[01. Secret Gift] Weird Things - Kagamine Len
17 tahun [Nama] hidup di bumi, sudah banyak puluhan orang aneh yang ia temui, dari penggila es krim, hingga gadis muda dengan obsesi pada daun bawang.
Terima kasih kepada SMA Yamaha corp yang mempertemukan [Nama] dengan sekumpulan orang dengan kewarasan yang patut dipertanyakan. Sejak awal harusnya [Nama] sudah sadar dari embel-embel perusahaan yang ada di belakang nama sekolah itu.
Selayaknya prajurit yang bertahan dalam puluhan perang, [Name] akan menyebut dirinya sendiri sebagai seorang veteran dalam urusan memahami dan mentoleransi sekumpulan manusia langka di sekelilingnya.
Membuatnya percaya diri bisa bertahan di dunia luar, menahan angin ribut dan halilintar. Semua second-embarrassment yang sudah pernah ia rasakan seolah jadi ilmu kebal sendiri.
Tapi siapa sangka, kepercayaan diri itu dihapus dalam sekejap oleh seorang remaja berambut kuning?
Manusia ajaib yang membuat bulu kuduk [Nama] meremang hanya dengan mendengar namanya.
Kagamine Len.
.
.
.
Secret Gift Project
"Weird Things."
Vocaloid © Yamaha corp
Story by © PolarisF
Secret Gift for lempergosong
Warning ⚠️ Kagamine Len ternistakan sepenuhnya, harsh-words, ga ada yang normal, karakter yang tidak konsisten, typo, Authornya sleep-deprived, saya ga bisa ngelawak, saya nulis apa sih???
.
.
.
Bruak!
Segepok uang mendarat di hadapan [Name], membuatnya mendongak. Ingin melihat sosok Kambe wannabe yang menghampirinya.
Mata [warna mata] itu bertemu dengan dua manik safir lain yang menatapnya serius. Rambut pirang pendek dan pita putih besar, [Nama] mengenalinya. Salah seorang adik kelas yang kerap menghampiri untuk mengajaknya mencari kericuhan, atau sekedar merengek ingin minta naik buldozer. Kagamine Rin.
"Maaf, ga open bo."
"Bukan itu."
Rin bersidekap, menatap lurus dengan wajah tegas. Yang ditanggapi ekspresi datar [Nama]. Dia tidak berharap banyak dari percakapan mereka.
"Aku ingin menawarimu pekerjaan," ungkap Rin. Mengeluarkan lebih banyak uang. "Aku ingin kau menjaga saudaraku selama aku pergi."
[Name] terdiam sejenak, mengerenyitkan keningnya heran.
"Kau mau kemana?" tanya [Name], "lalu bisa sopan sedikit saat bicara pada seniormu?" imbuhnya.
Tidak menghiraukan tegurannya, Rin menjawab, "hawaii."
[Name] kembali diam, mulai merasa enggan meneruskan pembicaraan ini.
"..... Lalu kenapa tidak sekalian ajak adikmu saja?"
Rin tersentak, lalu dengan agresif mencengkram kedua bahu [Nama] dengan raut wajah paling horror yang pernah dia lihat.
"Aku ini pergi ke Hawaii untuk menghindar darinya."
Tidak bisa dipungkiri, meski sudah cukup lama saling mengenal, [Nama] sama sekali tidak pernah mengulik tentang kehidupan Rin di luar sekolah. Dia hanya tahu bahwa Rin memiliki saudara kembar. Meski berada di sekolah yang sama, [Nama] yang engga bersosialisasi dan Rin yang tidak berinisiatif memperkenalkan mereka berdua, membuat [Nama] sama sekali tidak pernah bertemu Len.
"Jadi tolong! Akan aku bayar!" pinta Rin, mengeluarkan lebih banyak uang.
".... uang darimana itu?"
"Dari asuransi jiwa."
[Nama] memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh lagi.
Akhirnya setelah puluhan permohonan Rin dan yang terlalu malas untuk author ketik, akhirnya [Nama] menerima tawaran pekerjaan itu. Terlepas dari uang gajinya merupakan hasil peninggalan jiwa seseorang yang malang, [Nama] tidak bisa menolak jutaan uang begitu saja.
Menekan bel pintu rumah bercat putih di depannya membuat [Nama] kembali berpikir. Apa yang membuat Rin membayar semahal itu hanya untuk menjaga dan menghindari saudaranya? Memang sih Rin kaya dari sananya, tapi tetap saja berlebihan.
Memangnya bisa se-absurd apa situasi mereka.
Ceklek!
Pintu terbuka, menampakkan wajah yang identik dengan gadis berpita putih yang sekarang sudah meluncur pergi ke hawaii. Berambut pirang dan ber-iris biru mempesona.
"Ah ... Halo—"
"Kata sandinya."
"Kata sandi apa—"
Brak!
Pintu dibanting begitu saja, meninggalkan [Name] berdiri sendirian dengan koper besar di tangannya.
Hah.
"Permisi, kau Len kan? Aku [Nama], Rin menyuruhku menjagamu selama dia pergi," jelas [Nama] mencoba sabar sambil mengetuk pintu.
"Pergi! Aku tidak tertarik dengan wanita yang lebih tua," sahut Len dari dalam rumah.
[Nama] tidak bisa berkutik, hanya tersenyum kesal dan mulai mengedor pintu.
"Kau pikir aku tertarik dengan bocah ingusan sepertimu?" balas [Nama] geram. "Sekarang buka pintunya, bocah sialan."
Tidak mengindahkan peringatan [Nama]. Len mendengus, "tch, mendoukusai."
'dia ngomong apa tadi?'
"Harusnya omae tau ini bukan tempat untuk ningen seperti kimi."
.....
"Jika tidak dibuka dalam lima menit, pintu ini kudobrak."
.
Setelah memindahkan barang-barangnya, [Nama] pergi ke dapur untuk mengambil segelas air. Duduk di kursi, dan memandangi dari jauh Len yang sedang membaca sebuah buku di sofa.
Sekilas akan terlihat normal, jika [Nama] mengabaikan judul yang ditulis dengan huruf tebal berbunyi "Cara Menjadi Anime". Mungkin ada baiknya untuk mengambil uang gajinya dan kabur menelantarkan Len.
Kesan pertamanya pada anak itu benar-benar tidak menyenangkan. Baru beberapa detik [Nama] menginjak perumahan Kagamine, jiwanya sudah tergucang hebat.
"Hei, ningen di sana!"
"Panggil aku begitu lagi, kuhajar."
Mengabaikan ancaman [Nama], Len berjalan mendekatinya. "Aku lapar, buat sesuatu dong."
Jika bukan karena ini kewajiban pekerjaannya, [Nama] sudah melempar gelas kaca ke kepala pemuda dengan helai pirang itu.
"Ya."
Beranjak dari tempat duduknya, [Nama] bergerak menuju kulkas. Memperhatikan bahan-bahan yang tersisa.
"Mau makan apa?"
"Steak."
"Kepalamu."
Memutuskan untuk memasak kare, [Nama] tidak menghiraukan keluhan Len. Berbicara ini itu tentang makanan barat dan mahal yang pernah dia makan.
[Nama] cukup terkejut, selama memasak Len cukup tenang. Mengingat sejak pertemuan pertama mereka dia gemar meracau hal tidak jelas.
"Rin sering membicarakanmu," ucap Len tiba-tiba. Menarik sedikit perhatian [Nama] yang sibuk memotong sayuran.
"Kurasa dia menyukaimu," tambahnya.
"Oh ya, apa katanya?" tanya [Nama] penasaran.
"Katanya seru melihatmu mengatai orang."
Sosiopat gila itu.
"Bicara soal Rin, kau tidak marah dia pergi meninggalkanmu sendirian di rumah?" tanya [Name], mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Hah? Kenapa?" tanya Len balik, "bagus lah. Tempat ini memang tidak cocok untuk mortal seperti dia."
Chuninbyou anak ini sangat parah.
Tidak ingin menambah migrain, [Nama] membungkam mulutnya dan segera menyajikan makan malam. Berharap kare yang dia buat bisa menyumpal mulut bocah menjengkal di hadapannya.
Menyadari Len yang sama sekali tidak menyentuh piringnya, membuat alis [Nama] bertaut. Masa segitunya mau makan steak?
"Kenapa tidak di makan?"
"Kare ini ..." Len menautkan kedua alisnya.
"Kasih pisang dong."
"...."
Agaknya memang tulalit.
.
Selesai makan malam, [Nama] berniat pergi menuju kamarnya. Enggan terlibat perbincangan lain. Selama perjalanan, [Nama] melihat sekilas foto keluarga Kagamine. Dengan Rin dan Len bersama dua orang tuanya.
[Nama] menghentikan langkahnya, ingin menangkap lebih jelas figur Tuan dan Nyonya Kagamine.
Dilihat-lihat ... lagi ...
"Tidak mirip, ya?" [Name] tersentak, berbalik dan mendapati Len yang berdiri di belakangnya. Juga memperhatikan figura berisikan foto keluarganya.
"Mereka bukan orang tua kandung kami."
Tidak tahu harus beraksi seperti apa, [Nama] hanya mengangguk canggung. Apa ini? Semacam scene backstory sedih?
"Yah, itu bukan masalah besar, sih."
"... kalau boleh tau sekarang mereka di mana?" Tanya [Name].
"Ibu tinggal di new york."
"Wah ..."
"Kalau ayah katanya ikut balap karung."
"Balap karung?'
"Iya, sampai sekarang belum balik."
"...."
Begitu.
Pagi pun menjelang.
[Nama] menyiapkan sarapan dan bekal di meja makan, sengaja bangun 4 jam pagi untuk tidak berurusan dengan cerocosan Len tentang skenario chunnin di kepalanya. Kemudian pergi ke sekolah seolah tak terjadi apapun.
Pikirannya kembali teralih pada Rin, memikirkan kenekatan gadis itu untuk berlibur di saat sekolah masih aktif-aktifnya. Lalu entah hal illegal apa yang dia lakukan di Hawaii.
Kelas ramai seperti biasa, [Nama] duduk dan tertidur selama perjalanan berlangsung. Sosok yang patut ditiru.
"... [Nam] ... [Nama...] psstt ..."
[Nama] membuka matanya, bertemu dengan wajah Kaito yang 6 inchi dekatnya.
".... Bisa minggir?"
"Maaf," celetuk Kaito tanpa dosa. Membagi senyum lebarnya.
"Ada yang mencarimu tuh." Tunjuk Kaito ke pintu kelas. Di sana, Len mengintip malu-malu. Ada apa ini? Image-nya berubah?
Mengabaikan Kaito yang duduk di bangkunya dan mulai menulis sembarangan. [Nama] menghampiri Len curiga. "Kenapa?"
"Kau ini kerjanya jadi babuku kan?"
"Masih siang, jangan ngajak ribut dulu."
Menggaruk pipi, Len mengerucutkan bibirnya. Sambil menyembunyikan kotak bekal makan siang di belakang punggungnya.
"Ga usah manyun begitu, geli."
Menatap [Nama] sedikit jengkel, Len memalingkan wajahnya dengan pipi yang sedikit bersemu merah. "Jangan salah paham," ketus Len.
"Tapi apa kau bisa menemaniku makan siang hari ini?"
[Nama] menggelinjang ngeri.
"Aku tau kau tidak punya kepribadian, tapi langsung bertolak belakang begini. Seram."
Pada akhirnya [Nama] tetap pergi menemani Len. Duduk di bangku taman, dan menunggu hingga jam makan siang selesai. Tidak ditawari makan sekali. Benar-benar seperti sebuah properti saja.
Melirik Len yang duduk di sebelahnya, [Nama] menyadari dia jauh lebih diam di sekolah.
"Kau biasanya selalu makan sendiri?"
"Iya, aku tidak punya teman," jawab Len enteng. Dibalas dengan dengusan [Nama].
"Aku bisa mengerti kenapa."
Cemberut, Len menyikut pelan [Nama] menggunakan sikutnya.
"Kau dari kemaren sepertinya jahat sekali padaku."
Mengusap pinggangnya yang disikut, [Nama] balas mendelik galak. "Yang mulai duluan siapa? Dan jangan lupa aku masih seniormu."
"Jadi mau kupanggil senpai?"
"Mau kutinggal ke Hawaii?"
Len tidak membalas, hanya terus menyuap onigiri-nya sambil memandangi segerombolan anak laki-laki yang tertawa bersama di seberang mereka.
[Nama] memangku wajahnya. Melihat Len yang seperti ini membawanya kembali melihat ke masa lalu, di mana yang dia lakukan hanya duduk menjauh dari keramaian. Merasa berbeda dan kemudian mengucilkan dirinya sendiri.
"Jangan memasang wajah seperti itu." [Nama] menepuk pundak kepala Len.
"Aku masih punya waktu seminggu untuk menjagamu, selama itu kau bisa makan bersamaku di sekolah," hibur [Nama] yang tanggapi dengan cemooh Len.
"Tidak terdengar menyenangkan."
"Len, aku tidak ingin masuk penjara karena tindakan asusila karena ini, ya," gerutu [Name] dongkol. "Selain itu aku juga akan membantumu bersosialisasiku, jangan remehkan pengetahuanku soal ini."
"Iya iya ..."
Len memalingkan wajahnya, menutupi senyum kecil yang terpatri di wajahnya.
Lama-lama di Hawaii, Rin!
"Omong-omong pacing di fanfic ini aneh, ya?"
"Bisa jangan menghancurkan dinding keempat seperti itu?"
Fin?
Bonus:
[Nama] menatap datar isi bukunya, memandang Kaito tidak terkesan.
"Bisa tidak berhenti gambar titid di bukuku?"
"Itu es krim." :(
Bonus 2:
"Halo, aku kembali dari Hawaii~ kubawakan kelapa untuk kalian!" Rin bersorak gembira, menunggu sambutan dari saudara kembar dan senior tercintanya.
Hening ...
"Halo? Len, [Nama]?"
[Nama] dan Len meninggalkan Rin untuk pergi libur ke Jeju.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top