Piece Of Puzzle | Part 8 : Collecting Heart

** Happy Reading **

"Percy ... aku merindukanmu!"

Suara seorang wanita menginterupsi gerakannya, membuat Serena langsung menoleh. Matanya terus mengikuti gerakan sang gadis. Dia melangkah menghampiri Perceval yang tiba-tiba berdiri karena kaget. Kekagetan Perceval tak sampai di situ. Gadis tersebut langsung menciumnya mesra dan dalam, seakan mereka tak bertemu bertahun-tahun, dan menurut Serena itu menjijikan.

Serena menyilangkan kedua tangannya di depan dada saat ciuman mereka tak kunjung terlepas. Astaga, yang benar saja. Ia berdehem mencoba untuk menginterupsi. Namun, sepertinya itu sama sekali tak berpengaruh. Yang ia lihat saat ini, gadis itu malah melingkarkan lengannya ke leher Perceval, dan Perceval menarik pinggang gadis itu agar ciuman mereka semakin dalam.

Tok ... Tok ....

Serena mengetuk meja sedikit keras, sesaat kemudian mengangkat tangan kanannya. Ia memiringkan badan, agar kedua insan itu bisa melihatnya.
"Maafkan aku, jika aku menginterupsi kegiatan kalian. Tapi, aku harus pergi!"

Mereka melepaskan pagutannya dengan perlahan. Bahu mereka naik turun seiring dengan deru napas yang memburu. Jika Serena tak ada di sana, ia yakin meja kerja di depannya, akan menjadi saksi bisu kegiatan mereka selanjutnya. Ingatkan Serena nanti, agar ia tak menyimpan makanan di atas meja itu.

Oh, jangan tanyakan wajah mereka seperti apa, karena yang bisa Serena lihat hanyalah wajah Perceval yang memerah, dan itu membuat Serena terdiam seketika. Ia tak menyangka, pria arogan seperti Perceval bisa bersikap seperti itu di depan wanita, dan itu terlihat manis.

Serena menggelengkan kepala, mencoba mengusir hal yang baru saja terlintas.

"Ya Tuhan!"

Serena tersadar dari lamunan saat gadis itu memekik kaget, melihat ke arahnya dengan wajah memerah, entah karena malu atau karena hal lain.

"Sejak kapan kau ada di sana? Aku ... tadi tak melihatmu."

Serena mendengus, memberikan tatapan 'yang benar saja'.

Perceval berdeham sambil menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, mencoba mengabaikan suasana yang menurutnya sangat canggung.

"Alexa, perkenalkan ini Serena James Queen, dia excecutive chef di cafe ini."

Serena menyeringai. Excecutive, huh?

"Serena, ini Alexa, dia kekasihku."

Alexa tersenyum kemudian melambaikan tangan, sedangkan Serena hanya mengangguk.

"Tapi tunggu, rasanya nama dan wajahmu terasa tak asing." Alexa berpikir sejenak, menimbang-nimbang di mana ia pernah bertemu dengan Serena. Seperti lampu yang tiba-tiba berpijar, wajah Alexa berubah cerah.

"Apa kau yang menjadi salah satu juri di sebuah acara TV perlombaan memasak itu??" tanya Alexa dalam satu helaan napas. Ia terdengar sangat excited.

Sejenak Serena terlihat berpikir. "Mungkin." Serena mengangkat bahu tak acuh. Ia sebenarnya tak terlalu menyukai jika wajahnya masuk TV.

"Sudah kuduga! Percy, itu dia!!" Alexa menggoyangkan tangan Perceval dengan wajah girang, sedangkan laki-laki itu hanya bisa tersenyum miring.

Serena menunduk menyembunyikan senyum tipisnya saat melihat tingkah Perceval yang berbeda di depan sang kekasih.

"Aku sangat mengidolakanmu. Ya Tuhan! Aku tak menyangka bisa bertemu denganmu di sini." Alexa melangkah mendekati Serena. "Boleh aku menjabat tanganmu?" tanya Alexa sedikit ragu.

Serena mengangguk, sesaat kemudian tersenyum tipis. "Tentu saja."

Alexa mengulurkan tangan, kemudian disambut hangat oleh Serena. Ia menutup mulutnya dengan tangan kiri agar tak berteriak, karena terlalu bahagia. "Kalau aku tahu kau bekerja di sini, aku pasti akan setiap hari datang ke sini untuk memakan masakanmu."

Serena tersenyum sesaat kemudian menunduk, mencoba menyembunyikan wajahnya yang memerah karena malu. Ia tak biasa di puji oleh orang asing yang baru saja ia kenal.

Sialnya, sikap pemalu yang ditunjukkan Serena malah membuat Perceval terdiam seketika. Ia tak menyangka, wanita kasar ini bisa bertingkah seperti itu.

"Terima kasih," ucap Serena tulus sesaat setelah ia mengangkat kepalanya.

"Bolehkah aku meminta tanda tanganmu?" tanya Alexa masih menggenggam tangan Serena. Matanya berkilat, menyiratkan kekaguman.

"Alexa, please ... jangan--"

"Diamlah, Perceval!"

Perceval terdiam. Lidahnya terasa kelu saat Alexa membentaknya dan memanggilnya dengan nama Perceval. Pasalnya, saat gadis itu memanggil dengan nama depan, itu tandanya gadis itu tak ingin dibantah.

Serena berdeham, mencoba menahan tawa saat melihat Perceval tak berkutik di depan Alexa. Sungguh, ini pemandangan yang sangat langka, dan ia benar-benar menyukai ini.

"Baiklah, aku harus pergi dan segera mengganti sarapan ini." Serena memberikan note yang sudah ia bubuhi tanda tangan ke Alexa, gadis itu menerimanya dengan sangat girang. Ia memeluk note itu, seperti ia memeluk boneka kesayangannya.

"Eh, tunggu. Kenapa sarapannya diambil?" Alexa menatap Serena bingung, saat gadis itu mengambil tray makanan yang ada di atas meja.

"Ah, tuan Bennet bilang, kalau dia alergi telur. Jadi aku akan menggantinya."

Alexa menoleh, mengerutkan kening kemudian menatap Perceval dengan tatapan tajam. "Sejak kapan kau alergi telur?" tanya Alexa dengan nada menyelidik. "Telur, kan, salah satu makanan favoritmu."

Tubuh Perceval menegang, wajahnya langsung memerah menahan malu. Ia bahkan tak bisa membuka mulutnya untuk mencari sebuah alasan.

"Oh begitu ...." Serena mengangguk kemudian menyimpan kembali tray di atas meja. "Kaki tuan Bennet tadi terinjak sesuatu," Serena mengangkat jari telunjuk kanannya, lalu ditempelkan di depan dagu, "aku yakin itu mengakibatkan aliran darah ke otaknya berkurang dan sepertinya, membuat otaknya sedikit miring." lanjut Serena santai sesaat kemudian tersenyum tipis.

Alexa tergelak. "Benarkah?" Alexa menoleh ke arah Serena tak percaya, kemudian kembali melihat Perceval yang masih terdiam.

"Maaf, aku permisi dulu."

Alexa mengangguk.

Serena membalikkan badan, melangkah keluar ruangan tersebut. Ia menutup pintu perlahan dan suara tawa Alexa kembali terdengar. Ia melangkah perlahan menuruni tangga.

"Pffttt ... hahaha ...." Serena tak bisa menahannya lagi, tawanya terdengar saat ia menuruni tangga yang terakhir. Wajah Perceval yang memerah menahan malu, terus terekam di memorinya. Itu pembalasan, karena dia sudah meninggalkannya di pinggir jalan tempo hari.

Namun, tawanya tak berlangsung lama saat handphone-nya tiba-tiba berdering. Serena merogoh sakunya dan mengambil handphone-nya yang terus bergetar. Satu nama muncul di layarnya. Satu nama yang ia harap bisa menemaninya dua hari yang lalu, saat ia benar-benar membutuhkan kehadirannya. Satu nama yang ia harap tak akan mengabaikannya ketika ia mengirimkan pesan dan meneleponnya.

"Ada apa?" Serena terenyak, ia tak percaya nada suaranya yang baru saja keluar bisa sedingin ini. Ia selalu mengalah pada Victor, ia selalu mengesampingkan perasaannya, karena ia terlalu mencintai laki-laki ini. Namun, kali ini berbeda. Mood-nya sedang benar-benar berada di dasar jurang, dan Victor membuatnya semakin buruk.

"Rein, maafkan aku .... Aku--"

"Kau masih mengingatku?" Serena mengeratkan pegangan pada handphone-nya, dadanya tiba-tiba terasa sesak.

"Rein ... dengarkan--"

"Sepertinya lukisanmu sudah selesai, sampai kau punya waktu untuk meneleponku." Air mata Serena menggenang di sudut mata, sejak pertama kali mendengar suara Victor. Sungguh, ia merindukan laki-laki ini, berada di pelukannya selalu membuatnya nyaman. Serena mendengar Victor menghela napas berat.

"Aku sibuk. Jika memang tak ada yang ingin kau bicarakan, aku tutup."

"Re--"

Klik.

Serena meletakkan handphone-nya di atas dada. Katakan ia kejam, tetapi mood-nya saat ini sedang benar-benar buruk. Serena menyandarkan tubuhnya ke tembok. Menghapus kasar jejak air mata yang menggenang. Ia tak suka jika ia lemah seperti ini, ia tak ingin jika hal seperti ini merapuhkan hatinya.

*****

Lunch hari ini terbilang cukup sepi. Para pegawai di cafe pun bisa sedikit lebih bersantai. Suara tawa terdengar saat Charles menceritakan sebuah joke khas seorang Charles. Serena sendiri sedang memanggang beef steak pesanan salah satu pelanggan, saat Frederick--demi chef--memanggilnya.

"Chef."

Serena berdeham, tangannya dengan sigap membalik steak ke arah sebaliknya.

"Ada orang yang mencarimu."

Serena mengerutkan kening. "Siapa?" tanya Serena tanpa menoleh, ia menekan-nekan beef steak-nya kemudian membaliknya kembali.

Frederick berdehem, kemudian menjawab dengan nada jahil. "Kekasihmu."

Tangan Serena terhenti di udara. Sepertinya ia salah dengar. "Siapa?" Serena menoleh mengerutkan kening.
"Kekasihmu." Frederick tersenyum penuh arti.

"Katakan padanya, aku sedang sibuk." Serena kembali menoleh, mengangkat steak yang matangnya sudah sesuai dengan permintaan pelanggan, medium. Tidak terlalu matang, tidak terlalu mentah. Dengan perlahan tetapi pasti, ia memotong steak tersebut menjadi 4 potong bagian yang memanjang, sesaat kemudian meletakannya di atas piring.

"Tapi chef ... tadi dia sempat masuk ke dalam, lalu keluar lagi. Aku yakin, dia tahu kalau sekarang cafe sedang sepi."
Serena berdecak kesal, ia memijit pelipisnya yang terasa sakit. "Charles, teruskan." Serena melangkah menuju wastafel, mencuci kedua tangan, kemudian melap tangannya dengan kain lap tangan yang tergantung di pinggangnya.

Ia tak menyangka Victor akan menyusulnya ke cafe. Ia kadang merasa, Victor punya kepribadian ganda. Kadang ia benar-benar cuek tak peduli dengan keadaan sekitar, kadang dia bisa bersikap hangat dan sangat romantis, meski bisa dihitung dengan jari.

Langkah Serena terhenti tepat di dekat pintu masuk, saat ia melihat sosok Victor yang sedang duduk memperhatikan jalanan. "I miss you, really miss you," gumam Serena Pelan. Ia ragu, apakah ia harus menemui Victor atau tidak. Sementara hatinya, jangan ditanya. Ia ingin menemui laki-laki itu, memeluknya, menciumnya dengan sepenuh hati. Tetapi, apakah ia harus mengalah lagi? Kejadian ini selalu berulang, dan Serena mulai merasa lelah dengan laki-laki itu.

Victor menoleh, membuat Serena membeku. Laki-laki itu berdiri sesaat kemudian langsung menghampiri Serena. Serena dengan cepat membalikan badan lalu melangkah pergi, tetapi tangannya dicekal dan tubuhnya ditarik keluar cafe.

"Lepaskan, Vic! Aku sedang sibuk." Serena mencoba melepaskan genggaman Victor, sialnya sama sekali tak berhasil.

"Kau ini kenapa?" tanya Victor membalikkan badan, menatap Serena dengan tatapan terluka dan kecewa.

Serena mendengus. Bukankah seharusnya ia yang merasa kecewa dan terluka. Apa laki-laki ini tak sadar, jika dia selalu mementingkan perkerjaan dan lukisannya, dibandingkan dengan kekasihnya??

"Aku yang seharusnya bilang begitu. Ada apa denganmu?" Serena melepaskan genggaman Victor kemudian menghela napas berat. "Aku lelah Vic, sebaiknya kau pulang."
"Kau menghindariku!"

"Kau mengabaikanku, sialan!" Serena terenyak saat kata makian itu tiba-tiba saja keluar dari mulutnya.

Victor membisu. Mungkin ini pertama kalinya Serena marah dan mengeluarkan emosinya.

"Rein, lihat mataku," Victor menggenggam tangan Serena, suaranya begitu lembut membuat Serena bahkan tak bisa mengalihkan pandangan. "inilah aku, inilah diriku. Aku mencintaimu, sungguh, sangat mencintaimu. Maafkan aku, aku mohon jangan menghindariku."

Hati Serena menghangat saat Victor mengatakan ia mencintainya, saat Victor menatapnya dengan tatapan dalam. Ia selalu terbuai dengan tatapan itu. Namun, bayangan saat Victor tak mempedulikannya tiba-tiba terlintas, ku lelah, tolong biarkan aku sendiri." Serena membalikan badan, dan melangkah menjauh. Meski terasa berat, ia coba memantapkan hatinya. Ingin sekali ia menoleh, berlari kepelukan laki-laki itu. Sungguh, rindu ini mulai menggerogotinya, ia tersiksa, tetapi Victor lebih dulu menorehkan luka dan ia butuh waktu, sebentar saja.

"Rein!"

Serena terenyak saat tubuhnya terhuyung ke belakang. Rasa pening di kepalanya semakin menjadi saat ia membentur dada Victor.

"Apa yang kau lakukan?!" geram Serena, mendorong Victor agar menjauh.

"Aku bilang jangan menghindariku, kita selesaikan sekarang. Kita bicarakan baik-baik!"

"Tidak sekarang!" teriak Serena frustasi. Beberapa orang menoleh ke arahnya. "Berikan aku waktu, tapi tidak sekarang." Serena memijit kepalanya yang semakin terasa sakit.

Victor menggeleng. "Aku mohon, Rein. Jangan seperti ini...." Victor menarik Serena kepelukannya, kemudian mengecup kepalanya lembut.

Serena hanya bisa membisu. Tangannya terulur mencoba membalas pelukan Victor, tetapi bagian hatinya yang lain menahannya. "Lepaskan aku, Vic."

Victor menggeleng.

"Aku bilang, lepaskan!" Serena memukul-mukul dada Victor agar menjauh, tetapi percuma, laki-laki itu sama sekali tak bergeming. Saat Serena mulai luluh, tiba-tiba dengan kasar, tubuhnya tertarik ke belakang.

Huh?

"Apa yang kau lakukan pada calon istriku?!" Perceval menarik tangan Serena, kemudian dengan sigap memeluk tubuhnya erat.

What the hell??

** Thank You **

----------

Maafkan jika part ini kurang berkesan wkwkwk 😂😂
Terlalu kepanjangan ga sih? Kalau kepanjangan, next part bakal aku pendekin. Takut jadi males baca haha..

Aku harap, semua nya suka.. Kalau suka, klik bintangnya ya.. Kalau enggak suka, klik juga bintangnya, seenggaknya teman-teman udah menghargai karya penulis.. 😂😂 *maksa

Makasih semuaaanya..

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top