Raison D'être

Commisioned by Eulyin Huan
Genshin Impact | Nahida & Rukhadevata

Alternate Timeline, if King Dehsret didn't tempted by forbidden knowledge.

Hangat ….

Kesadarannya perlahan naik ke permukaan, merasakan rasa nyaman yang membuatnya ingin terus menutup mata. Sedikit lagi. 

Sedikit lagi.

Dia tersenyum kecil sambil mengembuskan napas lega. Dia ingin selamanya berada dalam kehangatan yang melingkupinya bagai kepompong, tidak ingin lepas dari kenyamanan. Namun sebuah suara lembut memanggil namanya, menariknya keluar dari tidur panjang. Suara yang penuh dengan kasih sayang, memintanya terjaga.

“Nahida ….”

Tangan mungil itu memegang gaun putih milik Rukhadevata erat. Dengan kepala yang bersandar pada dada archon Dendro, matanya yang hijau memandang sekeliling dengan tatapan takut namun ingin tahu. Dia menyadari pandangan orang-orang terarah padanya ketika Rukhadevata menggendongnya masuk melewati aula akademiya. Sebagian dipenuhi keingintahuan, sebagian lagi tatapan terkejut. Baginya yang selama ini berdiam di Sanctuary of Surasthana yang jarang dikunjungi, pandangan yang ditujukan kepadanya membuat anak itu tidak nyaman. Keingintahuannya akhirnya kalah membuat anak itu membenamkan wajah di dada Rukhadevata.

“Nahida,” panggil Rukhadevata lembut seraya membelai punggung kecil yang berada dalam pelukannya. “Tidak apa-apa.”

Suara sang archon Dendro memberikan keberanian baru bagi anak itu. Nahida mengangkat kepala dan mendapati Rukhadevata sedang tersenyum kepadanya, memberikan rasa tenang. Anak itu membalas dengan senyum kecil sebelum kembali memandang sekeliling. Aula akademiya dengan gemericik air mancur berganti menjadi ruangan dengan langit-langit tinggi. Rak-rak buku tersebar di seluruh penjuru membuat Nahida melebarkan mata. Pengetahuan tak terbatas membuatnya bersemangat. Kepalanya berputar melihat satu per satu rak ketika Rukhadevata membawanya ke tengah ruangan menaiki lantai yang membawa mereka naik ke ruang Grand Sage, tempat sang archon Dendro mengambil keputusan yang menentukan nasib Sumeru.

“Kau ingin membaca buku-buku itu?” tanya Rukhadevata selagi mereka bergerak.

Nahida mengangguk dengan mata yang tertuju pada ribuan buku yang menghilang dibalik tembok putih. 

Rukhadevata tertawa kecil. “Tentu saja, setelah kau lebih terbiasa dengan akademiya, kau bisa membaca sebanyak yang kau suka.” Wanita itu menyentuh hidung mungil Nahida.

Tepat saat itu, lantai yang membawa mereka naik berhenti dan Rukhadevata melangkah menuju ruang dengan kesan megah dan langit-langit menjulang. Nahida memandang ke atas dan mendapati dia tidak bisa melihat ujung ruangan. Tatapannya beralih ke sekeliling, melihat ada sebuah bola melayang di tengah hiasan berbentuk seperti kubah, membuatnya bertanya-tanya apakah itu sekadar hiasan atau memiliki arti khusus. Segalanya tampak asing dan menggelitik rasa keingintahuannya. Rasa haus yang dia rasakan makin kuat seiring dengan banyak hal yang tidak dia ketahui.

“Salam bagi Archon Dendro.” Sang Grand Sage yang berdiri sejak awal memberi hormat pada Rukhadevata. Di sampingnya, sang jendral mahamatra melakukan hal yang sama.

Orang yang asing.

Nahida memandang mereka berdua lekat. Grand Sage adalah jabatan tertinggi kedua setelah archon yang bukan hanya mengatur akademiya tapi juga menjadi wakil pemerintahan Sumeru jika sang archon sedang tidak ada di tempat. Saat ini, seorang pemuda tinggi dengan rambut kelabu dan memakai semacam alat pendengar di telinganya yang menjabat posisi itu. Irisnya yang berwarna hijau memandang sekilas ke arah Nahida sebelum kembali menatap sang archon.

“Apakah dia …,” ucapnya tanpa menyelesaikan kalimat.

Rukhadevata mengangguk sambil duduk di kursi balik meja. Dia mendudukkan Nahida di pangkuan sebelum memandang ke arah sage. “Dia adalah Nahida, cabang termurni dari Irminsul ….”

Kata-kata Rukhadevata mengambang di udara. Dia menyembunyikan kalimat berikutnya dengan tatapan penuh arti kepada Nahida yang membalas lekat. Tangan mungil anak itu terangkat dan menyentuh pipi sang archon. Nahida tahu apa yang menjadi kelanjutan dari kalimat pendek itu. 

Alasan mengapa dia ada di dunia.

Tujuannya hidup.

Grand Sage menghela napas tidak kentara, membuat Nahida menoleh ke arahnya, bertanya-tanya apakah pemuda itu tahu mengapa hari ini Rukhadevata membawa seorang gadis kecil keluar dari Sanctuary of Surasthana.

Archon Dendro tersenyum lembut. “Apakah ada perkembangan dari badai gurun yang terjadi?" tanya wanita itu pada dua orang di hadapannya yang kini duduk di kursi sambil memegang dokumen. 

"Keadaan semakin buruk," lapor sang jendral mahamatra. Pemuda bermata merah tajam dengan rambut perak. Penutup kepalanya yang berbentuk seperti dewa berkepala anjing bergerak seiring dengan terangkatnya tatapan pemuda itu ke arah Rukhadevata. 

"Raja Deshret berusaha mengatasinya, tapi tidak terlalu efektif. Kami telah meminta Dewi Bunga, Nabu Malikata, untuk datang namun sepertinya kami membutuhkan lebih banyak bantuan."

"Badai …." Rukhadevata bergumam sementara Nahida memandanginya, berusaha menebak apa yang dilakukan oleh sang archon. 

"Saya telah mengirim prajurit bayaran yang masih ada untuk membantu pengungsian penduduk. Saat ini, desa Aru menjadi pusat pengungsian dan bantuan telah disalurkan." Grand Sage menambahkan laporan tanpa membaca kertas di tangannya. Dia sepertinya sudah menghafal seluruh isi laporan di luar kepala.

Sesaat keadaan hening. Sang jendral mahamatra menunggu jawaban dari sang archon, menyembunyikan kegelisahan di balik wajahnya yang tidak berekspresi. Harapan bahwa sang archon akan turun tangan secara langsung terlihat jelas dari mata merahnya, sementara sang sage kembali memusatkan pikiran pada langkah praktis mengurus para pengungsi yang makin banyak.

Nahida menangkap ini semua dalam detik-detik yang berlalu dalam senyap.

"Sepertinya aku memang harus meninjau langsung apa yang terjadi di gurun. Badai ini bukan hanya anomali biasa, jika kekuatan Deshret tidak mampu mengatasinya, berarti masalah ini membutuhkan kebijaksanaan lebih untuk menyelesaikannya," ucap Rukhadevata sambil tersenyum lembut, membuat jendral berambut perak mengembuskan napas lega.

Sikap pemuda itu menjadi lebih rileks. "Kapan Anda akan datang? Saya akan segera melaporkannya pada Raja."

Rukhadevata berdiri sambil menggendong Nahida, membuat anak itu terkejut. Seakan mengetahui keputusan Rukhadevata, dia memandang sang archon dengan tatapan memohon.

"Jangan …," ucap Nahida lirih, tahu bahwa wanita itu akan meninggalkannya. Dia akhirnya mengerti mengapa hari ini archon Dendro membawanya ke akademiya. 

Rukhadevata tersenyum pada Nahida sebelum mendudukkan gadis itu ke kursi berpunggung tinggi yang menjadi pusat pemerintahan di Sumeru. Sang jendral mahamatra pamit untuk mengatur beberapa hal tentang keberangkatan mereka sementara sang sage membagi-bagi dokumen menurut tingkat urgensi, mempersiapkan beberapa langkah ke depan untuk persiapan archon Dendro mendatangi gurun. 

"Nahida, kau tahu aku harus pergi." Wanita itu berlutut agar tatapannya sejajar dengan Nahida. Dia merapikan kunciran gadis itu sebelum memegang kedua tangan mungilnya, berusaha meyakinkan bahwa segalanya akan baik-baik saja.

"Tapi …."

Rukhadevata menempelkan dahinya ke dahi Nahida. "Kau adalah cabang termurni dari Irminsul …."

"Yang dipatahkan untuk dipersiapkan menjadi archon Dendro berikutnya jika …." Nahida tidak ingin melanjutkan kata-katanya. 

"Jika terjadi sesuatu denganku." Rukhadevata melanjutkan kalimat yang terpotong. 

Pengganti archon Dendro.

Nahida tahu alasannya ada di sana, tujuan hidupnya. Bagai tunas yang dipersiapkan untuk tumbuh. Sejak awal dia membuka mata hingga hari ini, Rukhadevata telah menjelaskan maksud keberadaannya, hal yang telah menjadi takdir hidupnya.

Namun Nahida tahu, rasa sayang pendahulunya itu bukan sekadar karena dirinya adalah sang penerus. Rukhadevata benar-benar mengasihinya bagai seorang ibu. 

"Nahida …," panggil sang archon. Dia memutus sentuhan mereka untuk menatap mata bulat anak itu, meminta izin yang seharusnya tidak perlu. Rukhadevata bisa melakukan apa saja dan Nahida akan menurut. Namun, archon itu memilih jalan yang sulit dan membuat Nahida semakin enggan untuk melepaskannya. 

"Berjanjilah untuk kembali." Akhirnya kata-kata itu terucap sementara Nahida membalas genggaman tangan Rukhadevata. 

"Aku berjanji," balas sang archon seraya mengecup dahi Nahida. “Segera setelah badai teratasi, aku akan pulang. Untuk sementara waktu, duduklah di sini dan pelajari segala hal yang kau inginkan.”

Rukhadevata kembali tersenyum lembut sebelum berdiri dan berbicara dengan Grand Sage, membahas beberapa detil rencana yang harus dilakukan jika dia meninggalkan posisinya untuk membantu menenangkan kondisi gurun. 

Nahida menatap wanita bijaksana itu menoleh ke arahnya sekali lagi sebelum melangkah pergi. Sosoknya perlahan tenggelam di balik tembok ketika lantai bergerak turun. Hatinya dibebani oleh berbagai pertimbangan. Di akhir pikirannya, Nahida tahu, dia lebih memilih kehilangan tujuan hidup jika itu berarti Rukhadevata bisa berada di sisinya sepanjang masa. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top