[01. Secret Gift] Hello, Butterfly - Kochou Shinobu

Secret Gift Project

Hello, Butterfly

Secret Gift for : Sachan sachandez

Kochou Shinobu x Reader Kimetsu no Yaiba © Koyoharu Gotouge

A Kimetsu no Yaiba/Demon Slayer fanfiction Written by moonorchd_

Words count: 2K

***

Cipratan darah dan jeritan iblis di malam hari sudah jadi makanan sehari-hari bagiku.

Sejak aku memutuskan untuk bergabung dengan korps Pembasmi Iblis, membunuh sebanyak mungkin iblis sudah menjadi tujuan hidupku. Aku benci iblis. Jika mereka tidak ada, Kaa-san dan Tou-san sudah pasti masih hidup. Kini, akan kubuat mereka merasakan apa yang mereka perbuat pada kedua orangtuaku.

Aku akan membunuh sebanyak mungkin iblis, hingga tarikan napas terakhirku.

Malam ini aku ditugaskan untuk membasmi iblis di sebuah desa kecil di kaki gunung. Katanya, selama tiga hari terakhir ini selalu ditemukan mayat warga desa yang tewas secara mengenaskan. Warga desa yang lain percaya kalau itu perbuatan hewan buas, tapi mana mungkin, sih. Sayangnya, tidak semua orang percaya akan keberadaan iblis. Organisasi kami bahkan masih dianggap ilegal sampai sekarang.

Berkat bimbingan kasugaigarasu, aku tiba di desa itu tepat setelah matahari terbenam.

Jalanan sudah sepi, tentu saja, tidak ada warga desa yang berani mengambil risiko berkeliaran di malam hari setelah apa yang terjadi beberapa hari terakhir.

Menurut informasi dari si gagak, iblis akan muncul di desa ini ketika bulan sudah tinggi.

Biasanya dia akan membunuh korbannya di gang-gang kecil.

"KYAAAAAA!"

Oh, rupanya dia memutuskan untuk keluar lebih cepat malam ini. Nah, dia sedang sial karena harus menghadapiku.

Aku menuju asal suara barusan. Hingga aku tiba di depan gang sempit di sebelah gudang tak terpakai, tempat yang cocok sebagai persambunyian mereka. Aku melihat seorang wanita muda yang tadi berteriak, kini meringkuk ngeri di sudut gang. Iblis itu ada di depannya, kulitnya sepucat bulan purnama, rambut hitam pendeknya tampak mekar tak terurus. Dia berjongkok di sudut lain gang sambil menekan seorang pria muda ke tanah.

"Lepaskan dia!" seruku.

Iblis itu menangkap sosokku, senyumnya yang rakus semakin mengambang. Alih-alih menurut, dia malah menancapkan kukunya ke perut si pria, diiringi cipratan darah dan jeritan parau membelah malam.

Si wanita melolong, "Tidak! Suamiku!"

Sedetik kemudian, aku menerjang. Teknik pernapasan [breath technique] yang sudah kupelajari selama beberapa tahun terakhir ini tidak pernah mengecewakanku waktu bertugas. Aku menebas, berhasil memisahkan iblis itu dari si pria sekarat.

Si iblis menggeram tak senang. Aku berdiri di antara kedua warga desa dan si iblis.

Ketika si wanita sudah meringkuk di sebelah suaminya, aku berteriak, "Pergi dari sini!"

Tidak ada bantahan. Wanita itu langsung membopong tubuh suaminya dan pergi tanpa berkata apa-apa. Aku menghela napas, sekarang gangguan sudah pergi.

Si iblis mendecih. "Pengganggu!" geramnya.

Aku mengangkat pedang. "Terserah. Tapi malam ini tetap akan jadi malam terakhirmu," kataku.

"Huh ... sudah lama juga aku tidak makan pemburu iblis."

Iblis itu melompat. Gerakannya cepat sekali, waktu aku sadar, cakarnya hanya berjarak sekepalan tangan dari wajahku. Cepat-cepat kutebas cakar itu sebelum kepalaku jadi daging cincang.

Jari-jarinya putus. Iblis itu mundur, tampak kesal. Aku tahu, hanya butuh beberapa detik sampai tangannya utuh lagi. Rupanya iblis ini cukup pintar. Selagi jari-jarinya memulihkan diri, yang dia lakukan hanya menghindari tebasan pedangku. Jika dia menyerang dengan taringnya, itu sama saja dengan memberi kesempatan padaku untuk memenggal kepalanya.

Sial, pertarungan ini akan sulit.

Si iblis memasang senyum kemenangan ketika tangannya kembali utuh. Aku langsung menjaga jarak.

Benar saja, kali ini gerakannya jauh lebih cepat. Bahkan kalau aku tidak salah lihat, cakarnya juga jadi sedikit lebih panjang. Satu sabetannya berhasil melukai lenganku. Itu membuat si iblis tertawa puas. "Cukup main-mainnya. Sekarang akan kubuat kau merasakan kehebatan iblis yang sesungguhnya!"

Iblis itu bergerak-gerak. Sesaat kupikir dia hanya menggeliat biasa, sampai kusadari tubuhnya perlahan membesar, hingga mencapai dua kali ukuran sebelumnya. Cakarnya juga bertambah panjang.

"Lihatlah kekuatan yang telah kuterima dari orang itu!" Dia menyeringai, taringnya jadi lebih mengerikan dari sebelumnya.

Orang itu. Jelas aku tahu siapa yang dimaksud si iblis, pria yang telah menghancurkan hidup orang banyak itu ....

Si iblis menerjang, kali ini aku tidak sempat menghindar. Ugh, tubuhnya jadi jauh lebih keras dari yang tadi, aku seperti baru saja menebas tumpukan besi. Selain itu, gerakannya juga cepat. Kalau begini, mustahil aku bisa mengenai lehernya. Ditambah, cakarnya itu betul-betul merepotkan. Lengan dan kakiku terasa perih di sana-sini akibat terkena serangannya, napasku juga mulai tak beraturan.

"Hehe.... kau tampak kepayahan, apa kita akhiri saja?"

Aku benci mengakuinya, tapi dia benar. Perbedaan kekuatan kami terlalu jauh, yang bisa kulakukan sekarang hanya menunggu matahari terbit. Itu, kalau aku tidak dibunuh duluan.

Napasku sesak. Aku ragu apakah seranganku berikutnya akan berhasil. Kalaupun berhasil, itu bakal jadi serangan terakhirku. Tapi aku tidak mau terlihat payah. Kupaksakan diriku untuk tertawa. "Heh cuma segitu kemampuanmu? Lihat, kau bahkan tidak sanggup membunuhku. Apa para iblis memang selemah ini, hah?"

Ekspresi si iblis jadi agak keruh. Lihat, dia tersulut.

"Jangan banyak omong, kau, pemburu sialan. Akan kubunuh kau dengan satu serangan terakhir," ancamnya.

"Coba saja, sebelum kupotong lehermu itu," balasku. Yah, sebenarnya aku yakin kalau aku sudah tidak mungkin menang. Tapi harus kucoba.

Kali ini, untuk menghemat tenaga, aku tidak menyerang. Aku terus menghindari serangan si iblis sambil menariknya ke tempat terbuka. Semoga tubuhku tidak ambruk duluan.

Ah, gawat, mataku mulai berkunang-kunang. Tanganku rasanya kebas. Ayolah, fajar kumohon cepatlah terbit.

"Sudah batasnya, rupanya?" Si iblis menyeringai. Sial, aku benci dipandang rendah oleh iblis. Kuangkat pedang dengan sisa-sisa tenaga terakhirku.

"Tidak, akan kuakhiri ini."

Kupaksa tubuhku bergerak. Aku pasti sudah habis dengan satu serangan ini, makanya harus berhasil.

Aku berhasil memperpendek jarak dengan si iblis, tepat sebelum dia menyerang lagi.

Kuhantam leher si iblis dengan bilahku, akh, lehernya keras sekali. Tapi serangan ini tidak boleh gagal. Pedangku berhasil memotong seperempat bagian lehernya ketika rasa sakit yang teramat sangat menyerang perutku. Konsentrasiku buyar. Cakarnya. Aku lupa dengan cakarnya.

Genggaman pedangku sesaat melemah sementara senyum si iblis kian lebar.

"Sudah selesai."

Aku tidak bisa berpikir jernih. Segalanya terjadi begitu cepat. Pedangku patah, si iblis menjatuhkanku. Aku tidak lagi merasa takut ketika iblis itu berdiri di atasku, dengan cakar yang siap mencabik tubuhku saat itu juga.

Tapi kemudian, ekspresi si iblis berubah ngeri. Dia langsung kabur tanpa melakukan apa- apa. Fajar telah terbit, tapi sudah terlambat bagiku.

***

Waktu membuka mata, aroma obat dan kasur hangat adalah hal pertama yang kurasakan.

Kucoba mengingat-ingat apa yang terjadi sesudah malam itu. Sekelebat ingatan muncul di benakku. Aku sekarat, Kakushi muncul, lalu sebuah suara.

"Bawa dia ke tempatku."

Hanya itu.

Seluruh tubuhku sakit, kurasa aku tidak akan bisa bangun. Masih dalam posisi berbaring, kuedarkan pandangan ke sekeliling ruangan dan mendapati selusin ranjang yang sama seperti yang kutempati. Rasanya aku tahu tempat ini. Tempat pengobatan yang cukup terkenal di kalangan pemburu iblis, dikelola oleh salah satu pilar ....

Pintu terbuka, seorang perempuan yang mengenakan haori bermotif kupu-kupu masuk.

"Ah, sudah sadar, ya. Syukurlah.... " Perempuan itu menghampiri kasurku. Dari suaranya, aku tahu dialah yang kudengar malam itu.

"Kochou Shinobu, sang pilar Serangga," kataku.

Perempuan itu mengerjap. "Oh, kau tahu namaku?" katanya.

"Tentu saja, tidak ada pemburu iblis yang tidak mengenal para pilar," dengusku. Ah, kepalaku masih sakit, untuk bicara saja masih terasa sulit. "Dan, terima kasih sudah membawaku kemari."

Kochou tersenyum. "Sama-sama, aku turut senang jika kau sudah membaik." Kemudian, dia meraba perban di perutku. "Lukamu cukup parah, tulang rusukmu ada yang patah. Kalau para Kakushi tidak cepat datang, barangkali saat ini kau sudah mati."

Ingatan tentang malam itu kembali muncul di pikiranku. "Tidak masalah, kalau aku mati malam itu," kataku.

"Dan mengapa kau berpikir begitu?" tanya Kochou. Nada bicara tenang, tampak tidak terkejut sama sekali akan perkataanku.

"Aku gagal membasmi iblis, pedangku juga patah. Aku jelas bukan pemburu iblis yang baik," tuturku. "Seorang pemburu iblis yang tidak mampu menebas iblis, lebih baik lenyap saja."

Setelah ini pasti Kochou pasti akan menyela ucapanku dengan kata-kata penyemangat seperti, jangan menyerah atau, kau tidak seperti itu. Hah ... aku sudah kenyang dengan kata-kata semacam itu.

Kochou menelengkan kepalanya. "Hm, mungkin betul juga. Percuma jadi pemburu iblis kalau tidak bisa menebas, ya.............................. "

Eh? Reaksinya tidak seperti perkiraanku. Kochou lalu berdiri dan menarik pedangnya. "Jadi pedangku ini apa, dong."

Aku tidak pernah berpapasan dengan Kochou Shinobu dalam misi manapun sebelumnya.

Jadi ini pertama kali aku melihat wujud pedangnya. Itu.... agak mengejutkan. Tidak seperti pedang biasa yang berbilah panjang, bilah pedang milik Kochou hanya berupa mata pisau kecil di ujungnya.

"Lihat, kan, pedangku ini tidak bisa dipakai menebas." Kochou memutar-mutar pedang unik itu di tangannya. "Pernyataanmu tadi, berarti secara tidak langsung kau menyebutku payah, ya. Jika aku yang begini saja sudah dibilang payah, lalu kau itu apa?"

Aku merinding. Kochou mengatakan itu semua dengan nada tenang, bahkan wajahnya tak henti menunjukkan senyuman. Dia tidak tampak marah, tapi gestur itu malah jauh lebih menyeramkan daripada marah.

"Bukan begitu, aku--" Aku berjengit. Seluruh tubuhku sakit sekali, aku tidak bisa bangkit dari posisi berbaring.

Kochou jelas tahu kondisiku separah apa. Dia menekan keningku dengan jari telunjuknya, menahanku agar tetap berbaring. "Jangan banyak bergerak, lukamu nanti terbuka lagi," katanya. "Yah, aku masih ada urusan. Karena kau juga butuh banyak istirahat, jadi kutinggal dulu, ya. Dadah."

Kochou kembali menyarungkan pedangnya dan berbalik. Ketika tiba di ambang pintu, Kochou kembali menoleh ke arahku. "Jika aku yang payah ini saja bisa jadi pilar, maka kualitas pemburu iblis pasti sudah menurun sekali. Wah, gawat juga, ya."

Lalu dia pergi.

***

Sudah lewat beberapa hari sejak aku terbangun di kediaman kupu-kupu. Lukaku sudah hampir sembuh. Sekarang, yang harus kulakukan adalah memulihkan stamina sembari menunggu pedang baruku selesai ditempa.

Belakangan, salah satu anak di kediaman kupu-kupu memberitahuku mengenai keahlian Kochou. Perempuan itu memang tidak bisa menebas iblis, tapi dia ahli meracik racun. Dia menggunakan racun itu untuk membunuh iblis.

Ah, waktu itu aku betul-betul sedang emosi. Aku sudah mengatakan hal yang salah.

Kochou memang tidak menunjukkannya, tapi bisa saja kata-kataku waktu itu membuatnya sedih, atau marah. Bisa-bisa dia malah membenciku. Bukan apa, aku hanya tidak ingin cari masalah dengan salah satu pilar.

Maka, akan kuselesaikan masalah ini hari ini juga.

Aku pergi ke halaman tengah. Kata salah satu anak, Kochou biasanya ada di situ pada jam-jam segini. Benar juga, itu dia di sana. Sedang minum teh di undakan tengah.

"Permisi, Kochou-san?" panggilku. Dia menoleh, tidak mengatakan apapun. Hanya menatapku seperti menunggu apa yang akan kukatakan.

Aku menarik napas dalam-dalam sebelum memulai. "Pertama, aku minta maaf atas perkataan kasarku tempo hari, waktu itu aku terbawa emosi!" Aku membungkuk. Kochou masih memperhatikanku, tapi kali ini ada sinar rasa penasaran di matanya.

"Kutarik kata-kataku waktu itu. Dan ... akhir-akhir ini aku berpikir, pemburu iblis yang mampu membunuh tanpa menebas langsung itu jauh lebih hebat! Tapi, aku juga tidak akan kalah. Waktu itu aku memang gagal, tapi setelah ini, aku akan jadi pemburu hebat yang mampu membasmi iblis dengan cara apapun!"

Ah, pidato singkat itu membuatku kehabisan napas, sepertinya aku harus melatih teknik pernapasan lagi setelah ini. Mungkin Kochou akan kembali mencemooh dengan senyum menyeramkan seperti waktu itu. Yah, biar saja, lah. Yang penting aku sudah mengatakan apa yang ingin kukatakan.

Tapi dia luar dugaan, dia malah tertawa?

Aku menatap sang Pilar Serangga. Hei, memangnya pidato barusan selucu itu?

Kochou baru bicara setelah tawanya mereda. "Haha ... ternyata kau anak yang menarik, ya. Aku suka semangatmu, lho," katanya. "Nah, kau sudah bertekad begitu, berarti kau sudah siap untuk menang di misi selanjutnya?"

Kata-katanya itu sedikit membuatku senang. "Ya, lebih dari siap!" ucapku.

Kochou bertepuk tangan. "Wah ... tekadmu besar, ya. Kalau begitu, semoga beruntung di misi selanjutnya." Dia berdiri dan mengusap kepalaku. "Mengenai yang tempo hari, aku tidak marah, kok. Tapi syukurlah kalau itu ternyata berhasil menyemangatimu."

***

Beberapa hari kemudian, akhirnya pedang baruku sudah jadi. Lukaku juga sudah sembuh total, sungguh waktu yang tepat untuk memulai misi baru.

Aku sudah mengganti bajuku dengan seragam pemburu iblis, tidak lupa dengan pedang baruku. Selagi aku sudah pulih, tidak ada alasan bagiku untuk tinggal lebih lama di kediaman kupu-kupu. Lagipula, aku sudah bertekad untuk jadi pemburu iblis yang jauh lebih hebat.

Sebelum pergi, aku kembali menemui Kochou. Sekadar mengucapkan selamat tinggal padanya.

"Sampai jumpa, kau pasti akan jadi pemburu iblis yang hebat! Kalau terluka, datang saja ke tempatku, ya."

Tentu saja, kediaman kupu-kupu akan jadi tempat pertama yang kudatangi waktu aku terluka. Yah, semoga aku tidak akan terluka separah malam itu.

Ketika aku mengambil langkah hendak meninggalkan halaman depan, si gagak muncul.

"Cepatnya, kali ini dimana?" tanyaku.

Tanpa menunggu si gagak mengulangi arahannya dua kali, aku berlari ke arah yang dia tuju. Ada iblis yang menunggu untuk dipenggal di sana.

.

Tamat

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top