Epiphany
Commisioned by RutHilda at Facebook
Original Character
Sebenarnya Ida sama sekali tidak mengerti kenapa dia bisa berada di tengah-tengah kelompoknya saat ini. Merasa canggung? Ya. Tidak nyambung? Tentu saja. Tidak kompeten? Apalagi.
Namun dia terjebak dan tidak bisa keluar. Lebih tepatnya, dia merasa tidak enak kalau tiba-tiba mengundurkan diri begitu saja.
“Da, kamu join tim kita ya?” tanya Herman, sang pendiri kelompok beberapa waktu silam. Percakapan lewat Discord itu terjadi begitu saja ketika Ida sedang asik bercengkrama dengan teman-teman pemain kartu Yu-Gi-Oh, salah satu permainan kartu yang terkenal di Jepang dan kini sudah masuk ke Indonesia. Kepopuleran permainan kartu tersebut meledak ketika anime-nya menjadi populer. Anak-anak di kampung pun ditemukan sedang bermain kartu Yu-Gi-Oh walau keaslian kartunya patut dipertanyakan.
“Join?” Ida mengulang pertanyaan Herman. Setengah tidak percaya dia mendengar ajakan itu.
“Iya, join. Tim kita kurang satu orang supaya bisa ikut kompetisi.”
“Wah ide bagus tuh! Ida bisa join!” sahut Chris di tengah-tengah obrolan, salah satu pemain andalan grup EST.
“Mantap lah!” celetuk Dodi.
“Eh? Tapi aku kan cuma casual player, mana pernah aku main kompetitif apalagi ikut lomba,” jawab Ida enggan.
“Itu gampang, Dodi bisa ngajari kamu,” sahut Chris.
“Eh! Enak aja nyuruh-nyuruh!” Dodi langsung angkat suara tidak terima.
“Ga ada yang berubah, santuy aja. Lagian kita ada sepuluh orang, ga semua harus turun sekaligus.” Chris melanjutkan, mengabaikan Dodi.
“Bener yang penting kita fun maennya,” sambar Adi. “Lagian Ryan aja pede-pede aja join padahal dia beban hahahahah!”
“Eh, enak aja nuduh aku beban!” Ryan langsung muncul di grup chat bersama dengan emotikon marah. “Gini-gini aku pernah menang kali!”
Di balik layar ponselnya, Ida tersenyum. Tingkah teman-teman yang menjadi komunitas bermain kartunya memang menjadi salah satu moodbooster paling ampuh.
“Iya, Da. Join aja. Kita ga kebayang nih kalo kudu nerima anggota lain yang belum tentu cocok sama tim.” Dodi kembali bercuit. “Masalah skill bisa diperbaiki tapi kalo soal chemistry susaaaah, sesusah pelajaran kimia zaman SMA.”
“Ah, itu mah kamu aja yang lemot!” celetuk Chris mengeluarkan emotikon tersenyum menghina.
Dodi kembali membalas Chris tidak terima membuat suasana chat menjadi ramai dan nyaris melupakan ajakan Ida untuk bergabung di tim.
“Jadi, gimana Da?” Herman nyeletuk membuat suasana grup chat kembali fokus. Ida tahu, Herman mungkin sudah ditunggu istri dan anaknya untuk family time sehingga tidak bisa berlama-lama.
“Hmm.” Ida meragu lagi. “Kalian yakin aku sanggup ngikutin pace main kalian?”
“Hajar ajaaa!” Ryan memberikan emotikon tinju.
“Iya! Hajar aja!” Dodi menyepakati.
Ida terdiam sementara grup chat dipenuhi dengan komentar persetujuan. Dia mengetik kata ‘oke’ tapi menahan diri dari menekan tombol kirim.
“Ayo Da, mikir apa lagi?” sahut Sutan, kapten tim.
Ada begitu banyak dukungan yang mengalir membuat Ida tersenyum dan akhirnya menekan tombol kirim.
“Oke, tapi ajari aku ya.”
Keputusan Ida langsung disambut dengan banjir emotikon senang oleh tim. Sebuah hal yang sedikit dia sesali sekarang.
Ida melihat lawannya memasuki fase menyerang dengan was-was walau di permukaan dia tetap memasang wajah datar. Lawannya, seorang pemuda yang masih SMA, memutar beberapa kartu dan mengaktifkan artefak sebelum menyerukan serangan. Ida hanya bisa mengembuskan napas ketika life point-nya berubah menjadi nol karena terkena serangan langsung.
Lagi-lagi dia kalah.
Si bocah menyunggingkan senyum miring menikmati kemenangannya sementara Ida memberekan dek. Bukan sesuatu yang tidak dia duga, tapi tetap saja, merasakan kekalahan berturut-turut membuat Ida merasa sedih.
“You are doing good job, Da,” ucap Sutan memberi semangat Ida sebelum menggantikan posisi Ida yang kalah.
Ida memberikan emotikon senyum sebelum bergabung dengan teman-teman lain di chat Discord. Dia sedang tidak dalam mood untuk berceloteh.
“Good job Ida!” sahut Chris yang menjadi pemain kelima tim, menunggu gilirannya turun setelah Sutan. “Kamu berhasil maksa musuh keluarin kartu andalannya, jadinya sekarang lebih gampang buat aku sama Sutan buat ngatur strategi.”
“Udaaah, jangan dipikirin,” timpa Dodi yang melihat Ida tidak terlalu banyak bicara. “Kalah ya kalah aja. Tuh Ryan yang kalah di ronde pertama juga santuy.”
“Hei! Itu pemain andalannya turun pertama, jadi wajar kalau aku kalah!” Ryan langsung sewot.
Ida mengambil napas panjang sambil melihat Sutan mulai bermain. “Tapi masalahnya, aku ga pernah menang tiap kali kita main kompetitif,” ucap Ida, matanya menerawang melihat giliran Sutan selesai. Ketua tim itu berhasil mengurangi life point lawan di putaran pertama.
“Udah kubilang jangan terlalu dipikirin. Kita ngajak kamu main bukan berharap kamu menang.”
Chris langsung kasih emotikon diam ke Dodi. “Gini, Da, kita kan main tim, jadi santuy aja, aku, Sutan sama Dodi bisa back up. Yang penting kamu mainnya fun. Jadi jangan terlalu dipikirin menang sama kalahnya.”
Ida kembali memberikan emotikon senyum walau dalam hati dia masih merasa salah tempat. Permainan kompetitif terlalu menekannya, lawan yang dihadapi juga tidak mudah. Dia tahu teman-temannya bermaksud baik tapi dia tetap merasa tidak nyaman. Rasanya selain Ryan, dirinyalah yang paling sering menjadi beban.
Sutan berhasil mengalahkan tim lawan dengan telak sehingga Chris tidak perlu turun sebagai pemain. Tim mereka melaju ke babak berikutnya yang akan diadakan besok. Malamnya, grup chat Discord ramai karena merayakan kemenangan. Herman yang tidak bisa ikut karena mengurus anak mengucapkan selamat pada tim. Dia memberikan beberapa analisa pada permainan hari itu sebelum obrolan di grup berubah haluan menjadi ajang melempar joke bapak-bapak.
“Kenapa Biri-Biri jalannya lambat?” celetuk Dodi sambil mengeluarkan emotikon ketawa.
“Karena kalo cepet namanya buru-buru!” sahut Rian yang membuat seluruh grup ramai dengan emotikon dan gif.
Ida mengamati chat yang mengalir deras tanpa membalas sambil menyusun ulang deknya, berharap membawa perbedaan untuk lomba besok walau dia tidak yakin bisa menang. Gadis itu bertanya-tanya apa benar dia bisa tergabung dengan komunitas EST. Keputusannya waktu itu kembali menghantuinya. Dia kembali stuck dengan kombinasi kartu, ketika dia hendak bertanya di grup chat, yang dia lihat justru jokes bapak-bapak lainnya.
“Tadi aku ke apotek.” Dodi bercerita dengan serius. “Beli obat tidur. Pas pulang aku bawanya pelan-pelan, takut obatnya bangun.”
“Xixixixixi,” balas Chris yang disambut dengan cara tertawa yang sama oleh yang lain.
Ida yang melihat itu hanya bisa mengelus dada, membatalkan niatnya untuk bertanya. Dia sama sekali tidak paham jokes ajaib seperti itu. Jangankan tertawa, tersenyum pun tidak. Sering dia hanya bisa mengerutkan alis.
Apa sebaiknya aku mengundurkan diri ya?
Pikiran itu lagi-lagi terbersit dalam benak, tapi Ida memutuskan untuk menguburnya dalam-dalam. Masih turnamen. Dia tidak ingin mengganggu teman-temannya dengan pikiran yang tidak perlu. Ida kembali menekuni dek yang dia miliki, berharap pilihan kartunya membawa keajaiban pada pertandingan esok hari.
“Aku declare attack ke pemain.” Lawan Ida memutar kartunya menjadi posisi menyerang, mengurangi life point Ida hingga menjadi nol. “End turn.”
Ida hanya bisa pasrah ketika permainan berakhir dengan kekalahannya. Pertandingan itu juga menjadi penutup laga tim EST karena Ida sebagai pemain terakhir tidak bisa membalikkan posisi.
“Sial!” seru Dodi kesal di grup chat. Dia yang paling emosi ketika tahu EST gagal ke ronde berikutnya.
“Yah … sayang banget sih …,” sahut Sutan tanpa emotikon, tanda kalau dia sedang tidak mood bercanda.
“Mau diapain lagi. Musuhnya jago bener. Dia sendirian ngalahin Dodi sama aku.” Chris mengeluarkan gif menggaruk kepala.
Ida memandang percakapan itu dengan perasaan tidak enak. “Guys, sorry. Aku kalah ….”
Dia mengetik kalimat lanjutannya, “Gimana kalau aku mengundurkan diri dari tim ini?” tapi urung menekan tombol kirim. Bagaimana pun juga, Ida merasa bersalah karena tidak bisa menang di ronde terakhir tapi rasanya dia hanya akan membuat mood teman-temannya memburuk kalau dia mengirimkan pesan itu.
“Santuy aja, Da. Emang musuhnya cakep,” balas Sutan. “Aku naruh kamu di akhir supaya kamu ga main, kali aja kamu masih trauma sama kemarin, ternyata malah kita yang kena babat duluan.”
Ida masih maju mundur menekan tombol kirim pada pesan pengunduran diri yang telah tertulis.
“BEGOOOO! BEGOOOOO!!!” Dodi melampiaskan rasa kesalnya di chat, membuat Ida menahan napas.
Jangan-jangan Dodi marah pada dirinya?
“Diem lo, Dod!” sahut Chris mengeluarkan emotikon gelut. “Kita semua kesel parah, ga usah nambah-nambahin masalah!”
Jantung Ida berdetak kencang ketika melihat Dodi marah-marah di grup chat. Tulisan pengunduran dirinya masih ada dan dia masih bergumul dengan dirinya sendiri apakah akan mengirimkannya atau tidak. Rasa asing itu tetap ada, merasa salah tempat dan tidak layak berada di sana. Namun, di sisi lain, Ida juga menikmati keberadaan teman-teman setimnya. Keriangan mereka bahkan joke tidak lucu itu justru menghibur Ida kalau lagi stres kena masalah kantor.
“Udah deh, ‘kan masih ada turnamen berikutnya.” Herman akhirnya turun tangan menenangkan suasana grup chat yang penuh emosi. “Nanti kita persiapannya lebih serius. Dod, kamu jadwalin latih tanding deh biar skill tim kita juga naek. Chris, kamu coba analisa dek apa yang lagi populer terus kasih tau kita.”
“Roger!” sahut Chris memberi emotikon jempol.
Dodi hanya memberi emotikon kesal.
“Lalu Ida.” Gadis itu berjengit ketika Herman menyebut namanya. “Kamu juga jangan ngerasa bersalah.”
Kata-kata Herman membuat Ida menghela napas dan menghapus pesan yang sudah dia ketik. Teman-temannya tidak ada yang menyalahkan walau dia mungkin yang paling cupu dalam tim. Sama seperti dia menikmati kehadiran teman-temannya, mereka juga sepertinya juga menerima keberadaannya.
Suasana di grup menjadi semangat ketika Chris membagikan dek-dek hasil analisanya. Rian yang merupakan wakil ketua juga langsung mengatur jadwal latihan tim, Dodi mau tak mau terpaksa menjadi pelatih karena disuruh Rian. Ryan tentu saja masih berceloteh tentang deknya, berkonsultasi dengan Chris. Ida ada di sana dan mengamati.
Tanpa sadar dia tersenyum. Ini adalah komunitasnya. Perbedaan latar belakang dan kemampuan tidak pernah menjadi alasan bagi mereka untuk berpisah.
“Guys, tau ga, kenapa kalo aku duduk di atas sepeda motor bawaannya pingin ketawa mulu?” Ida akhirnya melontarkan satu candaan ke grup chat.
END
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top