Piece Of Puzzle | Part 30 : Jealous
Hallo ketemu lagi sama Percy n Serena 😂😂
Ga bosenkan ketemu mereka terus? 😅
Part ini aku dedikasikan buat Suhartyhusain99 yang kemarin sempat request scene di part ini 😂😂 semogaa sukaa ya, maapkan jika enggak sesuai harapan 😂
Salam kenal buat silent readers dari author manis wkwkwk
Don't copy my story!! Be kreatif 😁
** Happy Reading **
Serena melirik jam yang tertempel di dinding. Waktu hampir menunjukan pukul empat pagi. Namun, batang hidung perceval tak kunjung terlihat. Ia kembali menghela napas pelan. Hanya satu jam ia memejamkan mata. Itu pun ia tak bisa tidur dengan tenang. Berkali-kali ia menelepon pria itu, tetapi tak kunjung diangkat. Mengirimkan pesan pun rasanya percuma karena tak ada yang dibalas sama sekali.
Serena memasukan sisa baju Perceval ke dalam koper. Sebenarnya ia sedikit malu harus membereskan baju-baju Perceval karena ada beberapa underwear miliknya di sana. Namun, apa daya. Ia bahkan tak tahu ada di mana Perceval sekarang, lalu siapa yang akan merapihkan baju pria itu jika bukan dirinya?
Lagipula, ada apa dengan pria itu? Dia boleh saja marah kepadanya, tetapi yang benar saja! Pesawat mereka akan take off pukul enam pagi, tetapi Perceval bahkan masih sulit dihubungi. Serena berdengus pelan. Menyebalkan sekali! Ia menutup resleting kopernya, lalu memukulnya pelan. Ia langsung berdiri. Suara pintu yang tiba-tiba terbuka dengan kasar, membuat Serena hampir saja terjerembap. Perceval berdiri di ambang pintu dengan wajah yang kusut, mata yang sedikit sayu, dan rambut yang acak-acakan.
"Percy?"
"Kita pergi sekarang ke bandara," ucap Perceval datar, ia melangkah lalu menarik kedua koper yang berada tepat di depan Serena.
"Apa tak sebaiknya kau mandi dulu? Percy!" teriak Serena saat pria itu malah mengacuhkannya. Serena menggeleng pelan. Ia mengambil sling bag, handphone, dan satu koper yang tersisa. Setelah yakin tak ada yang tertinggal, ia melangkah keluar dari kamar cottage. Menatap pintu cottage sekilas, lalu ia tersenyum. "Terima kasih telah menemani kami selama lima hari ini. Sampai bertemu lagi." Serena melangkah menuju lobby. Ia mendapati Perceval sedang berbicara dengan salah satu resepsionis. Tak lama pria itu kembali menarik koper, lalu memasukkannya ke dalam mobil yang memang sudah disediakan.
Serena kembali menghela napas, saat Perceval duduk di depan, di samping supir. Made membukakan pintu belakang, dan mempersilahkan dirinya masuk. Keheningan semakin jelas tercipta saat mobil telah dijalankan menuju bandara Ngurah Rai, Bali. Serena hanya bisa mengalihkan pandangan ke luar jendela. Tak bisakah Perceval tidak bersikap seperti ini? Dia seperti anak kecil, dan itu semakin membuat Serena bingung.
Bahkan sampai mereka naik ke pesawat pun, Perceval tetap bungkam. Pria itu pergi ke toilet hampir 30 menit, dan keluar dengan pakaian baru dan wajah yang lebih segar. Namun, tetap saja itu tak membuatnya mau membuka mulut.
Serena memutuskan untuk mendengarkan musik lewat earphone yang memang sudah disediakan. Jarinya ia tautkan, guna mengurangi kegelisahan di hati. Ia menatap pemandangan di luar jendela. Langit pagi, terlihat begitu cerah. Begitu biru, hingga membuatnya merasa tenang.
Perceval melirik tangan Serena sekilas. Ada beberapa plester yang tertempel di jari-jari tangan kanannya. Jujur, sebenarnya ia merasa khawatir. Namun, ego pria itu tak mengindahkannya hanya untuk sekedar bertanya. Lebih baik ia memejamkan mata, mencoba untuk mengistirahatkan tubuh, pikiran dan juga hatinya.
Hampir sepuluh jam berlalu. Keadaan keduanya masih sama. Saling diam, tak ada yang mau bicara. Saling mengingkari perasaan masing-masing bahwa mereka saling merindukan. Namun, hanya karena sebuah keegoisan, keduanya tetap diam tak bergeming.
Serena lelah dengan keadaan seperti ini. Mereka baru saja selesai berlibur, seharusnya mereka pulang dengan tawa bahagia, bukan seperti ini. Serena memutuskan memanggil pramugari, lalu memesan dua chicken steak dan red wine. Tak butuh waktu lama, makanan yang ia pesan datang.
Terlihat cukup menggiurkan, tetapi jika boleh jujur Serena sama sekali tak bernafsu untuk makan. Ia menoleh sekilas. Perceval masih memejamkan matanya. "Percy, apa kau tidur?"
Hening. Tak ada jawaban sama sekali. Pria itu masih tak bergeming dari posisinya semula. "Aku memesankan makanan untukmu. Nanti, jika kau sudah bangun, makanlah." Serena memotong daging ayamnya, lalu memakannya perlahan. Ia benar-benar tak bersemangat. Serena mengalihkan pandangan kembali ke luar jendela. Rasanya hambar.
Air mata yang sejak tadi Serena tahan akhirnya menetes. Ia mengusapnya kasar. Rasa sesak di dalam dada semakin menguar. Serena meremas bajunya pelan. Hatinya terasa sakit, saat Perceval mendiamkannya seperti ini. Mengacuhkannya, layaknya orang asing. Saat kemarin Victor menciumnya pun, bukannya bahagia yang didapat. Namun, malah rasa luka yang ia sadari.
Serena mendorong piringnya ke samping, padahal baru dua suap ia memakan steak-nya. Ia melirik Perceval, mengusap rambutnya pelan. Satu tetes air mata kembali jatuh. Serena berdiri, lalu melangkah menuju toilet.
Perceval perlahan membuka matanya. Ia menghela napas berat, sesaat kemudian mengusap wajahnya kasar. Sungguh, hatinya merasa tak tega jika harus mengacuhkan Serena seperti ini. Ia merindukan gadis itu, sangat. Namun, amarah di hatinya masih belum reda. Ia butuh waktu, sebentar saja untuk menenangkan diri. Setelah itu ia berjanji, ia tak akan pernah melepaskan Serena lagi. Ia akan membuat gadis itu hanya melihat ke arahnya.
💔💔💔
Setelah hampir 22 jam berlalu, Serena dan Perceval sampai di Bandara Charles de Gaulle, Paris. Suasana bandara saat itu terbilang cukup ramai. Banyak orang yang sedang mengantri di counter ticket, yang lainnya sedang duduk menunggu sambil sibuk dengan gadget-nya masing-masing.
Serena tersenyum tipis. "Welcome home," bisiknya pelan. Ia melangkah mengikuti Perceval yang sudah berjalan terlebih dulu ke tempat parkir. Pria itu memasukan ketiga koper ke dalam bagasi. Serena sedikit ragu, apakah pria itu akan tetap membuka pintu untuknya atau tidak? Dengan wajah sedikit bingung, ia mengulurkan tangan ke arah pintu, tetapi Perceval mendahuluinya membuat Serena seketika memundurkan tubuh.
Perceval hanya terdiam, menatap lurus ke arah pintu.
Serena lagi-lagi menghela napas. Ia melangkah masuk tanpa berkata apapun. Pria itu langsung menutup pintunya, tak lama ia pun masuk ke dalam mobil dan mulai menjalankan mobilnya. Tak jauh beda dengan tadi di pesawat, saat ini pun hanya keheningan yang Serena dapat. Ia menggeleng pelan. Gadis itu memutuskan menyalakan musik untuk memecah keheningan. Lagu pop salah satu penyanyi asal Amerika langsung terdengar. Tak butuh waktu lama, hingga ia sampai di mansion keluarga Queen.
Norman dan beberapa pelayan telah menunggunya. "Selamat datang, Nona Serena."
Serena tersenyum tipis, lalu melangkah keluar. Beberapa pelayan langsung mengambil koper yang berwarna hitam dan merah. "Percy, kau tidak mampir dulu?" Serena membungkukkan badan.
"Tidak. Aku sibuk," jawab Perceval dengan nada dingin. Ia bahkan tak menoleh sedikit pun ke arah Serena.
Serena tertegun. Kekesalannya sudah mencapai di ubun-ubun. Oke, sudah cukup!! Pria ini benar-benar kekanak-kanakan!
"Oke, kalau begitu. Terserah kau saja!" Serena berbalik. Ia menghentakkan kakinya kesal, lalu melangkah masuk dengan cepat. Ada apa dengan pria itu?! Kenapa ia menyebalkan sekali?! Oke, Serena tahu, ia salah. Namun, tak bisakah ia mendengarkan penjelasannya atau memberikannya kesempatan untuk bicara? Dia malah terus diam, bungkam tak mau membuka mulut.
"Argh! Sialan! Dasar berengsek!" umpat Serena. Ia membuka pintu dengan kasar. Membuat Samuel yang sedang memakan cemilan langsung tersedak.
"Ada apa denganmu? Kau ini baru pulang liburan, tapi wajahmu malah ditekuk seperti itu," ucap Samuel sesaat setelah ia meminum air putih.
"Bukan urusanmu!" jawab Serena dongkol. Ia langsung melangkah ke kamar, melemparkan high heels-nya sembarang lalu menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Ia mendengus kasar, lalu menendang beberapa bantal dengan marah. "Dasar, Perceval menyebalkan!"
Serena membenamkan wajahnya di atas bantal, kemudian memiringkan kepalanya. Pikirannya melayang. Kebersamaan dengan Perceval selama lima hari di Bali, terasa begitu menyenangkan. Meski banyak drama yang terjadi selama di sana, tetapi ia benar-benar menikmati liburan kali ini. Perhatian Perceval padanya, senyumannya, tatapan mata Perceval saat ia menatap matanya dan pelukan hangat yang masih terasa begitu jelas. Serena merengut. Belum apa-apa ia sudah merindukan pria itu.
Serena mengambil handphone-nya di dalam sling bag. Raut wajah kecewa seketika tercipta. "Apa dia sudah sampai di rumah? Kenapa ia tak meneleponku? Setidaknya memberikanku kabar begitu ...." Serena mendengus pelan. Dengan jantung yang berdebar dan tangan yang bergetar, ia memberanikan diri menghubungi Perceval. Ia menempelkan handphone-nya di telinga, menggigit bibir bawahnya gugup.
Serena melihat layar handphone-nya. Pria itu tak mengangkat panggilannya lagi. "Terserah!" Serena melemparkan handphone-nya sembarang. Ia sungguh kesal. Perceval sangat menyebalkan! Apa ini, apa dia coba balas dendam kepadanya?!
Serena mendengus kasar. Ia menarik selimutnya, menutupi tubuh hingga ke batas perut. Lebih baik ia mencoba untuk memejamkan mata, daripada memikirkan pria menyebalkan itu!
💘💘💘
"Sudah kubilang, aku tak mau roti! Apa kau tak dengar?!" sentak Serena saat salah satu pelayan memberikannya roti panggang.
"Ah, maafkan saya, Nona. Akan saya ganti." Norman tiba-tiba menyela, lalu mengambil piring di depan Serena.
"Ada apa denganmu, Little Bunny?"
"Iya, ada apa denganmu, Rein? Sudah tiga hari ini kau terus marah-marah, uring-uringan tak jelas." Samuel melahap rotinya. "Kau sedang datang bulan, ya?" tanya Samuel dengan pandangan menyelidik.
Serena mendengus kasar. "Aku tak selera makan! Aku pergi duluan." Serena langsung berdiri kemudian melangkah menjauh dari meja makan. Ia menekan pelipisnya. Tiga hari ini, ia benar-benar merasa lelah. Ia terus saja marah-marah tak jelas tanpa alasan. "Ada apa denganku?"
Serena masuk ke dalam mobil, lalu mulai menjalankannya menuju cafe. Ini hari pertama ia kembali bekerja setelah liburan ke Bali kemarin. Hampir tiga hari ini Perceval tak menghubunginya sama sekali. Kemarin ia bahkan sempat mampir ke mansion Bennet, tetapi pria itu tak ada di sana. Apa sebenarnya yang dia mau? Apa pria itu menghindarinya?!
Serena memarkirkan mobilnya tak jauh dari cafe, lalu mengedarkan pandangan. Tak ada mobil Perceval di manapun. Sepertinya pria itu memang belum datang. Ia melangkah masuk. Kedatangannya langsung di sambut oleh pegawai cafe. Tentu saja yang paling heboh saat ia datang adalah Bernice dan Adria. Mereka memang cukup dekat. Kehebohan mereka tak cukup sampai di situ, karena saat ia memberikan mereka buah tangan dari Bali, kedua orang tersebut langsung berteriak kegirangan.
"Terima kasih, Chef. Kau memang yang terbaik!" ucap Bernice dan Adria bersamaan. Bernice dan Adria langsung memeluk tas yang Serena beli saat di Bali.
"Bagaimana cafe selama aku dan Perceval tak ada?"
"Baik-baik saja. Semua bisa kami tangani dengan baik. Lagipula, tuan Lucas juga ada di sini membantu kami," jawab Charles dengan wajah yang bangga.
Serena mengangguk. Sebentar lagi pukul sembilan dan cafe akan segera buka. Niat awalnya untuk bertemu Perceval ia urungkan karena ia melihat teman-temannya mulai sibuk. Tentu saja, sudah ada sepuluh reservasi untuk lunch nanti.
Serena memilih untuk bersiap-siap dan membantu di dapur. Waktu berlalu begitu cepat, ia tak menyadari saat ini sudah hampir pukul empat sore. Ia bahkan lupa kalau belum makan siang tadi. Serena langsung termangu saat ia menyadari satu hal. Perceval ataupun Lucas tak terlihat sejak tadi.
Serena melangkah menuju ruangan Perceval dengan langkah tergesa. Ia membuka pintu ruangannya dengan cepat. Lucas sedang berdiri tak jauh dari meja Perceval. Namun, bukan itu yang membuat ekspresi wajah Serena berubah menjadi bingung. "Di mana Perceval?"
"Oh, tuan muda tak masuk kerja hari ini."
Seketika wajah Serena kembali berubah. "Apa dia sakit?"
Lucas menggeleng pelan. "Tuan muda baik-baik saja. Dia saat ini hanya sedang ada urusan di kota. Memangnya, tuan muda tak memberitahu, Nona?"
Serena terdiam, ia menggeleng lemah. "Di mana?"
"Huh?"
"Di mana dia sekarang?"
"Oh, tuan sedang makan di dekat museum Louvre sekarang." Lucas tersenyum, membenarkan kacamatanya yang sempat melorot.
Serena mengangguk. Ia melangkah dengan cepat menuju mobil. Ia harus bertemu pria itu. Ia harus meminta maaf padanya. Dengan cepat ia menghidupkan mobilnya sesaat setelah ia menutup pintu mobilnya. Melajukan mobilnya dengan kencang, mata Serena tak lepas dari jalanan. Museum Louvre tak jauh dari tempatnya bekerja. Jadi seharusnya tak butuh waktu lama menemukan pria itu.
Namun, ternyata pikirannya salah. Hampir satu jam ia berkeliling di sekitar museum Louvre, tetapi tak juga menemukan pria itu. Saat ia menghubungi Perceval pun, pria itu tak mengangkat panggilannya. Serena memutuskan berhenti di salah satu mini market. Membeli air mineral, karena pikirannya sudah buntu. Ia berjalan pelan menuju mobil sambil membuka tutup botol dan meminumnya. Pandangan matanya terus ia edarkan ke seberang jalan.
Serena langsung tersedak, saat matanya menangkap sosok pria yang selama tiga hari ini hilang bak di telan bumi. Ia sedang berbincang-bincang dengan seorang wanita, dan wanita itu tertawa sambil memegang bahu Perceval. Sialan!
Serena mendengus kasar lalu dengan langkah lebar ia mendekati Perceval. Ia menghentakkan botol air mineralnya di atas meja. Membuat Perceval dan wanita tersebut tersentak kaget, keduanya serentak menoleh.
"Rein?"
Itulah suara pria yang selama tiga hari ini Serena rindukan, suara yang tiba-tiba menghilang dan berhasil membuatnya kalang kabut. Namun, lihatlah pria itu sekarang. Kemarin ia mengatakan bahwa pria itu mencintainya, dan sekarang ia sedang bersama wanita lain, menikmati cemilan sore bersama, sambil terus tertawa. Menyebalkan sekali! Dasar playboy!!
"Sedang apa kau di sini?"
"Jadi aku tak boleh ada di sini?" ketus Serena.
"Bukan begitu. Ah, Rein, kenalkan ini Namira, dia temanku. Namira, ini Serena. Kau pasti mengenalnya."
Namira mengangguk. "Tentu saja. Berita pertunangan kalian ada di mana-mana."
Serena mengepalkan tangannya pelan, ia menatap tajam ke arah Namira.
"Aku sampai kaget, mendengar kabar kau bertunangan," ucap Namira terkekeh geli. "Kau dulu urakan, aku bahkan tak yakin kau bisa menikah."
Perceval tergelak.
Serena mendelik ke arah Perceval, tetapi pria itu tak menyadarinya.
"Itu dulu, sekarang berbeda." Perceval menyesap kopinya, lalu menyimpan cangkirnya kembali. "Kau juga banyak berubah sekarang, aku tak menyangka kita bisa bertemu lagi." Perceval tersenyum tipis.
Serena mengerutkan alis. Kenapa ia jadi seperti lalat penganggu sekarang? Ia mendengus kasar. "Sepertinya aku sudah mengganggu waktu kalian. Lebih baik aku pergi dari sini," ucap Serena dongkol. Ia berdiri, melangkah dengan kesal menuju mobil yang ia parkirkan di seberang jalan. Dengan cepat ia membuka pintu mobil dan menutupnya dengan kasar. Sekilas ia melirik ke arah seberang. Perceval tak mengejarnya! Serena memukul kemudi mobilnya kesal. "Dasar menyebalkan!!"
Serena melajukan mobilnya kembali. Ia sudah tak mood untuk kembali bekerja. Akhirnya ia memutuskan mengirimkan pesan ke Lucas bahwa ia izin pulang lebih awal. Dengan kencang, ia melajukan mobilnya menuju mansion Queen. Ia memarkirkan mobilnya, lalu keluar dengan wajah yang ditekuk.
"Loh, Rein, tumben kau sudah pulang?" tanya Samuel saat Serena melewatinya di ruang TV.
"Bukan urusanmu!" ketus Serena, melangkah begitu saja melewati Samuel.
"Astaga! Ada apa dengan gadis itu?!"
Serena langsung masuk ke kamar. Ia melangkah menuju wastafel. Membuka kran, lalu menyapukan air ke seluruh wajah. Bayangan Perceval yang tertawa dengan Namira kembali terlintas. Ia mendengus kasar. "Terserah! Masa bodoh!!"
"Apanya yang masa bodoh?"
"Argh!" pekik Serena kaget saat ia keluar dari kamar mandi. Matanya membulat ketika ia melihat Perceval sudah berada di depannya. Di kamarnya. "Bagaimana bisa kau? Sedang apa, maksudku, apa yang kau lakukan di kamarku?!"
Perceval tersenyum. "Kenapa kau tadi pergi begitu saja, hm?"
"Tidak ada alasan. Aku hanya tak ingin menganggu, itu saja!" Serena tercekat. Ia baru menyadari ucapannya.
"Kau cemburu?" Perceval tersenyum menggoda, tak lama ia terkekeh geli.
Serena menautkan alis. "Siapa yang cemburu?! Aku hanya tak ingin mengangganggu, jadi jangan salah--" ucapan Serena tertahan saat Perceval tiba-tiba menyentuh wajahnya dengan kedua tangan, lalu mengecup bibirnya sekilas.
"Apa yang--"
Mata Serena membesar. Perceval kembali mencium bibirnya, bahkan kali ini ia dengan berani mengecap bibir gadis itu. Serena hanya bisa mengerjap kaget.
Perceval melepaskan ciumannya, lalu tersenyum sambil terus menatap Serena.
Gelenyar aneh kembali hadir, jantungnya berdebar dengan kencang. "Apa yang kau lakukan?" Serena menutup mulutnya dengan punggung tangan, ia mengalihkan pandangan ke arah kiri, mencoba menutupi wajahnya yang memerah.
Senyum cerah tercipta di wajah Perceval. Hatinya membuncah bahagia. Jantungnya berdebar, seiring darahnya yang berdesir dengan hebat. Ya Tuhan, akhirnya ia mendapatkan hati gadis ini. Perceval melangkah mendekati Serena. "Aku mendapatkanmu, baby," bisik Perceval tepat di telinga kanan Serena.
Serena otomatis menoleh. Jarak wajah mereka hanya berjarak beberapa centimeter, dan itu refleks membuat Serena menjauhkan wajahnya.
Perceval tersenyum tipis. "Saat kau menyadari perasaanmu, Rein. Kau tahu di mana harus mencariku." Perceval mengecup bibir Serena kembali, ia berbalik lalu melangkah pergi.
Serena tertegun. Tubuhnya tiba-tiba merosot ke bawah. Kakinya lemas dan napasnya terengah-engah. Tangannya perlahan terulur, tepat ke arah dada.
"Astaga ...."
** Thank You **
Hahaha 😂😂 bagaimana? Puaskah dengan part ini?
Semoga enggak aneh ya 😅
Hari minggu ya aku up lagi haha
Salam hangat,
Rifa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top