Piece Of Puzzle | Part 3 - Matchmaking [1]

** Happy Reading **

Ruang Keluarga Queen, Paris, France - 09.30 AM

"Ada apa, Dad?"

Frank tersenyum tipis, membelai pipi Serena pelan. Serena merupakan turunan Amerika-Prancis. Dulu ia sempat tinggal di Amerika sampai umur 7 tahun, tetapi saat ibunya meninggal pada usia 8 tahun mereka pindah ke Prancis--kota kelahiran ibunya--dan menetap di sana. Tumbuh tanpa seorang ibu, membuat Serena berbeda dari anak seusianya. Dia tumbuh menjadi gadis pintar dan juga mandiri.

"Ini tentang masa depanmu, Little Bunny."

Serena mengernyit bingung. "Masa depanku?"

"Kau kenal Damitri?"

Serena mengangguk. "Tentu. Dia sahabatmu. Ada apa dengannya?"

Serena masih tak mengerti, mengapa Damitri bisa berhubungan dengan masa depannya.

"Aku akan menjodohkanmu dengan anaknya."

Frank menjawab dengan lugas tanpa ada keraguan sedikit pun, membuat Serena harus mencerna satu persatu kata yang keluar dari mulut ayahnya itu.

"Wait! What?" Serena berdiri dengan kaget. "Sepertinya aku salah--"

"Tidak. Kau akan aku jodohkan dengan anak Damitri." Frank langsung memotong kata-kata Serena. Ia tahu anak itu marah, tetapi ia tak akan pernah bisa menolak permintaannya.

"Dad! No way! Aku tidak mau, ini hidupku. Kau tak berhak mengaturku agar menikah dengan pilihanmu. Lagipula aku sudah punya--"

"Aku tak peduli kau mau atau tidak, yang jelas kau harus menikah dengan anaknya Damitri. Jam 1 siang ini, kita akan bertemu dengan keluarga Damitri di hotel Sangri-La."

Frank bicara sambil membuka koran, ia bahkan tak menatap Serena sama sekali. Ia benci jika sifat keras kepala ayahnya sudah muncul, dan ia selalu tak bisa menolak. Namun, apa sekarang? Perjodohan?? Itu tak ada dalam kamus hidupnya. "Aku tak mau! Kenapa tidak Sam saja yang dijodohkan, kenapa harus aku?!"

"Terserah, itu pilihanmu. Tapi kalau sampai kau menolak, aku akan mengambil sertifikat chef-mu, dan tak akan aku biarkan siapapun mempekerjakanmu sebagai chef. Mudah bukan?" Frank tersenyum tipis saat ia melihat Serena menggertakan giginya menahan amarah.

Memasak adalah hidup Serena. Ia tak bisa jika tanpa memasak. Ia tak mau jika harus mengorbankannya. Frank terlalu mengenal Serena, ia sangat tahu kelemahan dirinya. Serena menggertakan gigi menahan amarah, ia selalu merasa lemah di depan ayahnya.

"Whatever! I really hate you!"

Serena melangkah dengan marah, ia melewati beberapa pelayan yang sedang membersihkan mobil sedan Cadillac CTS merah kesayangannya. Ia butuh udara segar, saat ini juga.

"Minggir!"

"Nona, mau ke mana?"

"Bukan urusanmu!" Serena langsung membuka pintu mobil dan menutupnya dengan kencang. Ia segera menyalakan mobil dan mencoba pergi sejauh mungkin dari tempat ini.

Serena mengeratkan pegangan di kemudi, membuat buku tangannya memutih. Ia terlalu marah, hingga dadanya terasa sesak. Andai ibunya masih hidup, ia pasti akan membela Serena.

Gadis itu menghela napas berat, air matanya menggenang mengingat mendiang ibunya. Hanya beberapa memori tentang Ane yang ia ingat, dan itu semua membuatnya semakin sesak.

Kata-kata benci yang tadi terlontar dari mulut Serena, bukan berarti ia benar-benar membenci ayahnya. Frank tahu itu. Ia terlalu menyayangi Frank dan Serena tidak akan pernah bisa menolak permintaannya.

Sial! Serena memukul stirnya berkali-kali sesaat kemudian menundukkan wajah frustrasi. Suara klakson dari belakang membuatnya tersadar.
Ia menghela napas berat sesaat sebelum akhirnya menjalankan mobilnya kembali. Entah pikirannya pergi ke mana, tetapi saat kesadaran kembali ia dapatkan, ia mendapati dirinya berada di depan studio Victor.

Serena butuh tempat untuk bersandar dan bercerita, ia harap Victor bisa membuatnya lebih baik. Ia melangkah dengan perasaan tak menentu. Membuka pintu studio perlahan, berharap kekasihnya ada di sana. Benar saja, laki-laki itu sedang melukis. Apa lagi yang akan dia lakukan jika bukan melukis?

"Vic ...." Serena memeluk pinggang Victor dari belakang, membuat laki-laki itu terkejut bukan main.

"Serena! Kau mengagetkanku."

Serena tersenyum tipis. Bukannya melepaskan pelukan, ia malah menenggelamkan wajahnya di punggung lebar lelaki itu.

"Hei, lepaskan aku. Aku sedang melukis."

Serena malah menggeleng. Victor menghela napas, ia mengenal Serena, pasti terjadi sesuatu. Victor berdecak pelan. Kenapa harus sekarang? Ia sedang tak ada waktu mengurusi hal-hal kecil seperti ini. Ia harus menyelesaikan lukisannya sekarang juga.

"Serena ...."

Meski merasa tak rela, tetapi akhirnya Serena melepaskan pelukannya. Ia langsung mengempaskan tubuhnya ke sofa.

"Vic ...."

"Hm ...."

Serena terus memperhatikan Victor yang semakin serius melukis, dan itu membuat hatinya berdenyut. Ia merasa seperti orang ketiga di sini.

"Ayah akan menjodohkanku dengan anak sahabatnya." Kalimat itu terlontar begitu saja, sebenarnya Serena penasaran dengan reaksi kekasihnya itu. Namun, apa yang ia dapat? Hanya satu kata.

"Lalu?"

"Vic. Apa kau mendengarku? Aku akan dijodohkan--"

"Hm ... aku mendengarmu."

Victor terus saja fokus ke lukisannya tanpa berniat menoleh sedikit pun ke wajah Serena, yang sedang menatapnya dengan tatapan kecewa.

"Sudah cukup. Sebenarnya, apa arti diriku untukmu?"

Victor terdiam, ia kembali menorehkan cat air di kanvasnya tanpa berniat menjawab pertanyaan Serena.

"You really don't care about me ...." Serena tersenyum getir. Ia tak mau berada di sana lebih lama, ia tak mau memperlihatkan kelemahannya, pada siapapun termasuk pada Victor.

Dengan langkah mantap, Serena keluar menuju mobil. Yang membuatnya semakin miris, Victor sama sekali tak mengejarnya. Lebih baik ia pergi ke sungai Seine, mencari udara segar di sana. Berharap tempat itu lebih baik untuknya.

** If you like this story, please vote, comment & share to your friend **

** Thank You **
__________________

Maafkan aku baru sempat update.. Hehehe.

Baru datang inspirasi 😂😂
Ditunggu sekali, saran dan kritiknya ya..

Semoga suka ya semuaanya.. Makasih.. 😊😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top