3. Liar
Papa Geppetto tidak pernah tahu jika boneka kayu yang ia buat akan hidup lalu mengangkatnya sebagai seorang anak. Anak lelaki manis yang menemaninya di rumah, menunggu kedatangannya, serta mengikis sepi dalam hidupnya. Dia bahagia, hingga berakhir tahu akan apa yang terjadi pada manusia kayu ciptaannya. Dia tidak lagi lucu saat hidung kayu itu semakin panjang. Menimbulkan luka cukup dalam bagi si pencipta saat tahu boneka yang ia cipta tumbuh menjadi pembohong.
Entah aku harus bersyukur karena tidak terlahir sebagai Pinocchio atau merasa malu karena pada akhirnya aku lebih buruk dari boneka kayu itu. Tidak ada tanda yang bisa orang-orang lihat saat aku mulai mengutarakan kebohongan, wajahku masih tampan dan hidungku tidak bertambah panjang. Jadi mereka selalu merasa senang berada di sekitarku, menjadi sosok yang dianggap hyperaktif dengan senyum terkembang s'lalu, bukan berarti hatiku tidak pernah sakit.
“Taehyung!”
Kudengar suara seseorang yang kukenal memanggil namaku, menengok lantas menghentikan langkah sebelum memasuki gerbang. Dia tersenyum kecil lantas berlari dengan jaket hijau muda super tebal. Kemudian menggandeng tangan setelah berhasil berdiri di sampingku.
“Terima kasih karena sudah menunggu, ayo masuk! Aku tidak mau dihukum berdua di tengah salju.”
“Tidak akan. Kurasa guru-guru di sini masih punya hati untuk melakukan hal seperti itu.”
Kekehannya terdengar hangat, menarik senyumku kembali saat dia terbiasa sembunyi ketika berada di rumah. Aku sendiri tidak mengerti, rasanya pita suaraku rusak tiap kali pulang. Yang kulakukan hanya berbaring dan menatap tumpukan salju di balik jendela. Berpikir macam-macam hal yang luar biasa menjengkelkan. Kurang dari sepuluh hari, aku akan kembali bersandiwara menikmati semua pesta.
Tapi aku mulai lelah, jadi tahun ini kuputuskan untuk pergi.
“Mau hadiah seperti apa?” tanya orang itu sambil meletakkan dagu pada tangan kanan yang bertumpu di meja. Tatapnya terus mengikuti segala pergerakanku di sampingnya, dari berdiri, meletakkan tas, hingga ikut duduk dan menyandarkan punggung pada kursi dengan pandangan menatap keluar. Aku suka pemandangan di balik jendela, di mana pun, kapan pun.
Helaan napas menguar, lapangan di luar sudah berubah warna dan terlihat dingin. Pohon dan bunga tidak lagi mengeluarkan warna lain, semuanya serba putih pucat. Tapi bagiku, semuanya terasa biru. “Aku tidak mau minta hadiah dari perempuan.”
Kudengar suara kursi berderit kencang karena gerakan tiba-tiba. Dia memukul lenganku, saat kutengok bibirnya sudah memberengut dan terlihat lucu. “Kau selalu bertingkah seolah ini kali pertama kuberi hadiah.”
“Kau tahu, aku tidak suka.”
“Dulu tidak. Kau suka segalanya, kenapa sekarang jadi berubah? Merayakan hari lahir bukan suatu kesalahan.”
Memang bukan sebuah kesalahan jika benar dilahirkan tepat di hari perayaan yang sering kali diadakan. Tapi, jika tidak ... bukankah sama dengan menipu orang-orang? Aku benci semua bulan dan tanggal yang mereka tulis di kartu undangan. Satu-satunya yang kupercaya hanya tahun kelahiranku saja. Hanya itu satu-satunya info yang tidak pernah simpang siur saat kutanya Papa dan Mama. Sisanya selalu terbalik dan salah. Sedangkan aku sendiri mana mungkin tahu kapan tepatnya aku dilahirkan.
“Tidak tahu, mendadak tidak suka saja,” jawabku sekenanya. Saat kau memulai satu kebohongan maka akan ada kebohongan lain yang menyusul untuk menjaga kebohongan pertama agar tetap terjaga. Lalu beranak pinak hingga kau akan mendapatkan cap pembohong, harga yang dibayar juga tidak murah. Sekali kau memutuskan berbohong maka sejak detik itu kau telah menggadaikan kepercayaan orang-orang padamu.
“Kenapa merayakan sesuatu untuk mengingatkan jika waktu hidupku semakin berkurang, kenapa merayakan sesuatu yang mengatakan jika kau semakin dekat dengan kematian?”
Dia diam, kemudian bergerak keluar. Tidak akan kutahan, karena anak itu punya hak untuk menentukan, apakah tetap bertahan di sampingku atau memutuskan pergi. Mengambil jeda sebentar untuk kembali, Shizu selalu seperti itu sejak dulu. Benci berdebat dan memilih pergi saja dari pada membuat semuanya jadi lebih rumit. Sejak dulu, dan tadi kalian bisa lihat dia tetap duduk di sampingku. Karena baginya, aku adalah tempatnya kembali.
Dengan mata tertutup dan kepala yang bersandar di atas meja, aku bergumam tanpa tahu ada yang mendengar.
“Aku anak siapa?”[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top