Piece Of Puzzle | Part 7 : Realease Me
** Happy Reading **
Dua hari berlalu sejak kejadian di hotel. Tawa Perceval selalu terdengar, tiap kali ia mengingat bagaimana wajah Serena yang marah ketika ia meninggalkannya di jalan begitu saja. Salahkan wanita itu karena berlagak sok kuat, dan dengan beraninya ia menghinanya di depan keluarganya.
Namun, wajah Alexa yang sedang tersenyum, tiba-tiba membuat hatinya berdenyut. Ia menghela napas dalam, ada beban berat di dadanya yang belum bisa ia lepaskan. Pasalnya, ia belum memberitahukan perihal perjodohan ini pada Alexa. Hanya membayangkan Alexa marah, dan mengabaikannya saja sudah membuat tubuhnya merinding. Ia tak bisa hidup tanpa Alexa, gadis itu segalanya untuknya.
Suara dering dari handphone membuat Perceval terkejut. Ia berdecak pelan saat melihat nama caller di head unit mobilnya. "Ada apa?" tanya Perceval dengan nada ketus. Terdengar Lucas berdehem pelan.
"Saya sudah berada di cafe Des Latanz, Tuan. Hampir semua karyawan sudah ada di lobby menunggu anda."
"Sebentar lagi aku sampai." Perceval menutup teleponnya dengan angkuh. Ia dongkol setengah mati. Tadi pagi Damitri tiba-tiba saja meminta dia untuk mengurus sebuah cafe yang baru saja diakuisisi olehnya. Kalian bayangkan, sebuah cafe. Astaga, yang benar saja. Seorang Perceval Louv Bennet, pewaris restaurant ternama di Paris mengurusi sebuah cafe. Mau taruh di mana wajahnya yang tampan ini?
Perceval menarik napas pelan, lalu menghembuskannya dengan kasar. Sebuah bangunan yang menurutnya mirip apartement, didominasi dengan warna hitam dengan beberapa pasang kursi dan meja yang disusun di depan cafe tersebut tertangkap oleh penglihatan Perceval. Ia memarkirkan mobilnya di seberang jalan. Dengan sedikit malas ia melangkah keluar, kemudian menutup pintunya. Perceval menoleh ke kaca mobil sesaat sebelum membenarkan jas hitamnya yang sedikit terkena debu dan merapihkan letak rambutnya yang berantakan.
Perceval berdecak pelan, sebelum akhirnya melangkah masuk menuju cafe. Beberapa waiters dan beberapa orang chef sudah berdiri menunggunya. Lucas langsung menghampiri Perceval. Dengan wajah angkuh Perceval mengangguk, ketika Lucas memberikannya sebuah dokumen tentang cafe tersebut.
Sebenarnya untuk sebuah cafe kecil, tempat ini tak terlalu buruk. Suasanya begitu nyaman, lantai dan atapnya terbuat dari kayu-kayu yang dipoles dengan akrilik, temboknya didominasi dengan warna putih dengan ukiran binatang yang menonjol, dan lihat bar yang didominasi dengan warna hitam itu. Meski kecil, tetapi terlihat sangat nyaman.
Perceval berdehem, mencoba menghentikan kekagumannya pada cafe kecil ini. "Perkenalkan, saya Perceval Louv Bennet. Mulai hari ini, saya resmi menjadi pemilik--" Suara mengaduh seseorang tiba-tiba menginterupsi perkenalannya. Perceval menoleh geram.
"Siapa--"
"Maafkan Tuan, saya terlambat."
Perceval membeku. Jadi ini alasan sebenarnya mengapa Damitri menyuruhnya untuk mengurus cafe ini. Ia tak menyangka, wanita itu ternyata seorang chef.
"Ah, perkenalkan tuan, ini excecutive chef kita, nona--"
"Serena James Queen, calon istriku."
Semua mata menoleh serempak ke arahnya. Termasuk Serena yang sejak tadi hanya bisa menunduk karena kehabisan napas. Wanita itu terlihat begitu terkejut.
Perceval tersenyum menggoda, sesaat kemudian melangkah menuju Serena yang menatapnya dengan tatapan 'jangan berani mendekat!'. Astaga, ini akan menyenangkan.
"Sedang apa kau di sini?! Sh*t. Jangan bilang kau--"
"Ya, aku pemilik cafe yang baru. Mulai hari ini, kita akan bekerja bersama. Bukankah itu sangat menyenangkan, sayang?" Perceval membelai pipi Serena, tetapi dengan kasar wanita itu langsung menepisnya. "Mulai hari ini, kau akan mengikuti semua perintahku," Perceval menyeringai saat Serena memutar bola matanya jengah. Gadis itu terlihat begitu kesal, "apapun yang aku perintahkan, harus kau turuti, karena aku atasanmu. Kau tidak ingin aku pecat bukan?" ucap Perceval dengan wajah angkuh.
Serena mendengus. "Coba saja kalau berani." Serena melangkah menjauh, tetapi Perceval terlebih dulu mencekal tangannya, membuat Serena menoleh geram. "Apa maumu, berengsek?!" desis Serena menyentakkan tangannya. Beberapa karyawan terlihat terkejut dengan suasana yang tiba-tiba menjadi tegang. Beberapa lainnya hanya menunduk, tak berani menginterupsi.
Perceval menggertakkan giginya menahan amarah. Berani sekali wanita ini memakinya, di hari pertama ia bekerja, di depan semua karyawannya pula? "Kau?!"
"Apa?? Kau ingin menamparku?"
Perceval menghela napas dalam, mencoba menahan amarah yang bergemuruh di dadanya. Pantang baginya memukul seorang wanita, mau ditaruh di mana harga dirinya nanti? Serena terlihat menyeringai, membuat Perceval merutuki dirinya karena kelemahannya itu.
"Tak berani, bukan? Kau memang pengecut." Serena berbalik kemudian melangkah kembali, tetapi Perceval lagi-lagi mencekal tangan Serena dan menariknya kasar, membuat tubuh wanita itu terhunyung ke samping. "Apa yang kau lakukan, otak udang?!" geram Serena sesaat setelah ia mendapatkan sedikit kesadarannya. Ia mendongak menatap wajah Perceval dengan tatapan tajam, tetapi sepersekian detik napasnya seakan terhenti saat ia menatap mata biru Perceval. Mata biru yang begitu teduh, hingga rasanya ia akan jatuh dan tersesat didalamnya.
Serena mengerjap, dia mendorong dada Perceval dengan keras, dan dengan cepat menginjak kaki Perceval dengan sepatu chef-nya.
"Sialan! Yang benar saja!" umpat Perceval memegangi kakinya yang terasa sakit dan berdenyut. Astaga ... beruang gila ini. Asal kalian tahu, sepatu chef itu sangat tebal dan berat, sengaja dibuat agar terhindar dari kecelakaan seperti tersiram air panas, terkena barang-barang berat, dan sekarang sepatu itu digunakan untuk menginjak kakinya? Ya Tuhaaan ... wanita ini, benar-benar!
Perceval hanya menggelengkan kepala tak percaya saat Serena membalikkan badan kemudian melangkah pergi. Tak peduli dengannya yang notabene adalah atasan sekaligus calon suaminya yang sedang merintih kesakitan.
"Bubar semuanya!" geram Perceval dengan wajah memerah karena menahan amarah. "Aku bilang, BUBAR!" teriak Perceval sambil menendang kursi yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Para pegawainya terenyak kaget. Namun, tak perlu menunggu lama, dengan cepat mereka langsung melangkah pergi meninggalkan lobby.
"Lucas!"
Lucas menoleh sesaat setelah ia menghembuskan napas. Rasanya ia akan jadi pelampiasan kemarahan atasannya lagi.
"Panggil Serena ke ruanganku! Katakan padanya untuk membuatkanku sarapan. Cepat!!"
"Baik, Tuan." Lucas melangkah menuju dapur, tak butuh waktu lama karena cafe ini memang terbilang cukup kecil. Terlihat Serena sedang memerintahkan bawahannya agar menyiapkan bahan-bahan untuk acara lunch nanti.
Lucas berdehem mencoba mendapatkan perhatian Serena. Wanita itu menoleh sekilas, tetapi dengan cepat ia melangkah menuju sayuran yang baru saja dikirim oleh supplier.
"Maafkan saya, Nona Serena," Lucas menyeka keringat yang tiba-tiba menetes dari pelipisnya, "tuan Perceval ingin anda membuatkan sarapan untuknya."
Gerakan Serena terhenti saat ia sedang memilih-milih sayuran, gadis itu menoleh kemudian mengerutkan kening.
"Tuan juga ingin, Anda yang mengantarkannya langsung ke ruangannya." Lucas tersenyum canggung, pasalnya calon istri atasannya ini terlihat lebih menyeramkan dibandingkan dengan Perceval.
Serena mendengus sesaat kemudian tersenyum tipis. "Memangnya dia pikir aku pembantunya?" desis Serena datar. "Katakan padanya, aku sedang sibuk!" Serena berdiri kemudian melangkah ke bagian hot kitchen.
"Nona Serena, saya mohon...." Lucas terlihat begitu frustasi.
Serena menghela napas, ia sebenarnya tak tega melihat Lucas menjadi bulan-bulanan si otak udang.
"Baiklah."
Secercah senyuman terpancar dari bibir pria yang Serena yakin, ia baru berumur diakhir empat puluhan.
"Terima kasih."
Serena mengangguk kemudian mengambil pan dan menempatkannya di atas kompor. Ia mengambil telur berniat membuat scramble egg, menu yang cukup mudah mengingat masih banyak list pekerjaan yang harus ia kerjaan.
"Chef."
Serena menoleh saat Charles--sous chef--memanggil dengan wajah yang khawatir.
"Ada apa?" Serena mengaduk-aduk telurnya hingga setengah matang kemudian menaruhnya di atas piring. Melangkah mengambil dua buah croissant dan juga segelas jus jeruk.
"Pesanan rib kita di-cancel."
"Huh? Bagaimana bisa?!" pekik Serena tak percaya.
"Itu ... ada sedikit kecelakaan di tempat mereka, sehingga untuk pesanan dua hari ke depan tidak bisa mereka penuhi."
"Coba hubungi supplier yang lain, aku akan mengantarkan sarapan ini dulu."
Charles menggangguk, sesaat kemudian melangkah menuju daftar telepon para supplier.
Dengan segera Serena mengambil sebuah tray, kemudian meletakkan piring dan gelas di atasnya. Menopangnya dengan satu tangan, bukan hal aneh bagi Serena. Ia melangkah dengan mantap menuju ruangan Perceval. Menghela napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Sebenarnya ia malas, harus melihat wajah laki-laki itu lagi. Sedikit ragu, ia mengetuk pintu ruangan Perceval. Tak butuh waktu lama untuk Serena membuka pintu tersebut saat suara Perceval terdengar dan menyuruhnya masuk. Terlihat laki-laki itu sedang menunduk menyilangkan sebelah kaki, sambil membuka dokumen yang dipegangnya.
"Sarapanmu." Serena meletakkan tray tersebut di atas meja, kemudian membalikkan badan hendak melangkah pergi, tetapi suara Perceval tiba-tiba menghentikan langkahnya.
"Apa ini?"
Serena mengangkat alis.
Oh, come' on..
"Kau pasti tahu, itu scramble egg, croisstant dan juice jeruk," ucap Serena sesaat setelah ia membalikkan badannya.
"Aku alergi telur. Cepat ganti!" Perceval mendorong kasar tray tersebut kemudian kembali membaca dokumennya.
"Kau kan bisa memakan croissant dan juice jeruknya. Lagipula saat ini--"
"Aku bilang, ganti!!"
Dasar berengsek!! Serena menatap tajam Perceval. Pria ini memang hanya ingin mempermainkannya.
Perceval menoleh saat ia menyadari tak ada gerakan sama sekali dari wanita itu. "Kenapa? Apa kau tak bisa bersikap profesional, huh?"
Serena mendengus. "Jika kau ingin berbicara soal profesional, aku rasa membuatkanmu sarapan di saat akan ada acara ketika lunch, itu namanya tak bisa bersikap profesional." Serena tersenyum penuh kemenangan, saat Perceval meremas dokumennya pelan, tetapi dengan cepat pria itu bisa mengendalikan kembali ekspresi wajahnya.
"Aku atasanmu, aku pemilik cafe ini. Aku bisa melakukan apapun yang aku mau. Cepat ganti, atau kau tak akan bisa berada di dapurmu sampai siang nanti."
Serena menatap Perceval dengan kesal, tetapi ia memang tak bisa terus berdebat, kasihan teman-temannya jika ia hanya terus mengurusi sarapan si otak udang ini.
"Baiklah, tapi ini bukan karena aku ingin menuruti perintahmu." Serena berdecak pelan, dengan sedikit kesal ia mengambil tray tersebut. Namun, sebuah suara tiba-tiba menginterupsi gerakannya.
"Percy ... aku merindukanmu!"
** Thank You **
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top