika aku belum merespons. "Saya hanya tidak mau kamu merasa jika saya mengajakmu keluar seperti ini karena iseng saja. Saya tahu kok kalau kamu belum tertarik pada saya seperti saya tertarik sama kamu. Jadi saya pikir penjajakan penting untuk melihat apakah hubungan kita bisa lebih daripada sekadar hubungan bisnis seperti sekarang. Kalau kamu mau memberi saya kesempatan, kamu akan bisa menilai apakah saya memenuhi kriteria kamu atau tidak."
Pernyataan itu lebih blakblakan daripada yang kuduga. Jujur, aku tidak menyangka akan mendengarnya dari seorang Abimana. Sekarang semakin jelas kalau dia memang visioner. Dia tahu apa yang dia lakukan, dan tentu saja tahapan yang harus dilaluinya untuk mencapai tujuan.
"Penjajakan adalah cara untuk saling mengenal. Tentu saja kita tidak bisa memaksakan kalau nanti kita ternyata tidak cocok. Bagaimana?" Abimana sekali lagi menanyakan pendapatku.
Apa yang dikatakan Abimana masuk akal. Masa penjajakan belum masuk tahap komitmen, kan?
Kalau aku menolak sekarang, mungkin saja aku akan menyesali keputusanku. Maksudku, walaupun aku menolak Abimana, kerja sama kami tetap akan berlanjut. Bagaimana kalau dalam perjalanan nanti aku malah benar-benar tertarik padanya? Aku tidak mau takabur. Perasaan toh bisa berubah. Lagi pula, seperti kata Salwa, tidak butuh usaha terlalu keras untuk jatuh cinta kepada orang seperti Abimana.
"Penjajakan," ulangku. Kali ini aku merasa lebih yakin. "Kita bisa mencobanya. Tapi ada kemungkinan Mas Abi yang nantinya akan merasa tidak cocok denganku."
Abimana tersenyum. "Penilaian saya hampir tidak pernah meleset. Saya pernah salah persepsi tentang kamu, dan itu tidak mungkin terjadi untuk kedua kalinya."
Aku spontan meneliti jari-jariku. Bersih. John Wick seperti tahu akan segera menjalani transplantasi jantung, jadi suasana hatinya sangat bagus. Akhir-akhir ini dia jarang ngambek.
"Ini baru pertama kalinya ada orang yang mengaku tertarik karena melihat kuku saya yang berlepotan oli kotor."
Senyum Abimana makin lebar mendengar gurauanku. "Memang agak mengejutkan bertemu dengan seseorang yang bisa memperbaiki mobil mogok. Jujur, waktu itu saya tidak tahu apakah harus merasa senang sudah dibantu atau malah malu, karena sebagai laki-laki, pengetahuan saya tentang mesin nol besar."
Ternyata kami membicarakan momen yang berbeda, tetapi masih sama-sama berhubungan dengan kuku yang kotor karena oli mesin. Ya kali, orang seperti Abimana bisa instan suka pada perempuan yang kukunya kotor di pertemuan pertama. Dia kan masih kelihatan illfeel padaku pada beberapa pertemuan kami berikutnya.
"Almarhum Papa adalah seorang montir andal, jadi minat kami terhadap mesin sama besarnya," aku menjelaskan asal mula ketertarikanku pada mesin mobil. "Apalagi saya lantas jatuh cinta pada John Wick yang memerlukan perawatan khusus."
"John Wick beruntung mendapatkan pemilik seperti kamu."
"Memang. Dia hanya tidak tahu bagaimana caranya berterima kasih. Tapi saya tidak bisa protes karena cinta sejati tak kenal pamrih."
Abimana tertawa pelan. Manis. Aku benar-benar bisa jatuh cinta kalau sering melihatnya seperti itu.
"Ini juga yang pertama kali saya bertemu dengan seseorang yang mengakui sebuah mobil antik sebagai belahan jiwa."
"Untuk saat ini, John Wick masih cinta sejati saya," kataku terus-terang. "Kalau Mas Abi keberatan punya saingan, proses penjajakannya kita batalkan saja." Aku tidak akan membiarkan siapa pun berada di antara aku dan John Wick.
"Tidak ada masalah dengan John Wick," jawab Abimana cepat. "Mungkin tidak terlihat dari penampilan saya, tapi saya orang yang kompetitif. Persaingan adalah tantangan, bukan sesuatu yang menakutkan. Kemungkinan besar, saya dan John Wick malah akur dan bisa bersahabat."
Pernyataan itu membuatku senang. Sebelumnya, tidak pernah ada orang yang ingin bersahabat dengan John Wick. Pandu yang sering berurusan dengan John Wick pun hanya menganggapnya sebagai benda mati.
Aku menatap Abimana penuh rasa haru. "Terima kasih sudah menganggap John Wick penting."
"Terima kasih juga sudah memberiku kesempatan, Ambar. Aku akan berusaha supaya kamu tidak menyesalinya."
Tentu saja aku tidak akan menyesali orang yang juga respek sama John Wick.
**
Mau fast update? Bagi vote dan komen ya. Next part akan tayang kalau vote udah tembus 3,2K sebelum minggu depan. Kalau udah tembus lusa, akan di-update lusa juga. Tengkiuuu....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top