[01. Secret Gift] Pancake - Shinonome Akito
Secret Gift Project
Pancake
Secret Gift for Candy-Yerin
Shinonome Akito x Reader
Story written by Kuro20Rin
.
.
.
"Kue panekuk?"
(Name) mengintip Akito yang sedang melihat ponselnya. Kelas mereka mendapat tugas memasak untuk pelajaran ekonomi rumah tangga, dan keduanya kebetulan berada di kelompok yang sama.
(Name) dan Akito kemudian sepakat untuk mengerjakan tugasnya di rumah (Name) sepulang sekolah. Mereka pikir ada baiknya jika melakukan percobaan sebelum benar-benar memasak. Dan, disini (Name) sekarang, menatap layar ponsel temannya yang memperlihatkan resep makanan itu.
Lalu (Name) teringat sesuatu.
"Akito-san, kamu menyarankan itu bukan karena kamu mau makan panekuknya kan?"
Tugas mereka hanya memasak untuk kemudian diperlihatkan ke guru. Seingat (Name) hasil masakannya boleh mereka bawa lagi untuk disantap saat istirahat makan siang.
Akito hanya meliriknya sebentar, ia kemudian menaruh ponselnya dan mengeluarkan belanjaannya dari kantong, "Kalau kubilang iya memangnya kenapa?" tanya sang wira.
Astaga. Orang ini. Seberapa cintanya ia dengan panekuk?
(Name) segera mengenakan celemek masaknya dan mulai mengambil alat untuk membuat panekuk. Mangkuk, mixer, gelas takar, teflon, kuas, timbangan. Emm, apa lagi ya?
"Oi, (Name), kamu bisa masak kan?"
Akito tiba-tiba menepuk pundaknya, yang dibalas dengan pekikan pelan dari (Name). "M-masak? Bisa kok, aku biasa membantu di rumah," balasnya sedikit kikuk.
"Oh, bagus. Kalau begitu sebaiknya kita bagi-bagi tugas supaya lebih cepat selesai," ujar Akito.
Perkataannya mungkin terdengar keren. Padahal sebenarnya (Name) tahu, itu hanya alasan supaya panekuknya cepat selesai dan ia bisa segera memakannya.
Sang gadis tertawa geli. Ia pun menghampiri temannya untuk mulai melakukan tugasnya.
"Pelan-pelan, awas panekuknya jatuh," suara maskulin itu terdengar disebelahnya. "I-iya, ini sudah pelan-pelan kok," ujar (Name) seraya menaruh loyang terakhir.
Ketika selesai, (Name) pun mundur untuk menaruh teflonnya. Kali ini Akito yang maju, dioleskannya mentega itu ke atas panekuk, tidak lupa sirup mapple dan es krim ia tambahkan sebagai pelengkap.
(Name) melirik temannya sebentar, kilau itu tak pernah lepas dari mata zaitunnya, bibir sang wira juga menyunggingkan senyum tipis. Netranya memandang panekuk itu seakan makanan itu bagai berlian yang ia temukan di tambang emas.
Yah, bagi Akito makanan itu memang sangat berharga. "Selesai," kata Akito senang.
Tidak hanya sang pemuda, bahkan (Name) sendiri bangga dengan hasil kerjanya. Ini pertama kalinya (Name) membuat panekuk, dan hasilnya sangat memuaskan. Tidak hanya penampilannya, aroma panekuk itu pun juga menggugah selera.
Akito juga banyak bicara dan memberi arahan yang baik ketika keduanya memasak.
Ya. Salah satu sifat baru sang wira yang baru-baru ini diketahu (Name). Pasalnya di kelas, pemilik surai oranye itu tidak banyak bicara. Malah terkadang aura tegas dan galak terpancar dalam dirinya. Membuatnya cukup sulit untuk didekati.
"Ayo makan!" seru Akito dengan semangat mengebu-ebu.
Tangannya langsung mengambil dua piring panekuk itu yang kemudian ia bawa ke meja makan. (Name) sendiri pergi mengambil teh dingin dari kulkas untuk keduanya nikmati.
(Name) pun segera menyusul, duduk di kursi yang berseberangan dengan Akito. Tanpa bertukar kata lagi, keduanya segera menyantap hidangan itu.
"Enak!" (Name) membuka obrolan.
"Tentu saja. Resep ini mirip dengan yang ada di cafe yang sering kukunjungi. Rasa panekuk disana enak dan harganya murah. Kamu harus kesana kapan-kapan."
Sang wira menjelaskan dengan senyum cerah. (Name) diseberangnya hanya memperhatikannya dengan ekspresi lembut, melihat Akito yang banyak bicara juga tidak buruk. Entah kenapa hatinya merasa hangat.
Eh. Tunggu, apa yang ia pikirkan? Duh, hentikan, (Name).
Ketika (Name) tersadar, Akito sudah diam menatapnya lekat. Dirinya menjadi gugup ketika tiba-tiba dipandangi seperti itu, ada kegelisahan yang menggelitik dalam dirinya.
"Umm, Akito-san?" tanya (Name) heran.
"Oh, itu ... di wajahmu, ada sedikit tepung sisa masak tadi," Akito menunjuk pipinya sendiri, mencoba memberi arahan kepada (Name) akan dimana tepung itu menempel.
"Huh? Mana? D-disini?"
(Name) berusaha mengelap tepung yang Akito sebutkan tadi. Melihat (Name) yang dengan polosnya bersusah payah mengelap noda itu membuat Akito jadi gemas sendiri.
"Bukan disitu. Ah, dasar kamu ini, sini."
Akito mencondongkan tubuhnya, ibu jarinya mengelap tepung yang daritadi ia sebutkan. Niatnya memang hanya mengelap, dan itu yang Akito lakukan. Namun perasaan menggelitik kembali (Name) rasakan, ketika sang wira tiba-tiba mendekatiknya, dan ketika jemari itu bersentuhan dengan pipinya.
Perlakuan yang ia terima membuat wajahnya terasa panas, napasnya tercekat dan tubuhnya terasa kaku. Ia ingin mengatakan sesuatu, namun kelu di lidah ia rasakan.
"T-terima kasih," hanya kalimat itu yang mampu keluar. "Sama-sama," balas Akito dengan santai.
Tidak ada kata lain yang keluar dari keduanya setelah itu, masing-masing sibuk menghabiskan makanan yang tersaji di depan keduanya.
(Name) melirik sang wira yang tengah asyik dengan panekuk favoritnya. Ya, seperti yang (Name) duga, Akito tidak bereaksi sama sepertinya. Mungkin, mungkin ... ia saja yang berlebihan?
Oh, (Name) yang malang. Andaikan ia tahu. Akito sendiri kini tengah mendistraksi dirinya sendiri dari rasa malu dengan berfokus pada makanan favoritnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top