Piece Of Puzzle | Part 26 : Honeymoon [4]
Hallo, maafkan karena baru sempat up 😂 seharian kemarin koneksi internet labil, jadi aku enggak berani publish 😅
Adakah yang kangen Percy n Serena? 😆
Oiya, mulai part ini dan seterusnya, bakal terus banyak drama 😂😅 harap maklum yeee 😅
Salam kenal buat para silent readers dari author manis wkwkwk
Don't copy my story!! Be kreatif 😁
** Happy Reading **
Perlahan Perceval membuka mata. Hampir semalaman ia terbaring tak berdaya, demam yang cukup tinggi membuatnya tak bisa banyak bergerak. Pria itu menoleh ke samping. Dilihatnya Serena yang sedang tertidur, ia menyandarkan tubuhnya ke dipan ranjang, dengan posisi terduduk dan kepala yang disangga dengan sebelah tangan. Perceval tersenyum hangat.
Perceval ingat, Serena dengan telaten merawatnya. Gadis itu tak segan menyeka keringat dingin yang keluar dari dahinya, menyuapi bubur yang sebelumnya Serena pesan dari room service dan memberikannya obat yang sempat diberikan oleh sahabat Serena. Meski demam membuat kepala Perceval pusing bukan main, tetapi ia bisa mengingat semua itu.
Sungguh, ia benar-benar merasa tersentuh dengan perlakuan gadis ini. Dulu ia bahkan berlaku jahat padanya, tetapi Serena malah membalasnya dengan segala kebaikan hati. Ia sama sekali tak dendam padanya. Kekasihnya saja belum tentu mau merawatnya seperti ini. Sebuah kenyataan yang miris bukan.
Perceval menggeleng pelan. Ia bangun dari tidurnya, lalu melangkah keluar ranjang. Ia mendekati Serena, dengan perlahan Perceval mengangkat tubuh Serena lalu membaringkannya. Gumaman pelan keluar dari mulut gadis itu, membuat Perceval terkekeh pelan. Sekilas ia mengecup bibir Serena, lalu membenarkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah gadis itu kemudian menyelimuti Serena hingga ke batas dada.
"Terima kasih, Rein," bisik Perceval dengan air mata yang menggenang. Ia mencium kening Serena lama. "Kau gadis yang sangat baik," ucapnya sesaat setelah melepaskan ciumannya. "Tidurlah yang nyenyak, gadis bodoh." Perceval melangkah keluar kamar kemudian langsung menghubungi room service. Waktu sudah hampir menunjukkan pukul enam pagi.
Matahari sudah terbit sejak tadi, udara di kota Bali pun terasa begitu menyejukkan. Suara deru ombak pantai yang terdengar begitu jelas, membuat Perceval ingin segera membasahi dirinya dengan air laut. Namun, tentu saja melihat Serena yang masih tertidur, membuatnya urung meninggalkan gadis itu sendirian.
Hampir dua jam ia menghabiskan waktu dengan melihat acara TV. Sungguh ia merasa bosan, gadis itu belum juga terbangun dan Perceval tak ada niat sama sekali untuk membangunkannya. Ia tahu, Serena pasti kelelahan karena mengurus orang yang sakit memang butuh tenaga ekstra. Sebuah ide muncul di pikirannya, akhirnya Perceval memutuskan untuk berenang.
Di waktu yang hampir bersamaan, Serena perlahan membuka matanya. Ia mengerjapkan mata karena yang pertama kali ia lihat adalah langit-langit kamar berwarna putih. Seingatnya ia tak tidur di atas ranjang. Kerutan alisnya semakin dalam, saat Serena meraba-raba tempat tidur di sampingnya.
Kosong.
Serena terlonjak kaget. Ia menyingkirkan selimutnya tergesa, dengan cepat ia melangkah keluar ranjang lalu berlari ke kamar mandi. "Percy? Perceval!!" Serena mengetuk pintu kamar mandi, tetapi tak ada jawaban sama sekali. Ia mencoba membuka kenop pintu. Tak di kunci! Namun, kekecewaan segera hadir di wajahnya saat ia menyadari pria itu tak berada di sana. "Ke mana dia?" tanya Serena dengan wajah khawatir. Ia melangkah keluar kamar sambil terus memanggil nama Perceval.
"Kau di mana?! Perceval!!" teriak Serena panik. Ia melangkah mendekati kolam renang. Terdapat dua buah piring dengan sandwich di atasnya dan dua gelas jus jeruk di sampingnya. "Percy!!"
"Astaga!" teriak Serena kaget saat Perceval muncul dari dalam kolam renang. "Sialan! Kau menganggetkanku, Perceval!"
Perceval terkekeh pelan. "Maaf, aku tak bermaksud menganggetkanmu, aku hanya sedang berenang."
Seakan tersentil, rahang Serena tiba-tiba mengeras. "Sedang apa kau di sana?!" tanya Serena dengan nada suara meninggi, wajahnya menyiratkan kemarahan. Ia menyilangkan kedua tangan di depan dada.
"Tentu saja berenang," jawab Perceval santai, ia kembali berenang ke ujung kolam.
Serena menghela napas, memijit pangkal hidung yang terasa pening. "Kau sedang sakit, Percy! Naik sekarang juga!!" ucap Serena dengan wajah yang mulai memerah menahan amarah. "Perceval!!" Serena menggeram saat pria itu malah mengacuhkannya. "Aku bilang, naik! Kalau kau tak naik, aku akan pulang ke Paris hari ini juga!" ancam Serena dengan rahang yang semakin mengeras.
Perceval mendengus pelan. "Baiklah, baiklah. Jangan marah begitu. Lagipula aku sudah tak demam, dan tubuhku sudah jauh lebih baik dibandingkan kemarin." Perceval menumpukan tubuh dengan kedua tangan, lalu melangkah ke luar dari kolam renang.
Serena mendengus kesal. Namun, ekspresi wajah gadis itu seketika berubah. "Astaga!" Semburat merah muncul saat ia menatap tubuh Perceval yang hampir telanjang. "Mengapa kau telanjang?!" Serena menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Perceval menatap Serena bingung. "Aku memakai celana."
"Itu celana dalam!! Pakai bajumu, dasar bodoh!" Serena mengambil celana dan baju yang semalam sempat Perceval gunakan lalu melemparkannya ke dada Perceval.
Perceval tersenyum tipis saat melihat Serena kembali mendengus. Ia melangkah perlahan mendekati gadis itu. "Kau kenapa? Kau malu melihatku seperti ini? Atau ... kau memang tergoda ingin menyentuh tubuhku?" ucap Perceval dengan nada seductive, ia menyentuh pinggiran sofa dengan jari kanannya, melangkah perlahan sambil terus menatap mata Serena.
Jarak keduanya hanya beberapa inchi, Serena bahkan dapat merasakan embusan napas Perceval di wajahnya. Jangan tanyakan bagaimana keadaan jantungnya karena sejak tadi jantungnya sudah berdebar sangat kencang, telapak tangannya bahkan terasa kebas karena aliran darah yang terasa tak lancar mengalir di tubuhnya. Refleks Serena menutup matanya, tak ingin melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.
Beberapa detik terlewati, Serena hanya bisa menyernyit. Ia membuka matanya perlahan. Masih dengan jarak yang sama, pria itu mengulum senyum sambil mengacak rambut Serena.
"Mengapa kau menutup matamu, hm?"
"Hah?"
"Kau berharap aku menciummu?"
Wajah Serena seketika memerah. Sialan pria ini!
Perceval tergelak. "Kemarilah." Perceval menarik tangan Serena dengan tawa yang tak lepas dari mulutnya.
"Berhenti tertawa, berengsek! Lagipula, mau apa kau menarik tanganku?!"
Perceval berdeham pelan, ia terus mengulum senyum. "Temani aku sarapan."
"Aku tidak mau, lepaskan!" Serena menepis tangan Perceval, tetapi pria itu sama sekali tak berkutik.
"Diamlah, aku sudah memesan sarapan untukmu. Ayo, sarapan denganku." Perceval kembali menarik tangan Serena, lalu mendudukan tubuh gadis itu di kursi dekat kolam.
Serena hanya bisa mendengus kesal.
"Ini isi tuna, ini isi ayam."
Serena mengambil sandwich isi tuna, kemudian langsung memakannya. Matanya terus menatap ke kolam, ia malas jika harus menatap wajah Perceval yang saat ini masih terkekeh pelan. "Ini lumayan enak." Serena menoleh ke samping dengan mulut yang terisi penuh.
"Benarkah?"
Serena mengangguk, ia kembali mengulurkan tangan ke arah mulut. Namun, gerakannya terhenti saat tiba-tiba Perceval mendekat lalu memakan sandwich yang sedang ia pegang. Wajah mereka hanya berjarak beberapa centimeter! Dan itu berhasil membuat jantung Serena kembali berdebar.
"Hmm, enak." Perceval kembali ke posisi duduknya semula, sambil terus mengunyah, matanya fokus menatap ke arah kolam renang.
Serena sendiri hanya bisa memakan sandwich-nya dengan perlahan tanpa bicara sepatah katapun.
"Bagaimana kabar Victor?"
Serena tersedak saat pertanyaan itu meluncur begitu saja. Ia menekan dadanya yang terasa sakit, sesaat kemudian menerima orange juice yang diberikan Perceval.
"Kau ini kenapa? Kalau makan itu pelan-pelan."
Serena mendelik. Dasar menyebalkan! Memangnya gara-gara siapa ia sampai tersedak begitu?
"Kabarnya baik, mungkin. Aku masih sulit menghubunginya," jawab Serena setelah ia bisa bernapas sedikit lega.
Perceval mengangguk paham. Ia kembali memakan sandwich ayamnya.
"Bagaimana hubunganmu dengan Alexa?"
"Alexa?" Perceval menoleh. "Setelah kita bertunangan, aku dan dia ada sedikit masalah." Perceval tersenyum kecut. "Sampai sekarang, dia sulit sekali dihubungi."
Serena mengangguk pelan. Rasa sandwich yang tadi begitu menakjubkan tiba-tiba berubah menjadi hambar. Ia bingung, apakah ia harus jujur tentang Alexa? Bagaimana kalau Perceval tak mempercayainya?
"Selesai makan, bersiap-siaplah, Rein. Kita akan ke pantai."
"Mau apa?"
"Menonton. Menurutmu?" Perceval terkekeh pelan.
Serena hanya bisa mendengus. "Aku sudah selesai. Aku mandi dulu."
Perceval mengangguk. Ia tersenyum tipis, saat mengingat wajah Serena yang memerah.
💞💞💞
Hampir 30 menit Perceval dan Serena menempuh perjalanan ke pantai Tanjung Benoa. Gadis itu segera membuka pintu, begitu Perceval memarkirkan mobilnya.
"Aku ganti baju dulu!" teriak Serena sambil berlari ke salah satu toilet.
Perceval hanya mengangguk, ia segera membuka kaus dan menyimpannya di dalam mobil. Tak lama ia melangkah mendekati pantai, yang terbilang cukup sepi. Tentu saja, karena sekarang memang bukan musim liburan.
"Percy."
Perceval menoleh. Serena berdiri memakai hoodie yang tadi sempat ia pakai.
"Kau mau pakai itu?" tanya Perceval tak percaya.
"Tentu saja tidak." Serena melepaskan hoodie-nya melalui kepala, menampilkan bikini hitam yang ia gunakan.
Perceval terdiam, sama sekali tak berkedip. Sial. Gadis itu sangat seksi. Bikini yang ia gunakan benar-benar hanya menutupi area pribadinya saja. Dan hal itu berhasil membuat Perceval menelan saliva karena tenggorokan yang terasa kering.
"Kenapa kau pakai itu?" tanya Perceval dengan nada suara sedikit bergetar. Ia sampai berdehem pelan, untuk mengendalikan suaranya yang terasa tercekat dan jantungnya yang tiba-tiba berdetak kencang.
"Lalu aku harus memakai apa? Hoodie?" tanya Serena dengan nada sedikit kesal. Ia membalikkan badan lalu melangkah mendekati mobil, memasukan tas dan juga hoodie-nya, kemudian kembali berlari menghampiri Perceval.
"Ayo, kita main!" teriak Serena semangat. Ia berlari ke salah satu watersport, banana boat.
Perceval hanya bisa terkekeh pelan.
Hampir dua jam mereka menghabiskan waktu menaiki hampir semua watersport. Perceval tak menyangka, Serena berani menaiki semua watersport di sini. Mulai dari banana boat, parasailing, flying fish, rolling donut dan waterski.
"Percy, ayo kita naik jetski," ucap Serena sesaat setelah ia selesai menaiki waterski.
"Memangnya kau tak lelah? Aku yang melihatmu saja sangat lelah."
Serena tertawa geli. "Kau berlebihan. Aku, kan, hanya duduk di belakang, kau yang mengendarai." Serena tersenyum lebar, ia lalu menarik Perceval ke salah satu penjaga jetski.
Perceval hanya bisa menghela napas.
"Yes. Main jetski!!" teriak Serena girang.
Salah satu penjaga memasang pelampung ke tubuh Serena kemudian beralih ke Perceval.
"Ayo, Percy!!"
"Oke." Perceval menaiki jetski, kemudian diikuti Serena. Ia menyalakan jetski tersebut kemudian mulai mengendarainya di atas laut.
"Wohoo! Ini sangat menyenangkan!!" teriak Serena sambil berdiri, ia mengangkat kedua tangan sambil terus berteriak.
"Serena!! Duduk! Kau mau celaka?!" sentak Perceval marah. Ia tak menyangka jika gadis ini bisa bertingkah seperti anak kecil yang baru menemukan mainan baru.
Serena berdecak lalu memukul bahu perceval. "Diamlah, ini sangat menyenangkan!"
Tiba-tiba ada dua orang pria yang mengendarai jetski datang dari arah berlawanan, kemudian mereka berbelok dengan tajam sebelum mengenai jetski yang dikendarai Perceval.
"Hey! What are you doing?!" sentak Perceval marah, tetapi kedua pria itu sudah tak terlihat. Untung saja tadi ia sempat memperlambat laju jetski-nya.
"Sudah, lupakan saja. Mereka pasti tak sengaja," ucap Serena sedikit berteriak.
"Bisakah kau duduk, Rein?" Perceval menoleh ke belakang, ia tetap mengendarakan jetski-nya dengan kecepatan sedang.
Pria yang tadi mengendarai jetski, tiba-tiba kembali muncul dari samping dengan kecepatan tinggi. Seringaian jahat tercipta di wajahnya.
"Awas, Percy!!"
Terlambat!
Jetski tersebut menabrak mereka berdua, hingga jetski yang dikendarai Perceval terbalik.
"Ah, sialan!!" umpat Perceval saat ia berhasil muncul ke permukaan. Perceval menoleh ke kanan dan kiri, mencari keberadaan Serena yang seharusnya berada tak jauh darinya. "Rein? Serena!!" teriak Perceval panik.
"Serena!! Di mana kau? Rein, jangan bercanda!!" Perceval menoleh ke sana ke mari, tetapi rasanya percuma, karena jarak pandangnya tak terlalu jelas. Dengan cepat ia melepaskan pelampungnya, menarik napas dalam lalu mulai menyelam. Sialan!! Di mana dia?!
Jantung Perceval berdebar kencang, wajahnya menyiratkan kekhawatiran, panik tentu saja. Namun, ini bukan saatnya untuk itu. Saat ini ia harus menemukan Serena terlebih dulu. Matanya mengerjap, saat ia melihat Serena, tanpa pelampung, dengan mata tertutup, dan tubuh yang semakin tenggelam ke dasar laut. Dengan gesit, Perceval berenang mendekati gadis itu. Ia melingkarkan tangan kiri ke tubuh Serena, memeluknya erat lalu menarik tubuh gadis itu ke atas permukaan laut.
Perceval mengembuskan napas dengan terengah. Untunglah posisi mereka saat terjatuh tak terlalu jauh dari bibir pantai, sehingga ia dengan mudah membawa Serena ke daratan. Dengan cepat, ia membaringkan gadis itu di atas pasir. Beberapa orang langsung menghampiri mereka. "Please, call ambulance!" teriak Perceval dengan wajah panik. Ia melihat ke arah Serena, gadis itu tak bernapas.
Dengan gesit Perceval melakukan CPR pada Serena. Ia menempelkan tumit telapak tangan kirinya di atas dada, lalu tangan kanan ia tempelkan di atas tangan kirinya. Dengan tubuh yang tegap, ia menekan dada Serena dengan kuat. "Rein, bertahanlah! Aku mohon!!"
Perceval kembali menekan dada Serena. Namun, tak ada respon dari gadis itu. Tidak, ia tak boleh menyerah. Air mata Perceval sudah menggenang di sudut matanya. Pandangannya mulai mengabur. Ia takut, benar-benar takut, jika ia sampai harus kehilangan gadis ini. Ya Tuhan! Tolong, beri ia kesempatan agar ia bisa memberikan kebahagiaan pada gadis ini.
Perceval mendorong lembut kepala Serena agar menengadah ke atas, mengangkat dagunya ke depan, mencoba membuka jalur pernapasan. Ia melihat dada Serena, tetapi tak ada pergerakan sama sekali.
Perceval mencubit hidung Serena, ia menempelkan bibirnya ke bibir gadis itu, lalu menghembuskan napas pada gadis itu.
Nihil.
Astaga! Ia sudah putus asa. Berkali-kali ia melakukan kompresi pada dada gadis itu, berulang kali pula ia memberikan napas buatan pada Serena, tetapi gadis itu sama sekali tak bernapas.
"Ayolah, Rein. Sadarlah ...," lirih Perceval, peluh menetes dari dahinya. "Bertahanlah ... Rein. Demi aku ...."
Perceval kembali menekan dada Serena. "Sialan!! Serena, bangun!" teriak Perceval putus asa. "Kalau kau memang ingin balas dendam padaku, bukan begini caranya!! Tidak dengan cara meninggalkanku untuk selamanya!" Perceval menggeram dengan rahang yang mengeras. Ia kembali memberikan napas buatan.
"Please ... sadarlah. Demi aku ...."
Suara batuk dan semprotan air yang keluar dari mulut Serena membuat tubuh Perceval lemas seketika. Namun, hatinya membuncah bahagia. Dengan sisa tenaga, Perceval langsung memeluk Serena erat.
"Aku kira, aku kehilanganmu ...."
Serena terus terbatuk hingga tak lama akhirnya petugas ambulance datang dan membawanya ke salah satu RS terdekat.
Perceval duduk di salah satu kursi tak jauh dari ruang IGD. Jari-jarinya ia tautkan, guna menghilangkan rasa cemas yang mendera sejak tadi. Ketakutan yang sebelumnya tak pernah ia rasakan pada siapapun, termasuk Alexa. Membayangkan bahwa ia tak akan pernah bisa lagi bertemu dengan Serena, bahkan hanya untuk mendengar suaranya, membuat hatinya benar-benar sakit. Ia tak bisa hidup tanpa gadis itu.
Tiba-tiba dua orang pria menghampiri Perceval. Ia mengernyit saat ia melihat wajah asing, yang baru pertama kali ia lihat.
"Tuan Bennet?"
Perceval mengangguk lalu segera berdiri. "Kalian siapa?"
"Ini Andrew, dan saya Roland. Kami pemilik jetski yang sempat tadi anda dan Nona Serena naiki."
"Tunggu. Kalian pemiliknya? Apa kalian yang selalu memberikan pengawasan saat ada yang bermain jetski?"
"Tentu saja. Maaf jika kami menganggu waktu anda. Kami ke sini hanya ingin memberitahukan bahwa pelampung yang dikenakan Nona Serena sepertinya disabotase."
"Apa maksudnya?"
Andrew membuka resleting ransel yang ia bawa, lalu mengeluarkan pelampung yang sejak tadi ia simpan di dalam tas. "Look." Andrew menunjuk salah satu tali pengaman yang terpotong dibagian tengah.
"Sepertinya tali ini memang sengaja dipotong karena jika memang tali pengaman ada kerusakan, dengan ombak yang sedikit besar saja, pelampung bisa terlepas, dan itu bisa sangat membahayakan," ucap Ronald menimpali.
Perceval mengusap wajahnya kasar. Semenjak ia dan Serena memutuskan bertunangan, selalu saja ada orang yang berniat mencelakai gadis itu. Rahang Perceval mengeras. Siapapun dia yang berani menyakiti Serena, ia pastikan, tangan ini sendiri yang akan menghabisi nyawanya.
"Tuan?"
"Ah, maaf. Terima kasih untuk informasinya. Biar aku saja yang urus semuanya."
Kedua pria tersebut mengangguk, lalu mereka berpamitan karena ada urusan lain yang harus dikerjakan.
"How is she?" tanya Perceval saat seorang dokter pria keluar dari IGD.
"Kepalanya terbentur, tetapi ia baik-baik saja. Hanya butuh istirahat. Air yang ada di paru-parunya sudah kami keluarkan, dan sekarang dia sudah kami pindahkan ke ruang inap," jawab dokter tersebut sambil tersenyum.
"Terima kasih, dok. Bisa saya melihatnya?"
"Sure."
Perceval melangkah ke salah satu ruang inap yang posisinya sempat diberitahukan oleh seorang suster. Ia membuka pintu kamar, Serena, gadis itu sedang tertidur. Bajunya telah berganti dengan baju khas rumah sakit. Ia melangkah mendekati Serena.
"Hei." Perceval mengelus kepala Serena pelan. "Aku senang, kau baik-baik saja." Perceval menggenggam tangan Serena yang tak di pasang infus, lalu menciumnya lembut. "Kau tahu, aku tadi sangat takut, takut jika aku kehilanganmu. Please, jangan melakukan itu lagi."
"Kau memang hampir saja kehilanganku, Percy."
Perceval terlonjak kaget. Ia menoleh, gadis itu tersenyum lemah ke arahnya. "Kau bangun?"
Serena mengangguk pelan. Ia kembali terbatuk. Dadanya masih terasa sedikit sakit.
"Aku panggilkan dokter," ucap Perceval langsung berdiri, tetapi tangannya dicekal Serena membuat pria itu kembali duduk.
"Tidak perlu, aku baik-baik saja. Tetaplah di sini, bersamaku."
Perceval tersenyum, ia mengelus kembali rambut Serena, membuat gadis itu memejamkan mata meski hanya sebentar. "Tentu, baby."
"Kau ini, masih saja gombal."
Perceval hanya terdiam, tak berusaha menanggapi ucapan gadis itu. Ia menatap iris cokelat mata gadis itu, mencoba menyelami isi hatinya yang terdalam. Ia tak bisa membayangkan, bagaimana hidupnya nanti jika ia tak bisa melihat iris mata Serena lagi. Perceval menundukkan kepalanya. Tangannya tiba-tiba bergetar, perlahan ia melepaskan genggamannya.
Serena terdiam. Dengan sekuat tenaga, ia mencoba untuk duduk. Tangannya terulur menyentuh bahu Perceval. Tubuh pria itu bergetar! "Hei, kau kenapa?"
Tak ada jawaban sama sekali.
"Percy, apa yang terjadi? Kau terluka? Katakan padaku, mana yang sakit," ucap Serena khawatir. Ia menyentuh pipi Perceval, membuat pria itu mengangkat kepalanya. Tubuh Serena membeku. Sial! Pria itu meneteskan air mata.
"Hei. Apa yang salah?" Serena menyeka air mata Perceval, tetapi pria itu langsung menggenggam tangan Serena, lalu mencium telapak tangannya. Geli, tentu saja. Ia rasanya ingin tertawa, tetapi situasinya tidak memungkinkan.
"Aku hanya takut kehilanganmu," lirih Perceval dengan suara bergetar.
Hati Serena mencelos, saat air mata Perceval kembali menetes. Ia menyentuh kepala Perceval, lalu menariknya ke dada Serena. "Aku baik-baik saja, Percy. Kau tidak kehilanganku. Jadi, berhentilah menangis, oke? Kau seperti anak kecil." Serena tertawa pelan.
Perceval mendengus. Pria itu membalas pelukan Serena. "Aku tak peduli. Aku hanya ingin kau selalu ada di sampingku."
"Ya, ya. Baiklah."
"Kau berjanji?"
Hening sesaat. Tak ada jawaban dari gadis itu.
"Rein?"
"Ya, aku berjanji, Perceval." Serena tersenyum tipis, entah ada dorongan apa, tiba-tiba ia mencium kepala Perceval. Hangat. Itulah yang selalu ia rasakan saat bersama pria ini. "Terima kasih, sudah menyelamatkanku, Percy."
Perceval hanya mengangguk. Ia semakin mengeratkan pelukannya di perut gadis itu.
"Aku ingin kembali ke cottage," bisik Serena membuat Perceval melepaskan pelukannya.
"Kau yakin?"
"Tentu."
"Baiklah, aku urus dulu administrasinya."
"Oke." Serena tersenyum tipis. Matanya memperhatikan Perceval yang melangkah keluar dari kamar. Sial. Jantungnya berdebar semakin kencang. Kenapa ia tadi malah mencium pria itu? "Dasar bodoh kau, Rein."
Hanya butuh waktu setengah jam untuk Perceval mengurus semua administrasi. Setelah selesai, Perceval dan Serena langsung kembali ke cottage.
"Tidurlah, Rein." Perceval melepaskan tangannya dari pinggang Serena saat mereka sampai di dalam kamar.
"Aku sudah tidur tadi."
"Jangan membantah, kau butuh istirahat."
Serena mendengus pelan. "Baiklah. Dasar pemaksa!" Serena membaringkan tubuhnya. Saat ia akan mengambil selimut, pria itu terlebih dulu mengambilnya, lalu menyelimuti dirinya.
"Istirahatlah." Perceval mencium kening Serena, ia tersenyum sesaat sebelum melangkah keluar kamar.
Serena hanya bisa mendengus, sesaat kemudian senyuman tipis tercipta di wajah cantiknya. Perlahan ia menutup mata, seiring dengan jantungnya yang berdebar lebih cepat.
Perceval menyandarkan tubuhnya di tembok, tak jauh dari kamar tidur.
"Luc, aku ingin minta bantuanmu," ucap Perceval saat Lucas mengangkat panggilan teleponnya.
"Tuan muda?"
"Hm. Suruh orangmu untuk menyelidiki siapa orang yang berniat mencelakai Serena. Dia hampir tenggelam di sini."
"Apa? Lalu bagaimana keadaan nona, apakah dia baik-baik saja, Tuan?"
"Dia baik-baik saja." Perceval menoleh ke arah kamar. Sepertinya gadis itu sudah terlelap.
"Apakah ada orang yang anda curigai sebagai pelakunya?"
Perceval menghela napas. "Entahlah. Aku tak tahu. Terlalu banyak rival bisnisku yang tak suka padaku. Aku hanya tak menyangka, mereka berani menyakiti Serena."
"Baiklah, Tuan muda. Akan saya perintahkan anak buah saya untuk mencari informasinya."
"Baiklah. Aku tunggu kabar baiknya, Luc." Perceval menutup panggilan teleponnya. Ia melangkah masuk ke dalam kamar, mendekati Serena yang sudah terlelap.
"Akan aku pastikan, mereka menerima akibatnya. Mereka sudah berani menyatimu, Rein."
Menyakiti gadis yang aku cintai.
** Thank You **
Bagaimana part ini? Memuaskan? Aneh? 😂😅
Sikap Percy lebay ga sih? 😅
Oiyaa, kalau ada kritik dan saran, silahkan bilang aja. Aku sangat terbukaaaa menerimanya hehe
Makasih yaa, udah selalu setia baca dan vote POP..
Salam hangat,
Rifa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top