Chapter 3. Utusan Gemini

Subuh hari di camp area pos tiga Merbabu, El sudah dipaksa bangun oleh udara dingin. Dia terduduk sebentar di matras tidur, mencoba untuk mengembalikan seluruh kesadaran. Tubuhnya masih sedikit bergetar karena kedinginan.

Seingatnya, dia menggigil semalaman. Padahal, persiapan tempurnya untuk melawan udara beku Merbabu sudah cukup komplit. El selalu memakai baju panjang dan celana semata kaki berlapis-lapis. Bisa tiga sampai empat layer! Mulai dari baju biasa berbahan ringan ripstop (yang biasa digunakan oleh tentara), sweater dari wol sintesis, hingga jaket dari bahan PVC. Sebagai pelindung kepala dan telinga, dia memakai semacam kupluk rajut. Tak lupa sarung tangan tebal untuk melindungi jari-jari dan telapak tangannya. Belum jas hujan kelalawar yang dia simpan di ransel kalau-kalau hujan. Namun, tidurnya semalam tetap tidak nyaman karena tanpa dibungkus sleeping bag kesayangan. Selongsong tidur pembuat hangat itu terpaksa harus dipinjamkan kepada Javier. Daripada si gundul itu terus memeluknya semalam suntuk?!

Mulanya, saat El masuk ke tenda untuk tidur tadi malam, dia menyaksikan tubuh Javier berguncang-guncang seperti gempa. El pikir, Javier sedang bermimpi karena tidur sudah dengan pakaian multilayer walau tanpa sleeping bag. Namun, saat El merebahkan diri di dalam kantong tidurnya, tiba-tiba Javier memeluknya. El spontan berteriak ngeri! Namun, Javier beralasan mencari sedikit belas kehangatan karena lupa membawa kantong tidurnya.

Tentu saja, El terganggu dan tidak nyaman. Meski sudah ditendang, didorong, ditampar, si JNE tetap saja menganggapnya sebagai guling. El kemudian merasa terlalu kejam. Dia tersadar bahwa Javier memang tidak mempunyai banyak tabungan lemak, jadi wajar kalau dia sangat kedinginan. El takut sahabatnya itu hipotermia. Akhirnya dia pun mengikhlaskan sleeping bag-nya dan tidur dengan menahan gigil karena hanya memakai sarung mungil.

Setelah kesadarannya pulih seratus persen, El membangunkan Javier untuk salat. Namun, dia malah dibalas dengan raungan tak jelas. Mungkin Javier masih bermimpi menjadi kera sakti atau siluman babi. Berkali-kali El mencoba membangunkan, tapi tidak mempan. El pun akhirnya menyerah. Dia menarik sarungnya hingga ke pundak, dan keluar sendiri dari tenda.

Di luar, langit masih gelap dan berkabut. Bagi pendaki Merbabu, pos tiga ini seperti surga, hadiah dari perjalanan panjang dari pos-pos sebelumnya. Mendaki gunung Merbabu rute Suwanting memang benar-benar sinting. Jalur pendakian tak mengizinkan mereka untuk sebentar saja istirahat. Trek landai hampir tidak ditemui. Jalan terus menerus menanjak hingga mencapai kemiringan 45 derajat. Apalagi ketika memasuki lembah Manding, vegetasi semakin rapat, pohon-pohon besar dan lumut seolah menjadi kawan penyemangat, karena tanjakan menuju pos tiga seperti tak ada habisnya buat tubuh yang telah rindu akan rehat.

El menghirup dalam-dalam udara basah yang terasa menusuk tulang. Ketika embun pagi tak sengaja menyentuh kulit, tubuhnya refleks bergetaran, susah payah menahan dingin yang berkeliaran. Dia mengaduh, hingga uap putih pekat yang terembus dari mulutnya.

El akhirnya memutuskan mengambil tayamum karena pasokan air minum rombongan menipis. Beberapa orang yang anti-cebok dengan susah (tisu basah) telah mengorbankan banyak persediaan air minum. Tidak peduli udaranya yang bikin gigil, dan bisa merangsang ingus buat keluar-masuk tanpa direncanain, El membuka lengan baju tiga lapisnya. Dia mulai membasuh muka dengan telapak tangannya yang sudah disentuhkan dengan tanah, lalu kedua lengannya secara bergantian. Setelah terbasuh semua, El mulai mendirikan salat subuh walau dengan tubuh bergetar riuh.

Setelah dua rakaat selesai ditunaikan, El memilih berjalan menyendiri di sisi jauh tenda. Dia ingin mencari tempat untuk bersantai tanpa pengganggu untuk menunggu matahari yang mulai mengintip malu-malu. Selain luas dan cocok untuk mendirikan tenda, pos tiga ini juga menghidangkan pemandangan sabana yang luas dengan bunga-bunga edelweiss yang tumbuh liar dan rupawan.

Bagi El, sebuah kerugian besar jika di gunung pagi hari dan hanya digunakan untuk meringkuk tidur. Kalau di rumah, Mama akan mengomel rezeki akan dipatok ayam, dan El tak pernah peduli. Namun, di sini lain. El akan rela tidak tidur lagi setelah salat subuh, karena dia bisa saja terlewat melihat mereka. El berdiri tepat di ujung pos tiga dan memandang jauh ke sabana untuk menunggu mereka datang.

Akhirnya, yang El tunggu datang juga.

Di hamparan sabana depan mata, tampak lanskap Merapi yang kokoh berdiri. Sinar oranye muncrat seperti tumpahan cat dari balik gunung Lawu. Tak ketinggalan juga Sindoro, Sumbing, Kembang, Prau, dan Telomoyo yang seolah kompak menyapanya dengan hangat dan mesra. El membalas senyum mereka dengan tulus. Setelah subuh hari, dari ketinggian pos ini, awan-awan akan tampak sangat dekat. El bisa berdiri tegak di antara mereka. Bahkan, awan-awan itu kini berada di bawah kakinya. Momen seperti inilah yang selalu dia nantikan saat mendaki. Menyadarkannya kalau dia tidak ada apa-apanya dibanding sang Pencipta. Tidak lupa, El mengabadikan negeri di atas awan ini sebelum menghilang.

"Semua yang mau ikut ke puncak pagi ini, tolong berbaris!" Suara ketua penbar mulai terdengar berisik, menggaggu kontemplasi El di antara gumpalan-gumpalan awan.

Derajat congkak senior kelas XII memang nyaris sempurna. Mereka sok berkuasa, karena inilah kesempatan terakhir mereka menjadi panitia inti penbar sebelum lulus. El malas melihat muka kecut mereka yang dibuat-buat, membuat kontraksi perutnya makin sering saja.

Saat ketua penbar melihat segerombolan cewek duduk-duduk malas di depan tenda, dia berteriak lagi.

"Kenapa kalian nggak ikut ke puncak?!"

"Capek, Kak." Mereka kompak mengeluh dan hampir bersamaan, mungkin karena sering bersama-sama selama acara penbar. "Nggak kuat kaki Hayati, Kak." Penuh penghayatan, cewek bernama Hayati absen ikut naik.

Wajah ketua kesal, tapi hanya bisa menggeleng-geleng.

"Jangan ke mana-mana. Jaga tenda!" perintah Ketua penbar akhirnya memberikan izin kepada gerombolan itu, dan memerintah senior lain untuk menjaga dan mengawasi peserta yang memilih tinggal di pos tiga.

El menggumam, andai mereka tahu bahwa jarak pos tiga ke puncak itu tidak terlalu jauh. Pasti mereka akan menyesal tidak ikut. Meskipun, ya, memang lebih terjal medannya dibanding pos-pos di bawah tadi. Dia adalah orang yang paling tidak setuju bahwa mendaki itu bukan melulu tentang puncak. Dia tidak sepakat dengan mereka yang bilang kalau apa yang didapatkan dari perjalanan menuju puncak itulah yang paling penting. Atau kata orang-orang bahwa proses itu lebih berharga daripada hasil akhir. Semua itu tidak berlaku bagi El. Menurutnya, baik proses ataupun hasil akhir, sama-sama berharga. Bukannya, hasil buruk pun akan menjadi pelajaran? Kenapa orang kejam sekali menyebut itu tidak berharga?

Sang Ketua lalu kembali fokus kepada peserta yang akan ikut naik ke puncak.

"Berbaris! CEPAT!" perintahnya tegas.

Seluruh junior buru-buru membuat satu barisan lurus siap mendaki. Wajahnya serius, tubuhnya tegap seperti patung, matanya memandang lurus ke depan karena takut. Apalagi sang Ketua kini berdiri di samping mereka untuk mengawasi satu demi satu peserta dengan kertas catatan yang dijepit papan dada.

"Sebutkan nama kalian untuk didata!" perintah Sang kepala kepada peserta di baris pertama.

"Furqonie Akbar!" Teriakan bas seperti suara Shinchan membuat semua anggota cewek ngikik. Bukan karena suaranya, melainkan debuman dari pantatnya yang cukup keras membuat mereka menahan tawa. Mungkin kontraksi otot perut akibat barusan berteriak meloloskan udara yang lama ditahannya. Di gunung memang memungkinkan untuk seseorang lebih sering kentut. Jadi, tidak masalah.

"Lanjut!" perintah Ketua.

"Siska Nurrahmah!" teriak tegas cewek yang El kenal baik. Dia adalah sahabat Farrah.

"Erfina Khasizzkarasuyabbaitriopsa!" lanjut peserta di belakang Siska dengan menyebutkan namanya cepat.

"Bisa diulang lebih jelas?!" protes Ketua Penbar seperti kesusahan mencatat nama.

"Erfina Khasizzkarasuyabbaitriopsa!"

"Apa?" Ketua Penbar bertanya kembali.

Yang punya nama akhirnya menyerah. "Tulis Erfina K saja, Kak! Lebih simpel."

"Lanjut!" perintah Ketua tak kurang sedikit pun galaknya.

Cewek berjilbab coklat pramuka tak kalah tegas berujar, "Harus Anggi!"

"Tolong ya, jangan pakai nama samaran atau nama pena!" bantah ketua dengan menahan emosi.

Bukannya takut, si Teteh bernama "Harus" tersebut tidak mau kalah. Dia justru menjelaskan bagaimana sejarah namanya (Harus Anggi) itu tercipta. Teteh Harus bercerita, saat malaikat maut mencabut nyawa ibunya yang mengalami pendarahan hebat ketika melahirkan dirinya, dia berpesan bahwa anaknya diberi nama: Harus Anggi!

"Baiklah, lanjut!" seru ketua sambil manggut-manggut mengerti. Begitu juga dengan El dan peserta lain yang penasaran dengan sejarah dibalik nama temannya si Harus.

"Ananda Rio Setiadi!" teriak seseorang yang namanya sudah tidak asing di telinga El.

Beberapa unsurnya mirip dengan nama Farrah, Farrahnanda Ria Setiadi. El akhirnya penasaran dan mencoba melihat anak itu. Ternyata masih bocah. Bukan hanya posturnya yang kecil, mukanya pun masih kekanakan. El yakin dia adalah calon anggota kelas X. Tidak ada clue apa-apa ketika El mengamati wajahnya. Nama familiar itu tidak diimbangi dengan rupa yang dia kenal. Ya, Ananda Rio tidak mirip Farrah. Namun, tiba-tiba El teringat perkataan Farrah dan foto-foto adik laki-laki Farrah yang masih bocah.

"Aku punya adik yang kayak kamu. Aries. Suka banget naik gunung. Tapi, dia tinggal sama Papa setelah Mama dan Papa bercerai."

Sialan! Jangan-jangan ini salah satu rencana Farrah? 


Next chapter 4, yaaa!

Thank you.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top