7. Memories

Aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Setelah lepas kendali di depan Shizu, anak itu pergi. Bahkan ketika masuk kelas ia tidak menatapku sama sekali. Ketika ditanya hanya membalas seadanya bahkan lebih sering berdeham saja. Puncaknya saat pulang dia meninggalkanku sendiri.

Padahal kami baru saja berbaikan. Tapi dia sudah kembali marah. Aku penyebabnya. Baru sebentar keadaan seperti ini kurasakan, tapi rasa takut dalam diriku merebak keluar. Mengotori udara, membuat sulit bernapas, menyakiti rongga dada.

Bagaimana jika dia terus begini? Maksudku, Shizu memang anak yang baik. Tipe manusia yang begitu mudah memaafkan. Meski sudah berkali-kali dimanfaatkan. Tapi sekalinya muak, dia akan benar-benar muak. Dia tidak memiliki batasan untuk kesalahan setiap orang. Namun jika sudah keterlaluan dia lebih memilih menghindar.

Memutuskan hubungan.

Jujur saja aku takut. Baru masalah kecil seperti ini saja Shizu sudah marah begini. Lagi-lagi penyebabnya hanya kado ulang tahun juga acara perayaannya. Beberapa tahun terakhir aku mencoba untuk bersikap biasa. Alasan kuat sebagai pembenaran atas semua sikap yang kulakukan hanya satu. Karena setiap manusia memiliki rahasia, aku berpegang teguh pada keyakinan itu.

Hingga kurasa akan baik-baik saja jika mereka tidak mengetahui kebenarannya. Aku sempat bangga, dengan deretan angka itu. Sekarang tidak lagi. Aku merasa tidak pantas mendapatkan semua perhatian atas sebuah kebohongan. Aku menunggu penjelasan, perlahan merubah sikap agar ditanya apa sebabnya. Namun, semuanya tetap sama. Tidak ada yang sadar atau tidak peduli dengan perubahan ini. Rasanya mau menyerah saja.

Melihat reaksi Shizu yang seperti ini membuatku meragu. Tidak pernah terbayangkan bagaimana reaksinya begitu tahu dia telah ditipu oleh sahabat dekatnya sendiri. Aku ingin jujur, tapi terlalu takut. Rasanya menakutkan saat dijauhi oleh seseorang yang selama ini menjadi satu-satunya sandaran yang kau punya.

Tidak akan mudah mengatakannya.

Aku ingin memaki Tuhan. Kenapa aku harus mengetahui kebenarannya? Ah, tidak. Baru sebagian yang kutahu. Sebagian yang membuatku menjadi seorang penipu seumur hidup. Sebagian yang merusak seluruhnya.

Bukan tanpa alasan aku menolak perayaan hari kelahiran. Terasa tidak benar bagiku. Aku ingin berhenti  menanggung rasa bersalah ini. Satu ucapan selamat membuatku merasa menjadi orang yang paling jahat.

Aku benci ulang tahunku sendiri.

Aku benci melihat butiran salju.

Aku benci membenci hal-hal yang dulu begitu kusukai.

Suara pintu diketuk beberapa kali. Seperti biasa, setelah pulang dari sekolah aku langsung memasuki kamar dengan keengganan super besar untuk keluar. Kembali menatap keluar lewat jendela. Kegiatan di sekolah selesai lebih cepat.

Terlalu konyol saat berharap dapat kutemui presensi Shizu di luar. Bersiap mengambil ranting atau batu-batu kecil untuk membuat keributan. Melemparnya ke jendela tanpa takut pecah dan membuat pemiliknya marah.

"Aku sudah kehabisan akal untuk membuatmu keluar. Karena ini berhasil, maka aku akan melakukannya lebih sering."

"Sepertinya kau masih belum tahu jika pintu eksis."

Mengingatnya membuatku bahagia. Kali ketiga gadis itu melakukan aksinya berhasil menarikku keluar dan membentuk pertemanan yang lebih dekat. Padahal saat itu aku hanya tidak mau membuatnya dimarahi Papa. Kemudian dia kembali mengatakan hal-hal konyol saat kutegur dan beri saran supaya mengajakku bermain dengan benar.

"Sayang sekali kamarmu ada dilantai dua," ucapnya begitu murung. Lantas aku menyesal karena telah bertanya lebih jauh lagi. Kupikir dia akan memberi tahu alasan yanh masuk akal. Tidak, aku salah besar. Jawaban gadis Jung itu malah membuatku menganga, sejenak sempat tidak percaya jika tipe manusia sepertinya memang ada. Perempuan pula. "Coba saja dilantai satu."

"Kenapa memang?" tanyaku dengan kening berkerut waktu itu.

"Aku bisa lebih mudah masuk ke kamarmu, hehehe."

"Astaga! Kau gila?"

"Jangan kaget begitu, kau ini berlebihan sekali ya." Dia tertawa puas begitu melihat wajahku. Entah apa yang lucu. "Taehyung, kalau libur kita main ya. Aku akan mengajakmu keluar seperti itu, jangan hanya bermain di sekolah. Tidak akan puas, waktunya habis buat belajar."

Mengingatnya membuatku tersenyum sendiri. Aku bodoh jika berharap bisa melihat Shizu berdiri di luar jendela. Menyilangkan tangan di depan dada sambil memasang ekspresi cemberut. Dia sedang marah begitu, mana mau susah payah keluar menginjak tumpukan salju. Lagi pula ini bukan hari Minggu.

"Ternyata pintunya tidak dikunci."

Aku menoleh begitu mendengar suara Mama. Dia melempar senyum seraya melenggang ke arahku. Mengusak tatanan rambutku yang sudah berantakan menjadi semakin tidak karuan. Matanya berkilau. Aku tidak bisa membenci Mama kalau sudah begini.

"Anak Mama sudah sebesar ini. Waktu cepat sekali berlalu, sebentar lagi Taehyung akan pergi lebih jauh dari pandangan Mama. Rasanya berat melihatmu beranjak dewasa kemudian memiliki dunia sendiri."

Aku ingin bilang, Mama tidak usah khawatir. Jangan bersedih karena masih ada Jungkook. Tapi bibirku serasa dikunci. Wanita itu datang ke kamarku untuk menanyakan makanan apa yang sangat ingin kumakan. Nanti akan dimasakkan oleh Mama, sekalian ada yang mau dibeli di minimarket dekat rumah. Dia juga bertanya barang kali aku ingin menitipkan sesuatu.

Dan yang didapat olehnya hanya gelengan kepala. Selera makanku mendadak turun drastis saat banyak hal yang kupikirkan. Saat Mama keluar, aku membulatkan tekad. Aku ingin mengetahuinya sekali lagi, memastikan jika mungkin selama ini aku salah dengar.

Aku mau mencari kebenarannya, meski takut. Aku tidak mau terus-menerus terjebak dalam rasa bersalah. Ingin berhenti mengatakan hal-hal yang tidak benar.

Aku hanya mau tahu kapan sebenarnya aku dilahirkan?[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top