Piece Of Puzzle | Part 21 : New Rival?

Malam semuanya 😊😆

Adakah yang kangen Percy??

Aku kangen banget soalnya 😅 jadi sekarang up lagi 😆

Don't copy my story!! Be a kreatif 😁

** Happy Reading **

Dua hari berlalu sejak Perceval mengantarkannya dari RS, dan sejak itu pula Perceval berubah menjadi pria dingin. Ia tak tahu apa yang salah, Perceval tak pernah secuek itu padanya. Dia selalu menggodanya, membuatnya marah atau membentaknya, bukan malah mengacuhkannya.

Lihatlah ia, sekarang Serena kalang kabut sendiri. Kebingungan semakin menggerogoti batinnya. Ia yakin, jika dirinya telah melakukan kesalahan. Namun, setiap kali Serena menanyakannya, pria itu hanya menjawab 'tak ada apa-apa'. Sialan. Dia seperti seorang wanita jika sedang merajuk!

Mulut Serena terus berkomat-kamit, kesal dengan keadaan. Matanya fokus ke jalanan, ia menghela napas saat netranya menangkap dua sosok pria yang sedang duduk di depan cafe, menikmati kopi di pagi hari.

"Tumben sekali dia datang sepagi ini," ucap Serena sesaat setelah ia memparkirkan mobilnya tak jauh dari cafe. Ia melangkah keluar dari dalam mobil kemudian menghampiri Perceval yang sedang membaca koran.

"Pagi, Nona Serena."

"Pagi, Luc. Pagi Perceval."

Perceval hanya mengangguk sambil terus membaca koran.

"Tumben sekali, kalian sudah datang. Ini masih pukul 7 pagi."

"Ah, itu ... tu-"

"Aku lapar. Siapkan spaghetti aglio olio untukku." Perceval menutup korannya dengan cepat, ia berdiri kemudian melangkah masuk.

Lucas pamit dan langsung menyusul Perceval meninggalkan Serena yang masih terdiam menganga tak percaya.

"Ada apa dengan laki-laki itu? Astaga!" Serena menggeram. Ia memijit keningnya yang terasa sakit. Sebenarnya apa yang terjadi? Ia sungguh tak ingat sama sekali.

Serena melangkah dengan pikiran yang buntu. Charles, Ernest--chef de partie yang bertugas sebagai butcher, Frederic, Bernice dan Adria sudah berada di sana. Ah, dan jangan lupakan Grance--dishwasher cafe yang baru--ternyata dia juga sudah datang.

"Pagi, Chef," sapa mereka serempak.

"Pagi." Serena langsung masuk ke ruangannya, menyimpan tas dan menghempaskan tubuhnya di kursi. Hari ini ada beberapa reservasi untuk lunch. Oke. Ia harus fokus.

Serena melangkah keluar, kemudian langsung memanggil anggota kitchen yang lain. "Hari ini kita sudah ada 8 reservasi dan aku yakin itu akan bertambah. Aku harap kalian hari ini bersemangat untuk membuat mereka semua bahagia!"

"Siap, Chef!!" ucap mereka serempak.

Serena tersenyum. "Ernest, bagaimana persediaan daging kita?"

"Masih cukup jika untuk hari ini, Chef."

Serena mengangguk. "Ok. Kalau begitu, Ernest, kau siapkan broth sayuran dan daging sapi. Lalu buat demi-glace dan saus lainnya." Serena menoleh ke arah Adria dan Bernice. "Adria dan Bernice, bersihkan dan potong terlebih dulu sayurannya. Jangan lupa, potong jullienne. Charles, bantu semuanya. Pastikan semua berjalan lancar."

"Baik, Chef."

"Aku akan membuat spaghetti untuk Perceval."

Adria tersenyum menggoda, diikuti dengan Bernice yang mengulum senyum.

"Ada apa dengan kalian?"

"Memasak untuk calon suami, romantis sekali," goda Bernice sambil terus mengulum senyum.

Serena hanya memutar bola matanya. "Cepat kerjakan!"

"B-baik, Chef."

Serena menggeleng pelan. Ia melangkah mengambil 3 siung bawang putih, parsley, spaghetti, 5 ekor prawn, satu ekor cumi ukuran besar, dan beberapa scallop. Serena langsung merebus spaghetti secara manual. For your information, cafe ini tak menjual aneka pasta, sehingga mereka tak memiliki noodle cooker. Jika kalian menanyakan, mengapa ada spaghetti dan seafood, itu karena Perceval yang sangat menyukai spaghetti dan aneka seafood.

Serena mengupas bawang putih dengan pisau ukuran besar, mencucinya, dan dalam sekali tebas, ketiga bawang putih tersebut sudah memar tak berbentuk, ia kemudian langsung mencincangnya kasar. Gadis itu langsung menyalakan kompor dan meletakkan pan di atasnya. Menuangkan sedikit minyak zaitun, kemudian langsung memasukan bawang putih yang sudah ia cacah tadi. Suara percikan minyak langsung terdengar.

Setelah harum, ia memasukkan scallop, prawn, dan cumi--yang sudah ia potong memanjang--dan tentu saja sebelumnya sudah ia bersihkan. Ia mengoyang-goyangkan pan, hingga seafood-nya terasa matang.

Setelah dirasa cukup, Serena memasukan spaghetti yang sudah ia tiriskan. Menambahkan olive oil, kemudian menaburkan sedikit garam dan lada hitam, kemudian menggoyangkan pan-nya kembali. Ia mengambil piring datar, dan langsung memindahkan spaghetti ke atas piring. Sentuhan terakhir. Serena memberikan parsley di atasnya.

"Voalla. Cantik sekali," ucap Serena bangga. Sebenarnya memasak spaghetti itu hal yang paling mudah. Namun, tetap saja ia selalu merasa bangga saat bisa menyelesaikan satu buah makanan. Dengan riang, Serena membawa aglio olio-nya ke ruangan Perceval. Senyum cerah terpancar di wajahnya.

"Perceval pasti menyukainya." Serena tersenyum tipis. Ia berharap, masakannya bisa membuat pria itu sedikit luluh. Ia mengetuk pintu dengan perlahan. Terdengar suara Lucas yang mempersilahkannya masuk. Dengan semangat ia membuka pintu, terlihat Perceval sedang membaca file sambil menyilangkan kaki. Tak sekalipun, mata pria itu melirik dirinya.

Serena berdeham mencoba mengalihkan perhatian pria itu. "Ini aglio olio-nya."

"Ok."

"Aku ingin bi--"

"Jika tak ada urusan lagi, silahkan keluar. Aku sibuk." Perceval memutar kursinya sehingga pria itu duduk menghadap ke arah jendela.

Tak ada ucapan terima kasih atau apapun begitu?! Dengan kesal Serena berbalik. Sebelum melangkah keluar, gadis itu mendelik menatap tajam ke arah Lucas, membuat pria itu hanya bisa membeku. "Katakan pada tuan muda Perceval, jika dia ingin makan, masak sendiri! Aku tak mau memasak lagi untuknya. Dasar berengsek!" sentak Serena. Ia menghempaskan pintu ruangan Perceval dengan kasar.

Serena menyentakkan kakinya ke lantai. Astaga! Darahnya mendidih hingga ke ubun-ubun. Pria itu sangat arogan dan tak tahu etika. Bagaimana bisa dia bertingkah seperti itu?? Rasanya ia ingin mencincang daging sapi sekarang untuk meluapkan emosinya.

"Nona Serena ...."

Serena langsung menoleh saat namanya terpanggil. Emosi yang tadinya meluap, menguap begitu saja saat ia melihat seorang pria tampan dengan senyuman manis di depannya. "Tuan Regis? Sedang apa kau di sini?"

"Aku ingin memakan masakanmu sebelum aku memulai hariku. Ah, ini untukmu." Regis tersenyum sambil memberikan setangkai mawar merah.

Serena tersenyum tipis. "Terima kasih, tetapi cafe ini bahkan belum buka."

"Aku ingin menjadi pelangganmu yang pertama hari ini."

Serena mengangguk. "Kau ingin makan apa?"

"Terserah kau. Apapun itu, pasti akan aku makan." Regis tersenyum kemudian mengerling.

"Baiklah." Serena langsung melangkah dengan cepat, ia tak ingin berlama-lama dengan pria ini. Entah mengapa, ia merasa sedikit takut. Takut jika sampai terhanyut pada pesona pria dengan jambang tipis itu. Hanya butuh waktu 15 menit, dan Serena sudah kembali dengan piring di tangannya.

"Hanya ini yang bisa aku masak untuk sarapan. Vegetable salad with Thousand island sauce and scramble egg." Serena tersenyum tipis, ada perasaan tak enak dalam hatinya. Pasalnya, Regis sudah jauh-jauh ke mari, tetapi hanya ini yang bisa ia berikan.

"Tidak masalah, Nona. Apapun makanannya, jika kau yang memasak pasti akan terasa enak." Regis tersenyum, kemudian mulai melahap makanannya. Tak lama, pria itu menutup mulutnya sedikit kaget, matanya berbinar terang. "Très bien. [13] Ini Thousand island-nya kau buat sendiri?"

Serena terkekeh pelan. "Pertanyaan macam apa itu?"

"Sungguh, aku tak menyangka makanan se-simple ini, rasanya akan enak sekali."

"Kau terlalu berlebihan, Tuan." Serena tersenyum tipis.

"Tidak, sungguh. Aku serius! Perceval sangat beruntung, memilikimu sebagai calon istri. Cantik, mandiri bahkan pintar memasak."

Serena tersenyum tipis, ia menunduk menyembunyikan rasa malunya. Sudah ia bilang, kan, ia tak biasa dipuji oleh orang yang baru ia kenal.

"Regis, sedang apa kau di sini?"

Suara berat tiba-tiba terdengar di telinga Serena. Ia menyadari, ada kemarahan yang tersirat di dalamnya.
Gadis itu menoleh. Benar saja, Perceval sedang berdiri menatap keduanya dengan tatapan mata yang menggelap. Jangan tanyakan bagaimana ekspresi Regis, karena pria itu malah tersenyum membalas tatapan dingin Perceval.

"Aku tanya, sedang apa kau di sini?!"

"Menurutmu?"

Perceval mengeraskan rahangnya, wajahnya memancarkan rasa tak suka. "Aku butuh jawaban!"

Regis tertawa pelan. "Tentu saja sarapan. Aku ingin mencicipi masakan nona Serena."

Serena berdeham. "Ah, sebaiknya aku kembali ke dapur." Dengan ragu Serena memberanikan diri untuk berdiri, tetapi suara Perceval malah menginterupsinya.

"Duduk!"

Serena menoleh, menatap tajam Perceval. Namun, pria itu sama sekali tak berkutik.

"Aku bilang, duduk!"

Serena menghembuskan napas pelan, ia tak ingin bertengkar dengan Perceval di depan Regis, orang yang baru saja ia kenal. Dengan terpaksa dan hati yang terus merutuki pria arogan itu, dia duduk kembali.

Perceval melangkah mendekatinya, kemudian duduk tepat di sampingnya. Pria itu langsung melingkarkan tangan ke bahu Serena, membuatnya seketika bergidik.

"She's mine."

Serena menoleh kaget. Apa-apan dia?!

"Jangan macam-macam dengannya!" Nada suara Perceval begitu dingin membuat Serena kembali melihat ke arah Regis.

Tawa Regis langsung terdengar, menggema hingga ke sudut ruangan. "Ya Tuhan ... kau cemburu, Perceval?"

Serena membisu. Yang membuat mentalnya semakin ciut, Perceval hanya terdiam tak menjawab sama sekali. Dengan rasa penasaran yang menghantui, Serena menoleh. Menatap Perceval dengan tatapan menyelidik. Astaga! Tak ada kebohongan di mata itu, tak ada keraguan di wajahnya. Rona merah langsung menghinggapi wajah Serena. Ia mengalihkan pandangan, ke mana pun, asal bukan ke wajah Perceval.

Tawa Regis kembali terdengar. "Kau membuat wajah calon istrimu memerah, Perceval."

Wajah Serena semakin terasa panas. Dua pria penggoda berada di depannya. Benar-benar membuatnya mati kutu. "A-aku ke dapur dulu." Serena langsung melepaskan tangan Perceval dan melangkah menjauh. Tawa Regis kembali menggema, membuat Serena hanya bisa merutuki dirinya sendiri.

"Serena. Rein!"

"Apa?!" sentak Serena. Rasa kesal tiba-tiba kembali menghinggapinya. Kejadian di ruangan Perceval tadi masih teringat jelas dalam ingatan.

"Kau marah?"

"Menurutmu?! Apa aku harus senyum-senyum ketika kau bersikap arogan seperti saat di ruanganmu tadi?" Serena mendengus. "Tidak bukan? Orang-orang akan menganggapku gila."

"Bukan itu maksudku!"

"Kalau begitu, apa maksudmu?"

"Aku minta maaf."

"Kalau kau--" ucapannya tertahan saat Serena dan Perceval mengucapkannya bersamaan. Sepertinya ia salah dengar.

"Aku minta maaf," ucap Perceval mengulanginya, seakan menyadari kekagetan dan kebingungan gadis itu.

"Untuk?"

"Ya ... untuk yang tadi pagi, kemarin dan lusa." Perceval menggaruk tengkuknya gugup.

Serena hanya bisa menutup mulut dengan kedua tangannya, tak percaya. Pria arogan seperti Perceval meminta maaf kepadanya.

"Jangan tertawa!"

Serena langsung tergelak. Rasa geli langsung menjalar ke perutnya. "Hahaha. Maaf, maaf. Tapi, aku tak percaya dengan permintaan maafmu." Serena menjulurkan lidahnya kemudian berbalik.

Perceval hanya bisa merengut saat Serena berbalik sambil terus tertawa.

"Ah, Percy ...."

Perceval menatap Serena yang kembali berbalik.

"Terima kasih banyak, untuk yang kemarin lusa." Serena tersenyum penuh dengan ketulusan.

Senyuman yang bahkan baru pertama kali Perceval lihat dari wajah Serena. Gadis itu kembali berbalik, kemudian melangkah menuju dapur.

Perceval masih terdiam beberapa saat, hingga akhirnya ia berbalik melangkah perlahan menuju tempat duduk di mana Regis berada. Perceval menutup mata dengan telapak tangan kirinya. Ia terkekeh pelan. "Astaga ... dia sangat cantik." Semburat merah langsung menerpa wajahnya. Darahnya berdesir, seiring dengan detak jantungnya yang terus berpacu. Perutnya melilit, seakan banyak kupu-kupu yang terbang di sana.

Perceval terkekeh pelan. Ia baru menyadari, gadis itu telah merebut hatinya, entah sejak kapan.

"Perceval!"

Perceval terenyak kaget. Ia menoleh sambil menatap tajam ke arah Regis. Pria itu melambai, menyuruhnya agar mendekat.

"Apa?!" Perceval menggeram saat ia sudah mengempaskan bokongnya ke kursi.

"Aku ingin membicarakan sesuatu yang penting. Aku harap--"

Perceval mendengus. "Tidak perlu basa basi."

"Baiklah. Aku ingin melakukan investasi di cafe ini."

Perceval menyeringai. " Tanpa investasimu pun, uangku bahkan bisa membeli perusahaanmu!"

Regis tersenyum tipis. "Kau tidak pernah berubah, Perceval. Tetap saja arogan."

"Aku tak peduli."

"Aku benar-benar ingin berinvestasi! Astaga!" Regis menarik rambutnya gemas. "Apa yang kau khawatirkan? Aku merebut calon istrimu, begitu?"

"Jangan macam-macam, Regis! Dia milikku!"

Tawa Regis kembali terdengar. "Aku tahu, aku tak tuli. Lagipula, sudah ada seseorang di hatiku."

Suara pintu yang terbuka, membuat Perceval dan Regis langsung menoleh.
Perceval mengernyit, rahangnya langsung mengeras saat ia melihat seorang pria membawa sebuket bunga mawar merah. "Sedang apa kau di sini?!" sentak Perceval dengan tatapan tajam. Ia berdiri, berjalan cepat ke arah Victor. Perceval menarik baju pria itu hingga kancing atasnya seakan menjerit meminta dilepaskan.

"Lepaskan, berengsek! Aku ingin bertemu Serena, kekasihku!" Victor menepis tangan Perceval, tetapi pria itu tak bergeming.

Tawa Perceval langsung terdengar, ia kemudian menyeringai. "Lucu sekali. Setelah kau meinggalkannya di rumah sakit, kau masih mengakuinya sebagai kekasihmu?! Jangan bermimpi!" Perceval langsung melayangkan pukulan tepat ke wajah Victor, membuatnya terhuyung ke samping.

"Whoa, whoa. Easy, Perceval. Tenang." Regis mencoba menahan tubuh Perceval agar pria itu tak kembali menyerang laki-laki yang baru saja datang. "Tunggu. Kau bilang, kekasih Serena? Bukankah, dia calon istrimu??" tanya Regis bingung, ia menatap Perceval dengan wajah menyelidik.

"Ceritanya panjang. Sebaiknya kau pergi dari sini, kau tak diterima di sini."

"Aku hanya ingin bertemu Serena!"

"Ada apa ini?"

Perceval, Regis dan Victor langsung menoleh serempak.

"Rein / Serena / Nona Serena," ucap ketiganya bersamaan.

"Vic, sedang apa kau di sini?"

Victor melangkah maju, melewati Perceval yang masih melihatnya dengan tatapan tajam, seakan tatapannya itu mampu membuatnya teriris-iris.

"Hei ...." Victor mengecup kening Serena pelan, kemudian memberikan buket bunga yang ia bawa. "Maafkan aku. Kemarin aku harus pergi. Aku tak bermaksud untuk meninggalkanmu."

Serena menatap Victor tak percaya. Ini pertama kalinya, Victor memberikannya bunga. Meski ragu, tetapi Serena tetap menerima buket bunga tersebut.

"Ayo, sarapan denganku, Rein."

Lagi-lagi, Serena hanya bisa mengerjap tak percaya. "A-aku tidak bisa. Aku harus bekerja."

"Ayolah, Rein. Atau, aku tunggu hingga nanti kau istirahat."

"Dia sudah bilang, dia tak bisa! Jangan memaksanya!!"

Serena menoleh, Perceval tiba-tiba sudah berada di sampingnya dengan wajah menekuk.

"Jangan ikut campur, sialan! Dia kekasihku!"

"Dia calon istriku!" sentak Perceval tak kalah kesal. "Rein, buang bunga itu!!" Perceval menoleh dengan tatapan horor.

"Astaga ... kalian berdua!!" Serena menggeram, ia langsung menimpukkan buket bunga mawar ke wajah Perceval dan Victor secara bergantian. "Berisik!!" Gadis itu langsung melangkah kembali ke dapur, meninggalkan Perceval dan Victor yang hanya bisa menganga tak percaya.

Regis tergelak dengan keras. Serena sangat populer. Ia bahkan tak menyangka, jika gadis itu digilai dua pria tampan sekaligus. "Wow ... she's really hot."

Perceval dan Victor langsung mendelik serempak, menatap Regis dengan tatapan membunuh, membuat gelak tawa Regis semakin keras.

[13] : Enak sekali.

Keterangan :
Chef de partie : Chef yang bertugas di bawah sous chef.
Butcher : Bertugas untuk membersihkan, memotong berbagai daging, hingga siap diolah.
Broth : Kaldu.
Demi-glace : Brown saus yang digunakan sebagai dasar saus lain.
Julliene : Potongan sayur dengan ukuran seperti korek api.

** Thank You **

Victor muncul lagi, cieee Percynya kebakaran jenggot tuh 😂😂 Aku suka kalo Percy udah kebakaran jenggot 😂😅

Maafkan jika part ini kurang greget. Aku ingin sedikit memperlihatkan Serena sebagai seorang chef yang baru bisa aku perlihatkan sekarang 😂😂

Sebenernya, seorang kepala chef, bukan hanya dituntut pintar memasak. Tapi bagaimana cara dia mengatur bawahan dia, mengatur jalannya dapur, membuat resep baru, dll. Mungkin itu belum bisa aku perlihatkan di sini 😂😂 butuh banyak revisi haha, masih banyak banget kekurangan.

Harap dimaklum, masih belajar 😂

Salam hangat,

Rifa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top