Piece Of Puzzle | Part 12 : I'm Fine

Thanks buat lynxaglaea yang secara ga langsung selalu ngasih ide-ide nakal tentang POP, meskipun itu hanya obrolan yang ga jelas.. Wkwkwk 😂😂😂 tapi itu berguna disaat aku sedang mentok akan ide cerita 😅

** Happy Reading **

Mobil Bugatti Perceval melaju dengan cepat, memecah jalanan kota Paris yang siang itu terlihat cukup ramai. Serena menggelung rambut panjangnya ke belakang dengan sembarang, iris mata cokelatnya terus menatap ke luar kaca mobil. Kedua tangan ia silangkan di depan dada, dengan bibir merah mudanya yang ia kerucutkan hingga beberapa centimeter.

Ia kesal dan marah. Bagaimana tidak? Lihat saja tingkah Perceval--si otak udang--ia sedang bersiul kegirangan. Saat mereka memasuki butik tadi, Perceval langsung memilihkannya sebuah short dress berwarna hitam dengan potongan V-neck yang memperlihatkan belahan dadanya. Dress itu membentuk pinggangnya dengan sempurna, panjangnya beberapa inchi di atas lutut, menampakkan kakinya yang jenjang.

Ya Tuhan ... ia saja yang memakainya merasa malu. Ia tak pernah memakai pakaian seperti itu, ia tak suka. Apalagi jika sampai memperlihatkan belahan dadanya. Namun, lagi-lagi tuan arogan ini memaksanya untuk memilih dress tersebut. Ia mengatakan bahwa itu adalah bayaran karena sudah membuat T-shirt-nya basah. Yang benar saja!

"Kita mau ke mana?" tanya Serena saat ia menyadari jalanan yang cukup asing baginya. Ia menoleh kemudian menyernyit bingung.

"Ke mansion-ku," jawabnya, "ayah ingin bertemu denganmu."

Tenggorokan Serena tercekat.
Ia menatap Perceval dengan tatapan menyelidik. Sungguh ia tak bisa membaca pikiran laki-laki ini, karena sifatnya kadang berubah-ubah.

"Apa aku terlihat sangat tampan, sampai-sampai kau melihatku seperti itu?" tanya Perceval tanpa mengalihkan pandangan dari arah jalan. Tangannya yang kokoh terus memegang kemudi, iris mata birunya melihat jalanan dengan tatapan tajam, dan jangan lupakan senyum menyeringai yang tercetak di bibir ranumnya. Membuat jambang di sekitar wajahnya terlihat sangat mempesona.

Serena mendengus kasar kemudian mengalihkan pandangan dengan cepat. "Jangan bercanda," jawab Serena dengan nada dingin membuat Perceval terkekeh pelan.

Gadis di sampingnya ini memiliki gengsi yang sangat besar. Ia menyadari itu. Saat dulu ia sering menyiksanya, gadis itu selalu diam, tak pernah menangis ataupun melawan. Ia suka sekali melihat ekspresi Serena yang sedang kesal ataupun marah. Perbedaannya, dulu gadis itu sering mengabaikan dirinya, tetapi lihatlah sekarang. Gadis itu sudah bisa melawan dan Perceval menyukai hal itu.

Bagaimana gadis itu berubah menjadi sosok pribadi yang kuat juga berani, semua itu membuat Serena sangat memesona. Perceval mengulum senyum, saat ia mengingat kejadian tadi. Kejadian saat jarinya menyentuh bibir Serena yang lembut. Darahnya tiba-tiba berdesir, membuat jantungnya berdebar tak seperti biasanya. "Aku suka bibirmu," gumam Perceval pelan, tetapi masih bisa didengar oleh Serena.

Serena menoleh kaget, iris matanya membesar seakan ia baru saja mendengar hal yang di luar nalar. Semburat merah berhasil lolos di wajahnya saat ia mendengar Perceval mengatakannya lagi.

"Aku suka bibirmu."

Serena berdeham, ia membuka mulut kemudian mengatupkannya lagi. Serena menautkan jemarinya, mencoba mengendalikan desiran yang menyeruak perlahan di dalam dada. Serena berdecak pelan lalu mengalihkan pandangan tanpa mengatakan sepatah kata pun. Lihat saja, sebentar lagi pria itu pasti akan tertawa.

Satu detik ....

Dua detik ....

Serena menyernyit karena hanya keheningan yang ia dapatkan, ia menoleh perlahan dan mendapati laki-laki itu sedang menatap ke arahnya dengan tatapan yang dalam. Hanya beberapa saat hingga pandangannya fokus kembali ke jalanan.

"Apa?!" geram Serena kesal. Ia bingung karena hari ini Perceval bertingkah aneh, dan ia tak suka hal itu. Ia lebih menyukai Perceval yang biasanya. Yang menyebalkan, arogan dan suka seenaknya.

"Bukan apa-apa." Perceval mengangkat bahu pelan. "Ah, sudah sampai."

Serena membuka kaca kemudian mendongak. Sebuah mansion di dominasi warna cokelat keemasan memenuhi pandangannya. Terdapat unggakan tangga berwarna putih menuju pintu utama. Pintu berwarna hitam dengan ukiran berwarna emas. Berbeda dengan mansion milik ayahnya yang dipenuhi dengan tanaman dan pepohonan, mansion ini lebih memilih tempat olah raga sebagai hiasan. Lapangan tenis di samping kiri, dan ada kolam renang di samping kanan. Ia yakin, mansion itu juga mempunyai puluhan kamar di dalamnya. Lihat saja dari luar, begitu banyak jendela yang terpangpang di sana.

"Nona," Seorang pelayan menyapanya lalu tersenyum membuat Serena menjauhkan kepalanya dari arah pintu, "silahkan." Pelayan tersebut membuka pintu mobil perlahan.

Serena melangkah keluar, kemudian merapihkan kemejanya yang sedikit kusut. "Terima kasih."

"Perkenalkan, ini Norman. Asistan pribadi ayahku. Norman, ini Serena, dia--"

"Nona Queen, calon istri tuan muda Perceval," Norman tersenyum hangat, "sebentar lagi, Anda juga akan menjadi nyonya muda di rumah ini."

Serena membisu. Jantungnya lagi-lagi berdesir hanya karena mendengar kalimat itu. Sejak tadi jantungnya berdebar tak karuan hanya karena mendengar kalimat calon istri. Serena merdeham, mencoba mengendalikan ekspresi wajahnya. "Bisakah kalian tidak terus memanggilku seperti itu?! Aku bahkan tak pernah setuju untuk menikah dengannya!"

Perceval mendekat kemudian berbisik tepat di telinganya, membuat tubuh Serena meremang karena deru napas laki-laki itu. "Kau hanya belum setuju...."

"Terserah!" sentak Serena frustrasi, ia melangkah masuk ke dalam mansion dengan kesal, mengabaikan rasa panas yang tiba-tiba menjalar ke wajahnya.

"Wah, sepertinya dia sudah menganggap ini rumahnya. Tanpa di minta pun, dia sudah masuk lebih dulu." Perceval terkekeh geli melihat kelakuan Serena yang sungguh ajaib.

Ia melangkah masuk diikuti dengan Norman yang berdiri di belakangnya. Perceval bersiul girang, hatinya sungguh terhibur dengan keberadaan gadis di depannya. Namun siulannya menghilang, digantikan dengan kebingungan karena ia melihat langkah gadis itu terhenti.

"Ada ap--" ucapan Perceval terputus saat ia melihat sosok yang sangat dikenalnya, sedang duduk menyilangkan kaki, di sofa putih yang berada di ruang keluarga.

Perceval membeku, butuh beberapa detik hingga satu nama itu keluar dari mulut manisnya. "A-Alexa??"

Gadis itu menoleh, menatap Perceval dengan ekspresi yang sulit dibaca. Tak ada senyum bahagia dari bibir merahnya, tak ada tatapan berbinar dari iris mata hijaunya. Hanya ekspresi datar dan dingin yang membuat Perceval tertegun. Ia menyadari gadis itu sedang menahan amarah.

"Kenapa kau tak bilang kalau kau mau datang?" Perceval melangkah mendekat, ia menyentuh tangan Alexa kemudian menggenggamnya.

"Dan merusak suasana pertunangan kalian?" tanya Alexa dingin, sangat dingin.

Hati Perceval berdenyut. Dia bingung harus menjelaskan darimana. Dia merasa bodoh karena ia tidak menjelaskan sejak awal tentang perjodohan ini.

"Dengarkan dulu--"

"Kau sudah mendengarnya bukan?" Damitri tiba-tiba muncul dari arah ruang kerjanya, "Serena dan Perceval akan bertunangan dua hari lagi," lanjutnya. "Serena, menantuku ... ayo, duduk." Damitri melangkah mendekati Serena kemudian menarik tangannya agar duduk di sampingnya.

Serena hanya bisa terdiam membisu. Ia ingin menghilang saat ini juga. Sungguh, ia merasa malu dan sangat bersalah.

Sedangkan Perceval, ia hanya bisa menggertakan gigi menahan amarah. Jadi ini, alasan Damitri menyuruhnya mengajak Serena kemari. Ia tak menyangka, ayahnya berbuat sejauh ini.

"Kau sebaiknya pergi dari sini. Wanita murahan sepertimu, bahkan tak pantas bersanding dengan keluarga Bennet."

Serena, Perceval dan Alexa menegang. Kata-kata pria itu sungguh menusuk. Alexa tahu, sejak awal Damitri memang tak pernah menyukai dirinya. Pekerjaannya sebagai model, dikenal dan digilai hampir semua laki-laki, membuatnya tak cukup pantas untuk Perceval.

Serena menghela napas pelan. Sekarang ia tahu, sifat arogan Perceval menurun darimana. Dia hanya bisa memijit pelipisnya saat Alexa menepis kasar tangan Perceval, berdiri kemudian melangkah keluar dengan cepat tanpa menoleh ke arah Perceval sedikit pun.

Refleks Serena berdiri dan mengejar Alexa. Ia bisa mengerti perasaan gadis itu. Kecewa, marah, dan tersakiti.

"Tunggu." Serena menarik tangan Alexa, tetapi gadis itu menepisnya kasar.

"Aku tak menyangka, ternyata idolaku sendiri yang menghancurkan hidupku," ucap Alexa dingin, matanya berkilat marah, "selamat, kau sudah berhasil." Alexa tersenyum miris kemudian berbalik melangkah pergi.

"Tunggu ... kau salah paham!"

"Sebaiknya kau lepaskan, kalau kau tak mau aku tampar!"

Serena tertegun. Bagaimana caranya agar dia bisa menjelaskan semuanya? Astaga. Kepalanya sakit sekarang.

"Tung--"

"Biarkan aku yang mengejarnya." Perceval menepuk bahu Serena, membuat gadis itu mengangguk perlahan.

Serena melihat laki-laki itu berlari ke arah Alexa, memeluknya erat mencoba menenangkannya. Meski Alexa terus memukulnya dan menampar wajahnya, laki-laki itu sama sekali tak bergeming. Hingga akhirnya pukulan Alexa melunak, Perceval melepaskan pelukannya dan mencium bibir gadis itu.

Serena tertegun, ada sudut hatinya yang terasa berdenyut saat menyaksikan pemandangan barusan. Ia hanya bisa tersenyum hambar, ketika melihat Perceval menggenggam tangan gadis itu, menariknya menuju mobil, lalu pergi meninggalkan mansion keluarga Bennet.

** Thank You **

Bagaimana part ini?? Makin boring? Alurnya terlalu cepet enggak ya? 😂😂😅

Kalian team siapa nih? #teamAlexa atau #teamSerena?? 😂😂

Di part selanjutnya, Victor dimunculin lagi jangan ya? 😅😅 biar Serenanya makin galau.. 😈😈

Makasih yaaa, teman-teman udah baca..

Salam hangat,

Rifa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top