Piece Of Puzzle | Part 25 : Honeymoon [3]

Halloooooo 😆😆 Ketemu lagi sama Percy & Serena.. 😊

Kangen enggak? 😅

Maafkan baru up. Biasalah sibuk 😂😋

Part ini khusus buat kalian yang setia baca cerita POP, dan yang selalu nunggu kelanjutannya..

Oiya, ini pertama kali aku pakai mm lagu Indonesia 😂😅 semoga menikmati...

Salam kenal lagi buat silent reader dari author manis.. Wkwkwk 😆

Don't copy my story!! Be kreatif 😁

** Happy Reading **

Sedang apa ia di sini??

Satu pertanyaan itu terus berputar di kepala Serena. Ia tak menyangka dari luasnya bumi, banyaknya kota dan negara, gadis itu malah berada di Bali saat ia dan Perceval sedang berlibur di kota ini. Serena mengempaskan pantatnya di dudukan toilet.

Apa Perceval tahu kalau Alexa sedang ada di Bali? Serena menggeleng. Tidak, pria itu pasti tak tahu. Kalau ia tahu kekasihnya berada di kota yang sama, mungkin ia akan segera menemui gadisnya.

"Ayo, sayang. Kemarilah," ucap Alexa dengan nada manja.

"Sure, babe ...."

Hanya suara-suara seductive yang bisa ia dengar saat ini. Dia bukan gadis polos kemarin sore yang tak tahu apa yang akan mereka lakukan. Namun, di toilet umum? Really?! Astaga.

Suara gedebuk pintu yang cukup keras membuat Serena terlonjak kaget. Ia menutup mulut dengan kedua tangan, berharap pekikan yang keluar dari mulutnya tadi tak terdengar oleh gadis itu.

Suara decapan khas orang yang sedang bermesraan menguar di dalam toilet. Udara disekitar Serena bahkan terasa ikut menipis akibat ulah dua insan yang sedang memadu kasih itu.

Serena hanya bisa menelan saliva. Kenapa ia harus terjebak dalam suasana awkward seperti ini? Jantungnya terasa berpacu, tubuhnya bahkan mulai memanas beriringan dengan darahnya yang terus berdesir. Meski ia tak melihat kegiatan mereka, tetapi pikirannya ikut melayang seiring dengan desahan Alexa yang terdengar di telinganya.

Serena gadis normal. Dia tak menampik jika saat ini hasratnya tiba-tiba naik ke permukaan, siapa pun yang berada diposisinya saat ini pasti akan merasakan hal sama.

Serena mengangkat kedua kakinya, menarik lutut hingga ke dada lalu memeluknya erat. Ia takut, jika keberadaannya saat ini diketahui oleh mereka.

"You're a great kisser, babe."

Desahan Alexa kembali terdengar di telinganya. Serena hanya bisa menghela napas berat. Tubuhnya sudah meremang sejak tadi. Bagaimana ia bisa keluar dari situasi ini? Sedangkan yang ia tangkap, kegiatan pasangan tersebut malah semakin 'brutal'.

Tiba-tiba suara dering smartphone terdengar di dalam toilet. Serena menghela napas lega, ia tak menyangka bisa merasa sebahagia ini hanya karena mendengar nada dering handphone. Namun, kegiatan keduanya malah tak terganggu sama sekali.

Nada dering smartphone kembali terdengar. Serena mengernyit. Astaga!! Itu handphone miliknya! Dengan tergesa, ia merogoh sling bag dan mencari keberadaan handphone tersebut. Gadis itu menggeram kesal. Tasnya tidak terlalu besar, tetapi hingga nada deringnya selesai pun ia sama sekali tak bisa menemukan handphone-nya.

"Is there anybody here?" tanya Alexa penasaran.

Serena terdiam, ia menutup mulut mencoba menahan napas. Rasanya jika suasana toilet sehening ini, hembusan napasnya pun pasti akan terdengar oleh Alexa.

"Hello??"

Serena berdeham pelan. "I'm so sorry. Can you just leave me alone?" ucap Serena dengan nada suara yang sengaja diberatkan. Geraman kesal terdengar dari gadis itu. Ia berdecak kasar sebelum akhirnya kembali bicara.

"Kita pergi dari sini, sayang. Mood-ku sudah hilang!" ucap Alexa kesal.

Terdengar helaan napas dari pria itu. "Baiklah, Lexi. Ayo, kita pergi dari sini."

Derapan langkah kedua insan tersebut terdengar semakin menjauh. Rasa lega benar-benar menghinggapinya. Ia masih terdiam tak bergerak, khawatir jika Alexa dan pria itu kembali ke sana. Dering handphone kembali berbunyi. Serena merogoh sling bag-nya kembali, hanya butuh satu detik sampai ia menemukan handphone-nya tersebut.

"Ada apa?" tanya Serena sedikit kesal.

"Kau di mana? Kenapa lama sekali?! Aku sudah bosan menunggumu di sini," ucap Perceval bertubi-tubi.

Serena tersenyum kecil. "Easy boy. Aku sakit perut. Sebentar lagi aku selesai." Serena berdiri kemudian membuka pintu toilet tersebut. Ia menoleh ke kanan dan kiri, mencoba melihat keadaan sekitar. Sepertinya aman. Dengan yakin, ia melangkah keluar.

"Cepatlah!!"

Serena hampir saja menjauhkan handphone-nya dari telinga karena suara Perceval yang berteriak cukup keras.

"Iya, iya." Serena memasukan kembali handphone-nya saat pria itu memutuskan panggilannya. Ia tersenyum tipis saat samar-samar melihat wajah Perceval dari kejauhan. Pria itu sedang menekuk wajahnya.

"Hei ...." Serena menyentuh bahu Perceval, pria itu menoleh dengan kesal. "Maaf, maaf. Jangan marah begitu," ucap Serena dengan nada sedikit bersalah. Mana ia tahu, kejadiannya akan seperti ini.

Perceval mendengus kesal. "Kau membuatku menunggu!!"

"Iya, aku tahu. Maafkan aku. Sekarang, tersenyumlah." Serena menarik sudut bibirnya dengan kedua jari telunjuk, membentuk sebuah senyuman.

Perceval hanya terdiam, menatap iris cokelat gadis itu dengan pandangan dalam. Ia berdiri, lalu mengecup bibir Serena cepat. "Ayo kita makan." Perceval menyentuh pergelangan tangan Serena lalu menarik gadis itu menjauh dari arah pantai. Ia berjalan dengan langkah lebar, diikuti Serena dari belakang.

Serena hanya bisa mengerjapkan mata, mulutnya kering tak bisa berkata apapun. Jantungnya berdetak tak karuan, seiring dengan wajahnya yang memerah semerah tomat. Tentu saja, pria itu sama sekali tak menyadarinya. Serena menutup mulutnya dengan punggung tangan. Mencoba menutupi sebagian wajahnya karena rasa malu yang tiba-tiba mendera.

Namun, wajah merona itu tak bertahan lama, saat kejadian di toilet tadi tiba-tiba menghantam kesadarannya. Ia takut, jika mereka sampai bertemu Alexa di restoran tersebut.

"P-Percy. Aku ingin ke coffee shop saja," ucap Serena dengan nada sedikit gugup. Pria itu menoleh sambil mengernyitkan alis. Serena hanya bisa menundukkan wajah, tak mampu melihat iris mata biru Perceval.

"Kau, kan, belum makan," ucap Perceval dengan nada kesal sekaligus khawatir.

Jantung Serena semakin berdebar. Tak bisakah Perceval berhenti bersikap seperti ini? "D-di coffee shop, kan, juga ada." Serena masih menundukkan wajah, tak berani mengangkat wajahnya yang ia yakin pasti masih memerah.

"Tapi di sana hanya ada roti." Perceval membenarkan beberapa helai rambut Serena, lalu menyelipkannya di belakang telinga gadis itu.

Mau tak mau, Serena mengangkat wajahnya saat Perceval dengan perlahan mengangkat dagunya dan tersenyum ke arahnya. Namun, senyuman itu langsung menghilang dari wajah tampannya.

"Wajahmu memerah. Kau kenapa? Kau sakit??" tanya Perceval panik. Ia menyentuh dahi Serena dengan punggung tangannya, lalu menangkup wajah Serena dengan kedua tangan.

"Aku tidak memerah, maksudku kita ke coffee shop saja." Serena merutuki diri dalam hati. Apa yang baru saja ia katakan?? Sungguh, ia terlihat sangat bodoh sekarang. Dengan telapak tangan yang sedikit basah, ia menarik Perceval dan segera membalikkan badan. Gadis itu melangkah menuju coffee shop yang jaraknya tak jauh dari pantai.

Pikiran Serena melayang. Ia tak bisa membayangkan bagaimana jika Perceval sampai tahu kekasihnya itu selingkuh di belakangnya? Apa yang harus ia lakukan? Ia tak ingin berbohong pada pria ini, tetapi ia juga tak ingin jika pria ini terluka. Sungguh, ini sangat menyebalkan. Dua pilihan yang sulit, dan ia bingung harus memilih yang mana.

Serena mengedarkan pandangan ke dalam coffee shop sebelum ia melangkah masuk. Tubuhnya seketika menegang, saat ia melihat Alexa duduk di salah satu pojok kursi bersama laki-laki tadi, sambil terus bercengkrama dan sesekali mengecup bibir pria tersebut. Serena berbalik lalu menatap Perceval dengan wajah panik. "Kita pergi ke tempat lain saja."

"Huh?" Perceval mengernyitkan alis. "Kau sendiri yang ingin ke sini." Perceval semakin mengerutkan alisnya bingung.

"Aku berubah pikiran."

"Memangnya ada apa di dalam?" Perceval mengedarkan pandangannya.

Panik, tentu saja. Tanpa pikir panjang Serena menangkup wajah Perceval dan mengecup bibirnya. Hanya beberapa detik, tetapi mampu membuat jantung keduanya berdebar hebat. Ia melepaskan kecupannya dengan sedikit linglung. Apa yang baru saja ia lakukan?

Jangan tanya bagaimana reaksi Perceval saat ini. Netra pria itu membulat kaget. Ia bahkan sampai mengerjapkan matanya beberapa kali, seperti tak percaya dengan aksi yang baru saja Serena lakukan. Perceval menyentuh bibirnya perlahan. "Kau ... menciumku?"

Rasa gugup langsung menghinggapi Serena, semburat merah kembali menghiasi wajahnya. "A-aku ...." Serena berdeham pelan, mencoba mengendalikan detak jantungnya yang terus bertalu sejak tadi. "L-lupakan saja! Sebaiknya kita kembali ke cottage." Serena membalikkan badan, dengan langkah lebar ia meninggalkan Perceval.

Perceval hanya bisa mengulum senyum melihat kelakuan Serena. Hatinya membuncah senang melihat kegugupan gadis itu. Bukannya ia tak bahagia gadis itu menciumnya, tetapi melihat kegugupan gadis itu keyakinan di hatinya semakin besar. Ia yakin, gadis itu juga memiliki perasaan yang sama. "Tunggu, Rein!" Perceval berlari kecil mengejar Serena. Terdengar sumpah serapah yang keluar dari mulut gadis itu. Perceval hanya bisa tertawa geli.

"Rein." Perceval menarik tangan Serena, membuat gadis itu mau tak mau membalikkan badan.

"Apa?!" tanya Serena kesal.

Perceval menyeringai. "Kau ingin kita meneruskannya di cottage?"

"Hah?" Serena mengernyit bingung. "Astaga. Demi Tuhan, Perceval! Bisakah kau tak berpikiran mesum?!"

Perceval mengangkat bahu. "Kau yang memulainya."

"Aku tak, tunggu. Memulai apa?"

"Kau tahu maksudku. Kau menggodaku." Perceval menyeringai nakal, membuat tubuh Serena merinding.

"Aku tak menggodamu! Ah, lupakan!!" Serena menggeram kesal. Ia kehabisan kata-kata jika berhadapan dengan pria ini.

Tiba-tiba rintik hujan mulai membasahi kota Bali. Bau khas tanah yang terkena air hujan langsung menguar. Orang-orang yang sedang berada di jalanan langsung berlari dengan tergesa, mencoba mencari tempat berlindung.

"Ah, hujan!" Langit memang sudah mendung sejak tadi, tetapi Serena tak menyangka jika hari ini hujan akan turun dengan lebatnya. Ia mengangkat sling bag-nya ke atas kepala, berharap bisa sedikit menghindari tetesan air hujan yang mengenai kepalanya.

"Pakai ini." Perceval melepaskan jaket kulitnya, kemudian memasangkannya di kepala Serena. Ia membenarkan jaketnya agar bisa menutupi bahu gadis itu.

"Ayo, kita cari tempat berteduh," ucap Perceval sambil menarik tangan Serena. Ia berlari kecil mencoba berteduh di salah satu toko yang cukup sepi.

Serena hanya bisa terdiam. Matanya menatap rintik hujan yang terus menetes membasahi bumi. Segala perlakuan Perceval padanya kembali membayangi pikiran Serena. Perhatian-perhatian kecil yang diberikan pria itu, perlahan meluluhkan hati gadis itu. Ia melirik ke arah pria di sampingnya. Baju Perceval basah kuyup, ia yakin pria itu pasti kedinginan, lihat saja tubuhnya yang sedikit menggigil. Baru saja ia ingin melepaskan jaket Perceval, tetapi pria itu langsung menahannya.

"Jangan dilepas, aku tak ingin kau sakit. Kita kembali ke cottage naik taksi saja."

"Tapi bagaimana dengan motornya?"

"Nanti aku akan kembali untuk mengambilnya."

Serena mengangguk.

Perceval memberhentikan taksi yang kebetulan lewat di depan mereka. Ia berlari, lalu membuka pintu penumpang dengan cepat. "Ayo, Rein. Masuklah!"

Serena mengangguk, sesaat kemudian ia berlari masuk ke dalam taksi. Tak lama Perceval ikut masuk dan langsung ke menutup pintunya. "To Amor Cottage."

Supir taksi tersebut mengangguk, ia lalu mulai menjalankan taksinya memecah jalanan kota Bali yang sedang diguyur hujan dengan begitu derasnya.

"Percy, sebaiknya buka bajumu, dan pakai jaket ini."

Perceval menoleh. Ia membuka bajunya, tetapi tangannya menolak menerima jaket yang diulurkan Serena. "Pakai saja. Kau pasti kedinginan." Perceval menyeka air hujan di badannya dengan kaus yang ia pakai.

"Tapi kau kehujanan, kau yang lebih membutuhkannya."

Perceval menoleh kembali, ia membenarkan rambutnya lalu menyisirnya ke belakang dengan jari-jari tangan, sesaat kemudian ia tersenyum menggoda. "Kau menghawatirkanku?"

Serena tertegun. Ia membuka mulutnya lalu mengatupkannya kembali.

Perceval hanya bisa mengulum senyum, mendapatkan reaksi seperti itu dari gadis di sampingnya.

"A-aku tidak mengkhawatirkanmu! Aku hanya tak ingin kalau aku harus merawatmu saat kau sakit. Itu saja!" Serena mengalihkan pandangan ke luar jendela, mengabaikan Perceval yang masih tertawa pelan.

"Kemarilah, aku kedinginan." Perceval memeluk bahu Serena, lalu menariknya ke dalam dekapannya.

"A-apa yang kau lakukan?" Serena mencoba menarik tubuhnya, tetapi pria itu semakin mengeratkan dekapannya.

"Sebentar saja, Rein. Diamlah, sebentar saja."

Serena terdiam. Berada sedekat ini dengan Perceval membuat jantungnya kembali berdebar. Napasnya bahkan terasa berat. Jangan tanya bagaimana wajahnya sekarang, karena ia yakin wajahnya pasti kembali memerah.

"Kau hangat, Rein." Perceval mengecup kepala Serena pelan. Gadis itu selalu bisa memberikan kehangatan yang ia butuhkan, kehangatan dalam artian sebenarnya. Senyum tipisnya, kata sarkasnya, perhatiannya, bahkan pandangan matanya yang terkadang begitu dingin. Semua yang berhubungan dengan gadis itu selalu bisa membuat hatinya menghangat.

"Argh! L-lepaskan!!" Serena menarik tubuhnya, lalu melemparkan jaket kulit ke arah dada Perceval yang polos. "P-pakai ini, jika kau kedinginan." Serena kembali menolehkan wajah ke luar jendela, ia berdeham pelan.

Perceval hanya bisa tersenyum tipis saat melihat semburat merah muncul di telinga Serena.

Tak butuh waktu lama, hingga keduanya sampai di cottage. Hampir tiga jam berlalu hingga hujan reda. Yang dilakukan Perceval dan Serena hanya menonton acara TV yang di pasang di ruang tengah.
"Percy, aku ingin membuat hot chocolate, kau mau?" Serena menekan remote TV, memindahkan channel ke acara wild animal.

"Percy?" Serena menoleh saat tak ada jawaban dari pria di sampingnya. Pria itu sedang terlelap. Namun, bukan itu yang membuat Serena mengernyit dengan wajah penuh khawatir. Wajah Perceval memerah, dengan keringat yang menetes dari dahinya.

"Ya ampun, panas sekali!" pekik Serena kaget saat ia menempelkan telapak tangan di dahi Perceval. "Hei, Percy! Bangun!" Serena menepuk pipi Perceval, tetapi tak ada respon sama sekali. Ia menghela napas, dengan ragu ia membopong tubuh Perceval ke dalam kamar. Pelan, tetapi pasti, akhirnya ia sampai di samping ranjang.

Dengan perlahan, Serena meletakkan Perceval di atas kasur. Napasnya terengah. Ia tak menyangka, membopong seorang pria yang sedang sakit akan seberat ini.

Serena membenarkan letak tubuh Perceval, kemudian menyelimutinya. Ia mengambil handuk kecil dari kamar mandi, lalu menyeka keringat yang sejak tadi menetes dari dahi Perceval. Serena mengambil handphone di atas nakas, lalu membuka aplikasi messanger.

Serena James Queen :
Lyn, apa Perceval mudah sakit?

Cherlyn Louv Bennet :
Sebenarnya, tidak. Dia hanya mudah sakit, jika dia terkena air hujan. Sejak kecil dia tak bisa tahan pada air hujan. Memangnya kenapa, Ka?

Serena James Queen :
Bukan apa-apa. Ya sudah kalau begitu. Aku harus pergi.

Serena menghela napas berat. Ia menoleh ke arah Perceval.

"Kenapa kau melakukan hal itu? Kau tahu kalau kau tak tahan dengan air hujan, tapi kenapa kau malah melakukannya?" tanya Serena dengan nada bergetar. Ia mendongak ke atas, mencoba menahan air mata yang tiba-tiba memaksa keluar. Hatinya terasa berdenyut, pria ini sudah terlalu banyak berkorban untuknya.

Serena menghapus kasar air mata yang berhasil menetes. "Dasar, pria bodoh." Serena tersenyum getir. Ia kembali melihat kontak di handphone-nya, mencari satu nama lalu segera melakukan panggilan.

"Hallo?"

"Na, ini aku."

"Rein?"

"Hmm."

"Kau sedang di Indonesia?" tanya Nana--sahabat Serena yang tinggal di Bali.

"Yup. Aku sedang di Bali."

"Apa?! Kenapa tak bilang? Kapan sampai?"

"Semalam. Aku ingin meminta tolong padamu, Na. Bisakah kau datang ke cottage tempatku tinggal? Ada seseorang yang sedang sakit di sini," ucap Serena dengan nada khawatir. Ia kembali menyeka dahi Perceval.

"Siapa?"

Serena termangu. Siapa? Ia kembali menatap Perceval. Pria ini bukan temannya. Ia juga bukan kekasihnya. Lalu, apa ia harus mengatakan jika pria ini tunangannya?

Serena menghela napas pelan. "Nanti aku jelaskan. Cepatlah datang kemari."

Dengusan pelan terdengar dari seberang. "Ya sudah. Kirimkan alamatnya, aku segera ke sana."

"Baiklah." Serena menutup panggilan teleponnya, lalu segera mengetik alamat dan mengirimkannya melalui pesan singkat.

Tak butuh waktu lama, hingga Nana datang ke cottage tersebut.

"Bagaimana keadaannya, Na?" tanya Serena sesaat setelah mereka duduk di ruang tengah.

Nana mengambil minuman soda yang Serena berikan, lalu membukanya. "Dia baik-baik saja. Hanya demam. Aku sudah menyimpan beberapa obat dan aku simpan di atas nakas. Nanti setelah makan, berikan dia obat itu."

"Terima kasih, Na."

"Kau berutang penjelasan padaku." Nana menyilangkan kedua tangan di depan dada.

"Ceritanya panjang, Na." Serena menghela napas.

"Hari ini aku tak punya janji, jadi aku punya banyak waktu untuk mendengarkan ceritamu." Nana tersenyum. "Dua minggu lalu kau masih berstatus kekasih Victor. Sekarang lihat, kau bersama laki-laki lain di Bali, memakai cincin berlian di jari manismu, dan kalian sedang honeymoon." Nana kembali meminum soda kalengannya.

"Aku tidak sedang honeymoon. Lagipula, kami dijodohkan!"

Nana langsung tersedak saat ia mendengar kata dijodohkan. Ia menyeka sudut bibirnya. "Benarkah?"

Serena mengangguk yakin. Tak ada keraguan sama sekali. Ia memutar bola matanya, saat ekspresi wajah Nana berubah seketika. Ini dia.

"Rein, ini 2018. Dan kau bilang, dijodohkan?" Nana tergelak dengan kencang. Tak habis pikir dengan apa yang baru saja ia dengar.

Serena mendengus kesal. "Sialan! Jangan tertawa lagi, Na." Serena menatap Nana dengan tatapan tajam.

"Maaf, Rein." Nana tertawa pelan.

"Ibuku yang menjodokan kami. Orang tua Perceval dan orang tuaku ternyata bersahabat sejak dulu."

Nana mengangguk. "Tapi pria itu sangat tampan. He's really hot. Hanya dengan melihatnya, bahkan bisa membuat tubuhku terangsang. Bagaimana kau bisa bertahan di dekatnya, Rein? Kau belum melakukan 'itu' dengannya, kan?" tanya Nana dengan menekan kata itu.

"Jaga bicaramu, Na! Dia bisa dengar!" Serena mencubit pinggang sahabatnya, membuat Nana hanya bisa meringis. Nana memang orang yang suka berbicara vulgar.

"Dia sedang tidur, dia tak akan mendengarnya. Kau menyukainya?" tanya Nana to the point.

Serena tersedak. Ia bahkan tak sedang makan atau minum apapun. "Kau bilang apa?"

"Kau menyukainya?"

Serena terdiam. Butuh beberapa detik hingga akhirnya ia menjawab. "T-tidak, tentu saja tidak."

Nana tersenyum dengan mata yang terus menyelidik. Ia terlalu mengenal sahabatnya yang satu ini. Namun, suara berisik dari dalam kamar membuat keduanya menoleh.

"Tunggu sebentar." Serena berdiri kemudian melangkah masuk ke dalam kamar. Ia melihat Perceval tertidur dengan napas terengah. "Hei, hei. Tenanglah, aku di sini." Serena menggenggam tangan Perceval, lalu mengusapnya pelan.

"Jangan ... aku mohon, jangan pergi," lirih Perceval pelan. Tiba-tiba air matanya menetes.

Serena mengerjap. "Bagaimana ini? Apa karena demam dia jadi seperti ini?" tanya Serena panik.

"Jangan tinggalkan aku, Rein ...."

Serena tertegun. Kenapa namanya malah disebut? "Hei, Perceval. Tenanglah, aku ada di sini," bisik Serena tepat di telinga Perceval. Ia mengelus pelan rambut pria itu. "Aku tak akan meninggalkanmu, Percy." Serena memeluk tubuh Perceval, mendekapnya erat. Entah mengapa, hatinya merasa sangat khawatir. Ia tak suka melihat pria itu terbaring lemah tak berdaya seperti ini.

Beberapa saat kemudian, ia mendongak ke atas. Serena akhirnya mengembuskan napas lega. Wajah Perceval sudah berubah menjadi lebih tenang.

"Manis sekali, kau membuatku iri, Rein."

Serena terlonjak kaget, ia langsung melepaskan pelukannya pada tubuh Perceval. Ia lupa, kalau Nana masih berada di sini.

Nana menyandarkan tubuh pada tembok sambil menyilangkan tangan. "Kau ini. Kau bilang, kau tak menyukainya. Tapi wajah dan sikapmu tak bisa berbohong."

Serena mengernyit bingung.

"Ayolah, Rein. I know you. Seorang Serena tidak akan pernah memeluk sembarang pria." Nana tersenyum puas, saat Serena memutar bola matanya.

"Jangan bicara sembarangan!"

Nana menggendikkan bahu. "Berapa lama kau di sini?"

"Empat hari lagi."

"Kau harus jalan denganku!"

Serena mengangguk setuju.

"Kalau kau sedang gundah dengan perasaanmu padanya, minumlah denganku!"

Serena mendengus pelan. "Itu tak akan terjadi!"

"Aku malah merasa sebaliknya, Rein." Nana tersenyum menggoda.

"Sudahlah, sebaiknya kau pergi sana!" Serena berdiri kemudian mendorong tubuh Nana menuju pintu keluar cottage.

"Ya ampun, kau mengusirku? Kau benar-benar melukai hatiku, Rein. Hanya demi berduaan dengan lelaki itu, kau bahkan rela mengusir sahabatmu sendiri?" ucap Nana dengan ekspresi terluka yang dibuat-buat.

"Berisik!!"

Nana tergelak. "Baiklah. Sampai bertemu." Nana memeluk Serena erat. "Jangan menerkamnya selagi dia tidur, Rein," bisik Nana tepat ditelinga Serena. Ia langsung melepaskan pelukannya lalu berbalik melangkah menjauh sebelum sahabatnya itu menumpahkan kemarahannya.

Semburat merah muncul di wajah Serena. "Nana!!" teriak Serena kesal.

Nana tergelak. Ia melambaikan tangan tanpa berbalik sedikit pun. Membuat Serena semakin kesal dibuatnya.

** Thank You **

Bagaimana part ini? Hahaha. 😂😆😆 apakah menurut kalian, ceritanya jalan di tempat? Apakah ada kemajuan dalam hubungan Percy & Serena?

Apa part ini terlalu panjang? Dua part terakhir panjangnya segini, takut pada bosen bacanya 😂😅

Salam kenal lagi buat para silent reader. 😆😆

Salam hangat,

Rifa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top