Piece Of Puzzle | Part 23 : Honeymoon [1]

Haloooo semuanyaaa 😆😆
Maafkan baru update Percy, maklum mood nulis suka ilang muncul 😅

Malam minggunya kemana nih? Kalau aku sih, ditemenin sama Percy aja 😅

Kalau kalian suka cerita ini, silahkan vote kalau ga suka, jangan dibaca wkwkwk 😂😂

Don't copy my story!! Be kreatif 😁

** Happy Reading **

Hampir dua jam berlalu. Namun, wajah gadis di sampingnya tetap masih sama seperti saat mereka menaiki pesawat. Perceval mendengus kesal. "Ada apa denganmu, Rein? Apa kau tak senang kita liburan ke Bali?"

Serena masih saja memandang ke arah luar jendela. Menatap langit malam yang luas dan gelap, begitu menentramkan jiwa. Namun, tidak dengan perasaannya. Langit malah membuat pikirannya semakin melayang, hatinya juga terasa tak tenang. Sebelum ia menaiki pesawat, ia sempat menghubungi Victor. Namun, apa yang ia dapat? Voicemail!

Serena benar-benar bingung. Victor yang merupakan kekasihnya--pria yang ia cintai, tak pernah ada disaat ia membutuhkannya. Pria itu selalu datang dan pergi sesuka hati. Sedangkan Perceval, pria yang ia benci dan dijodohkan dengannya, malah selalu berada di sampingnya.

"Rein!"

Serena terlonjak kaget saat Perceval menyentuh bahunya. Ia menoleh ke samping, pria itu sedang menatapnya dengan wajah kesal. Mata pria itu berkilat seakan kemurkaan siap mencengkeramnya. "A-ada apa?" tanya Serena sedikit ragu. Ia menelan saliva karena tenggorokan yang terasa kering.

"Jadi sejak tadi aku bicara, kau sama sekali tak mendengarkan?!"

"Memangnya kau bicara apa?"

Kening Perceval berkedut. Kalau saja mereka sedang menaiki jet pribadi miliknya, ia pasti sudah meluapkan kemarahannya pada gadis itu. Perceval menghela napas. "Lupakan!"

Serena menganga saat Perceval mengalihkan pandangan dan menutup matanya. "H-hei, Perceval!"

"Berisik! Perjalanan kita masih 20 jam lagi, sebaiknya kau tidur."

"T-tapi ...."

"Sebaiknya tutup mulutmu, kalau kau tak ingin aku cium," ucap Perceval sambil tetap menutup mata, ia tak menyadari jika wajah gadis di sampingnya sudah merah padam.

Serena berdeham pelan. Ia kembali mengalihkan pandangan ke luar jendela. Menatap langit malam yang gelap, seiring dengan sirnanya kegundahan dalam hati. Layaknya sihir, percakapan kecil dari pria itu mampu merubah suasana hatinya. Perlahan, gadis itu menutup wajah dengan kedua tangan, menggigit kecil bibir bawahnya. Jantungnya berdebar-debar.

Ya Tuhan. Dinding yang telah susah payah ia bangun, perlahan mulai runtuh. Ia menyadari itu. Pria di sampingnya, perlahan mulai merasuk ke dalam sanubarinya. Mengisi ruang kosong, lalu memenuhinya dengan perhatian dan cinta yang tak pernah diberikan oleh siapapun, termasuk Victor. Ia ingin selalu menjadi wanita kuat dan mandiri, tetapi ia juga hanya wanita biasa, wanita yang butuh perhatian, butuh cinta dan perlindungan dari seorang laki-laki. Perceval bisa memberikan itu semua. Berada di sampingnya, ia selalu merasakan perasaan nyaman dan aman.

Perlahan Serena menurunkan kedua tangannya, ia melirik ke samping. Melihat Perceval yang sepertinya sudah tertidur. Serena tersenyum tipis. Matanya mengamati setiap inchi wajah Perceval. Ternyata bulu mata pria itu sangat lentik, melebihi bulu matanya. Jambang tebal yang belum sempat Perceval cukur, membuat pria itu terlihat sangat memesona. Bibir penuh yang saat ini sedikit terbuka karena dengkuran halus yang pria itu hasilkan, membuat Serena mengulurkan tangannya tanpa sadar.

Serena membelai pipi Perceval lembut. Ada perasaan hangat yang menjalar dari tangan, lalu memenuhi hatinya. Ia tak pernah menyadari, sejak kapan pria ini berubah menjadi setampan ini. Serena mengigit bibir bawahnya gemas.

"Sudah puas menyentuhku?"

Serena tertegun. Tubuhnya membeku tak bergerak sama sekali. Pria itu perlahan membuka mata, lalu melirik ke arahnya.

Perceval menarik tangan Serena, membuat tubuhnya tersentak ke depan. "Apa kau ingin menciumku?" bisik Perceval tepat di telinga Serena.

Embusan napas dan suara Perceval yang mengenai telinganya, membuat tubuh Serena seketika meremang. Refleks ia mendorong tubuh pria itu agar menjauh. Jantungnya bahkan berdebar lebih kencang dibandingkan tadi. "J-jangan menyentuhku!" Serena menarik tangan kanannya. Ia berdiri dengan cepat.

"Mau ke mana?"

"Toilet." Serena melangkah, mencoba mengusai kegugupan yang mendera. Namun, tangannya dicekal membuatnya kembali menoleh.

"Mau aku temani?" Perceval mendongak sesaat kemudian menyeringai nakal.

Serena membalas Perceval dengan tatapan horror, membuat pria itu hanya bisa mengulum senyum. Dengan berani, ia menggigit bibir bawahnya, membuat Serena membulatkan bola matanya kaget. 

Sialan. Pria ini sedang menggodanya!!

"Lepaskan, aku mau ke toilet."

Perceval mengangkat bahu, lalu melepaskan tangannya. "Jangan terlalu lama. Aku tak bisa jauh darimu, Rein!" Perceval terkekeh pelan saat Serena memutar bola matanya, kemudian melangkah menuju toilet.

Serena hanya bisa menggelengkan kepala. Ia membuka pintu toilet lalu menutupnya kembali. Dengan tubuh lemas, ia menyandarkan tubuh di depan pintu. Memijit pangkal hidungnya. Ia pusing. Belum juga genap satu hari, tetapi Perceval terus saja melancarkan serangan secara bertubi. Bagaimana ia bisa bertahan jika terus seperti ini?

"Rein!"

Suara ketukan pintu, membuat Serena terlonjak kaget. Refleks ia langsung mengunci pintu kamar mandi. "A-ada apa?"

"Kenapa kau lama sekali?"

"Ini bahkan belum lima menit."

"Tapi aku sudah merindukanmu ...."

Lidah Serena kelu. Semburat merah muncul di wajahnya. Gila! Laki-laki ini sudah gila!

"Rein ...."

"J-jangan bicara yang aneh-aneh!!" Serena merengut, saat sekilas ia mendengar kekehan dari balik pintu.

"Baiklah, jangan terlalu lama, oke? Aku sudah pesankan makan malam untukmu." 

Serena mendengus lalu melangkah ke wastafel. Mengambil hairpin dari sakunya, menarik beberapa rambut ke belakang dan memasangkan hairpin-nya di samping. Ia membuka kran, membiarkan air mengalir di atas tangan. Serena menyapukan air ke seluruh wajah, lalu menatap bayangan di depan cermin. Menepuk pipinya beberapa kali, berharap ia bisa sadar akan posisinya.

"Semangat! Perceval hanyalah pria yang aku benci. Yang arogan dan menyebalkan!" Serena mengangguk yakin. Ia membuka pintu lalu melangkah keluar. Serena terus merapalkan mantra dalam hati, bahwa ia tak akan terjebak dalam pesona pria itu. Namun, baru saja  beberapa langkah, matanya bertemu dengan mata biru Perceval. Pria itu tersenyum manis padanya. Serena hanya bisa terpaku, butuh beberapa detik hingga ia berdehem pelan sebelum akhirnya menunduk. Dengan ragu ia melangkah menuju tempat duduknya kembali.

"Aku memesankan chicken tortila untukmu."

Serena mengangguk pelan. "Kau tak makan?"

"Aku sudah kenyang hanya dengan melihatmu."

Astaga!!

"Jangan bodoh! Makan saja berdua, aku juga tak terlalu lapar." Serena menuangkan saus ke atas tortila lalu memakannya perlahan.

"Boleh, asalkan kau menyuapiku."

Ucapan Perceval membuat Serena langsung tersedak. Sedikit kaget, pria itu langsung menyerahkan segelas air putih. "Berhati-hatilah."

"Kau yang harus berhati-hati dengan ucapanmu!!" Serena menekan-nekan dadanya yang terasa sakit.

"Ucapanku? Yang mana??" tanya Perceval dengan wajah sok polos.

Serena menatap Perceval tajam. "Sudahlah, lupakan saja!" Serena mendengus, ia kembali memakan tortila-nya.

"Rein."

"Hm?" Serena menoleh sesaat kemudian ia mengernyit kaget saat wajah Perceval semakin mendekat ke arahnya. "Mau apa kau?! Jauhkan wajahmu!" Belum sempat ia mundur, Perceval sudah terlanjur menjilat sudut bibirnya.

"Hmm, enak ... ada saus di wajahmu," ucap Perceval santai, ia menyandarkan tubuh dan menutup matanya kembali.

Serena hanya bisa mengerjap. Otaknya blank sekarang. Apa yang baru saja laki-laki ini lakukan? Serena menunduk menatap tortila yang baru dua kali ia makan. Sekarang tortila cantik itu bahkan sudah tak menarik lagi di matanya. Ia menyandarkan tubuhnya perlahan, mengambil selimut dan menutup tubuhnya hingga ke kepala.

Astaga ... dasar mesum!!

💞💞💞

Hampir 22 jam perjalanan Prancis ke Bali, dan akhirnya mereka berdua sampai di bandara Ngurah Rai Bali.

"Bali ... i'm coming again." Serena tersenyum tipis, melirik Perceval yang sedang menarik dua buah koper besar. "Biar aku bantu."

"Tak perlu. Biar aku saja. Ah, itu orang yang menjemput kita." Perceval menunjuk ke depan dengan dagunya.

Serena menoleh. Seorang pria perawakan sedang, dengan umur sekitar 40 tahunan, ia memakai atasan kemeja putih bermotif bunga-bunga kecil dan celana kain hitam, jangan lupa ikat kepala udeng yang ia pakai.

"Welcome to Bali, Mr and Mrs. Bennet. I'm Made."

"Ah, We're not married."

"Not yet, but soon. Right, baby?" Perceval menarik pinggang Serena agar dia mendekat, lalu mencium pipi gadis itu. "We're engaged."

"Ah, congratulation both of you. Let me drive to the cottage." Made menarik dua buah koper dan memasukannya ke dalam bagasi.

"Rein, ayo!" Perceval menarik tangan Serena, karena gadis itu hanya terdiam dengan pandangan yang kosong.

"Ah, iya." Serena mengangguk, lalu mengikuti Perceval. Pria itu membukakan pintu untuknya. "Merci." Serena tersenyum tipis kemudian melangkah masuk.

Perceval mengangguk, kemudian masuk ke dalam mobil. Ini bukan pertama kalinya Perceval datang kemari. Meski sudah malam, tetapi cuaca di sini sedikit panas. Namun, keindahan pulau ini tak bisa diragukan lagi. Jarak cottage mereka sebenarnya tak terlalu jauh. Hanya saja karena jalan kota Bali satu arah, sehingga membuat mereka butuh waktu sedikit lebih lama. Damitri sudah mengatakan, kalau cottage yang ia sewa merupakan tempat private yang menghadap ke pantai.

Hampir 20 menit perjalanan, dan akhirnya mereka sampai. Amor Cottage. Yang terlintas pertama kali dalam pikiran Perceval, tempat itu sangat bersahabat dengan alam. Lihat saja banyak bunga hias di depan lobby, ada teratai yang tumbuh di sekitar air mancur, lalu bunga mawar dan bunga matahari yang ditanam di sekitar air mancur. Lantainya terbuat dari kayu yang di pernis mengkilap, temboknya sendiri terdiri dari batu-batu alam dengan perekat berwarna putih, dan kursi-kursi yang mereka pakai terbuat dari bambu.

Serena sejak tadi hanya memandang sekeliling dengan mata berbinar. Setiap kali ia ke Bali, ia tak pernah tinggal di cottage. Ia merasa sangat nyaman berada di sini.

"Rein, ayo."

Serena menoleh. Seorang petugas cottage sudah terlebih dulu melangkah sambil menarik koper mereka. Ia mengangguk lalu mengikuti Perceval dari belakang. Saat keluar lobby, ia baru menyadari jika tempat ini sangat luas. Terdapat beberapa cottage di sana, jalanan setapak yang ia tempuh layaknya taman. Di sisi kanan dan kiri terdapat rumput dengan pohon-pohon yang menjulang, jangan lupakan pantai yang berjarak beberapa ratus meter dari cottage yang akan ia tempati.

Petugas cottage tersebut berhenti di salah satu pintu dengan nomor 19. Ia lalu membuka pintu yang terbuat dari kayu mahoni tersebut. Wangi aroma terapi langsung menyeruak ke indra penciuman Serena, membuat tubuhnya yang lelah karena jet lag, menjadi rileks seketika. Petugas tersebut langsung masuk, diikuti Perceval dan Serena di belakang.

Serena mengernyit ketika ia melihat kelopak bunga mawar bertebaran di mana-mana. Ia merasa jika saat ini mereka sedang honeymoon, pasalnya suasana cottage ini sangat romantis. Ia menoleh ke arah luar, terdapat kolam renang yang menghadap ke arah pantai. Namun, bukan itu yang membuatnya tercengang. "What is this?!" sentak Serena kaget.

Perceval menoleh mengikuti arah pandangan Serena. Kolam renang yang dipenuhi kelopak bunga mawar, dan ada tanda hati ditengahnya.

"Oh, this is request from Mr. Bennet for your honeymoon." Petugas tersebut melangkah ke arah kamar sambil menarik kedua koper.

Serena mendelik ke arah Perceval dengan tatapan tajam. "Apa maksudnya?!"

"Bukan aku! Aku tak tahu apa-apa," jawab Perceval sedikit panik, Serena terus melihatnya dengan pandangan menyelidik.

"Astaga! Pasti ayah." Perceval menepuk dahinya pelan. Damitri selalu saja seperti ini.

Serena memutar bola matanya malas. "Suruh petugas untuk membersihkannya! Kita bahkan tak sedang honeymoon."

"Aku tak keberatan kalo honeymoon-nya kita lakukan saat ini." Perceval menyusupkan kedua tangannya ke pinggang Serena, ia memeluk gadis itu dari belakang sesaat kemudian mencium lehernya. Tubuh gadis itu menegang, ia bisa merasakan itu.

Serena memutar badan lalu mendorong wajah Perceval dengan cepat. "Apa yang kau lakukan?! Jangan macam-macam, dasar mesum!!" Serena melangkah mundur, mencoba untuk melepaskan pelukan pria itu. Namun, Perceval malah mempererat pelukannya.

Perceval menyeringai, saat ia bisa melihat semburat merah yang muncul di wajah Serena meski hanya sekilas. "Kau manis saat wajahmu memerah."

Mata Serena membulat, wajahnya semakin merona saat Perceval terang-terangan menggodanya. "Lepaskan, bodoh! Aku bilang, le--" ucapannya tertahan saat Perceval mengecup bibirnya sekilas. Hanya beberapa detik, tetapi mampu membuat darah Serena berdesir hebat.

Perceval melepaskan pelukannya kemudian langsung menghempaskan tubuhnya di sofa putih yang berada di ruang tengah. Perceval tersenyum puas dalam hati karena ia berhasil membuat gadis itu diam tak berkutik.

Butuh beberapa detik hingga Serena bisa mendapatkan kesadarannya kembali. Ia menoleh ke arah Perceval yang sedang mengganti channel TV. Ia melangkah ke arah Perceval lalu mengambil bantal sofa, dengan sekuat tenaga ia memukul kepala Perceval membuat pria itu mengaduh pelan. "Dasar mesum!!" Serena terus saja memukul kepala Perceval hingga tangannya di cekal oleh pria itu.

"Sakit, Rein. Duduklah di sini, aku peluk. Kau pasti lelah." Perceval tersenyum sambil merentangkan kedua tangannya.

"Jangan harap!" Serena menarik tangannya kemudian melangkah ke arah kamar, dan melihat petugas cottage tersebut sedang menaruh kopernya di dalam lemari.

"Mrs. Bennet, this is your key."

"I'm not-"

"Enjoy your honeymoon." Petugas tersebut tersenyum, membuat Serena hanya bisa mengerjap.

Serena menoleh, ia baru menyadari jika di cottage ini hanya ada satu kamar. "Wait a second, just one room?"

Petugas tersebut kembali menoleh. "Of course."

Serena menganga tak percaya. "Is there available room cottage for me?"

Petugas tersebut menggeleng lalu tersenyum tipis. "I'm sorry, Miss."

Serena menghela napas sesaat kemudian menekan pangkal hidung yang terasa sakit. Ia sudah terlalu lelah jika harus mencari cottage yang lain. Ia kesal sekali. Damitri pasti sengaja, ia yakin itu. Serena mendengus, ia merogoh sakunya dan memberikan beberapa lembar dollar pada petugas tersebut. Petugas tersebut mengangguk lalu melangkah keluar. "Percy. Perceval!"

Perceval terduduk kemudian menoleh. "Yes, baby?"

Serena memutar bola matanya. "Kau tidur di sofa."

"Hah?"

"Hanya ada satu kamar di sini."

Perceval tersenyum tipis. "Aku tak bisa tidur di sofa. Apa kau mau selama di sini, kau malah mengurusku yang sakit? Lagipula, aku tak keberatan jika harus tidur seranjang denganmu. Bukankah kita sudah pernah melakukannya?" Perceval menyeringai nakal, mata birunya menatap Serena dengan tatapan penuh arti.

"Itu maumu!"

"Oh, jadi kau tak mau tidur seranjang denganku begitu?" Perceval berdiri kemudian dengan perlahan ia melangkah mendekati Serena, matanya tak lepas memandangi iris cokelat gadis itu.

"M-mau apa kau? Jangan mendekat! Perceval!!" teriak Serena saat Perceval dengan cepat mengangkat tubuhnya ala bridal style. "Turunkan aku, sialan!! Percy!"

"Kau cerewet sekali, Rein." Perceval menurunkan tubuh Serena di atas ranjang. Lalu ia melepaskan high heels yang gadis itu pakai, dan menyimpannya di samping lemari. Perceval kembali melangkah mendekati Serena. Gadis itu sedang mengernyit, ekspresi ketakutan terpancar di wajahnya.

"Jangan macam-macam, Perceval!" Serena melemparkan bantal ke arah pria itu. Dengan sigap ia menangkapnya lalu menyeringai. "Percy ...." Wajah Serena menggelap, berharap pria itu merasakan sedikit saja rasa ketakutan. Namun, nyatanya tidak sama sekali.

Perceval melangkah semakin mendekat. Pria itu menaiki ranjang dengan satu kaki yang ditekuk, dia menyimpan kembali bantal di samping tubuhnya.

Serena hanya bisa membeku. Wangi tubuh pria itu langsung menusuk indra penciumannya, membuat jantungnya kembali berdebar. Yang bisa ia lakukan hanya menelan saliva.
"Ganti bajumu, Rein." Perceval kembali berdiri.

"Hah?"

"Ganti bajumu."

"Aku tak mau!" Serena menyilangkan tangannya di depan dada, meremas pelan kemejanya. Takut, jika pria ini akan melakukan hal yang macam-macam padanya.

"Ya sudah. Istirahatlah."

"Hah?" Serena mengernyit bingung, ia menganga tak percaya dengan kata yang baru saja ia dengar.

"Kenapa? Apa kau berharap making love bersamaku?" Perceval menyeringai nakal, sesaat kemudian tergelak keras saat ia melihat wajah Serena yang tiba-tiba berubah menjadi merah padam. Gadis itu mengalihkan pandangannya ke luar jendela. "Belum saatnya. Nanti, saat kau menerimaku sepenuh hatimu, aku pastikan kita akan melakukannya."

Serena menoleh kaget, ia membulatkan matanya tak percaya. "Dasar gila!!"

Perceval terkekeh geli, sesaat kemudian berdeham pelan. Pria itu masih terus saja mengulum senyum. Ia geli karena kelakuan Serena yang menggemaskan. "Sudah, sudah. Istirahatlah duluan." Perceval menarik selimut lalu menyelimuti gadis itu. Ia tersenyum lalu mencium kening Serena. "Tidurlah."

Serena hanya bisa terdiam.

"Selamat malam," ucap Perceval sambil melangkah ke luar kamar.

Serena menarik selimutnya hingga ke batas hidung. Menutupi wajahnya yang memanas. Astaga ... apa yang ia pikirkan tadi?

** Thank You **

Bagaimana part ini? Abaikan jika ada bahasa inggris yang ngaco 😂😂😅

Kadang aku penasaran, dapet ga sih feel romantisnya? 😂 apa yang kalian rasakan saat baca POP?

Segini dulu. Hehe. Met malming semuanyaaa..

Salam hangat,

Rifa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top