Piece Of Puzze | Part 11 : Mercy

Halo semuaaanyaaa.. Ketemu lagi sama Fa di sini 😆😆

Maafkan baru sempat update, ini juga ga tau deh part ini bagus apa aneh.. 😂😂😅

Semoga teman-teman semua tetap menikmati dan mengikuti cerita aku ya..

** Happy Reading **

"Mau ke mana?"

"Menghiburmu, tentu saja." Perceval menyeringai, membuat Serena membisu.

Perceval menarik tangan Serena menuju mobil Bugatti hitam yang ia parkir tak jauh dari tempat mereka duduk. Suasana siang itu cukup ramai. Banyak orang yang berlalu-lalang, meski udara masih begitu dingin. Namun, sepertinya orang-orang begitu bersemangat menghabiskan waktu dengan keluarga dan pasangan mereka.

"Lepaskan tanganku, Bennet! Siapa yang bilang aku mau ikut denganmu?!" Serena menghentakan tangannya berharap tangan laki-laki itu bisa terlepas. Namun jangankan terlepas, bergerak se-inchi saja tidak. "Apa yang sebenarnya kau mau?!" geram Serena marah. Ia masih mencoba melepaskan cekalan Perceval, tetapi pria itu hanya menatapnya dengan tatapan kosong.

"Kenapa ... kenapa, kau terus menggangguku?" tanya Serena dengan nada bergetar. Air mata menggenang di sudut matanya. Ia mencoba bersiteguh, bertahan agar laki-laki berengsek di depannya ini tak melihat tangisannya.

Sejak Victor meninggalkannya, dadanya sudah terasa sesak. Ia hanya ingin sendirian saat ini. "Apa kau tak lelah?" tanya Serena pelan, tetapi masih bisa didengar oleh Perceval. Laki-laki itu terus terdiam. Dia menatap Serena dengan tatapan dalam, yang sungguh sama sekali tak bisa Serena artikan.

Serena mengalihkan pandangan. "Lepaskan ... aku mohon...," rintih Serena hampir putus asa. Ia sudah tak kuat, menahan rasa sesak yang terus menggerogoti dadanya. Namun bukannya terlepas, Perceval malah mengeratkan pegangannya membuat Serena mendongak.

"Ikut aku!" ucap Perceval dingin.

"Kau bodoh atau tuli, hah?!" geram Serena marah. "Aku bilang, lepaskan!!" teriak Serena frustrasi. Ia menghentakkan tangan, membalikkan badan kemudian melangkah pergi. Namun langkahnya malah berbalik, saat tangannya ditarik kembali dengan keras, membuatnya jatuh kedalam pelukan laki-laki itu.

Serena mendorong dada Perceval dengan keras. Memukulnya berkali-kali, tetapi laki-laki itu tak bergeming. Dia tak berbicara sepatah kata pun. Yang dia lakukan hanyalah mempererat pelukannya dan sialnya itu malah membuat tubuh Serena membeku.

Hangat. Ya ... itulah yang ia rasakan saat laki-laki itu memeluknya. Perasaan yang bahkan tak pernah ia dapatkan dari Victor, kekasihnya sendiri. Perasaan yang membuat hatinya tak nyaman, dan ia membenci hal itu.

Hanya sebuah pelukan, dan itu membuat benteng pertahanannya runtuh. Air mata yang sudah Serena tahan, yang sudah ia sembunyikan akhirnya menetes tanpa ia minta. Untuk pertama kalinya di depan orang lain, dihadapan Perceval--laki-laki berengsek yang sangat ia benci--ia menangis. Dadanya semakin sesak saat menyadari kenyataan yang cukup pahit. Kenapa bukan Victor? Kenapa bukan dia yang memeluknya? Kenapa malah pria lain yang ada disampingnya saat ini? Apa cintanya untuk laki-laki itu belum cukup, belum cukup untuk membuat Victor tinggal di sisinya?

Perlahan Serena mengangkat tangan, membalas pelukan Perceval. Ia meremas jaket Perceval dengan keras, berharap rasa sesak di dadanya bisa tersalurkan, atau setidaknya bisa berkurang. Ia lelah. Selama dua tahun ini, ia selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk hubungannya dengan Victor. Cinta, kasih sayang, perhatian, pengertian, tetapi yang selalu ia dapat adalah rasa kecewa.

"Aku ada di sini."

Hanya satu kalimat, dan itu membuat Serena menangis tersedu.

☁ ☁ ☁

"Hahahaha...." Perceval kembali tertawa, entah untuk kesekian kalinya. Ia memukul kemudi, mencoba menyalurkan kegelian yang terus menggelitik di dalam perutnya. Bagaimana tidak? Lihat saja wajah beruang gila yang saat ini sedang duduk di kursi penumpang, memerah seperti kepiting rebus karena menahan malu, meski matanya masih sedikit sembab.

"Sialan! Aku bilang hentikan, Bennet!" Serena melemparkan pajangan yang ada di atas dashboard tepat ke arah kepala Perceval, tetapi dengan sigap ia langsung menghindar. "Kau sangat menyebalkan!" decak Serena kesal. Ia menyilangkan tangan di depan dada sesaat sebelum mengalihkan pandangan ke luar jendela.

"Aku tak menyangka wanita kasar dan gila sepertimu bisa menangis tersedu-sedu seperti itu, sampai membuat bajuku basah seperti ini," Perceval menarik T-shirt putihnya ke depan. "Ternyata kau memiliki sisi feminin juga. Aku kira--"

"Diam!"

Perceval kembali tergelak. Ya Tuhan, ini sangat menyenangkan.

"Kalau kau terus tertawa, lebih baik aku turun!"

"Turun saja kalau berani, tak ada ruginya untukku." Perceval mengangkat bahu tak acuh membuat kening Serena berkedut.

Serena menggeleng pelan. Astaga. Pria ini sangat berbeda dengan pria yang tadi memeluknya. "Kita mau ke mana?"

"Butik," Perceval menoleh kemudian mengerling nakal, membuat Serena bergidik ngeri, "memilih gaun untukmu, untuk pesta pertunangan kita."

Tenggorokan Serena tercekat. Apa katanya? Pesta pertunangan kita? Yang benar saja!

"Sudah kubilang, aku tak mau!" Serena menekan leher belakangnya yang terasa sakit.

"Terserah. Aku tak peduli kau mau atau tidak. Yang jelas, sekarang kau harus ikut denganku. Ini sebagai bayaran, karena kau telah membuat T-shirt kesayanganku basah."

What the hell?! Bukannya tadi dia sendiri yang menarik dan memeluk tubuhnya? Lalu sekarang dia menyalahkannya karena T-shirt-nya yang basah?? Astaga. Sekarang pelipis Serena yang terasa sakit. Lama-lama jika ia terus berdekatan dengan Perceval, bisa-bisa ia terkena stroke.

"Terserah kau sajalah," Serena menyandarkan kepalanya ke jok mobil lalu memejamkan mata, "aku lelah."

Perceval hanya bisa menyeringai puas. Ia terus melajukan mobilnya ke butik langganan keluarganya. Tak butuh waktu lama, hingga mobil Perceval terparkir tepat di samping butik yang bercat keemasaan.

"Hei, bangun! Kita sudah sampai." Perceval membuka seatbelt, memutar tubuhnya ke samping kanan. Ia memukul pelan pipi Serena sebelum menyimpan kacamata hitamnya ke dalam dashboard.

Perceval menoleh kembali. Serena sama sekali belum membuka matanya. Ia mengulurkan tangan, mencoba membangunkan gadis itu untuk kedua kalinya, tetapi tangannya terhenti di udara. Mata biru Perceval memperhatikan wajah Serena dengan seksama.

Perceval tersenyum tipis. Mata gadis itu tertutup, tetapi entah mengapa terlihat indah di matanya. Perceval tersenyum kembali saat melihat pipi gadis itu. Pipi yang selalu merona setiap kali ia menyembunyikan rasa malunya. Pandangannya turun ke hidung, lalu ke bibir yang mengeluarkan deru napas halus dan pelan, tanda kalau gadis itu benar-benar tertidur.

Perceval mengusap pelan bibir bawah Serena. Gadis itu memiliki bibir yang tebal dan berwarna merah muda, membuatnya ingin mencium bibir seksi itu, mencicipinya agar semakin memerah dan membengkak.

Perceval tersentak.

Astaga! Apa yang baru saja ia pikirkan?!

"Apa yang kau lakukan?" tanya Serena dengan tatapan dingin saat ia menyadari pria di sampingnya sedang menyentuh bibirnya.

Perceval membeku. Otaknya blank. Ia tak bisa berpikir sama sekali.

Astaga! Ayolah, bodoh! Katakan sesuatu.

Perceval menelan saliva karena tenggorokannya yang terasa kering. "Ah ... ng ... itu ... aku hanya, apa ya? Hahaha." Perceval tertawa hambar kemudian menarik tangannya lalu menggaruk lehernya pelan. Tanda kalau ia sedang gugup.

"Kalau kau berani menyentuhku lagi, kubunuh kau!" delik Serena marah. Ia membuka pintu mobil, kemudian melangkah keluar lalu membanting pintu dengan keras.

Perceval hanya bisa membisu, melihat Serena yang melangkah masuk ke dalam butik.

Stupid!

Perceval menyandarkan kepalanya ke kemudi mobil, menyadari kebodohan yang baru saja ia lakukan. Ingat, ia punya Alexa. Ia sangat mencintai gadis itu, dan ia tak akan mau mengkhianati kekasihnya.

Tok ... tok ... tok ...

Suara ketukan di kaca membuatnya mendongak, menoleh melihat siapa yang menganggunya.

"Apa yang kau lakukan?! Cepat keluar!"

Dengan enggan Perceval menggangguk dan melangkah keluar dari mobil, menghadap Serena yang masih menatapnya dengan tatapan tajam dan horor.

"Kau berutang penjelasan padaku!" Serena berkaca pinggang. "Sekarang, masuklah!" lanjut Serena lalu kembali melangkah masuk.

Perceval tersenyum tipis. Ia masuk mengikuti Serena dari belakang dan  mengabaikan dada kirinya yang tiba-tiba menghangat.

** Thank You **

Bagaimana part ini? Apakah terkesan terlalu dipaksakan? 😂😂

Semoga temen-temen selalu suka. Terima kasih yang udah dukung. Silent reader juga.. Hehe.

Salam hangat,

Rifa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top