4. Cold
Langit-langit dengan warna putih menjadi hal pertama yang selalu kulihat pertama kali tiap membuka mata di waktu pagi. Sepertinya aku harus berkunjung ke toko paman Hwang untuk membeli cat baru. Sekadar memperbaharui suasana hati, barangkali kalau kamar ini sedikit berwarna mood-ku akan sedikit lebih baik ketimbang melihat putih terus-menerus. Muak sekali rasanya.
Kalau tidak salah, sekarang hari minggu. Tandanya aku bisa bermalas-malasan seharian penuh. Menghabiskan waktu untuk kembali tidur terdengar tidak terlalu buruk. Sayang sekali aku sulit kembali tidur akhir-akhir ini. Jam weker di samping tempat tidur masih menunjukkan pukul enam pagi. Rekor terbaik milikku yang bisa bangun sendiri sepagi ini pada tanggal merah. Biasanya Mama yang membangunkan. Tapi sejak si bungsu---jika bisa disebut begitu---lahir, aku dipaksa mandiri.
Katanya untuk kebaikanku sendiri, tapi aku tetap saja tidak mengerti. Bebal sekali memang.
Ah, aku merindukan seseorang. Sudah satu jam sejak aku membuka mata, jendelaku masih aman dari lemparan ranting yang biasa dilakukan olehnya. Gadis barbar yang semakin pendiam seiring waktu berjalan. Minggu ini dia tidak datang. Sudah dua hari sejak kejadian penolakan kado yang kulakukan padanya di sekolah. Sepertinya dia masih marah, semakin besar Shizu semakin sensitif saja. Tipikal perempuan sekali, segala sesuatunya selalu diambil hati.
Eh, apa aku yang sudah keterlaluan ya?
Berbaring terus-menerus di tempat tidur seperti orang sakit membuat punggung pegal bukan main. Perut juga ikut berbunyi, aku kelaparan ya Tuhaaan. Mendadak baru ingat jika sejak pulang dari sekolah kemarin belum ada makanan apapun yang mengisi lambung. Payah sekali, masih muda begini sudah pelupa.
"Duh, kenapa jadi mual begini."
Setelah selesai membersihkan tubuh, kuputuskan untuk beranjak keluar menuju meja makan. Tepat di anak tangga ke tujuh samar-samar terdengar obrolan dan suara tawa yang hangat. Kenapa sekarang rasanya berbeda ya, tidak ada semangat yang muncul.
"Oh, sayang. Kau baru bangun? Sini makan dulu."
Itu Mama, seperti biasa selalu jadi yang pertama berbicara pada siapa pun yang terlambat bergabung. Anggukan kuberikan, lantas kutarik kursi di samping adikku.
"Hyung, ayo dimakan," katanya sambil meletakkan sandwich di atas piring. Sedangkan Mama dengan cekatan menuang susu vanila ke dalam gelas, "Kau belum makan dari kemarin malam 'kan? Jangan begitu, Hyung. Aku tahu siswa tingkat akhir sepertimu memang sibuk mengurus ini-itu, banyak ujian dan juga jam tambahan. Tapi kau harus tetap mengutamakan kesehatanmu dulu, nanti kalau maag-mu kambuh bagaimana?"
Papa juga ikut tersenyum. "Jungkook benar, Tae." Begitu katanya sambil mengusap puncak kepala anak itu.
"Iya."
Hanya satu kata yang keluar dari bibir. Kenapa di saat seperti ini hatiku terasa beku? Apa terlahir di musim dingin cukup memberi pengaruh yang signifikan bagi sifat seseorang? Seperti aku misalnya.
Menelan sepotong roti saja rasanya lama sekali. Tidak selera dan nafsu makanku memang sedang buruk. Tidak tahu juga kenapa jika kalian bertanya apa sebabnya. Aku tidak bisa menjawab, serius.
Di meja makan ini ramai sekali, Jungkook bercerita dengan penuh semangat mengenai hari-harinya di sekolah. Kemarin anak itu juga mengikuti lomba taekwondo tingkat nasional, dapat juara dua karena salah teknik saat akan memiting lengan lawan. Papa juga terlihat antusias mendengar ceritanya, maklum saja dia tidak bisa datang karena harus meeting. Ya, akhir pekan tidak menjamin beliau terbebas dari pekerjaan. Sedang Mama, hanya tersenyum dengan sorot mata sarat akan rasa khawatir serta bangga secara bersamaan.
Jungkook ceria sekali, dia juga kuat. Hasil latihan fisik dari ilmu beladiri yang ia ikuti dan beberapa cabang athletik membuat tubuhnya terbentuk sempurna di usia tujuh belas tahun. Lebam di sudut bibir dan mata bukan masalah besar bagi anak itu, tapi yang namanya orangtua apalagi ibu---seseorang yang mempertaruhkan nyawanya sendiri demi kelahiran sang putra---pasti cemas bukan main melihatnya.
Seperti itu Mama menatap Jungkook.
Sedang aku sendiri tidak tahu dengan apa yang kurasakan saat ini. Apa mungkin aku cemburu pada adikku sendiri? Tidak! Ini bukan perkara cemburu, hanya perasaan kecewa yang terlanjur tumbuh subur dalam hati dari hari ke hari.
Hari yang tidak menggairahkan ini semakin terasa buruk saat Mama tiba-tiba menanyakan hal yang kubenci belakangan.
"Tae, ulangtahun nanti mau dirayakan di mana?"
Ulang tahun bagi seseorang yang bahkan tidak ada satu pun manusia yang tahu kapan ia dilahirkan, apa mungkin bisa dirayakan?[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top