Piece Of Puzzle | Part 15 : Heartless

Di part ini, ada sedikit adegan 18+ lagi 😂😂😅 harap bijak dalam memilih bacaan ya.. Kalau enggak suka, di skip aja.. Wkwkwk

** Happy Reading **


"Duduklah Vic, aku ambil kotak obatnya terlebih dulu."

Victor mengangguk, ia melihat Serena melangkah di mana first aid disimpan, saat ini mereka sedang berada di tempat istirahat.

"Rein ...."

"Hm?"

"Apa Bennet mencintaimu?"

Tangan Serena terhenti di udara saat pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Victor. Ia sedang mengambil kotak obat yang disimpan di salah satu laci.

Serena mendengus pelan. "Jangan bercanda, itu tidak mungkin." Ia mengambil kotak obat, berbalik kemudian melangkah mendekati Victor lalu duduk tepat di sampingnya.

"Tapi Rein, dia bersikap sangat possessive padamu. Aku tak suka--"

"Sudahlah, Vic. Jangan membahasnya lagi." Serena menuangkan alkohol ke salah satu kasa, kemudian menyapukannya perlahan pada sudut bibir dan pelipis Victor yang membiru. "Lagipula, kenapa kau meladeninya? Dia itu arogan dan tak mau mengalah. Aku penasaran, harga dirinya sebesar apa." Serena terkekeh pelan, ia mengingat bagaimana Perceval yang keras kepala saat memilih dress untuknya.

Victor terdiam. Ia menatap Serena dengan lekat. "Kau menyukainya?"

"Astaga! Yang benar saja, Vic!" Serena mendorong tangannya yang sedang mengobati pelipis Victor, membuat laki-laki itu meringis pelan. "Jangan bicara omong kosong. Aku hanya mencintaimu."

Victor tersenyum tipis. Ia membelai wajah Serena yang terlihat sangat cantik. Rambut panjangnya yang ia gelung sembarang memperlihatkan leher jenjangnya, bulu mata yang lentik, iris mata cokelat yang indah membuat Victor selalu mengagumi mata itu.

Victor menyentuh tengkuk Serena, menariknya cepat, membuat gadis itu tersentak kaget saat dengan kasar Victor mencium bibirnya. Rasa amis darah langsung terasa ketika Victor menggigit pelan bibir bawah Serena, membuat gadis itu mau tak mau membuka mulutnya.

"Vic ...," lenguh Serena pelan disela ciumannya. Jantungnya berdegup dua kali lebih cepat. Ia merindukan sentuhan Victor yang membuat kakinya selalu terasa lemas.

"Ah!" pekik Serena kaget, saat dengan cepat Victor mengangkat tubuhnya dan mendudukannya di paha Victor.

Victor dapat melihat dengan jelas pipi gadis itu merona hebat, membuatnya menunduk menahan malu. "Kau membuatku mengingkanmu, jika kau terus merona seperti itu," bisik Victor dengan suara serak.

Tubuh Serena meremang, saat napas berat Victor mengenai lehernya. "Vic ...." Tubuh Serena membeku ketika dengan berani Victor menyusupkan tangannya ke baju chef yang Serena kenakan, membelai perutnya lembut, membawa sensasi geli pada tubuh Serena.

"Vic ...." Otak Serena seketika blank. Ia harusnya menolak perlakuan Victor, tapi tubuhnya malah berkata lain.

Tanpa sadar lenguhan pelan keluar dari bibir gadis itu saat Victor mengecup lehernya pelan, dan memberikan tanda di sana. "Kau milikku," bisik Victor tepat di telinganya.

Serena hanya bisa menempelkan dahinya di ceruk leher pria itu, karena saat ini tubuhnya terasa sangat lemas.

"I want you."

Serena termangu. Jika boleh jujur, saat ini ia juga sangat menginginkan Victor, apalagi saat ini Victor bersikap sangat manis padanya. "Vic, aku--"

Belum sempat Serena menjawab, Vicror kembali mencium bibirnya. Serena refleks melingkarkan tangannya ke leher Victor ketika ciuman itu terasa semakin menuntut.

"Oh, astaga!"

Victor dan Serena membeku saat sebuah suara menginterupsi kegiatan mereka. Ciuman mereka masih belum terlepas, tetapi gerakan mereka telah terhenti sejak tadi.

"Chef, maafkan aku! Seharusnya aku tadi mengetuk dulu."

Wajah Serena langsung memerah menahan malu, ia yakin saat ini pasti mukanya sudah semerah tomat. Untung saja ia duduk membelakangi pintu, jika tidak Charles pasti menertawakan wajahnya yang sedang bergairah.

"Teruskan kegiatannya, Chef. Aku akan kembali nanti." Charles langsung menutup pintu dengan cepat membuat wajah Serena semakin memerah.

Perlahan Serena melepaskan ciumannya kemudian terkekeh pelan. "Maafkan atas gangguan yang tak terduga."

Victor menggeleng pelan, kemudian tersenyum tipis. "Tidak masalah." Victor mencium bibir Serena sekilas sebelum ia mendudukan kembali gadis itu di sampingnya.

Serena berdeham, jantungnya masih belum kembali normal. Gadis itu mencoba mengendalikan gairah yang sebenarnya masih berada di awang-awang.

"Vic, besok malam pertunanganku," ucap Serena mengalihkan suasana yang canggung. Serena kembali mengobati sudut bibir Victor yang lain, yang masih belum sempat ia sentuh.

Victor mengangguk.

"Bagaimana kalau kita meninggalkan kota ini kemudian menikah?" usul Serena masih fokus ke sudut bibir laki-laki itu.

Victor menoleh kaget, pasalnya ia tak menyangka jika Serena mengusulkan hal gila semacam itu. Victor mendengus. "Kau bercanda?"

"Tidak."

"Kau tidak serius."

"Aku lebih dari serius, Vic. Astaga, apa kau tak mau menikah denganku??" Serena menatap Victor dengan tatapan tajam.

"Tentu saja aku mau. Tapi ... aku tak bisa meninggalkan kota ini, Rein." Victor mengembuskan napas pelan, menatap Serena dengan tatapan nanar.

Serena menyeringai. Sudah ia duga.
"Tentu saja. Kau pasti akan menolak, kan?" Serena terkekeh miris. "Itu karena pekerjaanmu lebih penting dibandingkan aku!" Serena melemparkan kasa ke dada Victor dengan kasar.

"Rein...."

"Katakan ... katakan jika aku salah, Vic!"

Victor hanya terdiam, lidahnya terasa kelu sekarang.

Serena tersenyum miris. Hatinya terasa ditusuk oleh ribuan jarum. Ia
berdiri kemudian melangkah menuju pintu. Tangannya terulur di udara saat ia akan membuka kenop pintu.

"Kau memang tak pernah benar-benar peduli padaku, Vic," ucap Serena getir tanpa menoleh. Ia membuka pintu, kemudian menutupnya dengan kasar. Serena menghapus cepat air mata yang berhasil lolos. Lagi dan lagi, air matanya selalu jatuh untuk orang yang sama.

Serena menutup mulutnya dengan punggung tangan berusaha agar isak tangisnya tak lolos dari bibirnya, tetapi rasanya percuma, hati ini sudah terlanjur tersakiti oleh orang yang sangat ia cintai. Ia menekan dadanya pelan, saat rasa sesak menjalar di dadanya. "Haruskah sesakit ini?"

Serena menghirup napas dalam, kemudian menghembuskannya pelan. Dadanya terasa sangat sesak. Gadis itu melangkah melewati dapur sambil terus menunduk, mengabaikan teman-teman yang menyapanya. Melewati mini bar dengan cepat, kemudian melangkah menuju mobil. Ia ingin pulang ke rumah, pergi dari negara ini, meninggalkan orang-orang yang selalu membuatnya bersedih.

⚡⚡⚡

"Little Bunny, kau sudah pulang?" tanya Frank heran. Jam masih menunjukan pukul dua siang, dan tak biasanya Serena pulang sesiang ini.

Serena hanya terdiam, ia melangkah menuju kamarnya tanpa menjawab pertanyaan ayahnya. Dengan cepat ia mengambil koper yang tersimpan di lemari. Dengan tergesa Serena menyambar beberapa pakaian, memasukannya asal, kemudian menutupnya dengan cepat. Air mata masih menggenang di pelupuk matanya.

"Little Bunny, kau mau ke mana?"

Serena terdiam saat suara ayahnya terdengar. Ia menghapus kasar jejak air matanya kemudian menoleh.
"Aku akan pergi dari kota ini, Dad."

Frank mengernyitkan alisnya bingung. "Jangan gila! Besok kau bertunangan, Serena!"

"Dad, apa kau tak mengerti?! Aku tak mau bertunangan dengan Bennet!" Air matanya kembali menggenang di pelupuk mata. "Pernahkah Dad memikirkan perasaanku? Apakah ... apakah perasaanku ini tak penting, Dad?" Air mata Serena lolos tanpa ia sadari membuat Frank tertegun.

Baru kali ini Frank melihat anak gadisnya itu menangis di depan matanya. Serena yang ia kenal adalah gadis yang kuat. Namun, Serena yang saat ini berada di depan matanya terlihat begitu rapuh.

Frank sebenarnya tak tega, tetapi ini adalah perminataan Ane--mendiang istrinya. Frank melangkah mendekat, ia menarik tubuh Serena kemudian memeluknya. Ia mengecup kening Serena pelan. Frank menghela napas. "Maafkan Dad, Little Bunny. Dad, tak bermaksud untuk menyakitimu." Frank mengusap pelan punggung Serena, berharap agar puterinya itu lebih tenang. "Dad, tak bisa berbuat banyak. Ini permintaan terakhir mending ibumu ...."

Tubuh Serena menegang, saat kalimat itu terucap begitu saja. Ia melepas pelukan Frank dengan cepat. "Apa maksudmu, Dad??"


** Thank You **

Wkwkwk. Ceritanya nanggung ga?? 😂😂😅 biarin ah, biar penasaran 😈😈😈

Victor tetep ngeselin yee 😂😅 enaknya di apain nih??

Ada yang kangen kah, sama Percy? 😍😍


Salam hangat,

Rifa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top