Piece Of Puzzle | Part 22 : All For You
Malam semuanyaaa..
Maafkan baru update hari ini..
Semoga part ini memuaskan 😅
Don't copy my story!! Be kreatif 😁
** Happy Reading **
"Vic?"
Hanya satu kata, tetapi suara Serena mampu membuat ketiga laki-laki di ruang makan tersebut menoleh. Waktu hampir menunjukkan pukul empat sore. Serena sedang beristirahat karena saat jam makan siang tadi, cafe memang sangat ramai.
"Kau ... masih di sini??" tanya Serena tak percaya. Ia seakan bermimpi saat melihat Victor duduk sambil mengesap kopinya--entah itu gelas ke berapa.
Victor berdiri, ia melangkah mendekati Serena. "Tentu, Rein. Sudah aku bilang, aku ingin makan denganmu." Victor tersenyum, lalu mengusap pelan kepala Serena. "Ah, aku merindukanmu, Rein ...." Victor mendekap Serena, membuat gadis itu hanya terdiam.
Jika boleh jujur, Serena merasa luluh dengan perlakuan Victor saat ini. Entah ia yang terlalu bodoh, atau terlalu mencintai Victor, tetapi setiap kali dia datang dan mengatakan bahwa laki-laki itu merindukannya, semua kemarahan dalam hatinya seakan menguap begitu saja.
Suara dehaman yang cukup keras membuat Serena refleks melepaskan pelukan Victor. Ia menoleh. Perceval sedang menatap mereka dengan tatapan tajam dan wajah yang dingin.
"Sedang apa kau di sini?" Serena menatap Perceval dengan tatapan menyelidik.
"Ini cafe-ku. Terserah aku, mau duduk di mana pun!" jawab Perceval ketus.
"Tuan Regis, kau sendiri bagaimana? Kau belum pulang sama sekali, kan? Apa kau sama sekali tak ada pekerjaan?"
"Ah, Perceval me--" ucapan Regis tertahan lalu ia langsung meringis, matanya mendelik ke arah Perceval tak lama kemudian.
"Ayo, Rein. Kau belum makan, 'kan?"
Serena mengangguk kemudian tersenyum.
"Dia akan makan denganku!" Suara dingin Perceval tiba-tiba menginterupsi, membuat senyuman Serena menghilang dalam sekejap.
Serena menoleh. Entah sejak kapan pria itu sudah berada di sampingnya.
Dengan cepat Perceval menggenggam tangan Serena, kemudian mengecupnya pelan. "Dia calon istriku. Dia milikku! Kau tak berhak berada di sampingnya lagi!" Rahang Perceval mengeras, menatap Victor dengan tatapan dingin. "Aku tak menyangka, kau bahkan masih punya muka untuk bertemu dengan Serena setelah apa yang kau lakukan padanya. Dia mungkin tak pernah menunjukkannya padamu, tapi hatinya tersakiti!" Perceval menggeram, ia semakin mengeratkan pegangannnya.
"Perceval!" Serena menepis tangan Perceval kasar, menatap pria itu dengan tatapan tajam. "Kau tak berhak mencampuri urusanku!!"
"Mencampuri urusanmu? Kau calon istriku!!"
"Kita dijodohkan!" Serena menekan pelipisnya yang terasa sakit.
"Aku tak peduli. Tidak bisakah kau mengerti?! Aku tak ingin pria ini menyakitimu lagi, Rein! Astaga!!" Perceval menarik rambutnya frustrasi.
"Berhenti mencampuri urusanku dengan pria yang aku cintai! Kau bahkan bukan siapa-siapa dalam hidupku!!"
Perceval tertegun saat kalimat itu sampai di pendengarannya. Hatinya terasa diremas. Kesadarannya seakan ditarik paksa hingga rasanya ia jatuh ke dasar jurang yang paling dalam. Seketika wajahnya berubah menjadi sendu. Meski gadis itu memakinya, atau membentaknya, ia tak pernah merasa sesedih ini sebelumnya.
"Terserah kau sajalah," ucap Perceval pelan layaknya bisikan.
Serena masih bisa mendengarnya dengan jelas. Ia merengut. Sial. Ia salah bicara. Pria itu pasti sangat marah. Baru saja Serena ingin membuka mulut, Perceval terlebih dulu berbalik, melangkah ke arah tangga meninggalnya dengan perasaan bersalah.
Sedangkan Victor, ia hanya menyeringai puas saat melihat kejadian tersebut. Ia senang karena Serena membela dirinya dibandingkan pria arogan seperti Perceval.
"Rein, ayo kita pergi." Victor menarik tangan Serena pelan, sedangkan gadis itu hanya terdiam mengikuti Victor yang terus menarik tangannya hingga ke mobil.
"Sejak meninggalkan cafe dan setelah selesai makan, kau terus saja terdiam. Kau tak senang pergi denganku?"
Serena tertegun. Ia sedang bersama Victor sekarang, tetapi mengapa pikirannya tak bisa berada di sini? Serena menoleh, lalu tersenyum tipis. "Tentu aku senang, Vic."
Victor tersenyum mendengar jawaban gadisnya, ia mengelus pelan kepala Serena lalu kembali memfokuskan mata kearah jalan raya.
Serena mengalihkan pandangan. Ia meremas jemarinya, hatinya merasa tak tenang. Pikiran gadis itu terus tertuju pada Perceval. Wajah Perceval yang lagi-lagi berubah sendu saat ia bersama dengan Victor. Ah, astaga! Ia ingat sekarang. Saat di RS, setelah Victor meninggalkannya. Tak lama Perceval datang, menemaninya, tidur di sampingnya sambil memeluk tubuhnya. Hangat, itulah perasaan yang selalu bisa ia rasakan saat berada dipelukan Perceval.
Wajah Serena tiba-tiba memanas. Ia menggigit bibir bawahnya. Sialan. Selalu saja seperti ini. Jantungnya sekarang berdebar-debar hanya karena ia mengingat pelukan pria itu.Namun, kenyataan malah menghantam Serena dengan kuat. Kata-kata yang ia ucapkan tadi, pasti sudah menyakiti hati pria itu.
"Rein, Rein!"
Serena terlonjak kaget, ia refleks menoleh. "A-ada apa, Vic?"
"Sudah sampai, Rein."
Serena menoleh ke luar jendela. "Ah, sudah sampai. Baiklah kalau begitu." Serena mengulurkan tangan, berniat membuka pintu, tetapi gerakannya tertahan saat Victor menyentuh tangannya.
"Biar aku saja." Victor keluar, kemudian berlari memutar. Ia membukakan pintu untuk Serena.
Serena yang melihat itu hanya bisa terdiam. Pasalnya selama dua tahun berpacaran, laki-laki itu bahkan tak pernah se-gentle ini.
Tangan Victor terulur, ia tersenyum sambil menatap Serena lekat.
Serena berdeham. "Terima kasih."
"Tentu, Dear." Victor mengecup Serena pelan. "Aku pergi dulu, nanti aku hubungi." Victor tersenyum sesaat setelah ia melepaskan kecupannya. Pria itu melangkah memutar kembali ke pintu pengemudi. Sebelum masuk, ia melambaikan tangan sambil terus tersenyum.
Serena hanya bisa mengerjapkan mata, bahkan saat mobil Victor sudah menghilang di pertigaan, ia masih terdiam. Benarkah yang baru saja bersamanya itu adalah kekasihnya?
Satu kalimat itu terus berputar dalam pikiran Serena, hingga ia duduk di ruangannya dan berganti pakaian dengan chef uniform.
Serena masih terdiam. Ia melangkah ke dapur, mengambil spatula kayu. Sikap Victor yang berbeda dari biasanya membuat hatinya berbunga. Meski di lain sisi, ia juga tak bisa mempercayai perubahan sikapnya yang tiba-tiba. Gadis itu tersenyum tipis, menunduk menyembunyikan semburat merah yang tiba-tiba menghampiri. Namun, perasaan bahagianya seketika musnah saat sesuatu merayap melewati sepatunya.
"Arghhh!!" pekik Serena kencang. Refleks ia langsung naik ke atas meja.
"Ada apa, Chef??" tanya Charles panik. Tak lama, Ernest dan Grance datang karena pekikan Serena yang terlampau keras.
"I-itu ... astaga, mengingatnya saja membuatku merinding." Serena bergidik takut, wajahnya memucat. Darah dan jantungnya seakan terhenti. Binatang itu menjijikan, dan menyeramkan. Bahkan lebih seram daripada Frank.
"Chef?"
"Astaga!! Apa kalian tak melihatnya??" Serena memeluk spatula yang digenggamnya, takut jika binatang itu menghampirinya, atau lebih parah jika tiba-tiba terbang ke arah Serena. "Itu, dia lewat!!"
Charles, Ernest dan Grance menunduk, mencari sesuatu yang bergerak. Namun, tak ada apapun di sana.
"Ya Tuhan, kalian buta?! Itu, kecoa!!" Serena menunjuk binatang tersebut, saat sang serangga kembali melintas. "Bagaimana bisa binatang itu ada di dapur kita?? Grance, telepon petugas kebersihan sekarang!!" Tunjuk Serena dengan spatula-nya. Ia masih berdiri tegak, di atas meja. Matanya melirik ke kiri dan kanan dengan gelisah. Sungguh, ia sangat membenci serangga itu.
"Ada apa ini?"
Serena membeku saat suara dari pria yang sudah ia sakiti tadi terdengar di telinganya. Ia menoleh perlahan. Pria itu dan bayangannya--Lucas--sedang mengernyit, menatapnya heran.
"Sedang apa kau di atas sana?"
Serena berdeham, gugup. "B-bukan apa-apa," jawab Serena sedikit gengsi, ia mengalihkan pandangan menahan malu.
"Siapapun jawab aku! Kenapa Serena bisa ada di atas meja?"
Serena menoleh, menatap Charles dan Ernest dengan tatapan tajam. Awas saja, jika mereka berani membuka mulut!
"Charles!! Ernest!!" bentak Perceval saat Charles dan Ernest tetap saja diam.
"I-itu, kecoa. Chef ketakutan karena ada kecoa." Ernest menjawab sambil menundukkan wajah.
Serena hanya bisa menggeram kesal. Ingin sekali ia turun, dan menimpuk kepala Ernest dengan spatula-nya, tetapi tentu saja ia tak berani karena binatang itu masih saja berkeliaran.
"Mana?"
Mata Charles dan Ernest bergerak ke sana kemari mencari binatang tersebut. "Ah, itu." Charles menunjuk salah satu sudut tembok. Terlihat binatang tersebut sedang merayap mencoba menaiki tembok.
Serena kembali bergidik saat kembali melihatnya. Matanya semakin membulat, saat Perceval dengan berani memegang kedua antena serangga tersebut dan mengangkatnya perlahan.
"Perceval!!"
"Kau takut pada kecoa?" Perceval melangkah mendekat sambil menyeringai nakal. "Gadis sepertimu, takut pada serangga kecil ini?"
"Jangan macam-macam, sialan!" Serena melangkah mundur, ia menunjuk Perceval dengan spatula yang ia pegang. "Lepaskan binatang menjijikan itu!!"
"Kau ingin aku melepaskannya?" tanya Perceval sambil mengulum senyum. Ia mendekatkan tangannya ke atas meja.
"Jangan lepaskan di sini, bodoh!! Astaga! Perceval!!" Serena mengibaskan spatula-nya, berharap agar pria itu bisa menjauh.
Perceval menggigit bibir, mencoba menahan tawa dengan kelakuan Serena yang menurutnya sangat lucu. "Ya ampun, Rein. Apa yang akan kau lakukan dengan spatula itu? Bahkan, jika kau memukulku dengan itu, rasanya hanya seperti gigitan semut."
Serena mendelik marah. "Kau mau mencobanya? Kalau kau memang mau merasakan spatula ini mendarat di selangkanganmu, kemarilah."
Lucas terkekeh geli, diikuti Charles dan Ernest.
Perceval menoleh dengan tatapan tajam, membuat ketiganya langsung berdeham.
"Kemarilah, aku takut kau terjatuh."
"Buang serangga itu! Aku tak mau melihatnya!"
"Baiklah ... Luc, buang kecoa ini." Perceval menyerahkan binatang tersebut pada Lucas dan dibalas anggukan oleh pria itu. "Lihat, sudah aku buang. Sekarang turunlah." Perceval mengulurkan tangan, tetapi Serena menepis pelan tangan Perceval dengan spatula.
"Kau menjijikan. Aku tak mau kau menyentuhku!"
Perceval menganga tak percaya, kemudian tertawa pelan. "Yang benar saja, Rein."
"Mandi dulu sana! Aku tak mau kau menyentuhku sebelum kau mandi."
Perceval menyeringai nakal. "Jadi kalau aku sudah mandi, aku bebas menyentuhmu sesuka hatiku begitu?" ucap Perceval dengan nada menggoda, ia kembali melangkah mendekat.
"B-bukan itu maksudku!!"
Perceval tertawa pelan. Ya ampun, kesedihan dan kemarahan yang mendera hatinya sejak tadi, menguap begitu saja saat ia melihat gadis di depannya yang memerah menahan malu. Perceval menggeleng pelan. Ia berbalik kemudian melangkah. "Tepati janjimu, Rein," ucap Perceval tanpa menoleh membuat tubuh Serena merosot saking lemasnya.
Dasar, kecoa sialan!!
💞💞💞
"Rein, tanganmu sejak tadi gemetar. Kau masih takut?" Perceval menoleh dengan wajah khawatir. Serena terus menatap keluar jendela. Ia tak menyangka, hanya karena serangga itu Serena bisa seperti ini.
"Rein ...."
"Kau membuatnya semakin parah," bisik Serena pelan, tetapi masih bisa Perceval dengar. Tentu saja, di dalam mobil ini hanya ada mereka berdua.
Perceval mengernyit. "Untuk yang tadi aku sudah minta maaf. Aku hanya ber--"
"Bukan. Dulu, kau sering mengerjaiku dengan binatang itu. Saat aku membuka kotak makanku, saat membuka kotak pensilku, bahkan kau memasukannya di dalam tasku!"
Tanpa aba-aba Perceval langsung menginjak rem, membuat dahi Serena langsung terbentur dashboard.
"Apa yang lakukan?! Menginjak rem sembarangan, dasar!" Serena mengelus dahinya yang tadi terbentur. Ingatkan ia, agar nanti memakai cream luka di dahinya.
Perceval menoleh perlahan. Ia menarik tangan kanan Serena membuat gadis itu mau tak mau memutar badan.
"Apa yang ka--" ucapan Serena tertahan saat Perceval membelai dahi Serena lembut.
Perceval menangkup wajah Serena kemudian menariknya mendekat.
Serena hanya bisa mengerjap. Pasokan oksigen di dalam mobil ini semakin menipis, ia harus segera membuka jendela karena dadanya terasa sangat sesak sekarang.
Perceval meniup dahi Serena, sesaat kemudian menciumnya lama. Ia menutup mata, mencoba menyalurkan segala perasaan dan rasa bersalahnya pada gadis ini. Semua rasa yang membuat pundaknya terasa berat.
Tak lama Perceval kemudian melepaskan ciumannya, lalu menatap Serena dalam. Ah, lihat. Gadis itu memerah. Ia membelai pipi Serena, membuat wajahnya semakin memerah hingga ke telinga. Hanya melihat Serena seperti ini, sudah membuat hati Perceval bahagia. "Sudah aku bilang, kau milikku," bisik Perceval tepat di telinga Serena. Ia menarik tubuhnya kembali.
Serena langsung memutar tubuh, mengalihkan pandangan ke luar jendela.
"Kau menggemaskan." Perceval mengacak rambut Serena pelan.
Perlakuan simple. Namun, membuat jantung Serena berdegup kencang, bahkan lebih kencang dari sebelumnya.
💞💞💞
Serena menghela napas. Ia masih tak percaya, wajahnya selalu memerah tiap kali Perceval menggodanya. Setiap kali pria itu bersikap manis, setiap kali pula dinding pertahannya perlahan keropos dan berlubang.
Serena memakai bathrobe, kemudian membuka pintu kamar mandi.
"Astaga!!" pekik Serena membuat langkahnya terhenti, refleks ia langsung berbalik, mengikat tali bathrobe yang belum sempat ia ikat. Sialan. Dia pasti melihatnya--lagi.
Serena menutup wajahnya yang memerah menahan malu. Mengapa tadi ia tak memakai underware terlebih dulu? Serena merutuki dirinya sendiri.
Perceval berdecak malas. "Sudahlah, Rein. Tidak perlu malu. Toh, aku juga sudah pernah melihatmu naked." Perceval mengulum senyum, menggigit bibir bawah agar tak tergelak.
Rasanya saat ini Serena ingin saja ditelan bumi. Selalu saja, jika bersama pria ini, kejadian memalukan selalu menghantuinya. Serena berdeham, mencoba mengendalikan rasa gugupnya. Ia membalikkan badan. "Mau apa kau kemari? Tak bisakah kau mengetuk pintu terlebih dulu??"
Perceval mengangkat bahu. "Aku sudah mengetuk berkali-kali, tapi tak ada jawaban. Ya sudah, aku masuk saja."
Serena menghela napas malas. "Lupakan. Mau apa kau kemari?" Serena melangkah ke meja rias. Mengambil pelembab cair, meneteskannya ke telapak tangan kiri. Ia menggosokkan ke tangan kanannya lalu menyapukannya ke seluruh wajah.
"Malam ini, kita berangkat ke Bali."
Lutut Serena membentur meja rias saat Perceval mengatakannya dengan lantang. Ia membalikkan badan. "Apa?" Serena mengelus lututnya yang masih terasa sakit.
"Kau mendengarnya. Kita akan liburan, selama tujuh hari."
Serena hanya bisa mengerjap.
"Ya, hanya kita berdua."
"Apa?!" pekik Serena setelah kesadarannya kembali.
Perceval memutar bola matanya. "Kita akan liburan ke Bali, selama 7 hari, hanya kita berdua."
Pria ini sudah gila!! Apa katanya?! Ke Bali selama tujuh hari? Astaga ... ia tak bisa membayangkan bagaimana nanti selama di sana. Di sini saja, ia cukup kesulitan menghadapi Perceval. Susah payah ia membangun dinding pembatas, agar pria itu tak menyelinap masuk ke dalam hatinya. Namun, apa sekarang? Berdua, di Bali? Astaga!! Tidak, ia tak boleh jatuh cinta pada laki-laki ini.
"Tidak!"
"Kenapa??"
"Dad pasti tidak akan--"
"Aku sudah meminta izin pada daddy, dan dia mengizinkan kita pergi."
Serena terperangah. Mengapa ia merasa ini lagi-lagi jebakan Frank dan Damitri?
"Tidak!! Aku punya pekerjaan dan tanggung jawab. Kalau aku pergi, siapa yang akan bertanggung jawab di dapur cafe??"
"Tentu saja Charles akan menggantikanmu. Lagipula, aku sudah menyetujui cutimu selama sepuluh hari." Perceval tersenyum puas.
Astaga. Ia benar-benar kena trap! "Aku bilang, tidak!"
"Ayolah, Rein. Ayah sudah menyiapkan semuanya. Tiket first class, cottage untuk kita tinggal di sana, kendaraan pun bahkan sudah ayah pesan. Kau mau mengecewakannya?" Tatapan Perceval berubah sendu. "Ayah memiliki riwayat penyakit jantung, bagaimana kalau sampai dia sedih dan stress karena kau menolak pemberiannya??"
"Oke, fine!!" Serena menggeram kesal. Ia melangkah menuju wardrobe untuk berganti pakaian.
Perceval bersorak dalam hati. Ia tahu, gadis itu tak akan pernah bisa mengabaikan namanya keluarga. Meski Damitri baru sebagai calon mertuanya, tetapi ia tahu, Serena tak akan tega menyakiti perasaan keluarga yang ia cintai.
"Kenapa kau masih di sini?"
"Aku ingin tidur sebentar." Perceval mengempaskan tubuhnya ke ranjang. "Bangunkan aku satu jam lagi."
Kening Serena berkedut. "Bukankah kau harus packing?!" Nada suara Serena tertahan, ia harus sabar menghadapi pria ini.
"Aku sudah melakukannya. Sekarang, biarkan aku istirahat sebentar." Perceval menutup matanya perlahan.
Serena mengepalkan tangan, melayangkannya ke udara. Ia kesal sekali pada laki-laki ini. Ia tak berani membayangkan tujuh hari full bersama Perceval akan seperti apa. Namun, yang jelas untuk saat ini ia harus membangun tembok pertahan hatinya agar lebih kokoh.
** Thank You **
Bagaimana part ini? Anehkah? Hahaha.
Next part, dan beberapa part ke depan bakal full sama Perceval 😍😍😘
Bisa ga yah, di Bali ini, Perceval bikin Serena klepek2 sama dia? Wkwkwk 😈🙈😳
Salam hangat,
Rifa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top