Piece Of Puzzle | Part 16 : I Miss You, Mom
Lagunya sambil di puter, enak banget cuy 😂😂😅
** Happy Reading **
"Dad, tak bisa berbuat banyak. Ini permintaan terakhir mendiang ibumu...."
Tubuh Serena menegang, saat kalimat itu terucap begitu saja. Ia melepas pelukan Frank dengan cepat.
"Apa maksudmu, Dad?"
Frank menghela napas dalam. Ada keraguan dalam wajahnya.
"Dad!"
"Oke. Tunggu sebentar." Frank melangkah keluar kamar membuat Serena hanya bisa memperhatikan Frank sampai ia menghilang dibalik pintu.
Serena duduk di samping ranjang, lalu menghapus kasar air matanya. Sungguh, berita ini mengejutkannya. Jadi, perjodohan ini adalah keinginan ibunya. Ia tak pernah menyangka sama sekali.
"Little Bunny."
Serena mendongak. Frank melangkah mendekatinya, dengan ragu pria paruh baya itu memberikan sebuah amplop yang membuat Serena mengernyit bingung. Serena yakin, surat itu adalah surat lama. Warna amplop tersebut telah berubah warna menjadi kuning kecoklatan. Serena menatap Frank lekat, mencoba mencari jawaban dari mata ayahnya.
"Bacalah, kau akan mengetahui semuanya."
Serena mengangguk pelan, dengan ragu ia mengambil surat tersebut dari tangan Frank.
Frank membungkuk, lalu mencium pucuk kepala Serena membuat gadis itu hanya terdiam. "Kau gadis yang kuat, Little Bunny. Aku tahu itu," bisik Frank pelan sebelum akhirnya ia melangkah pergi meninggalkan Serena sendiri.
Serena menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Dengan gemetar, ia membuka amplop tersebut. Terdapat sebuah kertas yang warnanya masih putih. Ia mengambil surat tersebut kemudian membacanya.
Dear my lovely Serena ....
Hanya satu kalimat dan itu sudah cukup membuat Serena yakin bahwa ini adalah tulisan ibunya karena hanya ibunya yang selalu memanggilnya seperti itu. Air mata menggenang kembali di pelupuk mata Serena. Betapa ia merindukan sosok Ane.
Bagaimana kabarmu, sayang? Mom harap, kau baik-baik saja di sana. Aku yakin saat ini kau pasti sudah berumur 25 tahun karena aku menyuruh Frank untuk memberikan surat ini saat kau telah berusia yang ke-25.
Rein ... mom sangat merindukanmu. Aku tahu, hidupku di dunia ini tak akan lama lagi. Aku menyadarinya, Rein. Ada gumpalan darah di otakku akibat kecelakaan mobil itu. Teknologi kedokteraan saat ini, belum terlalu canggih. Frank sudah mengusahakan semuanya. Namun, sebagai manusia bukankah kita tak akan bisa melawan takdir Tuhan? Satu hal yang paling aku takutkan, aku harus meninggalkanmu sendirian, tak akan bisa memelukmu lagi, tak bisa mendengar suara dan tawamu lagi, bahkan aku tak bisa lagi menjagamu saat malam dan menceritakan dongeng sebelum tidur untukmu ....
Serena menutup mata, membayangkan wajah Ane yang terlihat samar dalam ingatannya. Tak banyak kenangan masa kecil yang bisa ia ingat, dan itu membuatnya semakin sedih.
Tapi aku yakin, Frank dan Sam akan selalu menjagamu. Aku yakin, kau akan tumbuh menjadi gadis yang kuat dan pasti sangat cantik. Ah, aku penasaran akan seperti apa wajahmu nanti ....
Serena mengusap bulir air mata yang tiba-tiba menetes. Ia mengigit bibir bawahnya, menahan isak tangis yang semakin keras. Dadanya sudah terasa sesak, bahkan saat ia membaca kalimat pertama.
Rein ... anak perempuanku yang paling aku cintai dan sayangi. Maafkan aku, jika aku harus bersikap egois. Mungkin saat ini kau sudah mengetahuinya, bahwa aku menjodohkanmu dengan anaknya Anja, istri Damitri. Kami bersahabat sejak lama, dan kami pernah berjanji akan menjodohkan anak pertama kami, jika kami memiliki anak sepasang.
Serena membisu. Tatapan sendunya berubah menjadi kilat marah. Rahangnya mengeras saat ia terus membaca isi surat tersebut.
Tolong, jangan pernah membenciku ... aku selalu yakin, anak laki-laki Anja adalah pilihan yang terbaik untukmu.
With love,
Your mom, Ane.
Serena membeku. Tangannya masih terulur di udara. Air matanya kembali menetes. Ia meremas surat itu, kemudian meleparkannya sekuat tenaga ke dinding. Serena menekan dadanya yang terasa terhimpit, begitu sesak dan menyakitkan.
Saat Ane meninggalkannya, ia membawa serta setengah hati Serena. Ia menjadi anak pendiam, sulit bergaul dan jarang berbicara. Sekarang, Ane jugalah yang membuat setengah hatinya patah. Ane mengecewakannya.
Dengan langkah gontai, Serena melangkah ke halaman belakang mansion rumahnya, tepat di mana kuburan Ane bersemayam. Ia menatap lekat nisan tersebut. Ane Queen. Ibu yang sangat Serena sayangi, telah mengecewakannya. Orang yang selama ini Serena idolakan ternyata adalah orang yang sudah membuat hidupnya hancur.
Tubuh Serena terasa lemas, ia jatuh terduduk tepat di samping nisan ibunya kemudian mengusapnya pelan. "Kenapa ... kenapa, Mom??" lirih Serena. Ia menarik napas dalam. "Kenapa kau menghancurkan hidupku?!" geram Serena frustrasi.
Tak ada jawaban, hanya semilir angin yang terasa menerpa kulitnya.
"Aku kecewa padamu, aku marah padamu! Kalau ... kalau saja kau ada di sini, kemarahan dan kekecewaanku tidak akan sebesar ini." Serena menutup mulut dengan punggung tangan kanannya, menahan isakan yang semakin keras.
"Kenapa, Mom? Kenapa kau melakukan itu??" Serena menatap nanar nisan di depannya. "Jawab aku, Mom!" Serena memukul nisan tersebut dengan keras. "Jawab!!" Serena terus memukulkan tangan hingga tulang tangannya mengeluarkan darah, tetapi ia tak peduli. Sakit di tangannya tak sebesar sakit yang dirasakan hatinya.
Dada Serena naik turun. "Mom ...." Serena memeluk nisan tersebut. Ia menghela napas sebelum akhirnya kata itu terucap. "Aku merindukanmu ...," lirih Serena, ia kembali terisak.
"Rein ...."
Serena menoleh pelan. Samuel, berdiri di sana dengan senyum teduhnya. Ia berjongkok, lalu mengusap pelan kepala Serena.
"Jangan menangis lagi, aku ada di sini." Samuel mengusap air mata Serena dengan kedua ibu jarinya, menarik Serena ke dada lalu mengecup pucuk kepalanya lembut.
"Mom sangat menyayangimu, dan kau tahu itu." Samuel mengusap punggung Serena pelan saat isak tangis gadis itu kembali terdengar. "Jangan pernah meragukannya, Rein."
"Tanganmu berdarah! Ayo, kita obati dulu, hm?" ucap Samuel saat ia melepaskan pelukannya. Laki-laki itu kembali tersenyum hangat membuat Serena mau tak mau mengangguk pelan.
"That's my sister." Samuel kembali mencium pucuk kepalanya. Ia mengangkat tubuh Serena ala bridal style.
"Aku membuatkan bubur bayam kesukaanmu, loh!"
Serena tersenyum tipis saat mendengar nada suara Samuel yang sangat bersemangat. Ia menenggelamkan wajahnya di dada Samuel sambil terus merapalkan bahwa hatinya akan baik-baik saja.
💔💔💔
"Hmmm ...." lenguhan pelan terdengar dari bibir Serena saat rasa dingin tiba-tiba menyapa dahinya. Perlahan ia membuka mata, samar-samar ia mendengar suara laki-laki memanggil namanya dengan bahagia.
"Rein, kau sudah bangun?!"
Serena menoleh. Ia menyipitkan mata, berharap pandangannya bisa lebih jelas. Matanya melebar, saat ia menyadari sosok laki-laki yang sedang duduk di samping ranjangnya sambil menahan handuk kecil di dahinya.
"Apa yang kau lakukan di sini, Perceval?" tanya Serena lemah. Kepalanya terasa sangat pusing.
"Sam tadi meneleponku, dia mengatakan kalau kau sakit. Jadi aku langsung ke sini." Perceval mengangkat bahu, ia mencelupkan handuk kecil ke mangkuk yang di simpan di nakas, memerasnya pelan lalu kembali menempatkannya di dahi Serena. "Matamu sembab, apa kau habis menangis?"
Serena mendengus pelan. "Bukan urusanmu," Serena menarik selimutnya hingga ke dada, sesaat kemudian membalikan badan memunggungi Perceval, "pergilah ... aku tak mau melihatmu." Serena mencoba menutup matanya, mangabaikan pria gila yang terus saja mengganggunya.
Hening, tak ada jawaban. Serena terlonjak saat Perceval tiba-tiba menelusup masuk ke dalam selimut lalu memeluk pinggangnya dari belakang. "Aku tak akan pergi dari sini, aku akan menunggumu sampai kau sembuh," bisik Perceval lembut, membuat semburat merah di wajah Serena muncul, meski hanya sekilas.
Serena berdecak. "Apa yang kau lakukan? Lepaskan!" Serena berbalik, mencoba mendorong bahu Perceval agar laki-laki itu menjauh, tetapi karena tenaganya sangat lemah Perceval bahkan sama sekali tak berkutik.
"Diamlah. Sudah kubilang, aku akan ada di sini." Perceval menarik pinggang Serena, kemudian membenamkan wajah gadis itu di dadanya.
Dengan jelas Serena dapat mencium bau khas maskulin yang menguar dari tubuh laki-laki itu. Ia bahkan bisa merasakan debaran jantung Perceval yang berdegup kencang. Membuat rona merah di wajah Serena kembali hinggap. Astaga. Bahkan jantung gadis itu berdebar-debar sekarang. Ia tak pernah mendapat perhatian dan perlakuan seperti ini dari Victor dan perlakuan kecil ini, membuat Perceval terlihat sangat manis.
"Lepaskan, Percy. Jangan memelukku, nanti kau sakit," bisik Serena lemah, ia mendongak menatap iris mata biru Perceval.
Perceval menggeleng pelan lalu tersenyum tipis. "Aku tak peduli. Tidurlah, aku akan ada di sini saat kau membuka matamu." Perceval mengecup pelan pucuk kepala Serena, menyalurkan sengatan listrik yang tiba-tiba menjalar dari kepala hingga ke seluruh tubuhnya.
Dengan ragu, Serena membalas pelukan Perceval kemudian membenamkan wajahnya di dada bidang musuh bebuyutannya. Ah, ia bahkan lupa kalau Perceval adalah musuh bebuyutannya.
Serena tersenyum tipis, perlahan menutup matanya. Ia tak pernah senyaman ini berada di pelukan seorang laki-laki.
"Tidurlah ...," bisik Perceval pelan. Ia mengusap pelan punggung Serena, berharap gadis itu segera terlelap dan ternyata benar saja. Tak butuh waktu lama hembusan pelan keluar dari bibir gadis itu, menandakan bahwa Serena telah tertidur.
Perceval mendengus. Ia bingung, apa yang sebenarnya sedang ia lakukan. Samuel tiba-tiba meneleponnya, dan memberi kabar bahwa Serena sakit. Tanpa pikir panjang, ia yang sedang meeting langsung pergi ke mansion Queen dan di sinilah ia sekarang. Memeluk tubuh gadis itu yang memanas karena demam.
Perceval menunduk, menatap Serena yang sedang tertidur dengan damai. Lagi-lagi Perceval tersenyum tipis, ia menggigit bibir bawahnya saat menyadari Serena terlihat sangat cantik.
Namun, senyumannya memudar, digantikan dengan geraman saat ia melihat tanda kemerahan di leher Serena. Sialan. Rahang Perceval mengeras. Ia tahu, ini pasti ulah si berengsek Victor.
Dengan kasar, Perceval mencium leher Serena kemudian menghisapnya pelan. Menggantikan tanda kemerahan yang sebelumnya sudah terpampang di sana.
Tanpa sadar, kata sakral itu akhirnya terucap dari bibir Perceval.
"Kau milikku, hanya milikku."
** Thank You **
Gimana part ini?? Aku nangis kejer pas nulis bagian tentang ibunya Serena 😂😂😅 apakah feelnya dapet dan bisa tersampaikan ke kalian semua??
Masalahnya aku kurang bisa menggambarkan yang sedih-sedih 😂😂😅😅
Samuel nya sweeet banget, pengen punya adik cowok kaya dia 😂😅
Uhuk, Percy nya mulai possesive 😅
Serenanya masih galau aja 😅😂
Udah ah segini dulu.. Hahaha
Salam hangat,
Rifa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top