[01. Secret Gift] Reason - Madara

Secret Gift Project

REASON

Madara (from Natsume Yuujinchou) x Reader
Secret gift for aikawarei_

Story written by Kurosaki_neko

.
.
.

Kata orang, siluman itu tidak ada. Sekalipun ada, mereka mengatakan jika siluman sangat menakutkan. Mereka bisa mengancam kehidupan manusia.

Seperti rumor yang beredar saat ini. Masyarakat percaya jika siluman telah kembali semenjak ada yang orang asing berhasil melepas segel siluman terkuat pada zamannya.

Namun seorang miko, (Name) tidak percaya hal itu. Ia hanya percaya jika segel itu sudah lemah.Dan untuk memastikannya, ia membawa busur dan anak panah sebelum pergi ke tempat siluman itu disegel.

"Hati-hati, (Name)-sama," ucap salah satu penduduk desa yang sengaja ikut dengan (Name).

(Name) tidak menjawab. Ia terus memasuki gua dan mendapati seekor kucing gendut tengah tertidur pulas.

Dengan hati-hati, (Name) menggendong kucing itu lalu membawanya kehadapan penduduk desa.

"Tenang, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Segelnya memang lemah. Tapi lihat, tidak ada apapun disini. Hanya seekor kucing yang menggemaskan, bukan?" ucap (Name) dengan riang.

"T-tapi (Name)-sama, bagaimana kalau kucing itu silumannya?" tanya penduduk desa yang lain.

"Aku tidak dapat memastikan jika kucing selucu ini adalah siluman. Dan jika iya, aku akan mempertaruhkan nyawa untuk menjaga desa ini," jawab (Name).

Setelah beberapa pertanyaan terjawab. (Name) membawa kucing gendut itu ke kuil nya dan menjadikannya teman.

Menjadi miko terkadang membuat (Name) tidak memiliki teman. Sekalinya punya, itupun tidak bertahan lama. Teman-teman (Name) cenderung segan untuk berbicara dengan (Name) mengenai hal yang mereka rasakan.

(Name) memberikan semangkuk susu dan sepiring ikan goreng pada kucing gendut yang baru saja ia bawa. Mungkin karena aroma ikan, kucing gendut itu bangun dan memakan ikan yang ia beri dengan lahap.

"Kucing pintar," puji (Name) yang diakhiri dengan tawa ringan dengan tangan yang tiada hentinya mengelus sang kucing.

Seketika, (Name) ingat jika ia harus memberkati bayi yang baru lahir di desanya.

"Kucing, aku pergi dulu ya. Kau jangan pergi. Aku hanya sebentar," pesan (Name).

*****

Namun pada faktanya, waktunya jauh lebih lama dari yang ia bayangkan. Ternyata, ia harus memberkati lima bayi sekaligus sehingga ia harus pulang malam.

Hutan tampak menyeramkan di malam hari. Ditambah jarak kuil dengan rumah penduduk juga lumayan jauh, sudah menjadi suasana yang cocok untuk uji nyali.

Angin berhembus perlahan, menyusuri pepohonan dan mengajak daunnya menari. Namun yang ditangkap indra pendengaran (Name) sangat berbeda.

Ia seperti mendengar suara derap langkah kaki sangat cepat. Akan tetapi, ia tidak dapat memastikan tepatnya.

Sring!

Suara dentingan pedang tepat dibelakangnya. (Name) berbalik dengan tatapan terkejut dan mendapati sosok pria bersurai silver dengan yukata putih tengah berdiri dihadapannya.

"Madara, aku kira kau siluman yang kuat. Ternyata kau membelot dan berpihak pada manusia," ucap pria yang berada di sebrang.

"Madara?" (Name) tidak asing dengan nama itu.

"Cih, hanya diamlah!" ucap Madara pada lawan bicaranya.

Tidak lama kemudian, (Name) mendapati jika Madara meliriknya. "Kau, jika kau tidak ada urusan lagi. Lebih baik pulang."

Madara kembali menyerang pria dihadapannya. Dan tanpa busur serta anak panah, (Name) bukan apa-apa.

Akhirnya, (Name) memutuskan untuk pulang. Sayangnya, tidak butuh waktu lama untuk (Name) kembali dicegat.

Kali ini, ia dicegat oleh kerumunan serigala yang memiliki bentuk aneh. Warna serigala itu abu-abu, namun mereka memiliki mata tiga.

Seketika (Name) tersadar jika rumor yang beredar di desa memang benar. Siluman telah kembali di saat yang tidak tepat.

"Keluarlah, shikigami tora!"

Macan mengaum di kegelapan malam. (Name) tahu jika memanggil macan adalah hal yang bodoh apabila disandingkan dengan kawanan serigala. Setidaknya, ia bisa melarikan diri dari kawanan serigala itu.

*****

Setibanya di kuil, shikigami (Name) kembali menjadi kertas dan terbakar dengan sendirinya.

"Kucing! Kucing!" panggil (Name). Karena sang kucing tidak menunjukkan respon, (Name) memutuskan untuk keliling rumah dan hasilnya nihil.

Pikiran buruk hinggap sejenak dalam benak (Name). Ia khawatir jika sang kucing telah kembali ke hutan dan dikepung oleh para siluman.

'Tidak, (Name). Jangan berpikir buruk tentang kucing,' batin (Name).

"Mencariku?"

Suara pria yang ia dengar sebelumnya membuat (Name) waspada. Untungnya, ia telah lebih siap dari sebelumnya.

"Siapa?" ucap (Name) dengan lantang.

"Madara," ucap Madara.

Jika (Name) perhatikan, pria itu memiliki lambang yang sama dengan sang kucing. Akan tetapi, tetap saja (Name) tidak bisa mempercayainya.

Madara tersenyum sinis. "Sudah hal wajar jika manusia sepertimu takut pada siluman."

"Takut? Aku sama sekali tidak takut," tegas (Name) yang siap menarik anak panahnya.

"Benarkah?" tanya Madara.

(Name) menjadi bimbang. Ia memang tidak boleh takut pada siluman. Namun jauh di lubuk hatinya, ia sangat takut.

Ya, ia takut jika penduduk desa akan mengira dirinya mati dalam kondisi mengenaskan. Atau lebih parah lagi, rumor tidak mengenakkan akan semakin menyebar.

"Dari gerakanmu, sudah jelas jika kau takut. Dan memang sudah selayaknya begitu," tambah Madara dengan nada penuh keangkuhan.

'Aku? Takut?' pikir (Name).

Namun dalam sekejap mata, Madara menghilang.

Deg!

Perasaan (Name) mulai tidak tenang. Ia mengedarkan pandangan ke lingkungan sekitar, namun tidak ada apapun selain nyanyian dari pohon.

"Miaw!"

"Kucing?" panggil (Name) dengan nada panik.

Manik (Name) menemukan kucing yang ia cari dan sedang duduk di depan gerbang. Kucing itu tampak menjilati kaki mungilnya.

(Name) menghela nafas. Ia menggendong kucing itu dan menatapnya lamat-lamat.

"Sekarang sudah tidak takut?"

(Name) terkejut saat mengetahui kucing itu berbicara. Ia melepaskan sang kucing dan kucing itu berubah menjadi sosok yang menghilang sebelumnya.

"Madara ...," gumam (Name).

Madara hanya memberikan tatapan remeh nan angkuh pada (Name).

"Apa yang kau inginkan?" tanya (Name).

"Mudah. Buku yang kau tulis dengan nama-nama siluman," jawab Madara.

"Setidaknya, kau harus menungguku mati agar kau dapatkan buku itu," tantang (Name) tanpa berpikir panjang.

Madara kembali mengeluarkan seringainya. "Apa perlu aku lakukan sekarang?"

Madara mulai mendekat. Namun (Name) sudah siap melesatkan shikigami kapanpun.

"Setidaknya, biarkan aku mati secara alami."

"Sebagai gantinya?" ucap Madara yang telah menggenggam tangan (Name) yang memegang shikigami. Secara perlahan, Madara membuang kertas mantra itu dan menatap lamat-lamat orang yang telah membawanya ke kuil.

"Ganti?" tanya (Name) yang tidak paham maksud ucapan Madara. Namun yang pasti, (Name) terpesona pada tatapan Madara.

Mungkin ini salah rembulan karena telah memberikan sinar yang indah hingga membuatnya lupa jika pria dihadapannya adalah seorang siluman. Setidaknya, siluman yang telah menyelamatkan nyawanya.

"Oh ayolah. Semua manusia selalu menginginkan imbal balik. Termasuk siluman," jelas Madara.

(Name) bergeleng pelan, "Aku rasa ... aku tidak meminta imbalan apapun."

"Kau aneh," ucap Madara.

"Kau juga aneh. Memangnya, apa yang kau inginkan dari buku ini?"

*****

Tahun demi tahun berlalu. Mengukir sebuah sejarah dalam kehidupan manusia akan hal yang pernah mereka lakukan sebelumnya.

Sama seperti (Name) yang semakin akrab dengan Madara. Meski Madara terkadang merepotkan (Name) dalam berbagai hal, utamanya dalam hal makanan, (Name) sama sekali tidak keberatan.

Justru (Name) merasa senang. Setidaknya ia bisa menjadi lebih dekat dengan siluman yang baik.

Ya, kemanapun (Name) pergi, Madara selalu menemani. Alasannya hanya satu yang (Name) tahu, Madara tidak ingin buku yang ia pegang akan jatuh pada siluman lain.

(Name) sama sekali tidak marah. Justru, ia sangat senang saat ada yang membantunya melawan siluman.

Namun, siluman justru menjadi pedang bermata dua untuknya. Saat ini, kuil tempat (Name) tinggal telah dikepung oleh manusia yang mengetahui jika (Name) selama ini telah bekerjasama dengan Madara dalam menjalankan tugasnya.

(Name) tidak habis pikir. Ia tidak memiliki penjelasan atau alasan lain yang bisa menutupi kehadiran Madara.

"Penyihir!" teriak warga desa.

"Bakar dia hidup-hidup sebelum dia meminta tumbal!" sahut warga desa lainnya.

"Semuanya.... "

"Penyihir tetaplah penyihir!" potong kepala desa.

(Name) tidak mampu berucap lagi. Suaranya sudah dipastikan kalah dari amukan para warga. Mungkin, ini memang sudah menjadi takdirnya.

(Name) menyerah dan para warga mulai melempari dirinya dengan batu kerikil hingga (Name) memutuskan untuk kembali ke dalam kuil. Lagipula jika ia mati, maka Madara juga akan tenang.

Warga desa mulai melemparkan obor pada kuil. Mereka tidak peduli lagi jika kuil itu dulunya tempat seorang miko hebat dan sekarang telah dihuni oleh cucunya.

Mereka telah dibutakan oleh rasa takut pada siluman. Memang, rasa takut sebenarnya tidak ada.

Rasa takut hanyalah teror yang ada dibenak manusia dan sewaktu-waktu dapat menjadi bumerang bagi manusia sendiri. Menjadi semakin takut atau melawan rasa takut.

Di dalam kuil, (Name) dapat mendengar dengan jelas bagaimana hinaan para warga pada dirinya. Ia juga dapat mendengar dengan jelas bagaimana lahapnya api memakan kuil nya.

Dalam keheningan, (Name) menangis. Ya, ia menangisi para warga dan berdoa agar para warga selalu diberikan kebahagiaan. Juga ia mendoakan kebahagiaan Madara.

"Selamat tinggal, Madara..... "

*****

Kabar terbakarnya kuil tempat (Name) tinggal terdengar hingga telinga Madara. Para siluman pun ikut senang, karena akhirnya mereka bisa terbebas dari belenggu yang mengikat mereka.

Namun tidak untuk Madara. Ia justru bergegas menemui (Name) setelah ia mendengar hal yang membuatnya marah.

Madara baru mengetahui jika selama ini (Name) tahu jika dirinya telah dicaci maki oleh penduduk desa. Namun jika Madara bertanya, (Name) selalu mengatakan jika mereka tidak berkata demikian.

"Graaaaaaa!!!!"

Madara mengamuk dan memadamkan apinya secara cepat. Ia menampakkan wujud aslinya dihadapan para warga.

Ya, wujud sebagai siluman yang mirip serigala. Para warga pun terkejut sekaligus takut.

"Kalian sangat tidak tahu diri!" gertak Madara.

Madara dapat melihat jelas ekspresi ketakutan para warga. Akan tetapi, hal itu tidak mempan lagi dihadapannya.

"H-hentikan dia!" ucap kepala desa.

"T-tidak mungkin. K-kita sudah tidak punya pelindung ataupun miko," sahut warga desa.

"Grrrhhhhh." Tatapan Madara menajam. Rasanya, ingin sekali ia menghancurkan warga desa dalam sekali terkam.

Namun bukan itu tujuannya. Karena tujuan utamanya adalah menguasai dunia siluman, bukan memangsa manusia.

"L-lari! Selamatkan nyawa kalian!"

Para warga desa berhamburan. Mereka berlari tidak karuan hingga benar-benar menghilang dari pandangan Madara.

Kemudian, Madara mengubah wujudnya menjadi wujud yang biasa (Name) lihat. Secara teliti, ia menyusuri bangunan yang hampir roboh dan menemukan (Name) di kamarnya, tengah memeluk buku yang Madara incar.

Bukan buku yang Madara ambil, ia justru membawa (Name) pergi jauh dari tempatnya tinggal. Sebuah kuil kecil yang nyaris tidak pernah dikunjungi oleh manusia menjadi tempat pemberhentian Madara.

"(Name)," panggil Madara. Namun (Name) tidak memiliki respon seperti biasanya.

Ya, biasanya (Name) akan dengan senang hati menjawab panggilan Madara. Senyum yang biasa (Name) lontarkan pun telah menghilang.

Bibir (Name) telah pucat. Namun, Madara merasa jika masih ada sedikit harapan agar Rei hidup kembali.

Benarkah demikian? Atau hanya firasatnya saja?

"(Name), sadarlah. Aku minta maaf ... aku minta maaf karena aku terlambat datang untukmu," ucap Madara yang telah menyadari jika kemungkinan (Name) kembali hidup hanyalah firasatnya saja.

Tunggu, Madara meminta maaf? Bukankah Madara sangat angkuh?

(Name) telah mengubah segala hal tentang Madara. Kebaikan, toleransi, empati, semuanya telah diajarkan oleh (Name) secara tidak langsung.

(Name) lah satu-satunya manusia yang berpengaruh dalam hidup Madara. Setelah sebelumnya, nenek dari (Name) yang menjadi temannya.

"(Name), bukan saatnya untuk tidur!" bentak Madara. Dan tetap saja, tidak ada respon.

Tanpa sadar, Madara menangis. Ia memeluk (Name) erat, seolah-olah ia telah kehilangan orang paling berharga selama ia hidup ribuan tahun lamanya.

Apa itu keangkuhan? Apa itu gengsi? Madara telah melupakan semuanya. Madara yang gagah nan ditakuti oleh dunia siluman secara tidak langsung telah luluh pada seorang miko.

Akan tetapi, Madara mengingat ajaran (Name). Ya, (Name) pernah mengajarkan padanya bagaimana menangani korban kebakaran saat ia ikut (Name) ke suatu desa yang mengalami kebakaran karena musim kemarau.

Meski ia tahu jika ini sangat terlambat untuk mengikuti cara yang (Name) ajarkan. Satu- satunya cara yang dapat Madara berikan adalah memberikan sedikit kehidupannya untuk (Name).

"Berjanjilah jika kau tidak akan menyembunyikan apapun dariku lagi, (Name)."

Madara menajamkan tatapannya. Ia meletakkan tangannya tepat di jantung manusia berada. Dan tidak lama kemudian, cahaya berwarna kuning keemasan muncul dari tangannya.

Selama ini, Madara tidak tahu apakah cara ini akan berhasil atau tidak. Karena ia sudah lama tidak mendengar kisah cinta antara siluman dengan manusia semenjak nenek dari (Name) menyegel dunia siluman.

Namun pada akhirnya, Madara memutuskan jika mencoba juga tidak ada salahnya. Jika berhasil, maka ia tidak tahu harus berbuat apa. Jika gagal pun ia juga tidak tahu harus berbuat apa selain membiarkannya pergi.

Secara perlahan, Madara menangkap pergerakan pelan dari (Name). „Mungkinkah sudah cukup?‟ pikir Madara.

Madara pun berhenti dan (Name) tampak mulai membuka matanya perlahan. "H-a-u-s. "

Satu kata itu yang terlontar dari (Name). Dengan cepat, Madara mengambil air untuk (Name) minum. Beruntungnya kuil ini memiliki sumur kecil, tempat biasa para pelancong minum. Sehingga Madara tidak perlu repot-repot mencari air.

Dengan gelas dari daun, Madara membantu (Name) minum. "Terimakasih," ucap (Name) setelah tenggorokannya terasa basah.

Keheningan menyelimuti mereka. Madara tidak berani berbicara blak-blakan dalam kondisi (Name) yang masih lemah.

"Madara," panggil (Name).

"Jangan lakukan hal bodoh lagi. Kau bisa bercerita padaku jika kau merasa tertekan. Aku juga pernah bilang kalau kau cukup panggil namaku jika kau merasa terancam."

Madara menangkap senyuman kecil nan lemah dari wajah (Name).

"Kau sudah berubah ya, Madara. Sekali lagi, terimakasih," ucap (Name). "(Name), aku menyukaimu."

Madara melihat (Name) memberikan tatapan tidak percaya padanya. "Madara "

"Aku tidak akan bertindak sejauh ini jika aku tidak menyukaimu. Kau satu-satunya manusia yang berhasil mengubah pemikiranku, kau mampu mengubah segala hal tentangku."

Karena terlalu sibuk mengutarakan perasaannya, Madara baru menyadari jika (Name) menangis. "Hei, kenapa kau menangis? Apa aku menakutimu?" tanya Madara.

(Name) tersenyum. Ia menggeleng perlahan dan menatap Madara lembut. "Aku juga menyukaimu, Madara."

Satu kalimat itu membuat Madara senang. Bahkan, karena terlalu senang, semburat merah muncul di pipi Madara.

"Apa-apaan dengan pipi itu?" goda (Name).

Madara tetap mengelak dan mengatakan jika ia hanya kegerahan. Namun disisi lain, (Name) juga senang.

Ya, ia sangat senang. Mungkin mulai sekarang, (Name) perlu lebih terbuka dengan Madara. Mengingat Madara yang telah berkorban sejauh ini hanya untuknya.

Bahkan jika dipikir ulang, Madara juga bukan siluman yang jahat. Sehingga, tidak ada alasan bagi (Name) untuk tidak menyukai Madara.

"(Name), mulai saat ini kau tidak boleh berdekatan dengan manusia manapun. Aku yang akan mencukupi semuanya," ucap Madara dengan nada angkuh.

Ya, setidaknya tidak semua sikap Madara berubah.

"Eh? Kenapa tiba-tiba begitu? Bagaimana kalau kau ingin sesuatu? Makanan manusia yang kau inginkan misalnya?"

"A... itu ... aku akan tetap memintamu datang."

Bletak!

Sebuah kepalan mendarat mulus di kepala Madara. "Sama saja kalau aku masih harus berinteraksi dengan manusia!"

Meski begitu, (Name) percaya jika Madara akan selalu ada disisinya sampai kapanpun.

Terimakasih, Madara,‟ batin (Name).

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top