Piece Of Puzzle | Part 10 : Back to You

Part ini aku dedikasikan buat lynxaglaea, awal mula dari comment cerita, trus jadi obrolan yang melancong kesana kemari, aku jadi dapet ide, dan aku munculkan di part ini.. 😂😂

Jangan lupa klik bintangnya ya.. Semoga kalian semua suka..

** Happy Reading **

Sinar mentari memaksa masuk lewat celah-celah jendela. Meski pelan, suara lenguhan terdengar dari bibir Serena. Dengan malas ia menarik kembali selimutnya saat udara dingin tiba-tiba begitu terasa menusuk tulang.

"Rein, bangun! Ini sudah siang."

Samar-samar Serena mendengar suara Samuel di dalam kamarnya. Namun, ia lebih memilih memejamkan matanya kembali daripada harus berurusan dengan Samuel di pagi hari.

"Astaga. Rein, kau ini seorang gadis. Cepatlah bangun!" Samuel menarik selimut yang membungkus Serena dengan kasar, membuat gadis itu berdecak pelan.

"Aku masih mengantuk. Salahkan orang gila yang menganggu tidurku semalam, sehingga aku baru bisa tidur jam 5 pagi." Serena menarik kembali selimutnya hingga ke leher.

"Ya ampun. Ini sudah hampir jam 10, kau mau tidur sampai kapan?"

Serena memekik kaget setelah ia terduduk dan menoleh ke arah jam weker di atas nakas. "Kenapa kau tak membangunkanku sejak tadi?? Sebentar lagi, Victor akan menjemputku." Serena melangkah keluar dari ranjang dengan keadaan hanya memakai underwear

Samuel hanya bisa menggelengkan kepala pelan. "Pelayanmu sudah membangunkanmu beberapa kali, tapi kau sama sekali tak bergeming."

"Kapan Lusi membangunkanku?"

Samuel memutar bola matanya malas. Ia memperhatikan Serena yang mengambil handuk dari lemari bajunya. "Sudahlah, cepat mandi sana." Samuel mendorong Serena pelan agar segera masuk ke kamar mandi.

"Baiklah," decak Serena melangkah ke kamar mandi lalu menutupnya dengan cepat. Ia menoleh ke arah kaca. Serena menghela napas, saat menyadari ada lingkaran hitam di sekitar matanya. Rencananya pagi ini bersantai di bathtub dengan aroma rose gagal. Ini semua gara-gara si otak udang. Kalau dia tak meneleponnya tengah malam, pagi ini ia pasti bangun dengan mood yang bagus.

Serena menyalakan shower sambil terus bersumpah serapah, berharap mood-nya bisa lebih baik. Dengan cepat ia menyelesaikan mandinya, mengeringkan badan, kemudian melilitkan handuk di tubuhnya. Ia melangkah ke arah pintu lalu membukanya.

"Astaga!" pekik Serena kaget saat menyadari ada seorang laki-laki di kamarnya.

Laki-laki itu menoleh kaget.

"Apa yang kau lakukan di kamarku?!" sentak Serena dengan tatapan membunuh. Ia refleks menyilangkan kedua tangan di depan dada, menutupi bahunya yang terekspos.

Perceval mendengus kemudian memutar bola matanya malas. "Ayolah ... kau tak perlu menutupnya, tubuhmu tak semenarik itu," ucap Perceval santai sambil mengangkat bahunya acuh.

Apa katanya?! Serena menggertakan gigi, mengepalkan tangan menahan amarah. Ia mendengus kasar. Serena mengambil jam weker yang terletak tak jauh dari kamar mandi. Mengangkatnya cepat dan bersiap untuk melemparkannya ke arah Perceval. "Pergi kau dari kamarku, jika kau tak ingin kubunuh!"

Perceval menyeringai. "Tenanglah. Aku bahkan tak berminat dengan tubuhmu."

Kening Serena berkedut. "Kau!" Serena melangkah mendekat bersiap melemparkan jam wekernya sekeras mungkin, tetapi handuk yang melilit tubuhnya tiba-tiba merosot ke bawah memperlihatkan tubuhnya yang telanjang.

Serena dan Perceval serempak menoleh ke bawah. Keduanya membeku. Rasa panas tiba-tiba menjalar dari pipi hingga ke telinga membuat Serena ingin menggali lubang secepat mungkin, lalu bersembunyi di sana saking malunya. Refleks ia langsung menutupi kedua area pribadinya.

"Jangan lihat!" pekik Serena mengangkat wajah. Namun, semuanya terlambat. Serena terlanjur melihat semburat merah di wajah Perceval meski hanya sekilas.

"Keluar!"

Perceval mendengus. Ia membalikkan badan dengan santai kemudian melangkah perlahan. Tangannya terulur ke gagang pintu, tetapi seketika terhenti di udara.

"Belle [10] ...." Perceval menoleh sesaat kemudian menyeringai, membuat wajah Serena langsung merah padam.

"Keluar!" Serena melemparkan jam wekernya, tetapi terlambat karena laki-laki itu sudah terlebih dulu keluar dari kamarnya.

Astaga. Memalukan sekali. Serena menutup wajahnya dengan kedua tangan. Wajahnya masih terasa panas, dan jantungnya, ya Tuhan! Jantungnya berdegup kencang saat pria itu mengatakan kalau dia cantik.

Serena menggeleng keras. Tidak! Ini hanya efek adrenalin saja. Ya, ia yakin pasti seperti itu.

☁ ☁ ☁

"Berhenti mengikutiku, sialan!" sentak Serena saat Perceval lagi-lagi sudah berada di samping Serena. Ia dan Victor sedang membeli ice cream.

Perceval mengangkat bahu acuh. "Aku tak mengikutimu."

"Kalau begitu, pergi dari hadapanku!"

"Tidak bisa, karena daddy menyuruhku untuk menemanimu membeli gaun untuk pertunangan kita. Aku tak bisa menolaknya," jawab Perceval santai.

"Sudah kubilang, aku tak pernah setuju menikah denganmu. Lagipula, kapan dad bilang begitu?"

"Tadi pagi." Perceval menyambar ice cream yang diberikan Victor untuk Serena, membuat Serena dan Victor menatapnya tajam.

Serena menghela napas kasar. "Terserah! Abaikan saja dia. Ayo, Vic."

"Kau bisa mengabaikanku, tapi kau tak akan bisa menghindar dariku."

"Terserah!" geram Serena kesal. Ia bingung dengan pria ini. Tadi saat ia dan Victor akan pergi, dia juga pamit pergi. Namun, lihatlah sekarang. Dia sudah seperti bodyguard yang mengikutinya ke mana-mana.

"Rein, kenapa dia terus mengikuti kita?" bisik Victor tepat di telinga Serena, membuat gadis itu terkekeh geli.

"Aku tak tau, abaikan saja," jawab Serena tak kalah berbisik.

Victor berdecak kesal. Rencananya ingin berdua saja dengan wanitanya berakhir gagal. Bagaimana bisa ia menikmati kencannya, sedangkan ada laki-laki arogan yang mengikuti mereka ke mana pun mereka melangkah, dan itu membuatnya kesal setengah mati.

"Vic, jangan menekuk wajahmu seperti itu. Aku tau kau kesal, tapi mau bagaimana? Dia sangat keras kepala." Serena menyentuh pipi Victor dengan kedua tangannya sesaat kemudian tersenyum hangat.

"Tapi dia membuat mood-ku menjadi buruk." Victor melirik ke arah Perceval yang sedang berdiri memakan ice cream dengan santai, jarak mereka hanya beberapa langkah.

Serena tersenyum tipis. "Aku tahu," Ia mendekatkan wajahnya ke arah Victor, "tetapi aku ada di sini, bersamamu." Serena mengecup bibir Victor lembut, semburat merah muncul di wajahnya. Saat ia ingin melepaskan ciumannya, laki-laki itu malah menarik pinggangnya dan memperdalam ciuman mereka. Astaga. Ia merindukan ini. Perasaan yang membuat jantungnya berdebar dan wajahnya yang ikut memanas setiap kali Victor mencium bibirnya.

Serena mendorong dada Victor pelan. Ya Tuhan ... ia kehabisan napas! Ia yakin, wajahnya saat ini pasti sudah seperti kepiting rebus.

Victor menyentuh pipi Serena, membuat wanita itu mendongak menatapnya. "Aku suka saat aku bisa memberikan pengaruh besar untukmu," Victor membelai pipi Serena, membuat wajah gadis itu semakin memerah, "aku suka saat wajahmu memerah karena perlakuan yang aku berikan." Victor mencium kening Serena sesaat kemudian menarik wanita itu kedalam pelukannya.

Perlahan Victor menunduk, mendekatkan wajahnya ke telinga Serena. "I want you," bisik Victor dengan suara berat membuat tubuh Serena meremang.

Serena membeku. Apa katanya? Sepertinya ia salah dengar. Namun, saat ia mendongak menatap mata Victor, ia menyadari jika pendengarannya tak salah. Ia bisa melihat dengan jelas kilat itu di matanya dan Victor benar-benar menginginkan dirinya.

Serena menunduk, menggigit bibir bawahnya ragu. Ini pertama kalinya Victor mengatakan dengan jelas jika ia menginginkan dirinya. Apakah ia harus menyerahkan harta yang paling berharga miliknya pada Victor? Apakah Victor bisa menjaganya?

"Aku juga--" Rasa dingin yang menusuk tiba-tiba menyerang punggung Serena, membuat ucapannya terputus seketika. Ia menoleh dan mendapati Perceval sedang tersenyum dengan wajah tanpa dosa.

"Ups ... sorry." Perceval mengangkat cone ice cream yang setengah kosong.

Kening Serena berkedut, ia berbalik melepas pelukan Victor di tubuhnya, melangkah mendekati Perceval dan bersiap untuk memukulnya. Namun, gerakannya terhenti saat Victor lebih dulu menarik kerah Perceval dan melayangkan pukulan tepat di wajahnya.

"Vic!" pekik Serena saat Victor kembali melayangkan tinjunya.

"Enough!!" ucap Serena penuh amarah saat Victor melayangkan tinjunya untuk yang ketiga kali, dan anehnya Perceval malah terdiam tanpa ekspresi. Pria itu sepertinya tak berniat membalas Victor sekali pun.

"Tapi Rein--"

"Aku bilang, cukup!"

Dengan kasar Victor melepas kerah Perceval dan mendorong tubuh laki-laki itu dengan keras. Perceval menyeka sudut bibirnya yang berdarah kemudian menyeringai, membuat Victor menggeram marah.

Serena hanya bisa terdiam saat melihat Perceval sekilas tersenyum tipis. Ada apa dengan laki-laki itu? Hari ini, ia bersikap tidak seperti biasanya. Ini bukan Perceval yang ia kenal. Dia seperti orang lain, dan itu membuat hatinya merasa tak nyaman.

"Rein ... Rein!"

"Ah, maafkan aku. Ada apa?" Serena tersentak saat Victor memanggil namanya dengan sedikit keras.

"Aku harus pergi," Victor memegang tangan Serena kemudian menatapnya dengan tatapan bersalah, "ada pekerjaan mendadak yang harus aku selesaikan." Victor membelai rambut Serena pelan, tetapi itu sama sekali tak mengurangi tatapan kecewa yang ditunjukkan gadis itu.

"Tapi Vic, kita bahkan baru satu jam bersama dan kau sudah mau pergi lagi?" Serena menatap Victor dengan tatapan sendu, membuat laki-laki itu menghela napas berat.

"Aku tahu. I'm so sorry, Rein. Tapi, aku harus pergi," Victor mengecup kening Serena, "nanti aku telepon." Victor berbalik, kemudian dengan cepat ia berlari menuju mobilnya yang ia parkir di dekat taman.

Serena tersenyum miris melihat bayangan Victor yang semakin menjauh. Baru tadi ia mengatakan bahwa laki-laki itu menginginkan dirinya. Lihatlah sekarang, ia meninggalkannya sendirian di tengah kencan mereka. Ia sudah terbang melayang ke nirwana, tetapi dengan mudah Victor menghempaskannya hingga ke dasar bumi, dan itu membuatnya merasa sangat buruk.

Serena terduduk lemas di bangku yang tak jauh dari tempat ia membeli ice cream tadi. Ia mengusap kasar wajahnya frustrasi. Rasanya ingin sekali ia berteriak dan menangis, tetapi tak ada sedikit pun suara bahkan air mata yang keluar.

"Ganti bajumu."

Serena mendongak.

Perceval tiba-tiba ada dihadapannya, mengasongkan kemeja putih yang Serena yakin masih baru.

"Aku bilang, ganti bajumu!" sentak Perceval saat Serena hanya mengerutkan kening tak mengerti.

"Aku tak mau."

"Cepat ganti, atau kau mau aku yang menggantikannya untukmu?!" Perceval menyeringai, membuat semburat merah muncul di wajah Serena.

Serena menyambar kemeja tersebut dengan kasar. Ia mendengus, sesaat kemudian melangkah ke kamar mandi.

Perceval hanya bisa tergelak melihat wajah Serena yang memerah. Gadis itu pasti mengingat kejadian tadi pagi saat di kamarnya. Perceval tersenyum tipis, dan itu membuat dadanya menghangat.

"Sudah selesai?" tanya Perceval saat Serena ikut duduk di sampingnya. Gadis itu terus menggerutu, mengeluarkan sumpah serapah yang sama sekali tak ia mengerti. Perceval mengulum senyum sambil menopang pipinya dengan tangan kanan, matanya terus melihat wajah Serena. Tanpa sadar, tangannya terulur menyelipkan rambut--yang menutupi mata Serena--ke telinga gadis itu, membuat gadis di sampingnya membeku. 

Refleks Perceval langsung menarik tangannya kemudian mengalihkan pandangan ke arah jalan. Hening. Tak ada yang memulai pembicaraan. Suasanya tiba-tiba menjadi canggung dan itu membuatnya tak nyaman.

Serena menoleh. Ia membuka mulut, tetapi mengatupkannya kembali saat Perceval mengatakan hal yang tak masuk di akal.

"Bagaimana kalau aku bisa membuatmu jatuh cinta padaku?" Perceval menatap rumput hijau yang bergoyang di depannya, "dan membuatmu melupakan si berengsek itu?" lanjutnya dengan nada yang tak bisa terbaca oleh Serena.

Serena menunduk lalu terdiam, sesaat kemudian tertawa hambar. "Lihat siapa yang berbicara. Kau bahkan lebih berengsek daripada Victor."

Perceval mengangkat bahu acuh. Ia mendongak, menatap langit kota Paris yang begitu cerah. "Setidaknya aku tak pernah meninggalkan kekasihku saat kami sedang berkencan, bahkan untuk pekerjaan sekali pun."

Serena tertegun. Hatinya mencelos saat Perceval mengatakannya. Ia akui, bukan sekali ini saja Victor meninggalkannya saat mereka sedang berdua, dan itu membuatnya semakin marah.

"Ikut aku." Perceval menarik tangan Serena, membuat gadis itu tersadar dari lamunannya.

"Mau ke mana?"

"Menghiburmu, tentu saja." Perceval menyeringai, membuat Serena membisu.

[10] : Cantik.

** Thank You **

Bagaimana comment untuk part ini? Anehkah? Atau terlalu memaksa? 😂

Aku juga mau tanya, cerita ini, alur nya menurut kalian berjalan lambat enggak? Atau biasa aja? 😂😂

Makasih yaa semuanya udah baca ceritaku.. Semoga kalian suka.. 😊😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top