2. December
Tiga bulan yang lalu Mama memintaku menemaninya pergi ke toko swalayan dekat rumah, kebetulan sekali aku pulang cepat. Tidak enak badan, jadi guru Park memberi ijin padaku untuk tidak mengikuti kelas tambahan. Percuma memang, tiga jam yang berguna akan berakhir sia-sia jika kau memaksakan diri untuk duduk di kelas sambil membolak-balikkan halaman buku. Karena saat kepalamu pusing tujuh keliling, jangankan menyerap ilmu baru mengulang pelajaran yang disampaikan lima menit lalu saja kau tidak akan mampu. Percayalah.
Aku bisa sepusing itu, sungguh.
Guru Park bilang aku harus pulang dan istirahat cukup supaya lekas sembuh, anggukkan dan senyum lebar kuberikan sebagai balasan tidak lupa membungkuk dalam. Tapi, saat memasuki halaman depan dengan harapan segera berbaring di kasur idaman, tiba-tiba saja Mama keluar buru-buru dari dalam rumah sambil memakai sepatu.
"Oh, Taehyung, kau sudah pulang," katanya sambil membenarkan sepatu di kaki kiri yang baru masuk separuh. "Kebetulan sekali, ayo temani Mama belanja sebentar," ucapnya lagi tanpa berniat menatap ke arahku.
Aku linglung, tidak tahu harus menjawab apa. Dalam hati sudah bulat tekad untuk menolak ajakannya karena memang butuh tidur.
"Ta---"
"Ayo!" tanganku ditarik paksa hingga mau tidak mau aku pun menurutinya, samar kudengar Mama bergumam. Pelan sekali, "Bagaimana bisa aku melupakan ulangtahun anak itu?"
Harusnya aku tidak cemburu ketika tahu jelas siapa yang dimaksud oleh wanita ini. Harusnya aku cukup tahu diri untuk tidak meminta lebih. Harusnya aku tidak boleh serakah hingga ingin memonopoli kasih sayangnya seorang diri. Tapi hatiku tidak pernah bisa diajak kompromi, dia masih merasakan sakit saat tahu cinta mereka kini telah dibagi. Karena faktanya sekarang anak mereka bertambah satu, bukan hanya aku.
"Ah, dia suka susu apa ya?"
"Susu pisang, Ma."
Mama menoleh ke arahku yang sedang mendorong troli di belakang, mengekorinya mengambil bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat kue ulang tahun sejak setengah jam yang lalu. Kalau sampai guruku melihat siswanya yang tadi bilang tidak enak badan malah berkeliaran di sini alih-alih menemui dokter di rumah sakit, mati sudah. Esok pagi kan kuhabiskan waktu untuk berkeliling lapangan sepuluh kali sambil berlari.
Seragam yang menempel pada tubuh sontak saja membuat seluruh mata tertuju padaku. Risih dan rasanya membuat keinginan untuk segera pergi semakin tinggi. Tapi Mama seakan tidak peduli, sejak tadi yang ada di matanya hanya deretan makanan, tepung, meses, susu, cokelat, telur, dan teman-temannya yang lain.
"Ma, kapan kita pulang?"
"Sebentar lagi, ya, sayang. Masih ada yang harus Mama beli."
"Taehyung ngantuk," kataku. Bodoh sekali memang, harusnya aku bilang kalau kepalaku terasa sangat berat dan ingin buru-buru dibenamkan pada bantal. Aku pusing, dunia yang kulihat serasa berputar dengan cepat. Bukannya malah merengek manja seperti ini, jangankan Mama aku saja kesal mendengarnya.
Bruk!
Aku tidak tahu apa-apa saat kudengar teriakan Mama mendadak jadi satu-satunya suara yang bisa kudengar sebelum kesadaranku hilang total.
Hari ini, aku duduk di depan jendela lagi. Dari dalam kamar yang letaknya ada di lantai atas. Menempelkan tangan pada kaca yang berembun, butiran putih muncul. Jatuh melayang dengan pelan di luar, aku melihat seorang remaja lelaki berlari keluar sambil menarik tangan sepasang suami istri dari dalam rumah. Berputar-putar dengan girang, dua gigi depannya yang lebih besar muncul saat dia tersenyum.
Desember, saatnya menghitung hari. Berpikir kembali mengenai pentingnya bulan ini dalam hidupku. Mengulang ingatan akan dua kemungkinan, memilih menerima kepalsuan atau mencari kebenaran, terdampar atau dibuang.[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top