Piece Of Puzzle | Part 27 : Honeymoon [5]

Hallo.. Ketemu lagi sama Percy n Serena 😂😆😆 Baru kemarin ya perasaan up, sekarang udah up lagi 😅

Lagi ada ide aja, dan aku udah gatel pengen menyelesaikan scene honeymoon ini 😂 meski masih ada dua part lagi yang belum dipublish 😅

Jangan bosen yaa, kalo scenenya mereka berdua mulu 😂😂

Salam kenal lagi buat para silent reader dari author manis wkwkwk

Don't copy my story!! Be kreatif 😁

** Happy Reading **

"Percy?"

Perceval menoleh. Ia langsung terduduk kaget, saat melihat Serena berdiri di sampingnya sambil mengucek mata. "Kau sudah bangun?"

Serena mengangguk. Ia duduk di samping Perceval.

"Aku ingin menanyakan sesuatu."

"Tanya apa?"

"Sebenarnya apa yang terjadi tadi saat kau tenggelam?" tanya Perceval penasaran.

Serena mengernyit. "Sebenarnya aku tak terlalu ingat. Saat itu, jetski-nya terbalik. Aku sempat tenggelam, tapi aku berhasil naik ke permukaan. Aku mencoba mencari keberadaanmu, tetapi ombak besar tiba-tiba datang dan menghempaskan tubuhku. Saat itu sepertinya kepalaku terbentur badan jetski. Entahlah aku tak ingat lagi," jawab Serena panjang lebar. "Memangnya kenapa?"

Perceval menggeleng pelan. "Bukan apa-apa."

Serena mendengus lalu menatap Perceval dengan cengiran yang tiba-tiba tercipta. "Aku lapar," ucap Serena dengan mata puppy eyes-nya.

Ah, Perceval baru ingat. Gadis itu belum makan malam. "Aku pesankan makanan untukmu." Perceval langsung berdiri. Baru saja ia akan melangkah, gadis itu terlebih dulu mencekal tangannya. Perceval menoleh.

"Aku ingin makan di luar." Serena tersenyum tipis.

"Tapi kau masih butuh istirahat, Rein. Aku tak mau kalau sampai terjadi apa-apa padamu."

"Aku baik-baik saja, Percy. Hampir seharian ini kerjaanku hanya tidur. Mau, ya? Aku bosan."

Perceval menghela napas. Ia mengacak rambut Serena pelan. "Baiklah. Ganti dulu bajumu. Atau kau memang mau pakai bra saja?"

"Itu maumu!" sentak Serena menatap tajam Perceval, ia berdiri lalu melangkah ke kamar.

"Aku memang suka melihatmu hanya memakai underwear!" teriak Perceval sambil tertawa pelan.

"Pervert!!" teriak Serena dari dalam kamar.

Perceval tersenyum geli. Ah, hatinya sudah menghangat lagi. Ia ingin segera memiliki gadis itu, seutuhnya. Ia tak bisa lagi jauh darinya. Yang dia inginkan hanya Serena. Kejadian tadi siang di pantai membuatnya menyadari jika ia takut kehilangan gadis itu. Ia sadar, gadis itu telah merebut hatinya. Perceval tersenyum tipis.

"Percy."

Hanya butuh satu panggilan. Namun, itu berhasil membuat Perceval tersadar, ia menoleh. Suara serak itu membuat darahnya berdesir. Jantungnya berdebar saat ia melihat penampilan Serena. Tak ada yang istimewa. Perceval bahkan yakin, kalo gadis itu sama sekali tak memakai make up apa pun. Gadis itu hanya memakai jogger pants berwarna cokelat, dengan tank top biru yang sedikit longgar, jangan lupakan sling bag yang selalu ia bawa. Rambutnya ia gelung asal menyisakan beberapa helai rambut yang terjatuh, memperlihatkan leher jenjangnya. Ah, ingin sekali ia mengecupnya, memberikan satu tanda kepemilikan, agar laki-laki di luar sana yang melihatnya tahu bahwa Serena adalah miliknya.

"Percy. Perceval!"

"Ya, kenapa?" tanya Perceval sedikit terkejut.

"Kenapa kau melihatku begitu? Ada yang salah dengan penampilanku?" tanya Serena seraya menunduk. Ia menyentuh tank top dan celana yang ia pakai.

"Tidak. Tentu saja tidak." Perceval tersenyum tipis. Ia mengalihkan pandangan. "Kau bahkan terlihat sangat cantik," gumam Perceval pelan.

"Kau bilang apa?"

Perceval menoleh kembali. "Tidak ada. Bukankah kau sudah lapar?"

Serena mengangguk.

"Kita pergi kalau begitu." Perceval menggenggam tangan Serena, lalu menautkan jari mereka. Keduanya melangkah bersamaan menuju tempat parkir.

Sejak tadi Serena hanya bisa terdiam. Telapak tangannya sudah berkeringat saat Perceval menggenggamnya. Pria ini pasti bisa merasakannya. Namun, kenapa ia malah diam saja? Malam ini, ia merasa Perceval sedikit berbeda.

Pria itu memakai riped jeans berwarna biru tua, dengan atasan kemeja jeans berwarna biru berlengan panjang yang ia gulung hingga ke siku, dan dua kancing atasnya yang Perceval lepaskan hingga memperlihatkan dada bidangnya. Apa pria ini sengaja ingin menggodanya? Padahal mereka hanya ingin makan malam. Tolong garis bawahi, makan malam. Tidak akan ada hal apapun yang terjadi.

Sepanjang perjalanan menuju restoran, Serena terus meyakinkan diri bahwa kegugupannya hanya sementara. Ia yakin, semua akan baik-baik saja. Tidak akan ada hal buruk yang terjadi karena dua hari ini, ia sudah benar-benar lelah. Sampai akhirnya satu nama itu terucap dari bibir Perceval sesaat setelah mereka masuk ke sebuah restoran di Kuta Bali.

"Alexa?"

"Apa?" tanya Serena memastikan takut ia salah dengar. Pikirannya sejak tadi melayang, sehingga ia butuh waktu beberapa detik untuk mencerna informasi yang baru saja ia terima.

"Berengsek!" Perceval melepaskan tangan Serena dengan kasar. Ia melangkah lebar menuju salah satu meja.

Serena hanya bisa mengerjap. Matanya terus mengikuti Perceval ke mana pria itu melangkah. Serena refleks menutup mulut dengan sebelah tangan saat ia melihat Alexa sedang bersama pria itu lagi. Pria tersebut dengan berani mencium bibir gadis itu, dan sialnya Alexa malah membalas ciumannya. "Astaga ...." erang Serena kesal. "Tidak bisakah aku diberikan sedikit ketenangan? Aku hanya ingin makan," keluh Serena dengan tubuh yang lemas. Ia sedikit berlari mengejar Perceval. "Percy, hei. T-tunggu."

"Lepaskan!" Perceval menepis tangan Serena. Rahangnya semakin mengeras saat langkahnya semakin mendekati meja Alexa.

"Bajingan!!" Perceval menarik kerah pria itu -pria yang dengan berani mencium Alexa- dan langsung melayangkan sebuah pukulan telak di pipinya membuat pria itu langsung tersungkur ke lantai.

"Ah! Regis!" pekik Alexa kaget. Ia langsung berdiri, membantu Regis yang tergeletak.

Beberapa orang yang sedang makan ikut berteriak karena kaget. Namun, Perceval sudah tak peduli jika malam ini ia menjadi tontonan orang lain.

Baru saja Perceval berniat memukul Regis kembali, tetapi Serena malah menghentikannya.

"Jadi ini yang kau lakukan di belakangku?" tanya Perceval dengan nada sinis. Ia mendengus kasar. "Pantas saja handphone-mu tak bisa dihubungi, ternyata kau sedang ada di sini. Berdua, bersama temanku." Perceval mendengus. Rahangnya mengeras, ia menggertakkan giginya menahan amarah. Tangan kanannya ia kepal begitu dalam, hingga buku-buku tangannya yang memutih terlihat begitu jelas.

"Percy ...." Serena menyentuh tangan Perceval, mencoba untuk menenangkannya, tetapi rasanya percuma. Amarah pria itu sudah memuncak, ia bahkan sama sekali tak bergeming saat Alexa dan Regis berdiri.

"Sejak kapan?" tanya Perceval dingin.

Keduanya bungkam. Hanya isakan tangis Alexa yang terdengar.

"Aku tanya, SEJAK KAPAN?!" Perceval menendang kursi di depannya hingga membuat kursi tersebut tersungkur dan terdorong ke depan.

Alexa, Regis dan Serena -para pengunjung restoran yang lain tentu saja- terlonjak kaget.

"Tenanglah, Percy. Duduklah dulu." Regis mengulurkan tangan mencoba menyentuh Perceval, tetapi pria itu menepisnya kasar.

"Tenang?" Perceval mendengus. "Kau bilang, tenang? JANGAN BERCANDA!" Perceval kembali melayangkan pukulannya di pipi Regis, membuat Regis terhuyung ke samping.

Alexa hanya bisa memegang tangan Regis, agar pria itu tak terjatuh.

Perceval menyeka wajahnya kasar. Ia mencoba menahan amarah yang sudah mendidih hingga ke ubun-ubun. "Aku tanya, sejak kapan?" tanya Perceval dengan wajah yang mulai menggelap.

"Enam bulan yang lalu," lirih Alexa pelan.

Serena hanya bisa menelan saliva.

Tiba-tiba tawa Perceval terdengar, membuat siapapun yang mendengarnya bergidik ngeri. Ia memijit pangkal hidungnya, menarik rambutnya kasar. "Enam bulan? Jadi selama enam bulan itu kau sudah berselingkuh dengannya?"

Alexa mengangguk pelan. "A-aku bisa jelaskan semuanya, Percy."

"Jelaskan jika kau bisa!" Perceval memukul meja dengan keras.

Hening kembali.

"Apa hanya dengan aku saja, kau merasa tak cukup?" tanya Perceval dengan nada yang terluka. Ia mendengus pelan. "Aku sudah memberikan segalanya untukmu, tapi kau malah berselingkuh, bahkan dengan temanku sendiri." Perceval tersenyum miris. Ia menghembuskan napas kasar. Rasa sesak tiba-tiba menyerang dadanya. Ia merasa, dirinya dihantam dengan keras, lalu dibuang ke dasar jurang yang paling dalam. Gelap, tanpa cahaya.

"Percy, dengarkan aku dulu," ucap Alexa masih terisak. Ia melangkah maju, menyentuh lengan Perceval lembut.

"Jangan menyentuhku!" Perceval menepis kasar tangan Alexa. "Jangan paksa aku berbuat kasar padamu, Alexa!"

"Percy, aku mohon ...."

"Aku bilang, jangan menyentuhku, SIALAN!"

Alexa tertegun. Perceval tak pernah semarah ini padanya.

"Jangan membentaknya seperti itu, Perceval! Bagaimana pun dia masih kekasihmu!" sentak Regis dengan rahang yang mengeras.

Perceval mendengus kasar. "Kekasih?" Perceval menyeringai. "Mulai hari ini, kita sudah tak ada hubungan lagi. Berbahagialah, dengan selingkuhanmu, Alexa," ucap Perceval dingin. Ia menggengam tangan Serena lalu berbalik. "Oh, aku lupa." Perceval berbalik kembali. "Sekali bajingan, kau tetaplah bajingan, Regis." Perceval menyeringai, ia berbalik lalu menarik Serena pergi.

"Percy! Perceval!!"

Hanya suara teriakan Alexa yang terdengar semakin pelan, seiring dengan langkah kaki Perceval yang menjauh.

Serena hanya bisa terdiam. Genggaman pria itu sangat kuat. Ia tahu, Perceval masih dilingkupi amarah. Lihat saja rahangnya. Berkali-kali pula pria itu menghembuskan napas kasar. "Biar aku yang menyetir," ucap Serena saat Perceval mengambil kunci dari saku celananya. Sepanjang perjalanan kembali ke cottage, keduanya hanya terdiam. Serena tak berani hanya untuk mengucapkan sebuah kata.

Sesampainya mereka di cottage, Perceval hanya berdiri sambil menyandarkan tubuhnya di tembok dekat kolam renang.

Serena menghela napas pelan. "Percy, duduklah. Kalau kau ingin bicara, aku akan mendengarkan."

Perceval masih saja terdiam. Geraman kasar keluar dari bibir pria itu. Ia membalikkan badan. "Argh! Bagaimana mungkin mereka berdua?" Perceval menarik rambutnya kasar. "Astaga ...." Perceval memijit dahinya yang terasa pening.

Serena menggigit bibir. Ia berdehem pelan. Jari-jarinya ia tautkan, guna mengumpulkan keberaniannya. "Sebenarnya aku sudah mengetahuinya."

Perceval termangu. Ia pasti salah dengar. Ia mengangkat kepalanya, menatap iris mata Serena dalam. Tak ada kebohongan di sana. "Sejak kapan?"

Serena menghela napas. Ia menunduk. "Dua hari yang lalu," bisik Serena pelan tetapi masih bisa Perceval dengar.

"Kapan kau akan memberitahuku?"

Serena hanya bisa terdiam. Lidahnya terasa kelu mencari jawaban yang tepat.

"Kau tak berniat memberitahuku," ucap Perceval telak. Hatinya semakin teriris. Sungguh, Ia merasa sangat kecewa pada Serena. "Aku tak percaya ini. Kau juga bahkan membohongiku ...." lirih Perceval dengan nada penuh kesakitan.

"Bukan begitu, Percy. Aku hanya ... hanya-"

"Apa?!" bentak Perceval marah. "Kau memang sengaja bukan, tak memberitahuku. Kau hanya ingin membalas dendam padaku, agar aku bisa terlihat bodoh di depanmu, kan?"

"Astaga! Demi Tuhan, Perceval!! Aku tak pernah berpikir seperti itu!!" teriak Serena frustrasi. "Dengarkan aku dulu." Serena melangkah mendekat.

Perceval mendengus kasar. "Kau dan Alexa sama saja! Dasar berengsek!" Perceval meninju tembok di sampingnya. Ia menatap Serena dengan rahang yang mengeras. Tatapan matanya penuh kesakitan.

Hati Serena terasa tertusuk saat ia bisa melihat dengan jelas air mata Perceval yang menggenang. Rasa sesak tiba-tiba mendera. Inilah yang tak Serena inginkan. Hati pria itu terluka. Melihat Perceval bersedih seperti ini, membuat Serena juga ikut merasakannya. Ingin sekali ia memeluk Perceval, mendekapnya erat, dan menenangkannya tetapi pria itu terasa tak terjangkau oleh Serena.

"P-Percy. Dengarkan dulu, aku hanya ingin, aku ...." Serena kehilangan kata. Ia tak bisa mengatakan kejujuran yang selama ini ia pendam.

"Hentikan. Aku sudah muak!" Perceval melangkah menuju pintu keluar.

"Tunggu, Percy! Perceval!!" Serena berbalik, berusaha mengejar Perceval yang sedang dilanda emosi.

"JANGAN MENGIKUTIKU!" Perceval menutup pintu dengan kasar.

Serena hanya bisa tertegun. Tubuhnya tiba-tiba merosot ke lantai. Ia menekan dahi dengan kedua tumit telapak tangannya. "Apa yang sudah aku lakukan?" lirih Serena. Ia menyeka air matanya yang berhasil menetes, semakin cepat ia menghapusnya, tangisannya malah semakin menjadi.

Serena hanya tak ingin pria itu terluka. Namun, mengapa rasanya sesakit ini? Serena menekan dadanya yang terasa sesak. Ia menarik kedua lututnya, menempelkannya di depan dada. Wajahnya ia tenggelamkan di atas lutut. Untuk pertama kalinya, Serena menangis tersedu karena Perceval. Seorang lelaki yang ia klaim sebagai pria yang ia benci. Ia menangis karena ia sadar, ia telah menyakiti hati laki-laki itu.

💔💔💔

Perceval mengendarai mobilnya dengan kencang. Untuk kesekian kalinya ia memukulkan tangan ke kemudi. Berharap bisa mengurangi sedikit amarah dan rasa sesak didalam dadanya. Ia tak percaya Alexa bisa berselingkuh di belakangnya. Namun, ia lebih tak terima karena Serena malah membohonginya.

Perceval menarik napas dalam, lalu menghembuskannya kasar. Ia benar-benar tak menyangka Serena tega melakukan itu padanya. "Berengsek!" Perceval kembali memukul kemudinya. Ia memberhentikan mobilnya di dekat pantai Seminyak Bali.

Angin malam yang berhembus cukup kencang disertai ombak besar menemani Perceval saat itu. Ia duduk di atas pasir, sambil menekuk sebelah lututnya yang ia tempelkan di depan dada.

Kenangan bersama Alexa, selama setahun terakhir ini berputar dalam pikirannya. Ketika mereka tertawa bahagia, saat gadis itu jengkel padanya, ketika ia bersikap manja, tersenyum bahkan menangis. Ia ingat semua itu. Sekarang, semua kenangan itu hanya membuat luka di hatinya semakin menganga. Mengapa Alexa harus melakukan itu? Selama enam bulan, dia sudah dibodohi. Dengan tulusnya ia mencintai Alexa, tetapi balasannya adalah sebuah pengkhianatan.

Perceval mengepalkan tangannya.

Serena, wanita itu malah membuat lukanya semakin besar. Ya Tuhan! Ia baru saja menyadari jika ia mencintai gadis itu. Tetapi, mengapa ia malah membohonginya? Mengapa Serena malah mengecewakannya? Ia merasa dibodohi oleh dua orang wanita sekaligus. Rasanya ia ingin tertawa, mentertawakan kepolosannya.

Serena memang tak pernah mencintainya. Satu kenyataan yang semakin membuat hatinya sakit. Ia mendongakkan kepalanya ke atas. Mencoba mencari kekuatan. "Serena tak mencintaiku. Dia tak pernah melihat ke arahku," lirih Perceval. Ia tersenyum miris.

"Aku mencintaimu, Rein. Tapi mengapa kau malah membohongiku?" Perceval menatap satu bintang yang bersinar terang. "Ah ya, tentu saja. Karena kau memang tidak mencintaiku," ucap Perceval mengeraskan rahangnya. "Kau tak peduli akan perasaanku."

Perceval melemparkan batu kecil ke arah laut. Ia terus menatap lurus. Hampir tiga jam ia berdiam diri di pantai.

"Kenapa kau membohongiku?!" teriak seorang lelaki.

Perceval menoleh. Tak jauh dari tempatnya duduk, ada seorang perempuan dan laki-laki, sepertinya sedang bertengkar.

"Aku tak bermasud membohongimu! Aku hanya tak ingin kau terluka, mengertilah!" teriak wanita tersebut frustasi.

Perceval tertegun. Serena! Perceval berdiri, ia langsung berlari masuk ke dalam mobil. Astaga, bagaimana ia bisa begitu bodoh? Ia bahkan sudah membentak Serena dan berbicara yang tidak-tidak pada gadis itu.

Rasa bersalah menyelimuti hatinya. Ia melirik ke arah jam tangan yang ia gunakan. Hampir pukul 12 malam. Apa gadis itu sudah tertidur?

"Argh! Bodoh!!" Perceval semakin mempercepat laju mobilnya. Hanya butuh waktu 15 menit sampai akhirnya ia sampai ke cottage. Ia langsung membuka pintu mobil dan berlari sesaat setelah menutup pintunya. Ia berdiri di depan pintu kamar cottage dengan napas terengah. Ia menelan salivanya, ragu apakah harus masuk atau tidak.

Perceval menggeleng pelan. Dia bukan pengecut! Dia harus meminta maaf pada gadis itu. Entah ia mau menerima permintaan maafnya atau tidak. Dengan keyakinan hati, ia membuka pintu cottage. Tubuhnya langsung membeku saat melihat gadis itu tengah duduk di sofa ruang tengah, ia menoleh dengan mata yang sedikit sembab. Ah, sial! Gadis itu habis menangis, dan ia yakin pasti karena dirinya.

Dengan langkah tergesa, ia mendekati Serena lalu duduk di sampingnya. Tanpa ragu, ia memeluk tubuh gadis itu. Mendekapnya erat, seakan tak akan ada hari esok. "Maafkan aku, Rein ... sungguh, aku benar-benar minta maaf."

Tiba-tiba isakan tangis terdengar. Perceval termangu. Ia perlahan melepaskan pelukannya. Gadis itu menangis tersedu. Ya Tuhan! Ia sudah menyakitinya. "Tidak, tidak. Aku mohon jangan menangis. Maafkan aku, sayang." Perceval menyeka air mata Serena, ia kembali mendekap gadis itu.

"A-aku mengkhawatirkanmu," ucap Serena disela isakannya.

"Aku tahu." Perceval mencium lembut kepala Serena.

"A-aku tak bermaksud, membohongimu. A-aku minta maaf."

"Aku tahu. Aku tahu, Rein." Perceval melepaskan pelukannya. Ia menangkup wajah Serena, menatap iris cokelat itu dalam. "Maka dari itu, aku mohon berhentilah menangis." Perceval kembali menyeka air mata Serena. Ia mencium kedua mata Serena satu persatu, lalu perlahan ciumannya turun ke hidung. Ia menempelkan dahinya ke dahi Serena. Gadis itu masih terisak, meski tak sekencang tadi. "Sudah kubilang, aku tak suka kau menangis. Jadi berhentilah, hm?"

Serena mengangguk lemah, membuat Perceval tersenyum tipis. "Gadis pintar." Perceval kembali memeluk Serena. Ia menenggelamkan wajahnya di ceruk leher gadis itu. Menghirup aromanya dalam. Ia mengecup pelan leher Serena.

"Rein?"

"Hm?"

"Jadilah milikku, malam ini."

Hening tak ada jawaban. Mata Serena masih sembab, tetapi bukan berarti pendengarannya menjadi terganggu. Serena tahu apa maksud perkataan Perceval, ia tak bodoh.

"Rein?"

Serena mendorong tubuh Perceval pelan. "Jangan bercanda, Percy." Serena mengalihkan pandangan.

"Tidak. Lihat aku!" Perceval menyentuh dagu Serena pelan, menariknya, membuat gadis itu kembali menoleh ke arahnya. "Apa aku terlihat seperti bercanda?" tanya Perceval dengan tatapan yang membuat wanita manapun pasti meleleh.

Jantung Serena berdebar kencang. Darahnya berdesir hebat, membuat wajahnya seketika memanas. Jika ia terus berada di dekat Perceval, ia yakin ia tak akan bisa lagi menahan hasratnya. Dengan tubuh gemetar, ia berdiri. "Jangan mengambil kesempatan dalam kesempitan, Perceval!"

Serena melangkah ke dalam kamar. Lalu menutup pintunya.

Perceval hanya menganga, sesaat kemudian terkekeh pelan. Ia tak percaya, ajakannya baru saja di tolak oleh seorang wanita. Ia tak menyangka, akan sesulit ini untuk mendapatkan hati gadis itu. Perceval mengacak rambut frustasi. Ia menyandarkan kepalanya ke sofa.

"Percy."

Perceval terlonjak, ia terbangun, duduk dengan tegak, lalu menoleh. Apa gadis itu berubah pikiran?

"Ya?"

"Malam ini kau tidur di sofa!" Serena menutup pintunya kasar, tak lama suara pintu yang terkunci terdengar.

Perceval terkekeh geli. Sialan. Seharusnya gadis itu yang tergila-gila pada pesonanya. Mengapa yang terjadi sekarang malah sebaliknya?

** Thank You **

Yuhuuu.. Ketemu lagi. Bagaimana part ini?

Dapet ga feelnya? 😂😂

Pasti lagi pada malming ya, met malming semuanya..

"Jangan lupa selalu bahagia," kata Percy 😍

Salam hangat,

Rifa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top