Hallo 😂 ketemu lagi sama Percy & Serena 😄
Enggak lelahkan nunggu mereka saling jujur sama perasaannya? 😂
Part ini aku dedikasikan buat Maulidaagst yang hari ini lagi ultah, dan request minta double up 😂😂😅 aku ucapin selamat ulang tahun yaaa.. Semoga panjang umur, sehat selalu, semua yang kamu cita-citakan tercapai dan selalu dalam lindunganNya. Aamiin.
Salam kenal buat para silent readers dari author manis wkwkwk
Don't copy my story!! Be kreatif 😁
** Happy Reading **
"Norman, di mana Percy?" tanya Serena saat ia menoleh ke luar jendela. Mobil Perceval masih terparkir di halaman mansion, meski penerangannya tidak terlalu jelas karena memang sudah pukul tujuh malam, tetapi Serena masih bisa melihat dengan jelas mobil hitam milik Perceval.
"Tuan Percy, sedang bersama Tuan muda di halaman belakang, Nona. Perlu saya panggilkan?"
Serena menggeleng. "Tidak perlu. Biar aku saja." Serena melangkah menuju halaman belakang, ia melirik dari arah jendela. Terlihat Samuel sedang berkumpul bersama teman-temannya dan Perceval ikut duduk di samping teman wanita Samuel. Sepertinya pria itu sedang menceritakan sebuah lelucon, karena teman-teman Sam serempak tertawa begitu kencang.
Serena berdecak pelan. "Semua pria sama saja. Matanya pasti jelalatan. Tak bisa melihat wanita muda dan lebih cantik sedikit saja. Dasar menyebalkan!"
"Kau sedang apa, Little Bunny?" tanya Frank tiba-tiba ikut melirik ke arah jendela.
"Astaga, Dad! Kau mengagetkanku!" Serena memukul bahu Frank gemas.
"Kenapa? Aku hanya bertanya. Ah, aku tahu, kau sedang memperhatikan calon suamimu, ya?" goda Frank sambil menaik turunkan alisnya. Ia terkekeh pelan mendapati wajah Serena sekilas memerah.
"Siapa yang melihatnya? Aku tak sengaja lewat kemari." Serena membalikkan badan, lalu melangkah ke arah dapur.
"Little Bunny?"
"Ya, Dad?"
"Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan padamu, penting." Frank menyentuh bahu Serena, gadis itu mengernyit pelan. Setelah ada persetujuan dari Serena, Frank menuntunnya menuju ruang tengah.
Serena hanya bisa menatap Frank dengan lekat. Ia merasa dejavu. Kejadian ini pernah terjadi sebelumnya, dan jujur kali ini perasaannya terasa tak enak. Ia yakin, ada sesuatu yang terjadi, dan feeling-nya selalu berakhir dengan benar.
Frank mendudukan tubuh Serena, lalu ia duduk di samping gadis itu. "Little Bunny, apa kau masih berhubungan dengan Victor?"
"Huh?" Serena mengernyit bingung, pasalnya Frank tak pernah sekalipun membicarakan Victor, dan ini membuat jantungnya semakin berdebar. "Vic? Ada apa dengannya, Dad?
"Sudah jawab saja."
Serena mengangguk pelan. "Iya, aku masih berhubungan dengannya."
"Yang benar saja, Rein! Pernikahanmu kurang dari sebulan. Apa kau kehilangan akalmu?"
Serena menghela napas. "Bukan begitu, Dad. Aku hanya ... hanya," ucap Serena terbata-bata. Ia sendiri bingung, kenapa ia masih juga belum mengakhiri hubungannya dengan Victor?
"Kau butuh sebuah alasan untuk mengakhiri hubunganmu?" tanya Frank telak.
Serena menoleh, menatap Frank dengan tatapan menyelidik.
"Akan aku berikan kau alasan agar kau segera mengakhiri hubungan kalian."
Alis Serena semakin mengernyit dalam. "Apa maksudnya, Dad?"
"Dia tak benar-benar mencintaimu, Rein. Kau lebih baik memutuskan hubunganmu dengannya."
"Tak perlu basa basi, Dad. Apa maksudmu?!"
Frank menghela napas, ia menyentuh tangan Serena, menggenggamnya erat. "Dia menerima penawaranku untuk melepaskanmu."
Serena mengernyit.
"Aku menawarkannya sebuah studio lukis, dengan syarat dia harus melepaskanmu, dan dia setuju."
Serena termangu. Ia membuka mulutnya, lalu menutupnya kembali. Sepertinya ia salah dengar. Serena menyeringai. "Itu tidak mungkin, Dad. Dia tak mungkin melakukan itu."
Frank menatap Serena dengan sayu, kesedihan terpancar di wajahnya. Ia tahu, gadis ini kaget dan terluka. Frank menghela napas. "Kalau kau tak percaya, kau bisa membuktikannya sendiri. Ini, datanglah ke alamat ini. Aku yakin, Victor sedang ada di studionya." Frank memberikan sebuah kertas, terdapat alamat yang jaraknya tak jauh dari studio Victor yang lama.
Dengan ragu Serena menerimanya, menatap lekat kertas tersebut lalu kembali menatap Frank.
"Maafkan aku. Jika aku harus memberitahukan kebenarannya seperti ini. Tapi, aku tak ingin kau berhubungan dengannya lebih lama lagi." Frank mengelus rambut Serena, lalu mencium kening gadis itu pelan.
Serena masih saja terdiam. Ia tak ingin percaya dengan apa yang dikatakan oleh ayahnya. Namun, kertas yang ia pegang membuat satu pertanyaan di kepala Serena muncul. Apa Victor benar-benar melakukannya?
Hati Serena berdenyut. Bagaimana kalau sampai yang dikatakan Frank itu benar? Tidak. Itu tidak mungkin. Victor tidak akan pernah melakukan itu. Victor tak akan setega itu!
Serena berdiri lalu melangkah menuju mobil dengan langkah tergesa. Ia menghidupkan mobilnya dan menancapkan gas dengan kencang. Pikirannya kosong. Jantungnya berdebar, ia takut kalau akhirnya ia harus mendapatkan kebenaran yang menyakitkan.
Serena mengeratkan pegangannya pada kemudi, buku-buku tangannya terlihat begitu jelas. Rahangnya mengeras seiring dengan jarak yang semakin mendekat. Sebuah bangunan studio yang cukup besar terpampang di depan matanya. Dengan cat berwarna cokelat keemasan, terdapat dua buah jendela di samping kiri, dan dua pasang kursi yang sepertinya memang sengaja diletakkan di samping pintu masuk.
Hampir 30 menit Serena berdiam diri di dalam mobil. Menatap bangunan di depannya dengan lekat. Dengan ragu, ia keluar dari dalam mobil, melangkah masuk ke dalam studio. Beberapa lukisan terpampang di dinding. Serena hanya bisa terdiam. Hatinya terus berdenyut. Ia sangat mengenali goresan kuas khas seorang Victor Doughlas. Serena kembali melangkahkan kakinya. Ada satu meja besar, yang di atasnya terdapat berbagai jenis kuas yang tertata rapi, cat lukis mulai dari cat air, cat minyak, akrilik. Palet yang ditaruh di samping kuas, dan easel yang disandarkan di samping meja.
Langkah Serena seketika langsung terhenti, saat ia melihat sosok Victor yang sedang menggantungkan sebuah lukisan.
"Vic...."
Victor membeku. Suara itu terdengar begitu lemah, tetapi ia masih bisa mendengarnya dengan jelas. Ia menelan saliva, dengan perlahan membalikkan badan. Serena berdiri tak jauh darinya, menatapnya dengan pandangan terluka.
"Rein? Sedang apa kau di sini?" tanya Victor ragu.
Serena tersenyum getir. "Seharusnya aku yang menanyakan itu, Vic. Sedang apa kau di sini?" tanya Serena pelan tetapi dengan nada tegas.
"Aku ... aku," ucap Victor dengan terbata. Ia sulit menemukan kata yang pas. Serena menatapnya dengan wajah yang penuh kekecewaan.
"Lupakan!" Serena menghela napas kasar. "Aku ingin bertanya satu hal, Vic. Apa kau menukar diriku demi studio ini?" Serena menatap lurus ke arah mata Victor. Begitu tajam dan menusuk.
"Rein. Soal itu-"
"Jawab saja! Apa kau menukar diriku dengan studio ini?!" geram Serena marah. Rahangnya mengeras seiring dengan wajah Victor yang berubah kaget.
Victor menghela napas pelan. "Maapkan aku, Rein."
Bagai tersambar petir di siang bolong, jawaban Victor benar-benar menyakiti hati. "Astaga ... tega sekali kau, Vic," lirih Serena. "Apa kau tak punya hati?" tanya Serena dengan air mata menggenang. Semua kenangan yang telah mereka lalui berdua, berputar di kepala Serena.
Victor hanya terdiam. Ia mengepalkan tangan, ingin sekali ia menyentuh dan memeluk Serena. Namun, entah mengapa ia hanya bisa terpaku di tempat.
"Semua yang sudah aku lakukan ... pengorbananku selama dua tahun untuk mempertahankan hubungan ini, cinta yang telah aku berikan untukmu ... ternyata tak sebanding dengan sebuah studio...." Serena tersenyum miris. Semua yang sudah ia lakukan untuk Victor ternyata tak bernilai di mata pria itu. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan air mata yang mendesak keluar. Ia mencoba mengumpulkan serpihan-serpihan hati yang sudah Victor hancurkan dengan begitu teganya.
"Sejak awal, kau memang tak pernah mencintaiku," ucap Serena mencoba tegar, ia meremas kemejanya pelan.
"Aku mencintaimu, Rein!"
"BULLSHIT!!" Serena melemparkan gelas kecil di sampingnya tepat ke arah Victor. Pria itu membeku, darah segar menetes dari pelipis kirinya. Jika saat ini keadaannya berbeda, Serena pasti akan menjerit sambil mengambil first aid dan mengobatinya, tetapi kali ini berbeda. Kemarahan, kesedihan dan kekecewaan terlanjur melingkupi hati Serena.
"Jangan pernah kau mengatakan kau mencintaiku, kalau kau tak bisa membuktikannya!"
"Rein, dengarkan aku dulu...."
"Jangan mendekat!" Serena melangkah mundur. "Aku bilang, JANGAN MENDEKAT!!" teriak Serena dengan amarah yang sudah memuncak, dadanya naik turun seiring dengan rahangnya yang mengeras.
"I hate you!" Serena menatap Victor tajam. "Mulai hari ini, hubungan kita cukup sampai di sini. Aku melepasmu, Vic ... berbahagialah." Serena berbalik kemudian melangkah keluar dengan langkah gontai. Ia berjalan sejauh mungkin dari studio Victor. Semakin jauh ia melangkah, semakin terasa begitu berat. Ia membungkukkan badan, meremas dadanya yang terasa sesak dan sakit.
"Kenapa ... kenapa, Vic?" lirih Serena pelan. Air mata yang sejak tadi ia tahan, akhirnya menetes. Ia berjongkok, mencoba mencari sedikit kekuatan. Namun, yang ia dapatkan hanyalah kesakitan yang begitu mendera.
Serena memukul-mukul dadanya pelan. Terasa sesak, sangat sesak bahkan. Mengapa? Apa ia tak pantas menerima sebuah ketulusan? Apa ia memang tak pantas untuk di cintai? Serena menekan pelipisnya dengan kedua tangan. Ternyata dirinya tak lebih berharga dari sebuah studio. Sebuah kenyataan yang begitu miris dan menyakitkan.
Serena berpegangan pada pegangan bangku, dengan sisa tenaga yang masih Serena miliki, ia mencoba untuk berdiri. Menghapus kasar air matanya, ia melangkah terseok-seok menuju mobilnya. Dengan tangan gemetar Serena membuka pintu kemudi, ia menahan tangan kanan dengan tangan kirinya. Menarik napas dalam, lalu menghembuskannya pelan. Akhirnya ia bisa membuka pintu tersebut. Ia melangkah masuk, lalu menjalankan mobilnya menuju mansion Queen.
Entah bagaimana caranya Serena bisa sampai ke rumahnya dengan selamat. Dengan langkah gontai, ia masuk ke dalam mansion. Pandangan matanya begitu kosong. Ia melewati beberapa orang yang menyapanya, dan mengacuhkan sapaan mereka.
Samuel dan Perceval sedang duduk di ruang tengah ketika Serena berjalan menuju kamar. "Rein, kau darimana?" tanya Samuel saat Serena melewatinya. Tetapi gadis itu hanya diam seribu bahasa, ia melangkah masuk ke dalam kamar.
Serena menyandarkan badannya di depan pintu kamar. Tubuhnya merosot ke lantai begitu saja. Air matanya kembali menetes. Ia menutup mulut dengan punggung tangan, berharap isak tangisnya tak terdengar hingga keluar. Gadis itu menangis dalam diam. Hingga rasanya dunia bahkan tak akan tahu apa yang sedang ia lakukan.
"Rein!"
Ketukan pintu terdengar cukup keras. Namun, Serena mengacuhkannya.
"Buka pintunya, Rein! Aku tahu kau mendengarku!" teriak Perceval terus menggedor pintu kamar Serena.
"Rein!! Buka pintu sialan ini, atau aku dobrak sekarang juga! Serena!!" teriak Perceval frustasi.
"Pergi!"
"Rein!"
"Aku bilang, pergi!!" Serena memutar tubuh perlahan, lalu memukul pintu kamar dengan lemah. Ia menempelkan dahinya ke pintu kamar. "Pergi, aku mohon pergi...." lirih Serena mengepalkan tangan.
"Kau tak memberiku pilihan, Rein. Norman, buka pintunya!"
Panik. Tentu saja. Ia tak ingin Perceval melihatnya dalam keadaan kacau begini. Dengan sisa tenaga, ia mencoba untuk berdiri, lalu melangkah ke kamar mandi. Mengunci pintunya dengan cepat. Ia duduk di dalam bathtub, lalu menarik kedua lututnya ke dalam dada.
"Astaga ... Serena!!" teriak Perceval putus asa. Pria itu kembali menggedor pintu kamar mandi. "Berengsek! Serena, open the damn door!!"
Hening, tak ada jawaban.
"Aku dobrak kalau begitu!" Suara pintu yang di dorong paksa terdengar begitu jelas. "Ah, sialan!" Setelah tiga kali Perceval mencoba mendorong pintunya, akhirnya pintu terbuka. Ia langsung tertegun, melihat Serena yang sedang menundukkan wajah di atas lututnya. Ia melangkah perlahan mendekati gadis itu. Perceval menghela napas, saat ia menyadari bahu gadis itu bergetar.
"Rein."
"Pergi," lirih Serena pelan.
"Akan aku lakukan apapun. Tapi tolong jangan menyuruhku untuk pergi."
Hening kembali. Hampir sepuluh menit berlalu dan keadaan mereka masih sama. "Kita ke tempat tidur ya?"
Serena menggeleng pelan.
Perceval berdecak. "Apa yang sebenarnya terjadi?"
Serena hanya terdiam tak menjawab.
Perceval menarik rambutnya frustasi. "Baik. Kau tak memberiku pilihan!" Perceval dengan sigap langsung menyelipkan salah satu tangannya di antara lekukan lutut dan tangan lainnya di punggung Serena, lalu mengangkat gadis.
"Apa yang-"
Suara Serena tertahan, saat ia mendongak, menatap Perceval dengan matanya yang sembab. Pria itu menatap lurus ke arah depan, dengan rahang yang mengeras. Dia marah, entah karena apa. Serena hanya bisa menenggelamkan wajahnya ke dada Perceval, mencoba mencari ketenangan.
Perceval merebahkan Serena di ranjang dengan perlahan. Gadis itu langsung berbalik, membelakanginya. Perceval menghela napas pelan. Ia mengambil selimut, lalu menyelimuti gadis itu. "Tidurlah, Rein. Akan aku temani." Perceval merebahkan tubuhnya di samping Serena. Ia menyelipkan tangannya di antara leher dan dada gadis itu. "Tidurlah, aku yakin besok semua akan lebih baik."
Serena hanya bisa terdiam, ia meremas tangan Perceval pelan. Satu butir air mata kembali menetes. Ya, ia harap esok akan lebih baik.
Hampir dua jam Serena mencoba memejamkan mata. Namun, ia sama sekali tak bisa tidur. Pria di belakangnya ia yakin pasti sudah terlelap. Serena perlahan melepaskan tangan Perceval yang masih setia memeluknya. Ia duduk, lalu menoleh ke samping. Hatinya menghangat, saat ia melihat wajah Perceval yang terlihat begitu damai. Tangannya terulur mengelus pelan rambut pria itu. "Maapkan aku," bisik Serena pelan. Ia melangkah keluar dari tempat tidur, lalu berjalan ke arah luar. Kakinya membawa Serena menuju taman belakang. Ia duduk, menatap kolam ikan dengan pandangan sendu.
Serena menghela napas. Hatinya masih terasa berat. Ia ingin melampiaskan kemarahannya, tetapi tak bisa. Ia selalu ingin menjadi wanita kuat yang tegar menghadapi semuanya, bukan menjadi wanita lemah. Namun, apa yang sudah Victor lakukan padanya terus saja membayangi pikiran Serena. Ia hanya tak menyangka, kekasihnya -ah, ralat- mantan kekasihnya, tega melakukan itu padanya. Ia kira setelah semua yang ia lakukan, akan sedikit bernilai di mata lelaki itu. Kalaupun mereka harus mengakhiri hubungan, Serena ingin mengakhirinya dengan cara yang baik, bukan seperti ini.
"Rein?"
Serena masih menatap kolam dengan pandangan kosong.
"Rein!"
Serena terlonjak kaget, ia mendongak. Perceval berdiri di sampingnya dengan pandangan sendu.
"Sedang apa kau di sini?"
Serena hanya menggeleng pelan, ia kembali menatap kolam. Kedua telapak tangannya ia gosok-gosokkan, mencoba mencari kehangatan.
Perceval hanya terdiam, ia ikut duduk tepat di samping Serena. Melepaskan long jacket yang ia kenakan, lalu menyampirkannya ke bahu gadis itu. "Pakailah, malam ini udaranya cukup dingin."
Serena menoleh, menatap Perceval dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia meremas long jacket-nya, lalu tersenyum samar. "Terima kasih," ucapnya pelan. Serena kembali menoleh, melihat kolam ikan di depannya.
"Kau ingat, Rein. Kau paling hobi menginjak kakiku, apa sekarang kau tak ingin menginjak kakiku lagi?" tanya Perceval memecah keheningan.
Serena tersenyum tipis mengingat hal itu. Namun, kesedihan hatinya membuatnya malas mengomentari lebih jauh.
"Aku sudah tahu semuanya, Rein."
Serena menoleh. Ia mengernyitkan alisnya pelan.
"Victor, kan?"
Hanya satu nama yang keluar dari mulut Perceval, tetapi semua kesakitan yang ingin ia lupakan kembali menghujam jantungnya.
"Aku tahu, apa yang dia lakukan padamu. Aku tahu dia menyakiti hatimu, Rein."
"Sebaiknya kau pergi dari sini...." lirih Serena sambil mengalihkan pandangan kembali ke kolam.
"Tidak."
"Aku mohon, pergi!"
"Aku bilang, tidak!!" jawab Perceval dengan rahang mengeras.
Serena meremas jaketnya. Menahan air mata yang kembali mendesak ingin dikeluarkan. "Kalau kau memang tak mau pergi, biar aku yang pergi."
** Thank You **
Wkwkwk 😂 bagaimana part ini? Anehkah?
Adakah yang seneng karena Serena akhirnya putus sama Victor? 😅
Well, abis ini aku kasih Percy n Serena happy.. Wkwkw 😍
Salam hangat,
Rifa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top