Cemburu
<Male POV>
Aku mengutuk kebodohanku yang tidak pernah berani mendekatimu. Tapi seperti kata pepatah: penyesalan tidak pernah bisa membalikkan waktu. Aku baru benar-benar menyadari kebodohanku setelah kau pergi. Dan terkadang kau baru benar-benar menyadari arti “memiliki” setelah kau benar-benar kehilangannya. Bahkan akupun yang belum pernah memilikimu sudah merasa kehilangan.
Setiap kali liburan semester tiba, aku benci. Biasanya aku menyukai masa libur semester, tapi tidak sejak kau datang ke hidupku. Aku berdoa semoga libur semester segera berakhir sehingga aku bisa melihatmu lagi setiap hari. Aku rindu melihat asesorimu yang serba hijau. Aku juga kangen mendengar suara sumbangmu saat menggumamkan lagu-lagu dari i-pod mu.
Berhenti melihatmu mengulum lollipop setiap pagi membuat hidupku pahit. Dan tidak lagi melihat goyangan kepalamu saat mendengarkan musik dengan earphone hijaumu itu, hidupku serasa berhenti. Tapi melihatmu bersama pria lain, rasanya hidupku benar-benar selesai. Kapan kau mulai pacaran dengan cowok itu? Apa saat aku tidak bisa mengawasimu selama kita libur semester? Sejak kita mulai tahun ajaran baru, kau selalu datang ke stasiun bersamanya. Membuatku cemburu sampai hampir mati.
Aku tidak suka melihatmu berbagi sarapanmu dengannya. Memangnya dia tidak bisa membeli sarapan sendiri? Kau kan sudah kurus begitu, mengapa masih mau berbagi sarapan dengannya? Terkadang aku malah melihatmu menyerahkan satu kotak makan lagi untuknya. Apa kamu juga membuatkan bekal sarapan untuknya? Apa kamu tidak tahu bahwa tidak jauh dari tempat kalian duduk, ada aku yang menahan geram setiap pagi?!
Aku tidak suka melihatnya mengacak-acak rambut ikalmu. Aku iri karena dia bisa menyentuh rambutmu yang terurai lembut itu. Aku tidak suka caranya memegang tanganmu ketika kalian naik kereta. Aku juga tidak suka kepalamu terkulai di bahunya yang lebar ketika kau tertidur di kereta. Terlebih, aku tidak suka melihat senyummu saat ngobrol dengannya. Baru kali itu aku mendengar suara tawamu yang renyah saat mendengar leluconnya. Aku suka suara tawa itu. Tapi aku tidak suka karena tawa itu bukan untukku.
Ketika mengetahui bahwa kau sudah punya pacar, moodku seharian itu sangat jelek. Kalau kemudian aku memarahi semua orang di sekitarku, itu salahmu, Gadis! Mulai dari teman lab, anak buahku di senat, sampai muridkupun kena getahnya. Jadi kalau aku disumpahi semua orang gara-gara kegalakanku, kaulah yang harus disalahkan!
“Gina! Tinggal sebulan lagi kamu UAN! Dan tiga bulan lagi kamu mulai ikut tes masuk PTN! Masa soal segampang ini aja masih salah menjawab?!”
Selesai membentak begitu, aku jadi menyesal sendiri. Murid lesku itu menunjukkan wajah takut dan nelangsa. Bukan jenis wajah yang ingin dilihat seorang guru dari muridnya. Harusnya aku tidak membentaknya. Kubaca lagi caranya mengerjakan soal tentang medan magnet itu. Sebenarnya cara mengerjakannya sudah benar, dia hanya kurang teliti dalam menghitung. Aku yang keterlaluan, memarahinya hanya karena aku ingin melampiaskan kemarahanku atas masalahku sendiri.
“Maaf ya Gin,” kataku kemudian, ketika melihat wajah Gina yang syok setelah kubentak. “Kan sudah saya bilang berkali-kali, kamu ini sebenarnya pintar, tapi sering nggak teliti mengerjakan soal. Jawabannya jadi salah begini kan.”
Gina mengangguk dengan wajah takut-takut. Aku jadi makin merasa bersalah. Aku sebenarnya lumayan akrab dengan muridku yang satu ini. Biasanya kami belajar dengan santai. Jika dia melakukan ketidaktelitian dalam menghitung, aku hanya menjitak kepalanya, lalu dia akan mengusap-usap kepalanya sambil manyun-manyun. Setelah hampir tiga tahun menjadi gurunya, mungkin ini pertama kalinya aku membentaknya. Dan aku melakukannya hanya karena patah hati. Guru macam apa aku ini?!
“Saya minta maaf ya Gin,” kataku, meminta maaf sekali lagi, “Tapi dengar baik-baik ya. Mengerjakan soal dengan CEPAT, itu baik. Tapi mengerjakannya dengan TEPAT, itu lebih baik lagi. Sering saya melihat kesalahanmu cuma karena kamu nggak teliti. Lain kali jangan diulangi lagi ya!”
Gina mengangguk patuh. Bibirnya sudah tersenyum. Aku sedikit lega setelah melihat senyum itu. Aku tidak ingin muridku sendiri membenciku. Karena seorang murid yang membenci gurunya tidak akan bisa menerima ilmu apapun darinya, sebaik apapun cara guru itu mengajar.
“Aku udah pernah bilang atau belum, kak?” tanya Gina kemudian.
“Apa?”
“Kak Fikri itu mirip sekali sama guru kimiaku. Dia juga pernah bilang bahwa aku pintar tapi ceroboh. Komentar kalian sama persis,” Gina melanjutkan.
“Kalau gitu, memang benar kamu ceroboh kan? Dua orang gurumu bilang begitu, seharusnya kamu lebih teliti lagi!” kataku sambil mencoba tersenyum.
“Bukan itu maksudnya, kak!” kata Gina. Wajahnya tampak gemas.
“Maksud apa?” aku tidak mengerti.
“Maksudku ngomong begitu bukan supaya kak Fikri menyalahkanku juga. Aku cuma mau bilang bahwa kak Fikri cocok banget sama guru kimiaku itu. Mau aku jodohin nggak, kak? Dia anak UI juga lho kak, anak Farmasi.”
Gina nyengir-nyengir menggoda kepadaku. Dipikirnya pikiranku bisa teralihkan dari topik medan magnet ini gara-gara soal jodoh-jodohan ala abege ini?
“Kerjakan lagi soal berikutnya!” kataku sambil menjitak kepala Gina.
Gina mengusap-usap kepalanya sambil nyengir menggoda. “Kak Fikri juga belum punya pacar kan? Sama guru kimiaku aja kak. Nanti aku jodohin, kak.”
“Ibumu membayar saya supaya saya mengajari kamu Fisika, Gina, bukan supaya kamu bisa punya korban untuk biro jodoh amatirmu,” kataku.
“Bener ya, nggak mau dikenalin? Nanti nyesel lho kak!”
Gina mengancam. Dan aku mengancam dengan lebih sadis. Kusodorkan buku soal-soal fisika, dan memberinya tatapan mautku. Gina manyun. Nampaknya dia sebal karena gagal menjadi mak comblang. Aku tahu, sejak dulu anak ini selalu terobsesi menjodohkan teman-teman dan orang-orang di sekitarnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top