I. Réunion

Kini, kupijakkan kedua kakiku ini di negara yang sedari dulu ingin aku kunjungi.

Kutarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Berusaha merasakan udara yang menyegarkan di negara ini.

"Sejuknya~ Sangat berbeda dengan Jakarta," gumamku pelan seraya mengingat keadaan salah satu kota di negaraku.

Kuedarkan pandanganku kepada orang-orang yang berlalu-lalang di bandara ini. Hanya untuk sekadar merasakan sedikit kehidupan kecil Negeri ini.

Kutarik koperku menuju trotoar, dan memberhentikan taksi dengan melambaikan tanganku.

Sebuah taksi berwarna kuning cerah kini berhenti tepat di hadapanku. Supir taksi tersebut tersenyum ramah dan membantuku memasukkan koper. Tentu saja senyuman pria paruh baya itu kubalas dengan senyuman manisku.

Setelah selesai memasukkan koper, aku pun masuk kedalam mobil tersebut dan memberitahunya tempat yang ingin kutuju.

Pria paruh baya itu pun mengangguk, dan mengantarkanku kesebuah gedung apartemen yang tidak jauh dari Universitasku nanti.

"Je vous remercie, monsieur. Gardez la monnaie," (terima kasih, Tuan. Ambil saja kembaliannya) ucapku tersenyum dan memberikan beberapa lembar uang kepadanya.

"Ceci est trop, Mlle. Je ne peux pas l'accepter," (ini terlalu banyak, Nona. Saya tidak dapat menerimanya) tolaknya halus.

"Il est bon, Monsieur."

"Baiklah kalau begitu, saya akan membantu Nona membawa barang-barang."

Seketika aku pun terkejut dan panik mendengar keputusan pria paruh baya ini. Barang-barangku banyak dan berat. Lalu, apartemenku berada di lantai yang cukup tinggi. Aku takut membuatnya kelelahan.

"Ah tidak, Tuan. Saya takut merepotkan," ucapku dengan raut panik dan tidak enak.

"Sudah tidak apa-apa, Nona. Tenang saja, saya masih kuat jika itu yang Nona khawatirkan," katanya dengan senyuman yang meneduhkan khas seorang ayah.

Aku menghela napas. "Bon alors." (baiklah kalau begitu)

Kami pun membawa barang-barangku ke gedung apartemen yang lumayan mewah itu. Ada rasa tidak tega ketika melihatnya yang membawa barang-barangku.

Aku berusaha membujuknya agar tidak perlu membantuku. Namun, ia tetap bersikeras untuk membawa barang-barang itu.

Saat sudah berada di depan pintu apartemenku, aku pun langsung berterima kasih padanya.

"Je vous remercie de me aider, monsieur. Désolé de vous déranger." (terima kasih telah membantuku, Tuan. Maaf telah merepotkanmu)

"Ah ... tidak apa-apa, Nona.Terima kasih atas uang yang telah Anda berikan, Nona. Dan semoga kehidupanmu di Canada menyenangkan," ujarnya seraya tersenyum hangat.

"Apakah Tuan tahu bahwa saya bukan dari negara ini?" tanyaku penasaran.

"Tentu saja. Nona memiliki kecantikan khas orang-orang Asia, dan jarang sekali ada yang memiliki kecantikan seperti Nona disini," jawabnya jujur yang sukses membuatku tersipu malu.

"M-mercie, Monsieur." (te-terima kasih, Tuan) ucapku tulus.

"Baiklah Nona, saya harus kembali berkerja. Jadi, jagalah diri Anda. Dan saya doakan semoga Nona menemukan cinta sejati Anda di negara ini."

Aku pun hanya bisa mengangguk sebagai jawaban. Kemudian pria paruh baya itu pun menghilang dari pandanganku.

Oh! Jangan kira bahwa aku jatuh cinta pada Bapak itu, ya! Aku hanya menganggapnya sebagai Ayah disini hehehe.

Dan soal mendapatkan cinta sejati. Akankah aku mendapatkannya?

Tepatnya di negara ini?

🍁🍁🍁

Kurebahkan tubuhku di atas kasur Queen size yang berada di kamar bernuansa putih ini setelah membereskan apartemenku yang menyita waktu cukup lama.

Kuraih Handphoneku, dan mulai memainkan lagu kesukaanku.

Shawn mendes - Imagination

Yup! Aku adalah salah satu fansnya Shawn!

Arghh!!! Dia sangat tampan. Dia sangat memenuhi kriteriaku! Dan inilah salah satu alasanku melanjutkan study-ku ke negara ini.

Yup! karena Shawn a.k.a pacarku hehe, berada di negara ini.

Aku pun melihat koleksi foto-fotonya di galeriku. Huft ... kenapa dia sangat tampan, ya?

Aku hanya berharap suatu saat nanti dapat bertemu dengannya.

Karena jika menjadi pacarnya akan menjadi peluang bernilai 0 alias mustahil.

Eh tapi ... kita tidak tahu takdir Tuhan, bukan?

🍁🍁🍁

"Huaa Mama! Aku telat!!!" teriakku seraya berlari menuju gedung jurusanku, yaitu gedung jurusan kedokteran.

Orang-orang melihatku heran.
Ah, mungkin karena make up-ku yang sudah luntur atau ... apalah! Aku tidak peduli!

Sesampainya di kelas, aku langsung membanting pintu dan menjadi sorotan 'calon' teman-teman sejurusanku.

"Suis-je trop tard?!" (apakah aku terlambat?!) tanyaku dengan napas tersenggal karena lelah berlari.

Salah seorang dari mereka berjalan mendekatiku. Seorang pria tinggi bermanik hazel, dan memiliki rambut berwarna cokelat keemasan yang membuatnya terlihat sangat tampan.

"Vous êtes?" (kau siapa?) tanyanya dingin.

"Aku ... salah satu dari kalian," jawabku tertunduk karena mendapat tatapan intimidasi darinya.

"Perkenalkan, namaku Samuel Alexandriel Albert. Ketua kelas di kelas ini. Apakah namamu Wi.... Wi-dia Put-ri? " tanyanya dingin lagi. Ia agak kesulitan mengeja namaku karena memang tidak lumrah baginya.

"Oui ... ma propre." (Iya ... saya sendiri)

"Hmmm ... baiklah. Sebenarnya kau tidak terlambat. Kelas akan dimulai pada jam 11, dan kaukira jam setengah 10 itu terlambat? Kau berasal dari negara mana memangnya?" katanya dengan terkekeh meremehkan.

Huh! Ingin kuberi bogem mentah padanya saat ini juga karena telah merendahkanku dan negaraku!

Aku kira jam setengah 10 sudah terlambat! Ah~ sepertinya efek sekolah di Indonesia yang mulainya pagi telah membuatku seperti ini.

"Lebih baik kaupergi ke toilet dan memperbaiki penampilanmu. Kau terlihat berantakan sekarang, " ucapnya dengan menyeringai.

"Iya! Terima kasih telah memberitahuku!" kataku ketus, dan kulihat ia terkejut karena nada bicaraku barusan.

Namun, aku tak peduli dengan manusia iblis sepertinya. Walaupun tampan sih.

Arghhh! Sadarlah Wydi! Dia lelaki kejam!

Aku pun berjalan menuju toilet. Bertanya-tanya kepada orang yang berlalu-lalang karena tidak mengetahui letak toilet tersebut.

Ah ... malangnya nasibku.

Sudah ditertawakan, tak tahu jalan pula.

Untung saja orang-orang yang ditanya olehku dengan berbaik hati menunjukkan tempat tujuanku sekarang. Dan ternyata toilet itu terdapat di tengah gedung fakultas kedokteran dan musik.

Setelah merapikan diri karena penampilanku yang bagai terkena Canada Storm. Aku pun berjalan kembali ke kelasku.

Namun, ada pemandangan yang menarik perhatianku di tengah jalan. Aku pun berjalan menghampiri kerumunan orang-orang itu, dan menemukan sebuah kejutan di sana.

Aku melihat seorang pria nerd yang sedang berlutut di hadapan seorang gadis yang sangat cantik dengan membawa seikat bunga mawar.

Gadis itu memiliki rambut keemasan dan mata hazel yang sangat indah. Entah mengapa mengingatkanku dengan Samuel sang Iblis itu.

"Serez-vous ma petite amie?" (maukah kau menjadi kekasihku?) tanya lelaki nerd itu seraya menyodorkan bunga tersebut.

Kulihat pria itu putih, tinggi, namun dandanannya yang nerd telah menyembunyikan pesona yang dia miliki ... mungkin? Entahlah, aku melihat lelaki itu memiliki pesona tersendiri.

Gadis cantik itu mendengus. Mengambil buket bunga itu dan melemparnya kasar ke tanah.

"Cih! Aku tidak sudi menjadi kekasih seorang nerd sepertimu. Yuk girls, kita pergi."

Ia pun pergi bersama teman-temannya sambil menatap remeh pria yang sekarang tengah terpaku itu.

Tidak berbeda dengan orang-orang di sekitar, mereka mulai berpergian seraya melemparkan senyum sinis ke arah pria itu.

Dan di sini aku hanya bisa bergeming. Melihatnya dengan tatapan kasihan, kemudian menghampiri pria itu.

"Ne vous quoi que ce soit?" (apakah kau tidak apa-apa?) tanyaku berusaha menyentuh pundaknya.

Namun, tanganku ditepisnya secara kasar dan membuatku meringis kesakitan.

"Aku tidak apa-apa," katanya datar dan meninggalkanku yang tak percaya atas perlakuannya padaku.

'Apakah orang-orang disini semuanya menyebalkan?!' rutukku dalam hati.

Aku pun melihat jam tanganku. Menepuk jidat karena angka yang tertera pada benda berbentuk lingkaran tersebut.

Jam 11:09

'Matilah aku.'

🍁🍁🍁

Setelah jam kuliahku selesai dan mendapat teguran dari dosenku karena terlambat masuk, kini aku berjalan dengan gontai menuju gerbang kampus.

Untung saja aku punya alasan yang pas agar dapat masuk jam kuliah walaupun terlambat. Yaitu, karena aku sempat tersesat.

"Huft, melelahkan sekali...," gumamku seraya menghentakkan kaki.

Benar-benar hari sial! Aku merutukki kenaifanku karena mengkhayalkan hari pertama yang sempurna.

Sesaat sebelum sampai gerbang, dari kejauhan aku dapat melihat anak nerd itu yang sekarang dikelilingi oleh beberapa orang laki-laki bertubuh besar dengan dandanan yang hmmm ... urak-urakan.

"Wah wah~ Berani sekali kau menyatakan perasaanmu pada Jeslyn seperti itu," kata salah satu dari empat lelaki itu.

"Sudahlah ... mari kita selesaikan ini di belakang," kata salah satunya lagi dengan senyum sinis dan dibalas anggukan oleh teman-temannya.

Lelaki nerd itu hanya diam, kemudian ditarik secara paksa ke suatu tempat.

Aku yang penasaran dengan bodohnya mengendap-endap mengikuti mereka.

Setelah menemukan tempat yang kupikir aman, aku pun bersembunyi di balik semak dan mencoba untuk melihat mereka semua.

Betapa terkejutnya aku karena sekumpulan laki-laki itu memukul si Nerd dengan membabi buta.

Ingin kulangkahkan kakiku untuk menolongnya tapi ... aku terlalu takut. Akhirnya aku hanya bisa diam seraya berdoa dalam hati agar dia baik-baik saja.

Setelah cukup lama, tepatnyasetelah sekumpulan orang itu puas memukuli si Nerd, mereka pun pergi meninggalkannya dengan luka yang cukup parah.

Aku segera menghampirinya. Dapat kulihat lelaki itu kini dalam kondisi yang mengenaskan. Kacamatanya hilang entah kemana, dan sekarang ia sedang memejamkan mata seraya menunduk kesakitan.

"Apakah kau tidak apa-apa?!" tanyaku panik, dan refleks menyentuh luka lebam di pipinya yang sontak membuatnya meringis.

"Ah, maafkan aku. Aku tidak sengaja." Aku pun segera mengambil obat dan plaster di tasku. Membasahi sedikit tisu dengan air dan membersihkan lukanya.

"Ouch ... sakit," lirihnya kesakitan.

"Maafkan aku. Aku tahu ini menyakitkan. Namun, kita harus segera mengobatinya sebelum luka itu semakin parah. Jadi, tolong bertahanlah."

Ia pun terdiam dan menganggukan kepalanya. Meringis ketika obat ini mengenai sudut bibirnya yang sobek.

"Tolong pelan-pelan," gumamnya pelan.

Aku pun mengobatinya dengan perlahan. Setelah selesai, aku mencari kacamatanya dan kemudian memberikannya.

Ia meraih kacamatanya di tanganku dan bergegas memakainya. Namun, ia tetap tertunduk lesu.

"Apakah masih terasa sangat sakit?" tanyaku khawatir.

Dapat kulihat ia tersenyum walaupun dipaksakan.

"Tidak, sudah lebih baik. Terima kasih," ucapnya seraya menatapku dengan senyuman tipis di wajahnya.

Kini dapat kulihat dengan jelas rupa wajahnya. Dengan mata cokelat teduh, alis yang tebal, bulu mata yang panjang, dan rahang kokoh membuatnya terlihat tampan walaupun terdapat kacamata yang menghalangi matanya yang indah, dan luka lebam di seluruh wajahnya.

"Kau sangat tampan," gumamku tanpa sadar.

"Ma-maaf?" tanyanya dengan terkejut.

"Sudah kubilang, kau tam—eh?! Tidak! Lupakan! Lupakan itu! Argh!" Aku pun menutup wajahku ini dengan kedua tanganku. Menyembunyikan rasa malu yang melingkupiku.

"Hahahaha!"

Aku dengar ia tertawa, dan tawanya sungguh manis.

"Siapa namamu?"

Aku pun menurunkan kedua tanganku, dan menatapnya kembali seraya memiringkan kepalaku. Persis seperti seseorang yang bertanya Apa?

"Siapa namamu?" tanyanya kembali.

"Widia Putri, dan panggil aku Wydi!"

"Ouh ... kau berasal dari Asia, ya? Di mana tepatnya?" tanyanya dengan lembut.

"Dari Indonesia. Lalu ... siapa namamu?" tanyaku malu-malu.

Kulihat ia tertegun sejenak. Namun, ia kembali tersenyum dan mengulurkan tangannya padaku.

"Panggil saja aku Peter, Wydi."

Aku membalas uluran tangannya. Ada perasaan aneh saat kuterima uluran itu.

"Oke Peter!"

"Hmmm, Wydi, maukah kaumenjadi temanku?" tanyanya tulus.

"Heh? Apa?"

"Kubilang ... maukah kau menjadi temanku? " tanyanya lagi seraya terkekeh.

"Hmmm ... boleh!" ucapku semangat.

Akhirnya aku dapat teman huaaa!!!

"Kau kekanakkan sekali, Hahaha!"

Kulihat ia yang tertawa terpingkal-pingkal dan kemudian mengaduh kesakitan.

"Makanya jangan menertawakanku!" cibirku sebal dan dibalas cengiran olehnya.

"Ngomong-ngomong, thanks, ya udah nolongin aku."

"Hmmm."

"Ahahaha ciee ngamb—aduh duh."

"Hahahah! Makanya jangan usil!" kataku seraya memeletkan lidah.

Kulihat ia yang kini mengerucutkan bibirnya sebal. "Terserah kau saja." Ia tertegun sejenak. "Oh ya, hari sudah mau sore. Lebih baik kaucepat pulang."

"Lalu bagaimana dengamu?"

"Aku ingin istirahat dulu di sini."

"Kalau begitu aku akan menemanimu."

"Jangan! Tidak baik seorang gadis keluyuran malam-malam. Kau tidak ingin diterkam oleh pria hidung belang, kan?"

Aku pun mengingat fakta mengerikan tersebut. Kemudian bergegas membereskan isi tasku dan obat-obatan itu.

"Kau benar-benar tidak apa-apa, kan?" tanyaku khawatir seraya berdiri dan membawa tasku.

Ia mengangguk. "Hmm, pulanglah."

"Huft, baiklah jika kau memaksa."

Aku pun berjalan sambil menghentak-hentakkan kaki. Entahlah ... Aku merasa kesal dan tidak ingin pulang dulu. Tapi apa daya? Aku harus pulang sebelum malam tiba.

"Hati-hati."

Dua kata tersebut berhasil membuatku membalikkan tubuhku menghadapnya. Kini, aku tersenyum.

"Kau juga, Peter."

Ia mengangguk pelan dan melambaikan tangannya.

Peter....

Kukira ia hanyalah orang arogan yang tidak tahu terima kasih. Namun, ternyata ia adalah orang yang sangat baik.

🍁🍁🍁

Sesampainya di kamar, aku langsung membanting tubuhku di kasur dan melihat keluar jendela besar yang tepat berada di samping.

Aku berjalan mendekatinya. Membuka jendela tersebut, dan menikmati pemandangan matahari terbenam dari atas balkon ini.

Kupejamkan mataku. Menghirup seraya menikmati segarnya udara negara ini.

Kurasa ... akan kutarik kembali kata-kataku.

Hari ini cukup menyenangkan!

Peter.

Semoga kita bertemu lagi.
.
.
.
.
.

_To be Continued _

🍀 🍀 🍀

Gaje, ya? Maaf ya.
Huaaa sedih hayati 😭

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top