Konspirasi Semesta
<Ilma POV>
Aku lupa membawa inhalerku! Ini rasanya asmaku hampir kumat saking senangnya bisa berkenalan denganmu, Tampan. Kamu sama sekali tidak seperti yang diceritakan Rere kok, bukan pria pecinta fisika yang berkacamata tebal, berkemeja dan bertampang culun. Eh, iya sih, kamu berkacamata dan sering pakai kemeja birumu yang keren itu … tapi kamu sama sekali tidak bertampang culun. Kamu malah ganteng sekali. Prasangkaku sebelumnya terhadap guru fisika Rere yang culun itu segera kuhapus!
Untung perkenalan kita hanya lima detik lamanya, sehingga asmaku tidak sampai kumat beneran. Berjabat tangan denganmu sedetik lebih lama lagi pasti bisa membuatku terlalu girang dan akhirnya membuat asmaku kambuh.
Setelah itu Rere mengajak kita masuk. Setelah mengenalkan kita dengan guru matematikanya yang bernama Arman (cowok seusia kita juga), Rere mengajak kita memulai acara syukurannya bersama Mama, Papa dan adik lelakinya yang baru saja lulus SMP dan akan segera masuk SMA.
“Terima kasih ya Mas Arman, Mas Fikri dan Mbak Ilma sudah membimbing Regina selama ini. Regina jadi bisa lulus SMA dan ujian masuk UI, ” aku mendengar Mama Rere bicara di sela-sela makan malam kami, “Tahun ini Renaldi, adiknya Regina, masuk SMA. Mas Arman, Mas Fikri dan Mbak Ilma bisa mengajari Renaldi juga kan?”
Aku melihat Arman dan Fikri mengangguk, jadi akupun ikut mengangguk setuju. Pun aku sudah lumayan dekat dengan Renaldi. Beberapa kali pernah membantunya menghapal Biologi menjelang ujian. Jadi kurasa melanjutkan mengajar Renaldi pasti akan seru nantinya.
Ngomong-ngomong, gara-gara kata-kata Papa Rere tadi, aku baru ingat nama lengkap Rere. Namanya Regina ternyata. Pantas saja Fikri memanggilnya Gina. Aku sih yang nyeleneh, seenaknya menyingkat panggilannya menjadi Rere. Hehehe.
Tapi aku masih penasaran atas satu hal, kenapa mata-mataku bilang namamu adalah Hilmi, Tampan? Apa dia salah orang? Jadi sebenarnya siapa kamu? Apa kamu benar belum punya pacar? Apa aku masih punya kesempatan?
* * *
<Fikri POV>
Menjelang akhir makan malam syukuran kelulusan Gina, aku merasa mulas, Ilma. Tahukah kamu? Ini gara-gara kamu! Aku pusing memikirkan bagaimana caranya mengajakmu pulang bareng setelah ini. Apa kau akan curiga kalau aku ingin mengantarmu pulang? Apa kau mau kuantar pulang? Eh? Atau apakah kamu nanti dijemput Bram lagi?
Selagi aku menimbang-nimbang seperti itu Gina yang duduk di sampingku mencolek lenganku. “Kak Fikri! Gimana tuh si kak Ilma? Cantik kan? Yakin nih nggak mau aku comblangin sama kak Ilma?”
AAARRRGGGHHH!!!
Benarlah adanya bahwa manusia baru mengeluarkan potensi terbesarnya saat keadaan terdesak. Ketika melihatmu berpamitan dengan keluarga Gina, otakku terpaksa berputar cepat. Sekarang atau tidak sama sekali! Aku segera berpamitan kepada keluarga Gina dan buru-buru menyusulmu yang sudah nyaris keluar pagar rumah Gina.
Kamu pasti tidak tahu betapa gugupnya aku ketika bertanya padamu: “Rumahnya dimana, Ilma?”
“Di Pondok Bambu, Mas.”
“Wah, deket sama saya dong. Rumah saya di Pangkalan Jati.”
“Oh ya?”
“Mau bareng sama saya?”
“Eh?”
“Atau … “ aku menelan ludah dengan pahit. “Kamu dijemput sama pacar kamu ya?”
Aku melihat matamu tampak bingung. “Pacar yang mana?”
“Yang setiap pagi berangkat kuliah bareng kamu?” Pahit-pahit-pahit.
“Yang tinggi-cepak-hitam itu?”
Aku mengangguk bête.
“Dia mah sepupu saya, Mas. Tinggalnya di rumah saya, makanya kami berangkat bareng. Bukan pacar saya itu mah, Mas. Lagian dia mah udah punya pacar.”
Jam tangaku boleh saja menunjukkan pukul 21.00, tapi langit serasa tiba-tiba terang benderang ketika kamu mengatakan hal itu. Aku bisa melihat bunga-bunga berjatuhan dari langit. Mungkin itu dari surga? Entahlah. Yang jelas aku merasakan kelegaan yang luar biasa. Jadi cowok brondong bergaya tengil itu adalah sepupumu? Bukan pacarmu? Jadi selama ini aku sudah cemburu buta pada sepupumu sendiri?
“Jadi kamu nggak dijemput sama pacar ka … eh, sama sepupu kamu itu kan?” tanyaku kemudian. “Pulang bareng saya aja. Saya antar.”
Aku melihatmu menimbang lama. Yak! Jangan diam kelamaan gitu dong Neng. Ini Abang udah jiper banget nunggu jawaban Eneng!
“Nggak ngerepotin Mas Fikri?” tanyamu setelah lima detik yang serasa seabad.
Alhamdulillaaaaahhhh. Aku menahan desahan lega.
“Nggak repot kok. Kan sekalian, rumah kita searah,” kataku dengan cepat, tidak mau kehilangan momen bersamamu.
“Kalau nggak ngerepotin, boleh, Mas. Terima kasih ya sebelumnya.”
Kamu menjawab sambil tersenyum manis. Aku meleleh lumer hampir tidak bersisa. Malam itu benar-benar malam yang indah.
* *
<Ilma POV>
Oke, aku butuh inhalerku sekarang! Aku nyaris sesak nafas saking senangnya menerima ajakanmu pulang bareng! Di balik punggungku, aku mencubit lenganku, dan aku merasa sakit. Jadi ini nyata kan? Kejadian menyenangkan ini bukan mimpiku saja kan? Eh, tapi tunggu! Sebelum aku benar-benar sesak nafas dan pingsan, aku harus memastikan satu hal yang sejak tadi mengganggu pikiraku.
“Mas, boleh tahu nama lengkapnya Mas Fikri?” tanyaku takut-takut sebelum naik membonceng motormu.
“Kenapa memangnya?” dahimu berkerut selagi kau memakai helmmu.
“Iseng. Pengen tahu aja.”
“Hilmi Fikri Rahadi.”
Titik terang terlihat. Aku tersenyum girang mendengarnya.
Benarlah kiranya pepatah yang mengatakan bahwa jika kau sangat menginginkan sesuatu sepenuh hati dan mengusahakannya secara bersungguh-sungguh, maka semesta alam akan berkonspirasi mendukungmu. Tidakkah semesta alam sekarang rasanya sedang berkonspirasi mempertemukan dan menyatukan kita? Sebut saja aku gadis pemimpi. Tapi tidakkah menurutmu juga begitu, Tampan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top