Piece Of Puzzle | Part 24 : Honeymoon [2]
Hallo semuanyaa 😆 ketemu lagi sama Percy 😊
Ada yang nunggukah cerita ini? Hahaha *ngarep 😂
Salam kenal buat para silent reader dari author manis wkwkwk maafkan jika aku ga pernah menyapa kalian, karena kalian ga pernah meninggalkan jejak 😅 jadi aku ga kenal deh.. Haha
Don't copy my story!! Be kreatif 😁
** Happy Reading **
Sebuah senyuman manis tercipta di wajah Perceval, senyum yang bahkan tak pernah ia perlihatkan sebelumnya. Hanya dengan melihat Serena yang sedang tertidur di sampingnya dengan wajah yang damai, membuat hatinya membuncah senang.
Jujur, semalam ia tak bisa tidur dengan tenang. Coba saja kalian bayangkan, Serena tiba-tiba mengigau dan mengatakan hal-hal yang aneh sambil membuka kemeja dan celana jeans-nya, menyisakan underwear hitam yang saat ini ia gunakan.
Perceval yang merupakan laki-laki normal, tidur di samping seorang gadis yang sangat seksi juga memesona--dan dalam keadaan setengah telanjang. Ya Tuhan ... jangan tanyakan berapa kali ia bolak-balik ke kamar mandi untuk melampiaskan hasratnya. Sampai akhirnya ia menyerah dan berakhir dengan memeluk gadis itu satu jam yang lalu. Jika mengingat itu, rasanya ia ingin tertawa--lebih tepatnya mentertawakan diri sendiri.
Gerakan halus dari Serena membuat Perceval mau tak mau melepaskan pelukannya. Perlahan gadis itu membuka kelopak matanya.
"Tidur nyenyak?"
Serena hanya bergumam sambil mengucek matanya. "Sedang apa kau di kamarku?"
Perceval mendengus pelan. "Kamar kita," ralatnya.
Serena terdiam beberapa saat, sepertinya gadis itu sedang mencoba mengumpulkan kesadaran. Ia mengangguk, lalu menguap lebar. "Aku masih mengantuk," ucap Serena dengan mata sayup-sayup. Dia kembali meringkuk, menarik selimut hingga ke dada.
Perceval hanya bisa mengerjap. Ia benar-benar tak menyangka dengan apa yang baru saja ia lihat. Gadis itu menguap lebar di depannya! Coba saja lihat gadis lain, mereka pasti akan selalu berusaha terlihat cantik di depannya. "Jangan tidur lagi, cepat bangun!"
"Aku masih mengantuk," gumam Serena hampir tak terdengar.
Seringaian kecil tercipta di wajah Perceval. Perlahan ia menundukkan wajah, menumpukan tubuh dengan kedua tangan, lalu mencium bibir Serena. Bukan hanya mencium, ia bahkan dengan berani mengecap bibir gadis itu. Disela ciumannya, Perceval tersenyum puas saat mata gadis itu terbuka dengan ekspresi kaget.
Serena mendorong bahu Perceval dengan napas terengah-engah. "Sialan! Apa yang kau lakukan?!" sentak Serena dengan tatapan tajam, ia langsung terduduk.
Perceval tersenyum tipis. "Bonjour."
Darah Serena tiba-tiba mendidih hingga ubun-ubun. Ini masih pagi, dan pria itu sudah mencari masalah dengannya. Dengan cepat, ia mengambil bantal dan memukulkannya ke kepala pria itu. "Berhenti menciumku sembarangan, dasar berengsek!!"
Perceval mengangkat jari telunjuknya, menempelkannya di depan dagu. Ia mengerutkan alis, berpikir keras. "Aku tak bisa."
Serena mengernyit bingung.
"Bibirmu rasanya manis, aku suka." Perceval tersenyum dengan wajah polosnya. Gadis itu membuka mulut, tetapi langsung mengatupkannya kembali. "Ayo, ganti bajumu." Perceval menyingkirkan selimut, lalu melangkah keluar ranjang.
Serena menganga, wajahnya tiba-tiba memanas saat matanya mengikuti gerakan tubuh Perceval. Pria itu shirtless, memperlihatkan six packs yang sangat menggoda. Lihat saja perut kotak-kotak yang terbentuk, dan otot tangan yang terlihat sangat menggiurkan. Ia hanya bisa menelan saliva, sesaat kemudian mengalihkan pandangan. Mencoba menyembunyikan wajahnya yang ia yakin pasti sudah memerah. "P-Percy. Pakai baju dan celanamu!!"
"Kenapa harus? Kau saja hanya memakai underwear."
Serena mengernyit tak mengerti. Perlahan matanya melirik ke bawah. "Sh*t!" Jantung Serena seakan mau copot. Dengan cepat ia menarik selimut hingga menutupi dada. Matanya melirik ke lantai, mencari kemeja dan celana yang semalam ia gunakan. "Kau membuka bajuku?!" tuduh Serena saat ia melihat kemeja dan celananya berserakan di lantai.
Perceval mendengus. Ia menoleh perlahan sebelum membuka pintu kamar mandi. "Kenapa kau selalu berpikiran buruk tentangku? Kau sendiri yang membuka bajumu."
Serena menatap Perceval dengan tatapan menyelidik.
"Terserah kalau kau tak percaya." Perceval mengangkat bahu tak acuh. "Cepat siap-siap. Kita akan jogging pagi."
Serena menoleh ke luar jendela, awan gelap masih menyelimuti kota Bali. Ia mengambil handphone yang ia simpan di atas nakas. "Ini masih pukul empat pagi, Percy."
"Jogging pagi baik untuk kesehatanmu."
"Kau mau apa?"
"Mandi. Kau mau mandi bersamaku?" Perceval menyeringai nakal.
"Jangan harap!"
Perceval tertawa pelan sebelum akhirnya ia masuk ke dalam kamar mandi.
Serena hanya bisa menghela napas. Ia tak sadar jika sejak tadi, ia tak memakai baju sama sekali. Serena terus menggerutu sambil memunguti baju dan celana yang berserakan di lantai. Gadis itu keluar kamar, menuju kamar mandi yang terletak tak jauh dari kolam renang.
Butuh waktu 15 menit sebelum akhirnya ia keluar dari kamar mandi, memakai hoodie berwarna abu tanpa resleting dan celana training merah 3/4. Sebenarnya celana ini ia gunakan untuk tidur, karena jogging sama sekali tak ada dalam list liburannya.
"Sudah siap?"
Serena menoleh perlahan. Matanya melebar, saat ia melihat Perceval memakai celana training panjang berwarna hitam, tank top abu dengan V-neck yang memperlihatkan rambut-rambut halus di dadanya. Jangan lupakan otot lengan yang sempat tadi ia perhatikan. Serena berdeham pelan. Ia duduk di lantai, lalu memakai sneaker merah kesayangannya.
"Oh, warna baju atasan kita sama." Perceval memakai topi baseball berwarna hitam dari salah satu merk terkenal, kemudian memutarkan topinya ke belakang. "Ayo." Perceval mengulurkan tangan, gadis itu mendongak lalu mengernyit.
"Aku bisa sendiri."
Perceval berdecak pelan. "Sudahlah, ayo." Perceval membungkuk, menggenggam tangan Serena lalu menariknya keluar cottage.
"Lepaskan! E-eh, pelan-pelan!" pekik Serena saat Perceval menariknya cepat ke arah pantai. Saat itu pantai masih sepi, tak ada seorang pun di sana. Deru ombak langsung menyapa, hembusan angin yang cukup kencang membuat tubuh Serena sedikit bergidik.
"Ayo!" Perceval melepaskan tangannya lalu tersenyum tipis, ia memutar tubuhnya sebelum akhirnya berlari menyusuri bibir pantai.
Serena tersenyum tipis. Hatinya menghangat tiap kali melihat pria itu tersenyum. Biarlah ia menikmati momen ini sebentar saja, tanpa harus menghadapi kenyataan bahwa mereka berdua sebenarnya masih memiliki kekasih--orang yang mereka cintai. "Hei, tunggu!" Serena berlari, mengikuti bayangan Perceval yang mungkin tak akan pernah bisa ia gapai sampai kapan pun.
Hampir 30 menit mereka berlari, tetapi Perceval masih belum menunjukan tanda kalau ia akan berhenti. "Percy ... istirahat dulu." Serena menyentuh bahu Perceval, dengan napas terengah-engah. Keringat meluncur dari dahinya. "A-apa kau tak lelah?" tanya Serena terbata-bata.
"Baru sebentar kau sudah begini. Jangan terlalu banyak tidur! Kau ini seorang gadis."
Serena mendengus pelan, ia mengempaskan tubuhnya di atas pasir putih. Menatap langit yang perlahan berubah warna. Semula berwarna gelap, perlahan berubah menampilkan warna biru langit yang selalu bisa menenangkan hatinya. Ah, biru langit. Ia jadi teringat iris mata biru milik Perceval.
Serena terduduk saat ia menyadari pria itu tak ada di sampingnya. Serena menyilangkan kedua kakinya. Gadis itu tersenyum tipis, saat melihat Perceval sedang bermain dengan ombak. Berusaha mengejar, tetapi saat ombak itu mendekat, ia berlari menjauh. Serena tertawa pelan. Dia seperti anak kecil.
"Rein, kemarilah!" ajak Perceval sambil melambaikan tangan.
Serena menggeleng pelan, sesaat kemudian ia berdiri bersiap berlari menjauh saat Perceval melangkah ke arahnya dengan langkah lebar. "Tidak, tidak. Ja--" ucapan Serena tertahan, saat Perceval memegang pinggangnya dan memeluknya erat dari belakang. Dalam sekali hentak, pria itu mengangkat tubuhnya lalu membawanya ke arah laut.
Serena tergelak. Ia geli diperlakukan seperti ini. "Lepaskan, Perceval!" Serena meronta sambil terus tertawa geli. Matanya membulat, saat ombak mulai mengenai kaki Perceval. "J-jangan Percy. Percy!"
Perceval melepaskan pelukannya hingga membuat tubuh Serena merosot ke bawah. Deru ombak langsung menghantam gadis itu. Meski tidak kencang, tetapi mampu membuat sekujur tubuh Serena basah kuyup. Perceval tergelak.
"Kau! Berani sekali kau!!" Serena berdiri, membenarkan beberapa helai rambut yang basah, kemudian menyelipkannya ke belakang telinga. "Kemari kau, dasar sialan!"
Tawa Perceval terus saja terdengar, seiring dengan mentari yang mulai memancarkan sinarnya. Ia berlari menjauhi Serena karena gadis itu sekarang sudah berubah menjadi singa betina yang sedang menunjukkan taringnya.
Perceval tertawa pelan. "Sudah, sudah. Perutku sakit." Perceval memegangi perutnya karena ia terlalu banyak tertawa. Ia berdeham pelan, melangkah mendekati Serena yang masih menatapnya dengan tatapan kesal.
"Kau menyebalkan, Perceval!" Serena menggeram, ia mengalihkan pandangan ke arah matahari.
"Apa aku harus berguling-guling di ombak itu dulu, agar kau tidak menekuk wajahmu lagi?" Perceval mengulum senyum saat Serena menoleh ke arahnya lalu memutar bola matanya malas. "Kemarilah." Perceval menarik tangan Serena, ia melangkah lalu mengajaknya duduk di atas pasir. Tangan gadis itu sedikit bergetar. "Kau kedinginan?" Perceval menoleh dengan wajah khawatir.
"Sedikit."
Perceval menarik kedua tangan Serena, menggosoknya perlahan, lalu meniupnya lembut. Berharap sedikit kehangatan bisa dirasakan gadis itu.
Serena hanya bisa tertegun. Ia bisa merasakan kehangatan itu. Namun bukan di tangannya, melainkan di wajah dan juga hatinya. Serena berdeham pelan, ia mengalihkan pandangan seiring dengan detak jantungnya yang berpacu. Jika tangannya tak dipegang pria itu, ia pasti sudah menggunakan kedua tangannya untuk menutupi wajah karena malu.
"Buka hoodie-mu kalau begitu."
Serena menoleh kaget. "Aku tak mau, enak saja!"
"Kenapa? Memangnya kau tak memakai apapun di dalam sana?" tanya Perceval penasaran.
"Bukan begitu."
"Ya sudah, cepat lepaskan hoodie-mu. Apa kau ingin kalau kau sakit?!"
Serena melirik Perceval tajam. Memangnya siapa yang membuat dia jadi basah kuyup begini? Serena mendengus pelan. Dengan ragu, ia melepaskan hoodie-nya, menampilkan bra putih yang ia gunakan. Dengan gerakan cepat, ia menutup bagian depan tubuhnya dengan hoodie basah yang ia gunakan tadi.
"Pakai ini."
Serena menoleh. Perceval mengulurkan tank top abu yang sempat ia gunakan tadi. Pria itu tak memakai atasan apapun, tetapi sepertinya ia sama sekali tak peduli saat angin laut menerpa tubuhnya. Lagi-lagi, hatinya menghangat hanya karena perlakuan kecil seperti ini.
"Pakailah."
Perlahan Serena mengambil tank top tersebut. Ia mengalihkan pandangan, saat menyadari sudut matanya telah berair. Ia sungguh terharu. Victor bahkan tak pernah seperhatian ini kepadanya. Dengan tangan bergetar, Serena memakai tank top tersebut. Wangi musk khas tubuh Perceval langsung menyeruak ke indera penciumannya, membuat jantungnya kembali berdebar.
"Sebentar lagi matahari terbit." Perceval menunjuk mentari yang mulai menampakkan dirinya.
Serena menoleh, menatap ke arah depan. Perlahan matahari mulai bergerak ke atas. Langit yang awalnya gelap, berubah menjadi jingga. Dikelilingi dengan langit biru di sekitarnya, membuat matahari terbit selalu terlihat mempesona. "Cantik sekali ...." Serena tersenyum tipis. Matanya berbinar menikmati keindahan yang telah Tuhan berikan. Ia lupa, kapan terakhir kali ia bisa menikmati keindahan alam seperti ini.
"Ya, cantik sekali ...." Perceval menatap wajah Serena yang terpantul sinar mentari. Jika ia bisa menghentikan waktu, ia mungkin akan meminta waktu agar berhenti saat ini juga. Ia menyadari, jika ciptaan Tuhan yang berada di sampingnya ini, bahkan lebih indah dari apapun juga.
"Rein ...."
"Hm?"
"Aku mencintaimu ...."
Deru ombak yang membentur karang terdengar begitu keras, hingga bisikan Perceval bahkan tak terdengar sama sekali di telinga Serena. "Kau bilang apa?" Serena menoleh, ia mengernyitkan alis bingung.
"Ah, m-maksudku ... a-apa hal yang paling kau sesali dalam hidupmu?" tanya Perceval sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sial! Bagaimana bisa ia keceplosan seperti tadi?
Alis Serena semakin mengkerut dalam. Kata yang ia dengar tadi, tak sepanjang pertanyaan barusan. Ia menggeleng pelan, mungkin hanya perasaannya saja. "Hmm, apa ya? Entahlah. Mungkin hal yang paling aku sesali, saat aku tak bisa menghabiskan waktuku lebih banyak bersama mom." Serena tersenyum hambar.
Lidah Perceval kelu. Ia salah bertanya!
"Saat itu umurku delapan tahun." Serena menatap langit, mencoba memutar kembali memori kusut yang sempat ia lupakan. "Kecelakaan itu terjadi, saat mom dan Sam kembali dari toko kue. Semua terjadi begitu cepat. Saat di rumah sakit aku bahkan belum mengerti, mengapa mom tetap menutup matanya bahkan saat aku menyentuhnya dan memanggilnya berkali-kali," ucap Serena dengan nada bergetar. Ia menautkan jari jemarinya, mencoba mencari kekuatan dari sana.
Perceval menghela napas. Ia menggenggam tangan Serena, mencoba memberikan sedikit ketegaran pada gadis itu. "Tak perlu diceritakan, jika itu memang menyakitkan untukmu."
Serena menggeleng pelan, entah mengapa ia ingin menceritakan ini pada pria itu. "Kau tahu, saat pemakaman berlangsung. Aku ... bertanya pada dad, mengapa ia tega sekali mengurung mom di tempat sepi dan gelap seperti itu?" Mata Serena kembali menerawang. "Dengan polosnya aku berlari ke rumah, mengambil lampu pijar. Aku mengatakan pada dad, bahwa aku akan menemaninya agar mom tak kesepian. Namun, yang dad lakukan saat itu ... hanyalah memelukku tanpa berbicara sepatah kata pun." Serena tersenyum miris seiring dengan air mata yang menetes. Ia mengangkat tangan mencoba menyeka air mata yang keluar, tetapi pria itu menahannya. Serena menoleh.
Perceval tersenyum lalu menyeka air matanya dengan kedua ibu jarinya. Ia menarik tubuh Serena ke dalam pelukannya, lalu mencium kepala gadis itu perlahan. "Jangan bersedih lagi, Rein. Aku yakin, mommy pasti akan sangat bangga padamu." Perceval memeluk tubuh Serena semakin erat. "Dia memiliki anak yang hebat sepertimu. Apalagi, hebat dalam berciuman." Perceval menggigit bibir, mencoba menahan tawa.
Serena tertegun. Apa katanya?! Ia dengan cepat melepaskan pelukan Perceval, menatapnya dengan tatapan horor. "Apa hubungannya dengan itu?? Lagipula, bagaimana kau tau kalau aku hebat dalam berciuman?"
Serena tertegun, ia salah bicara! "M-maksudku ...." Serena berdeham pelan, berusaha menutupi kegugupan yang tiba-tiba melanda.
"Oh, kau ingin kita membuktikannya saat ini?" Perceval menyeringai, ia mendekatkan wajahnya perlahan. Matanya terus menatap iris cokelat Serena dengan dalam.
Serena yang menyadari tatapan itu menunduk. Duh, ia salah mengalihkan pandangan! Yang ia lihat sekarang malah tubuh atas Perceval yang telanjang. Wajah Serena perlahan memanas, seiring dengan darahnya yang berdesir. Jantungnya juga berdentum tak karuan. Wajah Perceval terlalu dekat, ia bahkan bisa merasakan hembusan napas pria itu yang semakin berat. Ya Tuhan! Napas Serena terasa tercekat.
Serena mengeratkan pegangannya pada hoodie yang sebelumnya ia pakai. Layaknya lampu yang menyala, ia tersenyum tipis. "Jangan macam-macam!!" Serena mendorong wajah Perceval dengan hoodie yang ia pegang. Rintihan pelan terdengar seiring dengan tubuh pria itu yang terhuyung ke belakang. Ia segera berdiri dan melangkah menjauhi Perceval. Dengan langkah lebar, Serena melewati taman dan kembali ke dalam cottage.
Tubuh Serena merosot, sesaat setelah ia menutup pintu kamar tidur. Napasnya terengah. Ia mengangkat tangan menyentuh dada, jantungnya berdegup kencang--kencang sekali.
Ya Tuhan, apa ini??
💕💕💕
Suara ketukan pintu kamar terdengar kembali. "Rein, cepatlah! Kita akan makan siang di luar."
Serena menghela napas. Jujur, ia masih enggan bertemu dengan pria itu. Bagaimana ia bisa mengendalikan jantungnya jika ia terus saja bersama dengan Perceval? Lebih parahnya lagi, ia harus masih bertahan empat hari ke depan. Serena memijit pangkal hidungnya lelah.
"Rein! Ayolah, kau memangnya tak lapar? Cepatlah!!"
Suara ketukan kembali terdengar, kali ini bahkan lebih keras. Serena menggeram, ia melangkah keluar dari tempat tidur lalu membuka pintu dengan kesal. "Kau berisik sekali!!"
"Aku hanya ingin makan siang, cepatlah! Aku tunggu di lobby." Perceval melangkah meninggalkan Serena yang masih terpaku.
Serena menggeleng pelan. Ia tak menyangka pria itu sangat menyebalkan dan juga pemaksa. Dengan kesal, ia mengambil sling bag hitam yang ia letakkan di atas nakas. Memakai sneaker putih lalu melangkah keluar cottage sesaat setelah ia mengunci pintunya.
"Percy, kita mau ke mana?" tanya Serena saat ia sudah sampai di lobby.
Perceval yang sedang duduk menoleh, menatap Serena dengan matanya yang tajam. Jaket kulit yang ia sampirkan di bahu membuat pria itu terlihat semakin seksi.
Serena menyelipkan beberapa helai rambut ke belakang telinganya. Sial. Mengapa ia malah gugup seperti ini? Ia seperti anak remaja yang baru merasakan pubertas.
Perceval tersenyum tipis. Gadis di depannya memakai kacamata hitam. Dengan atasan crop top putih berlengan panjang, dipadukan hot pant berwarna biru tua. Sangat simple, tetapi membuat gadis itu terlihat seksi di matanya. "Kita akan ke Kuta. Ayo!"
Serena mengangguk lalu mengikuti Perceval dari belakang. Ia mengernyit saat mereka sampai di tempat parkir. Tak ada satu pun mobil di sana. "Naik motor?" tanya Serena tak percaya. Ia memainkan jemarinya, merasa tak nyaman.
"Kenapa kau tak suka?"
Serena menggeleng pelan. Bukan karena motornya, tetapi ia tak bisa jika harus duduk berdekatan dengan pria itu. "Bukan begitu."
"Ya sudah, naik." Perceval memberikan helm berwarna hitam kepada Serena, kemudian ia sendiri memasangkan helm full face ke kepalanya.
"Ayo naik, astaga."
Serena menghela napas kasar. Dengan enggan, ia menaiki motor Ducati hitam yang entah Perceval sewa darimana.
"Pegangan, Rein." Perceval membuka kaca helmnya. Ia sedikit berteriak, khawatir jika gadis itu tak mendengarnya.
Serena mengangguk, lalu memegang kedua ujung jaket Perceval perlahan.
"Rein, pegangan!"
"Ini sudah! Kau cerewet sekali, padahal kita hanya mau makan!"
"Terserah, kalau jatuh jangan salahkan aku." Perceval menyalakan motornya, memasukan gigi, lalu menarik gasnya dengan kencang.
Tubuh Serena tersungkur ke belakang. Untung saja ia langsung memeluk Perceval, jika tidak mungkin saat ini ia sudah mencium aspal. "Demi Tuhan, Perceval! Tidak bisakah kau pelan sedikit?!" sentak Serena sambil memukul punggung Perceval dengan keras.
Perceval tersenyum tipis. Ia membuka kaca helmnya dengan tangan kiri. "Sudah kubilang agar pegangan, kan?" ucap Perceval sedikit berteriak. Ia menyentuh tangan Serena, menggenggamnya erat dengan tangan kiri. Hatinya menghangat, seiring dengan senyuman yang terus tercipta di bibirnya.
Serena sendiri hanya bisa terdiam terpaku saat Perceval dengan berani menggengam tangannya. Namun, tubuhnya sama sekali tak menolak perlakuan pria itu. Aneh bukan? Tanpa sadar, Serena mengeratkan pelukannya dan menyandarkan kepalanya ke punggung lebar pria itu. Mencoba menikmati momen yang mungkin tak akan pernah terulang.
Hanya butuh waktu sepuluh menit hingga mereka sampai di pantai Kuta. "Bukankah, kita akan makan?" tanya Serena saat Perceval memarkirkan motornya tak jauh dari pantai Kuta.
"Restorannya ada di sana." Perceval menunjuk ke arah kanan. "Kita diam dulu di sini sebentar."
Serena hanya membulatkan mulutnya, tanda mengerti. "Aku ke toilet dulu kalau begitu." Serena berbalik, saat Perceval mengangguk tanda mengerti. Tak jauh dari sana, terdapat toilet yang kelihatannya cukup bersih. Benar saja, toilet yang ia masuki, layaknya toilet yang ada di pusat perbelanjaan. Sangat bersih. Ia mencuci tangan, lalu menyapukan air ke wajahnya, lalu menutup krannya kembali.
Serena perlahan melangkah keluar. Namun, langkahnya terhenti saat ia melihat orang yang ia kenal melangkah mendekati toilet. "Oh, sh*t!" umpat Serena pelan. Ia berbalik, kembali ke toilet sambil menutupi wajahnya dengan sling bag yang ia bawa, lalu masuk ke salah satu toilet room dan mengunci pintunya.
Sedang apa dia di sini??
** Thank You **
Bagaimana part ini, apakah terlalu panjang? 😂
Masih setia nunggu cerita POP? 😅
Buat silent reader, salam kenal lagi 😃
Salam hangat,
Rifa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top